Aku menghapus air mata sambil mengangguk malu sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilayangkan Bu Ida padaku—tentang kesediaanku kembali menjadi menantunya."Terima kasih, Nak. Terima kasih karena sudi memberi kesempatan pada Hamid sekali lagi." Dengan mata yang menunjukkan bias kaca, Bu Ida kembali memeluk diriku. Menyalurkan rasa yang mungkin sama dengan apa yang tengah aku rasakan sekarang. Haru dan bahagia yang membaur indah menjadi satu.Aku mengangguk dalam pelukannya. Ah, aku bahkan sampai kehabisan kata-kata untuk mengekspresikan betapa bahagianya aku saat ini."Lisa, Nduk. Kalau begini ceritanya, apa iya kamu masih betah lama-lama di kamar? Ndak penasaran, toh sama wajah calon suamimu?" ledek Ibu ketika tiba-tiba muncul dari balik pintu. Membuatku tersipu malu."Ayo, Nak." Dengan penuh kasih sayang, Bu Ida menggandeng tanganku dan menuntunku keluar kamar layaknya calon pengantin yang baru pertama kali bakal bertemu dengan orang yang melamarnya.Sumpah!Aku jadi deg-degan seka
"Mas, apa mereka sudah menikah?" tanyaku pelan saat langkah Zaki dan Evi semakin dekat.Mas Hamid tak menyahut, matanya terus dia fokuskan pada dua orang yang sempat mengukir sejarah dengan kenangan bertolak belakang dalam hidupku."Mas." Aku yang memang diliputi rasa penasaran, berusaha memaksa suamiku sekedar untuk memberi jawaban 'sudah' atau 'belum'. Namun, agaknya Mas Hamid masih belum tertarik membagi informasi yang belum aku ketahui tentang mereka."Nanti, kapan-kapan aku ceritain semua, ya, Sayang," balasnya dengan senyum terukir di bibir dan tanpa menatapku. Karena memang fokusnya terus ia arahkan ke arah sana, pasangan yang sepertinya sedang dimabuk asmara. Zaki Rafandra Zulfikar dan Selvi Adinara Putri.Mendadak, aku terjebak perasaan canggung saat Evi dan Zaki yang jalan beriringan mulai menaiki pelaminan.Tak cuma aku, rasanya … Evi pun tak kalah canggung kali ini. Terbukti, gadis manis itu buru-buru melepas genggaman tangan Zaki dengan sangat gugup beberapa saat sebelum
[Sayang, pulang kerja, aku mampir ke rumah Ibu, ya.][Iya, Mas.]Terhitung ini merupakan kali keempat suamiku meminta izin demikian.Sedikit aneh. Hanya berjeda sehari suamiku sudah meminta lagi izin untuk menyambangi rumah orang tuanya.Tak ada yang salah. Karena surga anak laki-laki ada pada ibunya bukan? Namun, yang aneh, kenapa jadi sesering ini? Karena yang kuingat dulu, Mas Hamid paling sering mengunjungi ibunya dua minggu sekali.Ada apa?Apakah Ibu sakit parah?Jika iya, bukankah seharusnya Lina—adik iparku mengabari biar aku dan dirinya merawat Ibu bersama-sama?Aku yang diliputi perasaan tak enak sejak dua tiga hari lalu, bergegas mencari angkot. Mendatangi rumah mertua secara diam-diam adalah tujuanku saat ini.Aku harus ke sana. Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Sampai di halaman rumah mertuaku, langkahku tertahan saat bisa melihat dari kejauhan Mas Hamid tengah mengangkat jemuran.Bukan jemuran biasa. Itu … pakaian bayi.Siapa yang melahirkan?Apakah Lina?Rasanya
Suami siaga?Suami?Ya Tuhan ….Siapa pun, tolong katakan padaku, jika tadi aku hanya salah dengar.Tidak. Tidak mungkin Mas Hamid mengkhianatiku bukan?Status di KTP Mas Hamid saat menikah denganku jelas, lajang—belum kawin. Lantas, bagaimana bisa ibu mertua dengan gampangnya menyebut Mas Hamid harus menjadi suami siaga? Siaga untuk istri yang mana?Aku buru-buru bersembunyi di balik pagar saat menyadari tatapan Ibu mengarah padaku. Ya ampun, semoga mertuaku tak sempat melihatku tadi.Di saat seperti ini, otakku benar-benar tak bisa berpikir jernih. Tak tahu harus berbuat apa sekarang.Haruskah aku mendekati mereka dan bertanya layaknya wartawan yang meliput berita? Menanyai mereka satu persatu untuk menuntaskan rasa penasaran tentang baju bayi itu? Ah, tidak. Rasanya, itu bukan ide yang terlalu bagus.Aku putar badan. Mengurungkan niat menyambangi rumah mertua saat ini. Benar, rasanya … ini bukan waktu yang tepat untuk aku mendatangi mereka. Aku yang kadang mudah tersulut emosi, bi
"Oh, i-tu ... iya, semalam ada sepupunya Hamid yang main ke sini. Kebetulan dia punya anak bayi," sahut mertuaku dengan wajah yang terlihat sedikit memucat.Padahal ini Lisa, loh, yang bertanya. Bukan polisi yang sedang menginterogasi."Sepupu? Sepupunya yang mana, ya, Mas? Apa aku kenal?" tanyaku sambil terus berusaha menormalkan nada bicara ketika memindai wajah suamiku."Itu itu—." Mas Hamid terlihat sedikit gelagapan."Si Mira. Sepupu jauh yang tinggal di Bandung itu, loh, Lis. Baru pulang beberapa hari ini. Karena pas hamil tua, suaminya malah selingkuh, jadi dia nggak tahan, makanya pulang," sambar mertuaku cepat."Ooh … suaminya selingkuh? Kasian." Aku menggeleng kepala sambil mendecak singkat saat menunjukkan rasa simpati pada si 'Mira' itu.Walau heran karena ibu mertua yang selalu menjawab, aku terus mencoba menenangkan diri. Meski hati diliputi perasaan curiga sedari tadi, aku tak mau gegabah.Slow down, Alisa."Ya sudah, Mas, ambil pakunya yang di dalam jok, gih. Sebelah m
Sepanjang perjalanan pulang, Mas Hamid terus diam, seperti enggan diajak bicara. "Mampir ngebakso, yuk, Mas," ujarku saat melewati warung bakso favoritnya."Kalau kamu mau, bungkus aja. Aku enggak lapar," sahutnya agak dingin.Tumben sekali. Biasanya dia tak pernah menolak."Oh, ya udah. Enggak usah, deh, kalau Mas enggak mau makan."Aku memang hanya berbasa-basi menawarkan. Ya … daripada tidak ada topik buat dibahas, kan?Mas Hamid kembali melajukan sepeda motor tanpa bicara. Yap, hari ini dia berubah menjadi sosok yang lebih kalem daripada biasanya.Tiba di rumah, bukannya mandi, suamiku malah terlihat sibuk berselancar di dunia maya dengan ponselnya. Melihat hal itu, aku berusaha tampil setenang mungkin. Seolah tak terjadi apa-apa. Ya, seperti hari-hari biasa. "Kok nggak langsung mandi, Mas?" tanyaku iseng."Bentar."Hanya jawaban singkat singkat yang kudengar dari mulutnya, sementara tangannya sibuk menari-nari di atas layar ponsel. Matanya pun tak lepas fokus dari benda persegi
"Lisa ... dia ini ya ... Mira." Ibu Mertuaku beringsut mendekati wanita yang sedari tadi tampak kesulitan walaupun hanya mengungkap sepatah dua patah kata, mengenai jati dirinya. Dengan penuh kasih sayang, wanita paruh baya itu mengelus punggung wanita yang katanya bernama Mira.Agak berlebihan menurutku. Bukankah Ibu bilang Mira merupakan sepupu jauh Mas Hamid? Tapi, kok, bisaan banget, ya, sedekat itu? Sudah seperti memperlakukan anak sendiri."Oh … sepupu yang diceritain kemarin dulu itu?" tanyaku meski hati sudah dihinggapi perasaan tak enak sedari tadi."Iya.""Loh, kok balik lagi?" Aku mengerutkan dahi menatap mertuaku, karena sedari tadi, dia yang asyik menjawab, kan?"Iya, kan hari itu udah diceritain, suaminya selingkuh. Sekarang suaminya bener-bener ninggalin dia. Jadi ... dia kembali dan Ibu yang minta dia tinggal di sini saja." Jika sedang bersandiwara, aku akui, akting ibu mertua patut diacungi jempol. Lancar, loh, dia ngomongnya. Sudah seperti artis yang paham skrip di lu
Apa mereka pikir bisa semudah itukah mengusirku?Oh .... tidak bisa!Aku di sini posisinya menantu. Menantu seharusnya lebih diprioritaskan daripada sepupu, bukan? Dan seperti yang kita ketahui bersama, Mira hanya sebatas sepupu. Iya, sepupu.Ya … walaupun mungkin hanya sebatas sepupu ... palsu. Entahlah.Rasanya aku masih harus menunggu keabsahan dari pengakuan mereka."Kalau belum lapar, ya nggak bisa dipaksa juga kan, Mas?" kilahku kemudian. Membuat Mas Hamid dan Mira kompak terdiam."Lagian, ngapain juga kamu makannya buru-buru? Orang ada aku, kok yang jagain. Iya, 'kan, Dek? Dek Mei?" Eum … kayaknya lucu juga, ya, kalau panggilannya Mei Mei kayak temen Upin-Ipin itu, loh."Mendengar aku berceloteh, tampak Mira tersenyum canggung. Entah keberatan atau bagaimana anaknya aku panggil Mei Mei. Aku tak tahu.Dan well, aku hanya berharap dia tidak sedang menyamakan aku dengan Kak Ros kali ini. Rasanya terlalu jutek dan agak bengis jika seorang Alisa disamakan dengan kartun berwatak gar