Share

DIUSIR WARGA

Author: Haras
last update Last Updated: 2021-06-24 21:40:41

Erte lima.

Erwe tiga.

Sepuluh, nomor rumahnya.

Nama gangnya: Gang Asmara.

Kalau kau mengira itu sebuah lirik lagu, maka salah besar, Kawan. Sebab itu adalah alamat rumah.

Ya, rumah itu tepatnya berada di samping musala, bercat warna hijau muda, dan dengan pohon rambutan besar di depannya. Di atas rumah akan dijumpai papan nama: Tak Usah Kau Risau, Rumput Tetangga Masih Hijau.

Benar. Itulah rumah Kang Bambang, yang sekaligus menjadi markas kami. Setiap Hari Jumat, kami berlatih dangdut di sini, tepatnya di pelatarannya yang luas dan sudah diplester memakai semen. Saban bakda Salat Jumat, dan setelah jam makan siang tentunya, semua warga di sini sudah tahu, jika ada hiburan gratis dari kami!

Kalau sedang berlatih, jangan ditanya lagi hebohnya. Aih, mirip-miriplah sedang ada unjuk rasa di depan gedung DPR. Ramai sekali. Tak kenal jabatan, status sosial, maupun usia. Mulai dari bapak-bapak pengangguran berkaos dalam warna putih dan bersarung kotak-kotak sambil pegang rokok lintingan, anak-anak berteriak, guru SD pulang mengajar, petani menenteng cangkul, penjual bakso memukuli mangkuk, dan emak-emak sambil menyuapi anak-anaknya yang lari ke sana-sini, semuanya ikut ngumpul demi nonton kami latihan, ramai-ramai cari hiburan.

Padahal, dulu, awal-awal berlatih di sini kami sempat ditegur sama Pak Erte. Tepatnya dimarahin. Ngamuk Pak Erte. Murka tanpa ampun.

Kendang punya Kang Bambang dibuang. Organku ditendang. Microphone Dewik direbut paksa, lalu dia bilang dengan lantang, “Musik kalian itu berisik! Polusi suara!” Begitu kira-kira katanya. Suasana jadi tegang. Aku panas, lalu hendak kupukul Pak Erte yang rambutnya botak mirip telur burung unta itu. Tapi beruntung Kang Bambang saat itu meleraiku.

Lalu, masih menggunakan microphone Pak Erte kembali menegaskan, “Kami ini para warga jadi merasa terganggu, nggak bisa tidur siang, nggak bisa hidup tentram, nggak bisa ini-itu, dan nggak bisa ini-itu banyak sekali—” Sambil petentengan. Rambutnya yang cuma beberapa helai terbang-terbang ditiup angin.

Sial!—tapi kembali, Kang Bambang menyuruhku agar tetap sabar.

Tentu saja hal tersebut membuat kami galau. Bagaimana tidak? Pasalnya, hanya rumah Kang Bambanglah satu-satunya yang memungkinkan buat dijadikan tempat latihan.

Kalau di rumahku, misalnya, ya sudah barang tentu, emak bakal ngomel marah-marah sambil bawa pisau dapurnya lalu menyuruhku hengkang dari rumah! Bagaimanapun emak lebih suka pengajian daripada musik dangdut. Hiburannya cuma ada tiga di dunia ini. Pengajian. Sinetron. Sama nggosip.

Nah, kalau di rumah Dewik, misalnya, itu pun juga tidak memungkinkan. Karena selain sempit, adik Dewik juga masih kecil-kecil. Yang paling kecil itu usianya masih balita. Kasihan rasanya kalau anak sekecil itu yang masih butuh tidur siang harus terganggu sama suara kendangnya Kang Bambang. Alih-alih bisa hafal Quran, malahan nanti yang dihafal lagu-lagu dangdut belaka. Repot benar, kan? Masa depan bisa suram.

Jadi, satu-satunya harapan kami buat dijadikan tempat latihan ya rumahnya Kang Bambang ini. Tapi masalahnya, Pak Erte bawel sekali.

Sudah berkali-kali bujuk-rayu dan negosiasi kami lakukan, tapi hasilnya tetap nihil. Bahkan, kami juga pernah menyogok Pak Erte pakai amplop, gagal! Pakai martabak isi telor dan cincangan daging sapi kesukaannya, gagal juga! Pakai sembako, plus rokok satu kardus, juga kopi satu karung, juga tetap gagal! Saat itu Pak Erte kekeh bilang, “Kalau aku bilang enggak, ya pokoknya enggak! Emangnya aku pejabat laknatullah itu yang bisa disuap-suap seenak jidat?”

Waduh, bingung jadinya. Rupanya Pak Erte orangnya amanah memegang jabatannya.

Tapi, sebetulnya semua warga di sini tidak ada yang keberatan dengan latihan musik kami. Malahan semuanya sangat mendukung kami latihan di rumah Kang Bambang. Alasan mereka sederhana: Grup musik dangdut kami sudah lumayan terkenal dan mereka pula butuh hiburan. Tapi saat itu yang jadi masalah cuma satu, Pak Erte tetap kekeh nggak mau tahu!

Sampai pada suatu hari Dewik punya cara jitu. Kami akhirnya sowan ke rumah Juragan Turah—sang kepala desa itu—buat melobinya.

“Coba saja Juragan pikir, masak semua warga sudah membolehkan, tapi Pak Erte-nya tetap ngotot nggak mau! Apa itu masuk akal?” ungkap Dewik saat itu di rumah sang juragan.

Juragan Turah mangut-mangut sambil memelintir kumisnya. “Ohya, ohya. Nggak masuk akal, ya, hm…”

Kang Bambang lalu ikut menambahkan. “Betul Juragan, warga itu kan sudah pusing mikir utang, mikir cicilan, mikir mencukupi kebutuhan-kebutuhan. Jadi, anggap saja latihan kami ini sebagai penghibur buat mereka. Tidak usah dipungut biaya. Gratis, tis! Sama-sama menguntungkan, kan?”

“Ohya, ohya. Sama-sama menguntungkan, ya, hm…”

Aku pun tak mau kalah ikut juga menambahkan. “Betul Juragan, lagipula, jadwal latihan kami cuma seminggu sekali aja kok. Nggak tiap hari juga.  Itu pun cuma dari siang sampai sore.”

“Ohya, ohya, cuma sampai sore, ya.”

Ohya ohya, gundulmu! batinku kesal.

“Jadi gimana Juragan? Diizinkan tidak?”

Sejenak, Juragan terlihat berpikir. Otaknya emang agak lemot untuk hal-hal semacam ini.

“Yasudah begini saja. Bilang itu sama Pak Erte, kalau aku beserta seluruh jajaran desa menyatakan: mengizinkan.”

“Apa, Juragan?”

“Meng, i, zin, kan! Dengar tidak?”

Langsunglah berpelukan kami bertiga. Senang bukan main rasanya. Lalu, Juragan Turah mengeluarkan surat perintah resmi yang dibubuhi langsung cap kepala desa dan tanda tangan dirinya. Oret-oret! Beres!

Dan sejak hari itu, kami pun bisa latihan di markas tanpa adanya gangguan.

Pak Erte, yang tadinya galak bukan main itu, bahkan langsung berubah jadi ramah total sepenuhnya.

“Oceh, oceh, kalau sudah dapat izin dari Juragan, silakan-silakan.” Begitu ujarnya. Rambutnya yang cuma beberapa helai itu sengaja diminyaki pakai minyak entah apa, mengilau disiram oleh terik matahari. Setelah itu, selalu, melalui corong musala, Pak Erte akan mengumumkan bahwa latihan kami segera dimulai.

“Hallo warga, ayok ayok pada kumpul! Hiburan gratis! Hiburan gratis!”

Dan, lihatlah sekarang, semua warga sudah berkumpul dan bergoyang…

Asolole!!

Joss!!

Joss!!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balada Asmara Biduan Dangdut   TAMAT + EKSTRA BAB

    Dua Tahun Kemudian.Kupandangi foto-foto pernikahan di dalam album. Lembar demi lembar kubuka perlahan, sesekali senyumku terbit. Hingga seketika ingatanku terseret kembali di hari pernikahan itu.Pagi itu, acara cukup meriah digelar di pelataran pondok. Tenda-tenda besar warna biru diberdirikan, lengkap dengan kursi dan meja dan tentunya pelaminan serba putih.Saat itu aku masih ingat, tamu udangan kebanyakan dihadiri oleh tamu dari Abah Yai, dan hanya sedikit sekali kawan-kawanku yang datang, paling-paling dari kawan-kawan Emak atau teman dari tetangga desa sebelah.Kang Bambang tentu saja tidak bisa pulang. Inces juga tidak hadir. Dan Dewik tentu saja tidak mungkin mendatangi acara tersebut. Meskipun ketiganya saat itu sudah kuberi undangan dan kabar, namun aku tahu jika mereka sedang sangat sibuk, mempersiapkan konser tour keliling Indonesia bersama Mbak Inul Daratista.Dan sekarang, 2 tahun sudah berlalu, tidak terasa.Pagi ini seperti

  • Balada Asmara Biduan Dangdut   MELAMARMU

    Seminggu Berlalu...Langit pagi yang cerah, sebagaimana cerah hati dan perasaanku. Hari ini adalah momentum bersejarah, sebab pada akhirnya, aku akan melamar seorang gadis anak Kiai, Aisyah.Sejak habis subuh, aku sudah sibuk mandi dan berdandan sangat rapi. Meskipun jarak rumah kami hanyalah selemparan batu, tapi aku tidak mau menyepelekan, apalagi kalau nanti sampai telat!Emak pun sudah ikut berdandan seraya mempersiapkan semua keperluan. Kotak-kotak yang berisi barang-barang seserahan, seperti jajanan pasar, baju-baju gamis, alat-alat mandi, roti, seperangkat alat rias, semua sudah tertata rapi di teras rumah, dibungkus kotak mika transparan serta diberi ikatan pita berwarna biru.Dan di antara kotak-kota besar itu, ada sebuah kotak kecil yang berisi cincin bbermata berlian biru. Mengilap terkena cahaya matahari pagi.Duh... cantiknya.Orang-orang mulai berdatangan di pagi yang masih ranum itu. Mereka adalah Pak Erte, Pak Erwe, serta beb

  • Balada Asmara Biduan Dangdut   BERLIAN BIRU

    “Cincin siapa ini, Kir? Atau ini jangan-jangan mau diberikan ke Aisyah?” Emak berkata dengan masih menerawang cincin tersebut di bawah sinar matahari.Tampak berkilau dan terang, perhiasan itu jika ditilik sekilas memang sangat mahal.“Mmm, cincin itu sebenarnya punya Raline, Mak. Wanita itu yang memberikannya padaku. Dia bilang, suatau hari pasti akan berguna.”“Raline artis itu?”Aku mengangguk.Emak lanjut bicara dengan tertawa-tawa, “Woalah, ada-ada aja. Masak barang sebagus ini dikasihkan ke kamu?”“Memangnya itu bagus, Mak?”Emak mengendikkan kedua bahu. “Kalau pastinya ya Emak kurang tahu. Soalnya ini berlian. Tapi, Emak yakin harganya sangat mahal.”Tiba-tiba terbesit ide brilian. “Mak, pagi ini mau ke pasar nggak?”“Iya. Emak mau beli sayur buat masak.”“Yuk aku anterin, hehehehee. Sekalian manasin Vespa,

  • Balada Asmara Biduan Dangdut   PENGAKUAN DOSA

    Awalnya aku tak ingin mengangkat. Lama telepon kubiarkan berdering. Tapi pada akhirya kuangkat juga panggilan tersebut.“Hallo?”“Mas...” suara Dewik serak, seperti baru saja menangis. “Kamu pulang tanpa pamit sama aku?”“Aku pikir kemarin kamu sedang sibuk.”“Tapi kalau sampai tidak pamit itu keterlaluan, Mas. Kita pergi ke Ibu Kota bersama, lalu sekarang kamu memutuskan untuk pulang dan menikai seorang gadis lain, aku terima! Tapi apakah berat mengucapkan pamit?”Sebentar aku diam. Suara seraknya semakin kentara.“Mas? Hallo?”“Aku tahu kamu sedang sibuk dengan seorang laki-laki muda pengusaha kaya raya. Sebab itulah aku sengaja tidak pamit. Aku taku ganggu.”“Astaga, Mas! Mas?”Telepon kututup. Singkat tapi padat, aku tak ingin bicara lagi dengan dia. Malam ini tidak tepat. Sebab aku ingin segera tidur, dan berharap m

  • Balada Asmara Biduan Dangdut   KESEPAKATAN

    Selepas shalat magrib aku langsung diajak Abah Yai menuju ke Ndalem. Memang benar ternyata, setelah shalat hatiku terasa lebih adem.Abah Yai mempersilakan aku duduk dan berkata, “Gimana? Sudah adem kan hatinya sekarang?”“Betul, Yai. Sudah enakan.”“Nah, makanya jangan pernah tinggalkan sholat, ya.”Aku hanya mengangguk.“Jadi gimana tadi, soal mau melamar Aisyah? Nak Cukir sudah janji sama Aisyah?”“Betul, Yai. Bahkan saya sekarang ini sudah tidak ikut ke grup dangdut lagi. Saya sudah keluar karena saya ingin melamar Aisyah.”Mendengarku bicara, Abah Yai membuang napas berat. Seperti ada penyesalan dalam dadanya.“Mmm, maaf, Nak Cukir. Aisyah sekarang sudah dilamar sama orang. Lebih tepatnya kemarin siang, rombongan teman Abah datang ke sini buat melamarkan putranya. Yah, sayang sekali. Padahal kalau Nak Cukir yang melamar duluan tentu saja Abah mau.”

  • Balada Asmara Biduan Dangdut   KABAR MENGEJUTKAN

    Aku tiba di gang ujung desa saat hari hampir surup. Langit senja menguning keemasan, sebentar lagi pasti akan padam.Aku berjalan pelan dengan tangan membawa koper dan barang-barang serta sedikit oleh-oleh yang sengaja aku beli di stasiun tadi. Meski uangku telah habis, tapi membawa buah tangan adalah hal yang lumrah dan harus kulakukan.“Emak lagi apa, ya?” batinku girang merasa sudah rindu sekali dengan perempuan tua itu. Maka segera kakiku melangkah lebih melalui jalan desa yang becek, barangkali hujan baru saja reda.Begitu sampai di depan rumah, betapa aku kaget karena merasa asing dengan bangunan tersebut. Aku sampai mengucek-ngucek mata guna memastikan jika penglihatanku tidak keliru.“Apa benar ini rumahku?”Sebab rumah yang tadinya kurang layak pakai kini telah menjadi lantai dua. Emak pasti sudah memanggil tukang dan juga merehapnya. Semuanya di cat serba warna putih dan bahkan kami sekarang memiliki pagar da

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status