Share

7. Akbar: Secangkir Pembalasan

Astaghfirullah! Kenapa bisa salah menekan nomor?

Kulihat lagi daftar panggilan barusan. Nama Alisha Maharani di urutan teratas. Diikuti Cinta Zara di urutan kedua.

Ya Allah! Ada apa dengan diriku?

Ponsel di tangan bergetar. Nama Alisha Maharani terpampang di layar. Kutarik napas sebelum menekan tombol hijau. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Enak banget, udah ngebangunin orang, trus dimatiin gitu aja?"

"Maaf, silakan tidur lagi," jawabku agak merasa bersalah.

"Aku minta kompensasi karena sekarang jadi ngga bisa tidur lagi," lanjutnya seperti pegawai disuruh lembur.

"Apa? Bedtime story?"

Dia mendengkus. "Aku lebih pinter ngedongeng daripada kamu."

Tentu saja, siapa yang berani bersaing dengan guru TK? "Lalu?"

"Ajak aku nonton, besok," putusnya tegas.

"Tidak bisa," balasku, "besok aku jadi bodyguard Naila."

"Sampe malem?" Sepertinya dia tidak terima alasanku.

"Belum tahu. Bisa jadi."

Dia mendengkus.

"Makan siang hari Senin?" usulku.

"Deal! Makan siang hari Senin, jemput aku di sekolah. Aku share lokasinya."

"Oke, ditunggu share loc-nya. Assalamu'alaikum." Tekan tombol merah.

Fiuh! Kukira dia akan bertanya-tanya soal siapa yang sebenarnya ingin kutelepon. Ternyata hanya minta kompensasi. Cukup dibayar dengan makan siang pula. Terlalu mudah.

Kutekan nomor Cinta Zara. Kali ini benar-benar harus dipastikan tidak salah tekan lagi.

Suara mesin segera mengambil alih begitu panggilan masuk jaringan, "Nomor yang Anda tuju salah. Periksa kembali nomor tujuan Anda."

Pantas saja tadi terdengar nada sambung. Harusnya aku curiga, tapi kerinduan telah memblokir logika. Aku benar-benar berharap bisa tersambung lagi dengannya, mendengar renyah tawanya, menikmati alunan suaranya.

Andai bisa, aku ingin membalikkan masa. Kembali ke saat-saat bersamanya.

"Aku bisa pulang sendiri, kok," katanya waktu itu.

Harusnya tak kuiyakan perkataannya.

Harusnya aku memilih mengantar dia pulang daripada mengurus persiapan turnamen keesokan hari.

Harusnya kutolak saja peran sebagai ketua tim.

Harusnya aku bersamanya.

***

"Makasih, ya, Bang, udah mau buka La Luna demi temen-temen aku," Naila berkata dengan senyum lebar di bibir.

Kunyalakan mesin mobil tanpa menjawab apa pun. Daripada hanya menjadi obat nyamuk di antara anak-anak baru lulus SMA, lebih baik mengurung diri di dapur bereksperimen dengan resep baru.

Teman-teman Naila sudah menunggu di kafe ketika kami baru tiba di sana. Mereka berencana belajar bersama untuk persiapan seleksi masuk perguruan tinggi pekan depan. Anak-anak muda harapan bangsa, yang siap belajar demi masa depan Indonesia. 

Ah, klise.

Aku tak pernah mencicipi bangku kuliah. Sebelum UN, kuputuskan untuk pergi melanglang buana. Saat itu, yang terpikir hanya bagaimana lari sejauh mungkin dari kenangan tentangnya. Tiap sudut sekolah menyimpan senyumnya. Dinding-dinding menggemakan suaranya. Dadaku sesak oleh penyesalan. Jika tak pergi, mungkin aku sudah gila.

Di dapur La Luna, Pak Ali sudah siap dengan bahan-bahan segar pesananku. Tema menu hari ini adalah langit. Burung dara dan burung puyuh tergeletak di meja, siap dieksekusi. Begitu pula bunga telang kering, tinggal diseduh untuk jadi blue tea latte.

"Kafe hampir penuh, Pak," lapor Pak Ali sekembalinya dari mengantarkan pesanan pelanggan.

Bukan cerita baru. La Luna memang selalu begitu. Padahal foto blue tea latte baru di-post lima menit lalu.

"Oya, Pak." Pak Ali selalu menggunakan tanda ini ketika hendak memulai satu pembicaraan serius. "Pak Dirga itu sepertinya punya hubungan khusus dengan Mbak Alisha," katanya sembari duduk di hadapanku.

Sekali lagi, bukan informasi baru. Dengan santai, kusodorkan semangkuk kacang mede sebagai camilan. Dijumputnya satu dengan elegan.

"Kemarin, dia nangis waktu nelepon Mbak Alisha," Pak Ali melanjutkan laporannya.

Hm, informasi menarik. Seorang lelaki menangis di tempat umum. Dia memang cengeng, atau sedang menghadapi masalah berat. Kujumput kacang mede dengan dua jari.  

"Saya ngga tahu kenapa," pungkas Pak Ali, kembali menjumput kacang mede.

Aku mengangguk, berterimakasih atas informasi yang diberikan. "Biar saja," kataku, "bukan urusan kita."

Suara denting bel yang diikat di pintu depan membuat Pak Ali refleks berdiri. "Permisi, Pak," pamitnya berbasa-basi.

Tiba-tiba Naila masuk tergopoh-gopoh. "Bang, ada Kak Alisha!" lapornya dengan napas agak memburu.

Mau apa dia ke sini? Mencari puding? Padahal aku berencana mengeluarkan puding itu dari daftar menu.

"Kok, bengong, sih? Samperin, gih! Dia Dateng bareng cowok, tauk." Naila terdengar panas.

"Lalu?"

"Lalu? Cewekmu selingkuh, Bang! Dirimu diem aja? Mereka masuk kafe pake gandengan tangan segala, tauk!" Sekarang dia benar-benar terlihat kesal.

"Dan masalahnya adalah?"

"Ih, Bang Akbar mau biarin aja mereka berduaan gitu?" Mata Naila membulat tak percaya.

Kusodorkan kacang mede di mangkuk. "Sudah selesai belajarnya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Dia membanting bokong ke kursi sambil menggerutu, "Aneh!"

Kuajukan satu kacang mede ke depan mulutnya. Dia membuka mulut, agak malas menerima suapanku. "Dia belum jadi isteri Abang, biarlah dia senang-senang dulu," kataku santai.

Naila mengunyah kacang mede di mulut. Wajah tegangnya berangsur jadi tenang. Mungkin nafsunya untuk melabrak Alisha sudah tersalurkan dengan menggerus kacang dengan gigi. "Apa, sih, yang Abang suka dari dia?"

Ini pertanyaan sulit karena tak ada yang bisa dijadikan jawaban. Aku cuma mau membantu gadis itu berbakti kepada ibunya.

"Kok, diem?"

Kukedikkan bahu. "Apa perlu alasan untuk satu perasaan?"

"Ih, Abang, nih."

Pak Ali kembali masuk dengan pesanan dari tamu yang baru datang. "Tamu terakhir, Pak," lapornya, "Mbak Alisha dengan Pak Dirga. Sepertinya mereka memang punya hubungan khusus. Itu tangan Mbak Alisha ngga dilepas-lepas."

"Hm. Barangkali kalau dilepas, tangannya bisa menguap," ujarku, berusaha bercanda.

"Ih, dasar Bang Akbar payah. Cowok ga punya harga diri. Cewekmu selingkuh di depan mata, dibiarin aja," Naila mengomel sambil berdiri, lalu keluar dapur dengan kaki mengentak.

Kubiarkan Naila dengan kekesalannya. Pak Ali menghela napas lalu dengan cekatan menyiapkan pesanan Alisha.

Kubuatkan secangkir kopi untuknya. Tentu saja dengan tambahan sesendok garam dan micin. Setelah koreksi rasa, kuserahkan cangkir itu pada Pak Ali. "Complimentary drink buat Alisha," pesanku.

Pak Ali mengangkat alis, tapi tetap tak membantah. Ia hanya mengangguk dan keluar dapur membawa nampan berisi pesanan.

Kulanjutkan mengunyah kacang mede sambil memasang kuping, menunggu reaksi secangkir kopi.  Tak butuh waktu lama, terdengar ribut-ribut di luar. Suara seorang lelaki berteriak-teriak, membuat keributan. Kopi itu sudah diminum.

Sebenarnya Pak Ali sudah sangat terlatih menangani komplain pelanggan. Namun, khusus kali ini, aku ingin mengurusnya sendiri.

Tanpa melepas apron, aku keluar menemui mereka. Keterkejutan terlihat jelas di wajah Alisha. Dirga yang sedang dikuasai kemarahan tampak makin geram melihatku mendekat.

Kuberi kode pada Pak Ali agar meninggalkan kami. Dia mengangguk dan beranjak menuju dapur.

Aku beralih kepada Dirga dengan melipat tangan di dada. "Ada yang bisa saya bantu, Pak Dirga?"

Dia mendecak. "Anda tukang masak di sini?" tanyanya terdengar merendahkan.

Peduli amat soal nada penghinaannya. Kuanggukkan kepala mengiyakan.

"Apa Anda tahu bedanya garam dengan gula?"

Aku mengangguk lagi. Alisha mulai gelisah. Diraihnya lengan Dirga, dengan tatapan mata, dimintanya lelaki itu duduk.

Namun, Dirga bergeming. Suaranya malah makin meninggi. "Jadi Anda sengaja memasukkan garam ke dalam kopi?"

Lagi-lagi kuanggukkan kepala. "Saya menyajikan kopi kesukaan calon isteri saya, apa itu masalah buat Anda?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status