Keluar dari area penuh rak buku, masuk ke area luas berlapis karpet ijo. Di kiri kanannya ada jendela berbentuk lingkaran dari kaca mozaik bergradasi biru. Yang sebelah kanan berbentuk tulisan Allah, yang di sebelah kiri kaligrafi Muhammad. Cahaya matahari yang nembus jendela sebelah kanan, bikin suasana ruangan jadi syahdu dan tenang.
Aku takjub. Gila, musholla di rumah, loh, ini. Keren banget. Jadi inget, belom shalat ashar.
Baru aja selesai wudhu, tau-tau ada suara anak-anak yang baru keluar dari bioskop. Mereka masih ketawa-ketawa ngomongin film Cewek Sebelah Rumah yang barusan ditonton.
"Eh, Kak Alisha, mau shalat? Bareng, yuk!" ajak Naila semringah. Wajahnya keliatan jauh lebih cerah daripada waktu keluar dari La Luna
Dasar patung es ngga jelas!Hape di tasku tiba-tiba bergetar. Panggilan telepon, dari Dirga.Hmmpft! Aku udah mutusin. Ngga boleh oleng lagi. Kutelungkupin hape di paha. Getarnya ngeselin.Berhenti. Akhirnya getar itu brenti juga. Bisa napas lega dikit.Eh, getar lagi. Sekarang pendek aja. Pesan, dari Dirga. Kebaca dari preview, "Kamu ngga beneran mutusin ...." Buka, ngga? Ugh! Ngeselin.Kubanting hape ke paha. Kapan ini akan berhenti? Pesan dari Dirga lagi. "Aku ngga bisa hidup ....
Sudah hampir pukul satu pagi ketika aku tiba di rumah. Untung pintu gerbang sudah diatur terbuka otomatis dengan sensor yang ditanam di mobil.Kutempelkan kartu untuk membuka kunci rumah. Ruangan besar ini terasa sepi sekali. Tak ada lampu yang menyala. Hanya ada cahaya dari lampu hias di taman dan teras.Teringat kata-kata Alisha, rumah ini memang terlalu besar, bahkan untukku. Tak ada yang tahu apa yang terjadi di tiap kamarnya. Banyak juga kamar kosong tak berpenghuni yang sekarang jadi terasa mubazir.Rumah sebesar ini, ternyata sangat menggoda untuk berbuat maksiat. Apa gunanya rumah, jika tak dapat membantu melindungi penghuninya dari api neraka?Aku harus bicara dengan Naila. Gadis itu sudah dewasa, harusnya dapat memilih dan memilah mana yang benar. Namun, sebaik
Begitu nyampe, nemu kasur langsung tidur. Haduh, bisa jerawatan, nih, ngga bersih-bersih dulu. Bangun-bangun, baru nyadar kalo hape mati kehabisan batre. Nasib, ya, nasib. Semoga bisa penuh sebelum berangkat sekolah."Kamu beli cookies?" tanya Mama, ngeliat toples di meja makan."Dikasih Akbar, katanya buat Mama," jawabku ngasal. Biar Mama tahu, calon mantu idamannya ternyata seenak udel ngasih hadiah.Eh, Mama malah ngakak, dong. "Alesan banget Akbar. Bilang aja mau ngasih kamu, pake bilang ngasih Mama, hahaha!"Eh? Masa? Serah, dah. Lanjut ke dapur masak sarapan. Ada roti tawar sama keju, bikin roti bakar aja, deh."Eh, ternyata Akbar tip
Sudah banyak orang di rumah sakit. Memusingkan. "Kamu turun, Pan, tanyakan di mana kantor pimpinan rumah sakit.""Baik, Pak." Topan langsung membuka kunci pintu mobil tanpa mematikan mesin."Kalau ada yang tanya, katakan saja, Presiden Direktur Purwaka Grup minta bertemu.""Baik, Pak" katanya lagi dan keluar.Naila menyandarkan kepala ke jendela. Jari tengah dan telunjuknya mengetuk-ngetuk kaca pelan.Tak berapa lama, Topan datang dengan berita, "Pimpinan rumah sakit sedang konferensi ke Sydney. Tapi wakilnya ada, saya sudah minta waktu untuk bertemu.""Bagus. Good job. Sudah tahu lokasi kantorn
Haduh! Horang kaya, mau dikubur aja jauh banget ke Karawang. Aku, kan, jadi ngga bisa ikut ngelayat. Mana kata berita gosip di TV, dari Ciawi langsung dibawa ke Karawang."Ya ampun, emang gitu, kali, ya, orang kaya," kata Bu Farah sambil nyiapin worksheet buat sentra seni, "bapak ibunya meninggal, sekarang Tante sama omnya. Dia sendiri, ga jelas siapa ceweknya, jangan-jangan gay.""Hah?" Jelas aku kuaget! Tuduhannya itu, loh. "Gay?" Ngga tahu mereka betapa bucinnya Si Akbar. Pen ngakak, takut dosa."Wah, jangan-jangan, ya.
Kututup telepon. Alisha ada di rumah. Bagus sekali. "Topan, kamu bisa ngebut?" "Wah, saya belum punya SIM, Pak. Tadinya mau nyari SIM hari ini, kan, ngga jadi," jawabnya bernada kecewa. "Pinggirkan mobilnya, kita tukar tempat." "Eh, gimana, Pak?" suara Topan terdengar bingung. "Pinggirkan mobilnya, saya ajari caranya ngebut." Tanpa bertanya lagi, Topan menepikan mobil dan memberikan kemudi kepadaku. "Perhatikan, Pan," kataku sambil menginjak gas dalam-dalam, "kalo mau ngebut, pastikan di jalan tol yang tidak begitu ramai, minimal kamu harus punya spare
Kututup pintu kamar, kusandarkan kening ke daun pintu. Lebih baik begini. Tentu, lebih baik begini.Mataku menghangat. Aku tak menangis. Ini yang terbaik untuknya. Bersama seseorang yang dicintai sepenuh hati, apalagi yang lebih baik dari ini?Jantungku seperti diremas. "Jantung ini hadiah dari Allah. Kamu harus jaga baik-baik," kata Ayah.Dua tetes air jatuh dari mata saat aku memejam. Yeah, but my heart's been broken over and over again.Di antara semua, ini adalah yang paling konyol. Kehilangan sesuatu yang bahkan belum dimiliki. Seperti mengacungkan jari pada kupu-kupu yang terbang berharap dia akan hinggap. Namun, dia lebih memilih b
"Itu yang harusnya aku lakukan juga, ya?" Malah jadi ngeliat diri sendiri.Kalo ngomong gitu sama cowok-cowok itu, mungkin mereka ngga jadi selingkuh. Trus aku ngga jadi selingkuhan, trus aku bakal jadi cewek polos yang ngga ngerti apa-apa soal cowok, hahaha.Tau-tau udah nyampe aja depan rumah. Akbar narik rem tangan dan matiin mesin. Sementara aku deg-degan. Ya ampun. Gimana ini? Mama pasti marah besar, nih."Lupa cara buka pintu mobil?" Hiya! Tiba-tiba Akbar udah bukain pintu dengan muka lempeng tanpa ekspresi. Ih, ada, ya, orang mukanya lebih kaku dari kanebo kering. Perlu dicelupin ke comberan, kali, biar lemes dikit.Aku keluar, nahan kesel.Langkahku ketahan karena dia ngambil sesuatu di kursi belakang. "Bu