"Lahir 28 tahun yang lalu, saya kini telah berhasil membawa Purwaka Grup menjadi perusahaan jasa nomor satu di Asia Tenggara. Saya dibesarkan di Papua, karenanya, alam adalah bagian dari hidup saya ...." Gadis itu membacakan keras-keras resume yang dituliskan Amah Hana untukku. Caranya membaca dengan nada dibuat-buat membuatku susah payah menahan senyum. Kalau dilihat-lihat, sebenarnya dia cukup manis.
Dilipatnya kembali lembaran resume itu lalu diangkatnya wajah menatapku. "Resume yang menarik, sedikit overconfident, bahkan cenderung sombong."
Kurapatkan bibir agar tawa tak terlontar semena-mena. Memang, Amah Hana menuliskan resume terlalu berlebihan. "Lalu?"
"Aku tak peduli," jawabnya melempar kertas terlipat itu ke tengah meja.
"Bagus." Kuseruput espresso hangat dari seloki bening mungil yang hanya bisa dijepit dengan dua jari.
"Dan aku juga tak peduli apakah kamu membaca resumeku atau tidak," lanjutnya lagi, tajam.
"Bagus. Aku memang tak punya waktu untuk membaca resumemu." Aku tak bohong. Bahkan aku lupa di mana resume miliknya. Mungkin masih di meja kerja, mungkin sudah berpindah ke tempat sampah.
Keterkejutan terlihat samar di mukanya. Hanya sebentar, lalu dia kembali ke wajah jutek. "Oke, berarti kita bisa lanjut membicarakan soal pertemuan besok."
Kuseruput lagi espresso yang tinggal separuh. "Katakan," kataku, mempersilakan dia bicara.
Gadis itu berdeham, menjalin kesepuluh jarinya di atas meja. "Aku ngga pernah suka perjodohan ini," katanya memulai pembicaraan, "biasanya aku akan menolak mentah-mentah sebelum pertemuan pertama digelar."
Kusilangkan kaki dan kusimak kata-katanya.
"Tapi, dua hari lalu, gula darah Mama naik drastis sampe beliau pingsan." Dia menghela napas panjang. "Aku bener-bener khawatir dan takut kehilangan Mama. Kamu tahu, kan? Mama satu-satunya keluarga yang kupunya," suaranya terdengar lebih lembut.
Tentu, aku baru tahu informasi tersebut.
"Aku tahu, diabetes Mama, tuh, terkait banget sama stress." Dia berhenti dan menarik napas lagi. Air mukanya tiba-tiba berubah muram, seperti awan putih yang seketika menjadi hitam. "Dan kurasa, kali ini stressnya karena dia tahu aku akan membatalkan ta'aruf lagi." Gadis itu mengintip dari bawah bulu mata lentiknya lalu menghela napas dalam sebelum melanjutkan, "Karenanya, aku memutuskan untuk melanjutkan ke proses berikutnya."
Dia menyuruhku datang hanya untuk membicarakan ini? Benar-benar wasting time!
"Tapi dengan beberapa syarat," lanjutnya lagi, "pertama, kita nikah, cuma akad aja. Selebihnya, kita akan menjalankan kehidupan seperti biasa."
Apa maksudnya?
"Artinya, no sex at all."
Hanya itu?
"Kedua, kalo kamu ngga setuju, silakan batalkan ta'aruf ini sekarang."
Diam. Tak ada kata-kata lanjutan. "Ketiga?"
"Ngga ada. Cuma dua," balasnya cepat, "sekarang giliranmu."
Kuperbaiki posisi duduk dan mulai bicara, "Okay. Pertama, buatku akad nikah adalah perjanjian di hadapan Allah. Jadi aku ngga bisa main-main dengan itu." Kutunggu respons darinya. Karena tak ada, jadi lanjut saja. "Sepakat?"
"Sepakat," jawabnya dengan anggukan mantap.
"Bagus," balasku, "kedua, aku berasumsi sex yang kamu maksud adalah hubungan seksual."
Dia mengangguk.
"Maka, sebagai isteri, itu akan jadi hakmu dan kewajibanku untuk memenuhinya."
Sekilas wajahnya memucat.
"Namun, karena kamu tidak menghendakinya, maka itu berarti kamu melepaskan hakmu, dan dengan demikian berarti membebaskanku dari kewajiban."
Dia tersenyum. Kelegaan terlukis di wajah mulus itu. "Okay," jawabnya dalam nada yang sangat manis.
"Itu juga berarti aku membebaskanmu dari kewajiban untuk melayaniku secara seksual."
Alisnya terangkat, senyumnya makin lebar. "Terima kasih," ujarnya, berubah sangat santun.
"Baiklah, kalau begitu semua sudah clear. Sampai jumpa besok." Aku berdiri dan bersiap pergi. "Semua sudah dibayar. Kamu boleh tinggalkan meja ini kapan pun."
Kutinggalkan ruangan kafe yang sejuk menuju area parkir yang panas. Terik matahari sebenarnya mulai redup menjelang ashar itu, tetapi Jakarta memang kota yang tak pernah dingin.
Seorang lelaki berjongkok di samping Maybach-ku. Dia terlihat kesulitan memutar kunci roda ban mobilnya. Keringat bercucuran di keningnya, punggung kemejanya pun sudah basah seperti baru saja diguyur segayung air.
Kasihan sekali, mungkin dia jarang olahraga hingga tak punya kekuatan untuk memutar kunci roda.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku menawarkan diri.
Dia mendongak, mengusap keringat dengan punggung tangan sambil terkekeh salah tingkah. "Ini, kuncinya keras banget."
Kugulung lengan kemeja dan bersiap mengambil alih kunci roda darinya. "Biar saya bantu," tawarku.
Dia berdiri, membiarkanku melanjutkan pekerjaannya.
Kunci roda itu memang agak keras, tetapi sesuai dugaanku, hanya butuh sedikit tenaga lebih. Mungkin dia sudah cukup berumur hingga tenaganya pun telah banyak berkurang.
"Woah! Makasih, Mas!" serunya gembira setelah satu kunci berhasil dibuka.
"Masih ada empat lagi, Pak," balasku melanjutkan ke kunci kedua.
Tiba-tiba dering ponsel mengejutkannya. Agak tergesa, lelaki itu menarik ponsel dari saku. "Halo, Yang. Sorry, aku masih di parkiran. Ini bannya tiba-tiba bocor, nginjek ranjau kayanya."
Satu kunci lagi terlepas. Lanjut ke kunci ketiga.
"Ya, udah, kamu ke sini aja." Terdengar suaranya lagi, masih di telepon. "Ya, ya, aku tunggu."
Kunci ketiga telah menyerah. Tinggal dua lagi.
"Ya, ampun, Yang. Kamu ampe keringetan gini?" sebuah suara terdengar tepat di belakang. Kudongakkan kepala, diterpa cahaya mentari, gadis itu berdiri. Matanya menatapku terkejut. Hanya sesaat, kemudian beralih pada lelaki tadi.
"Iya, keras banget kunci rodanya, untung ada masnya yang nolongin," ujar lelaki itu tanpa malu-malu.
Kunci terakhir selesai dibuka. Tanpa mengindahkan mereka berdua, kutarik ban yang sudah kempes. Lelaki itu buru-buru ikut berjongkok, menolong memasang ban cadangan.
Pemasangan ban selesai tak lama kemudian. Aku berdiri menyapu keringat dari kening. Lumayan, dapat kesempatan olahraga sore.
"Makasih, Mas. Kalo ngga ada Mas, saya pasti udah kebingungan masangin ban." Lelaki itu menyalamiku.
"Tak masalah. Hati-hati di jalan," balasku melirik gadis yang baru saja bersepakat untuk ta'aruf besok. Ternyata dia sudah punya pacar. Pantas saja tak mau diajak berkenalan dengan lelaki mana pun juga
"Oya, saya Dirga, ini Alisha," lelaki itu memperkenalkan diri dan pacarnya.
Alisha tersenyum canggung, mengulurkan tangan untuk bersalaman. Kusambut uluran tangannya dengan menangkupkan tangan di depan dada. "Akbar," kataku memperkenalkan diri. Meski kutahu, dia tentu sudah tahu.
Alamak! Lupa kalo dia anak alim.Hmmpft! Salaman aja ngga mau. Heran, deh, Mama seneng banget ngejodohin sama anak alim kaya gini. Bikin jadi ngerasa paling berdosa sedunia. Hhh!Mau langsung masuk March-nya Dirga aja, tapi pinggangku malah ditahan sama dia. Terpaksa, deh, pasang senyum manis sambil dadah-dadah sama anak alim rekomendasi Mama."Gila! Bawaannya Maybach," komentar Dirga takjub, ngeliatin mobil Akbar sampe ngilang masuk jalanan."Emang kenapa?" balasku, males, langsung masuk mobil Dirga.Dia juga ikut masuk trus duduk di belakang setir. Sambil masang sabuk pengaman, mulutnya masih lanjut ngoceh, "Ya, tajir banget gitu, masih mau ngotorin tangan bantuin gantiin ban."
Pas balik lagi, ngga taunya udah rame aja. Meja yang tadi cuma diisi Mama doang, sekarang tinggal satu kursi yang kosong.Dua laki-laki duduk di ujung-ujung meja. Satunya udah kukenal, Akbar. Satu lagi kayanya lebih tua, jenggotan dan kacamataan. Mungkin bapaknya?Eh, tapi ngga mungkin. Di resume dibilang kalo bapaknya udah meninggal waktu dia kelas 3 SMP. Jadi siapa?Perempuan berkerudung lebar di samping laki-laki jenggotan itu langsung berdiri begitu ngeliat aku. "Alisha, ya?" sambutnya semringah, "pantesan Akbar ngga nolak."Kehangatannya bikin terpaku. Serius, kirain semua keluarganya juga dari kutub selatan kaya dia. Gadis manis berkerudung merah marun di samping perempuan itu juga ikut berdiri, nyodorin tangan dengan senyum mengembang. "Hai, Kak Alisha. Sala
Menggunakan kalimat bersayap untuk menyampaikan keputusan tentang masa depan. Bodoh sekali! Amah Hana dan Tante Santi terlihat sangat bahagia. Mereka langsung terlibat percakapan hangat bernuansa nostalgia. "Inget banget waktu acara walimatul 'ursy saya, Akbar tiba-tiba ngilang. Sampe-sampe Bang Karim ikutan turun panggung buat nyariin. Heboh satu gedung, deh, waktu itu," lagi-lagi Amah Hana menceritakan kisah lama itu. Alisha tampak tak mendengarkan. Dia masih menunduk, khusyuk menyendok nasi uduk di piring. Naila menendang kakiku agak keras. Dengan ujung dagu, ditunjuknya Alisha yang seolah sedang menyingkir dari hiruk pikuk meja makan. Kukedikkan bahu, malas. Siapa suruh tak juj
Akhirnya disepakati bahwa pembicaraan mengenai hari pernikahan ditunda hingga ada kejelasan mengenai ayah Alisha. Kulirik wajahnya. Ketegangan sepertinya telah menguap dari sana.Lihat saja, bagaimana dia memanfaatkan kesempatan yang baru saja kuciptakan.Kuputuskan untuk mengantar mereka pulang sekaligus mengambil buku nikah milik Tante Santi. Om Karim beserta keluarga telah lebih dulu bertolak karena harus menghadiri pesta pernikahan seorang kolega.Baru saja keluar dari kafe, sebuah mobil March merah masuk area parkir. Kulihat Alisha tertegun, dia pasti mengenali mobil itu."Ayo, pulang," ajakku, tetapi dia bergeming.Seorang anak lelaki kecil keluar sambil berlari. "Bu Guru!" serunya menyongsong Alisha.
Sumpah! Aku liat dia senyum! Tipis, sih, tapi yakin, deh, itu senyum! Biarpun cuma dari balik kaca depan mobil, aku ngga mungkin halu buat hal kaya gini. Lagian ngga butuh juga disenyumin sama dia. Justru aneh rasanya ngeliat makhluk kutub itu bisa senyum. "Aha!" Mama ngagetin banget sampe aku hampir kelompat. "Ternyata kamu beneran suka sama Mas Akbar, kan?" "Ish, Mama apa-apaan, sih?" "Nah, itu mukanya merah," ledek Mama sambil ngakak. "Ngga! Merah apaan?" Kuusap pipi. Ngga mungkin mukaku merah. Yang bener aja! "Nah, itu merahnya sampe kuping!" Mama makin semangat ngeledek. Refleks megang kuping. "Apaan, sih, Mama!" Tinggalin aja di teras. Kesel.
Astaghfirullah! Kenapa bisa salah menekan nomor? Kulihat lagi daftar panggilan barusan. Nama Alisha Maharani di urutan teratas. Diikuti Cinta Zara di urutan kedua. Ya Allah! Ada apa dengan diriku? Ponsel di tangan bergetar. Nama Alisha Maharani terpampang di layar. Kutarik napas sebelum menekan tombol hijau. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Enak banget, udah ngebangunin orang, trus dimatiin gitu aja?" "Maaf, silakan tidur lagi," jawabku agak merasa bersalah. "Aku minta kompensasi karena sekarang jadi ngga bisa tidur lagi," lanjutnya seperti pegawai disuruh lembur. "Apa? Bedtime sto
Astaga! Ternyata Akbar chef di sini. Berarti puding itu bikinan dia? Kok, bisa? Jadi selama ini aku salah sangka? Pantesan Dirga ngga pernah mau bikinin puding lagi. Kenapa dia ngga bilang? "Apa Anda tahu bedanya garam dengan gula?" Dirga makin nge-gas. Kutarik lengannya biar duduk aja. Ngga ada gunanya berdebat sama makhluk kutub. Akbar cuma manggut-manggut dari tadi. Gila! Mukanya bener-bener ngga ada ekspresi. Jangan-jangan dia emang bukan manusia, tapi patung es. "Jadi Anda sengaja memasukkan garam ke dalam kopi?" Akbar ngangguk lagi, masih ngga pake ekspresi. "Saya menyajikan kopi kesukaan calon isteri saya, apa itu masalah buat A
Dia menangis seperti anak kecil. Terisak-isak, sesenggukan di lenganku. Tak mungkin tangisan sehebat itu hanya karena film kartun konyol.Pasti karena membiarkan kekasihnya pergi. Bodoh sekali. Jika memang sangat mencintai Dirga, mengapa tidak memperjuangkannya?Suara dehaman Pak Ali mengalihkan perhatian. Entah sudah berapa lama dia berdiri di situ. "Klethikan buat Mbak Naila dan teman-teman sudah habis, Pak," lapornya.Kuanggukkan kepala menerima laporan singkat itu. "Kita bikin stik ubi pakai ubi ungu yang kemarin," tukasku."Baik, Pak." Dengan cekatan, ia mengambil ubi ungu dari kulkas dan mulai mengupasnya."Aku masak dulu," kataku pad