"Ada hubungan apa kamu dengan suamiku?" Kedua mata Zulfa tak lepas menatap Amara.
Ternyata, nyali Amara menciut saat bertatap muka secara langsung dengan Zulfa. Berbeda sekali saat membicarakannya di belakang. Kejam dan menusuk!
"Jawab!" Sentakan Zulfa membuat tubuh gadis berkulit putih itu terlonjak.
"Aku dan suamimu hanya berteman, Zulfa. Hubungan kami hanya sebatas teman bisnis saja." Amara mulai menjawab. Meski kedua tangannya bergetar.
"Oh, ya. Bukankah aku memintamu menjawab dengan jujur ... Amara?" Satu alis Zulfa naik.
"Aku sudah berkata jujur," tegas Amara.
Zulfa mengangguk-angguk. Ia bersikap sesantai mungkin meski hati terasa bergejolak ingin memaki-maki.
"Kamu adalah wanita yang cantik, Amara. Aku yakin, banyak pria yang ingin memilikimu. Tapi, kukira kamu hanya menyukai pria beristri saja." Zulfa kini berjalan-jalan sembari melihat-lihat foto yang terpajang di setiap dinding.
"Zulfa! Aku sudah bilang, aku tidak ada hubungan apa pun sama suamimu!" Suara Amara mulai meninggi.
"Lalu ... apa yang kalian bicarakan di restoran pagi tadi?"
Wajah Amara berubah pias. Bagaimana bisa Zulfa tahu jika ia bertemu Rio, pikirnya. Ia masih bergeming untuk mencari jawaban yang tepat.
"Tentu saja untuk membicarakan masalah pekerjaan, Zul. Kamu seharusnya nggak terlalu berlebihan saat suamimu sedang kerja. Jangan-jangan ... kamu membututinya. Iya!?" Amara menyipitkan matanya. Kini, ia sudah mulai beradaptasi dengan kedatangan Zulfa.
Zulfa tertawa. "Kalau iya memang kenapa?" sahutnya. "Aku tahu, hubungan kalian pasti sudah jauh. Mengapa kamu mengincar suamiku? Apa karena kepuasan di ranjang?" Wajah Amara merah padam.
"Aku bukanlah wanita bodoh seperti yang kalian kira! Apa kalian pikir aku hanya wanita rumahan yang hanya mengurus rumah tangga? Tidak! Bahkan, aku tahu semua kebusukan kalian berdua!" Zulfa menunjuk-nunjuk wajah Amara.
"Kalau iya memang kenapa, hah!?" Amara mulai berani. Ia berkata dengan intonasi tinggi disertai raut wajah yang terkesan angkuh.
Zulfa terkekeh kecil. "Sejak kapan kalian menjalin hubungan?" tanyanya.
"Satu setengah tahun." Wajah Zulfa mengeras. Ia mencoba meredam emosinya dengan menghela napas panjang.
"Kenapa? Kamu nggak nyangka suamimu bisa selingkuh dari kamu sejak selama itu?" Amara tersenyum sinis, meremehkan Zulfa. Ia lantas berjalan mendekati Zulfa.
"Kamu harusnya sadar diri. Kalau kamu itu ... mandul!" lanjutnya dengan penuh penekanan di kata terakhir.
Tangan Zulfa melayang begitu saja ke pipi kanan Amara, hingga membuat perempuan itu mengaduh kesakitan. Bekas tamparan Zulfa membekas di pipi putih nan mulus milik Amara.
Wajah Zulfa merah padam. Emosinya benar-benar telah mencapai ubun-ubun. Ia benar-benar tidak menyukai jika orang mengatakan hal itu. Hal yang paling ia benci!
"Jaga ucapanmu, Amara!" bentak Zulfa dengan mata melotot.
Amara memegangi pipinya yang terasa perih. Dadanya kembang kempis karena rasa marah pada Zulfa.
"Di mana letak salahnya? Aku memang benar, kan? Kamu itu MANDUL! Gak bisa ngasih Rio keturunan! NGACA!" Amara berteriak hingga otot-otot lehernya keluar.
Zulfa tertawa terbahak-bahak menanggapi teriakan Amara, hingga matanya mengeluarkan air mata. Menurutnya, ia tak perlu membuang-buang tenaga untuk menghadapi Amara. Ia akan bermain cantik untuk membalas perbuatan Amara dan Rio.
"Oke, terserah kamu. Lagi pula semua yang kamu ucapkan padaku belum tentu benar," balas Zulfa setelah tawanya mereda.
"Aku melepaskan Rio untukmu. Ambil saja dia! Dan yang harus kamu tahu! Aku dan Rio belum pernah sekali pun menjalani tes kesehatan. Kami tidak tahu, masalah ada pada siapa. Jika saja kamu nanti menikah dengan Rio dan belum punya anak ... jangan marah saat kamu dianggap mandul."
Zulfa bicara pelan, namun setiap kalimatnya mampu membuat jantung Amara berdegup kencang. Rasa takut mulai menyusup ke celah hati Amara.
"PERGI KAMU! PERGI DARI RUMAHKU!" hardik Amara dengan tangan yang menunjuk pintu.
"Tidak perlu berteriak sampai ototmu mau copot. Aku memang akan pergi. Semoga yang aku bilang nanti gak akan terjadi, ya," kata Zulfa. Ia berlalu dengan memberikan senyuman pada Amara.
"Dasar wanita mandul! Lihat saja nanti! Aku pasti bisa hamil!" umpat Amara, namum Zulfa tak menghiraukan. Ia terus berjalan dengan cantik menuju mobil.
***
Sepeninggal Zulfa, Amara langsung menelpon Rio. Kedatangan Zulfa berhasil membuatnya kesetanan seperti orang gila. Jujur saja, Amara merasakan kecemasan yang sampai sekarang tak kunjung hilang.
"Kemana, sih, kamu!"
Amara melempar ponselnya ke lantai, karena Rio tak kujung mengangkat teleponnya. Ia menutup wajahnya dan langsung mengempaskan tubuhnya ke sofa.
"Aarrrghh ... dasar wanita mandul! Awas saja kamu!" teriaknya.
***
Zulfa menangis dalam mobil. Ucapan Amara yang mehina dirinya mandul masih terngiang-ngiang di telinganya. Jika memang benar yang diucapkan Amara, entah bagaimana kelak Zulfa menghadapi masa depan, sendirian.
Ya, sendirian. Siapa yang mau memiliki istri yang tak bisa memberi kebahagiaan seutuhnya pada sebuah keluarga? Yaitu hamil dan melahirkan keturunan.
"Jangan dengarkan ucapan Amara. Dia hanya ingin memancing emosimu saja," ucap Fikri selembut mungkin.
"Entahlah, Fik. Bagaimana kalau itu benar? Bagaimana kalau aku memang mandul?" balas Zulfa dengan air mata yang masih berderai.
"Belum tentu, Fa. Kalian berdua belum memeriksakan diri ke dokter. Jadi, belum tahu, siapa sebenarnya yang bermasalah. Kamu tenang saja. Aku yakin, kamu itu sehat."
Zulfa diam. Ia berusaha meredakan tangisnya. Entah mengapa, ia tidak pernah malu mengeluarkan air mata ketika bersama Fikri. Lain halnya saat bersama Rio. Ia tak akan pernah menangis. Malu rasanya.
"Ini, minumlah!" Fikri menyodorkan sebotol air mineral. Zulfa menerimanya dengan segan.
"Terima kasih," ucapnya. Fikri tersenyum.
"Sudah, jangan menangis lagi. Sebentar lagi kita sampai. Dan segeralah berganti baju agar suamimu tidak curiga," ucap Fikri.
"Palingan selingkuhannya tadi sudah menelpon Rio," celetuk Zulfa sambil sesekali meneguk air mineral dari Fikri.
"Iya. Mungkin saja. Jika suamimu tidak sibuk dengan orang tuanya," sahut Fikri.
Zulfa tertawa di sela air matanya yang masih merembes keluar.
Iya benar, Rio tak akan bisa bermain ponsel. Menatapnya pun ia tak akan sempat. Karena Ibu dan Ayahnya akan melarang dengan alasan bahwa ponsel bukanlah benda yang akan menyelamatkan dia di akhirat. Melainkan doa dari kedua orang tua.
Mengingat itu, rasa kesal Zulfa bisa berkurang. Rio adalah anak yang penurut, jadi apa yang diminta orang tuanya ia akan menurutinya.
"Aku suka sekali melihat kamu terus tersenyum seperti itu. Aku harap senyuman itu tidak akan pernah hilang," kata Fikri.
"Terima kasih, Fik," ucap Zulfa tanpa menghiraukan ucapan Fikri. Ia turun dari mobil dan segera berlari masuk agar Fikri segera pergi.
Zulfa memandang mobil Fikri yang semakin menjauh dari kaca jendela kamarnya. Rasa bersalah dalam hatinya bertambah besar. Ia benar-benar tidak ingin melihat pria itu terluka lagi.
Zulfa telah berganti gamis daster seperti biasanya. Make-up pun telah dihapus. Kini, ia kembali menjadi Zulfa yang sesungguhnya.
Saat deru mobil Rio terdengar, ia bergegas turun dan menyiapkan secangkir teh.
"Assalamu'alaikum," salam Rio.
"Wa'alaikum salam," sahut Zulfa sambil mengaduk teh dalam cangkir. Lantas menaruhnya di meja.
"Ibu sama Ayah baik?" tanya Zulfa.
"Mereka baik, Yang. Mereka nanyain kamu. Ya, aku bilang kamu lagi gak enak badan," jelasnya. Ia kemudian menyesap teh di hadapannya.
"Kamu tahu, Yang? Masa aku bilang kamu lagi gak enak badan dikira Ibuk kamu hamil!" cetus Rio seketika membuat Zulfa melotot.
"Terus ... kamu jawab apa?" sahut Zulfa hati-hati.
"Ya aku bilang kamu memang lagi capek. Lagian kehadiran anak akan datang di saat yang tepat," jawab Rio dengan tersenyum. Namun, Zulfa malah merasa tercubit.
Setidaknya, Zulfa bisa bernapas lega. Ternyata, Rio masih belum mengetahui tentang dia dan Amara.
"Istirahatlah, Mas. Ini sudah malam," kata Zulfa. Ia lebih dulu naik menuju kamar.
"Iya," sahut Rio.
Rio mengecek ponselnya. Dahinya mengernyit saat melihat ada dua puluh panggilan tak terjawab dari Amara. Sejak di rumah orang tuanya, Rio sengaja mematikan ponselnya dengan mode pesawat.
Segera ia menelpon Amara balik, berhubung Zulfa sudah ke kamar lebih dulu.
[Ada apa, Ra?]
[Ada apa, ada apa! Heh, istrimu tadi datang ke sini! Dia nglabrak aku! Kamu itu gimana, sih!], Amara langsung menodong Rio dengan teriakan.
Wajah Rio menegang. Ia langsung menutup teleponnya meski di seberang sana Amara belum berhenti mengomel.
"Jadi Zulfa sudah tahu. Tapi kenapa dia diam saja?" gumamnya dengan hati yang berdetak kencang.
Aku pernah merasakan sakit secara batin. Tertekan karena tak kunjung hamil, hingga akhirnya dikhianati. Namun, aku yakin ... bahwa jika aku sabar, semua akan indah pada waktunya._Zulfa_***Kehamilan Zulfa sudah semakin membesar dan memasuki usia tujuh bulan. Dua bulan lagi, malaikat kecil yang ia nantikan akan lahir ke dunia."Sayang?" Fikri masuk ke dalam kamar. Meraih Zulfa dalam pelukannya."Aku punya kabar," ucap Fikri. Zulfa mengernyit saat melihat ekspresi suaminya."Ada apa, Mas?""Rio dikeluarkan dari kantor karena ia sering marah-marah sendiri. Sepertinya dia depresi." Zulfa membelalak mendengar penuturan suaminya."Kok bisa begitu?" Zulfa merasa iba. Meski bagaimanapun, Rio pernah mengisi hatinya.
Rio menoleh ke belakang. Sesosok pria dengan rambut gondrong dikuncir itu mencekal tangannya yang berada di udara. Tatapannya tajam menghunjam ke dalam retina Rio.Amara menutup mulutnya saat Haris tiba-tiba datang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Haris akan menolongnya dari amukan Rio.Rahang Haris mengeras. Dalam sekali sentakan, ia mengempaskan tangan Rio dan memukul tepat mengenai pipi Rio hingga ia jatuh tersungkur.Amara menjerit dan segera menggendong Kayla, lalu membawanya keluar bergabung dengan Bu Imas dan Silvi. Ia ketakutan, hingga tangannya bergetar."Sini, biar Kayla ibu yang gendong, Non," tawar Bu Imas yang tak tega melihat Amara yang ketakutan."Ini, bawalah." Amara menyerahkan Kayla dengan wajah pucat."Siapa kau!" Rio bangkit dan mengusap bibirnya.Haris tak m
"Kayla bukan anak kandungmu. Bagaimana bisa Amara hamil jika kamu mandul?"Ucapan Dokter Diana masih terngiang-ngiang di telinga Rio. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Dokter Diana, ia menangis. Merasa sudah dibodohi."Hahaha ... aku mandul ... aku mandul!! Hahahaa." Rio meracau sambil memukul kemudi di depannya."Kayla ... Siapa ayahmu, Kayla??!!!" teriaknya. Air matanya luruh seketika.Ia kini bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya. Gila. Kadang tertawa, kadang juga menangis.Ia membelokkan kemudi mobilnya ke pelantaran rumah. Ia mengatur napas, menarik, dan mengembuskannya. Ia mematut dirinya di cermin. Mengusap seluruh air mata dan segera bergegas turun.Silvi yang berada di halaman rumah tersenyum menyapa Rio. Namun, Rio malah abai, hingga membuatnya m
Fikri mengernyit heran saat melihat Zulfa masih terbaring di tempat tidur. Tidak biasanya Zulfa bangun telat, bahkan sampai Fikri selesai sholat. Didekatinya istri tercintanya itu, kemudian menepuk-nepuk kedua pipinya."Egghh ...." Zulfa mengerang. Lalu, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya semakin terasa pening. Entah, mengapa rasanya perutnya mual."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Fikri dengan begitu lembut."Jam berapa ini?" Zulfa membalas dengan memberi tanya."Sudah hampir jam enam. Kamu sakit? Tumben sampai siang begini?" Fikri merasa khawatir.Zulfa berusaha bangkit. Ia melihat sekelilingnya seperti berputar. "Kepalaku pusing, Mas," lirinya sambil memegangi kepala.Fikri menempelkan tangannya di kening dan pipi Zulfa. Normal. Tidak ada tanda-tanda demam."Kamu mungkin k
Sesuai kesepakatan dengan Dokter Diana. Rio kini sudah berada di rumah sakit Melati. Ia sudah mengambil nomor antrian dan mengisi data diri. Sepanjang menunggu namanya dipanggil, tak henti-hentinya ia komat-kamit, merapal doa agar hasilnya sesuai dengan keinginannya.Tak berselang lama, namanya dipanggil. Rio segera bangkit dan menemui Dokter Diana. Wanita berjas putih itu menatap Rio, sesekali, melihat berkas-berkas di mejanya."Cepat sekali kau datang," celetuknya."Sudahlah, jangan basa-basi. Cepat segera periksa aku," sahut Rio.Dokter Diana mengangguk. Ia menjelaskan beberapa tahap pemeriksaan kepada Rio. Rio mendengarkan setiap kalimat Dokter Diana, meski ia tidak mengerti maksudnya."Jadi gini, langkah pertama untuk pemeriksaan adalah analisis sperma, gunanya untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan s
"Mas, aku mau jualan lagi, ya?" Zulfa membuka obrolan pagi saat mereka sedang berdua di meja makan. Menikmati sarapan dengan sayur dan telur dadar, serta ditemani oleh dua cangkir kopi dengan asap yang masih mengepul."Jualan masakan?" sahut Fikri sambil mengernyitkan dahi.Zulfa mengangguk. Ia bosan melakukan aktivitas di rumah yang cuma itu-itu saja. Apalagi ia merasa kesepian, karena di rumah sebesar itu, hanya dia dan Fikri saja yang tinggal. Jika Fikri pergi bekerja, maka Zulfa hanya sendirian."Kenapa?" Fikri menghampiri sang istri. Menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Dibelainya kepala Zulfa dengan penuh kasih."Aku ... bosan," cicit Zulfa. Fikri mengangguk. Ia pun paham bahwa istri tercintanya itu sering kesepian."Jangan jualan. Nanti kita ke rumah Ibu. Ngajak Ibu tinggal di sini biar kamu a