Home / Romansa / Balada Cinta ShaBar / 6. Alisha: Salah Sambung

Share

6. Alisha: Salah Sambung

Author: Nesri Baidani
last update Last Updated: 2021-07-29 21:16:32

Sumpah! Aku liat dia senyum! Tipis, sih, tapi yakin, deh, itu senyum! Biarpun cuma dari balik kaca depan mobil, aku ngga mungkin halu buat hal kaya gini. Lagian ngga butuh juga disenyumin sama dia. Justru aneh rasanya ngeliat makhluk kutub itu bisa senyum.

"Aha!" Mama ngagetin banget sampe aku hampir kelompat. "Ternyata kamu beneran suka sama Mas Akbar, kan?"

"Ish, Mama apa-apaan, sih?"

"Nah, itu mukanya merah," ledek Mama sambil ngakak.

"Ngga! Merah apaan?" Kuusap pipi. Ngga mungkin mukaku merah. Yang bener aja!

"Nah, itu merahnya sampe kuping!" Mama makin semangat ngeledek.

Refleks megang kuping. "Apaan, sih, Mama!" Tinggalin aja di teras. Kesel.

Cangkir kopi di meja tamu bikin kepo. Kok bisa, dia tenang banget neguk kopinya? Emang bener masih bisa diminum? Padahal udah aku tambahin sesendok garam plus sebungkus kecil R***o.

Kuseruput kopi yang tadi baru diminum seteguk. Astaga! Lidahku langsung berontak.

Tiba-tiba Mama melempar komentar, "Nah! Nyari kesempatan buat ciuman di bibir cangkir, ya?" 

Spontan kopi yang lagi dikulum, kesembur keluar. "Apa, sih, Mama, ih!" 

Mama malah ketawa, puas banget ngeledekin. "Bersihin, tuh, kopinya," sempet-sempetnya ngasih perintah, padahal lagi ngetawain.

Kuambil serbet dari dapur untuk membersihkan cairan hitam yang terlontar tadi. "Eh." Mama nyolek tanganku dengan gaya emak-emak mau ngegosip. "Dibisikin apa sama Mas Akbar tadi?"

Waduh! Kalo Mama tahu apa yang diomongin Akbar tadi, bisa berabe. "Apa, sih, Mama. Kepo, deh!" Kabur aja masuk kamar biar ngga ditanya-tanya lagi. Bete!

"Heh! Ditanyain malah kabur!" gerutu Mama di belakang.

Kututup pintu kamar, kesal.

Kemudian terdengar pemberitahuan dari Mama, "Mama ke butik, dulu, ya. Tadi ada yang telepon mau jaitin baju."

Kujawab sekenanya. Malas.

Butik Mama terletak di salah satu ruko di jalan utama. Ngga nyampe seratus meter dari rumah. Tadinya beliau nerima orderan jahit di rumah aja. Baru waktu aku lulus SMP, Mama bisa nyewa ruko dan mulai bikin butik. Sekarang, usaha Mama udah lumayan terkenal. Bagus, sih, seneng juga Mama sukses sebagai penjahit.

Ya, itu sisi bagusnya. Pergaulan Mama juga ikut meningkat. Ngga kebayang dulu bakal ngobrol seru sama ibu walikota, ibu danramil, juga ibu-ibu pengusaha, kaya Ammah Hana gitu. Sisi jeleknya, aku jadi dijodoh-jodohin sama anak-anak pengusaha itu. Cape, deh!

Cahaya matahari sore masuk lewat angin-angin jendela. Balkon lantai dua, rumah seberang keliatan jelas dari sini. Jadi inget, Si Akbar ngeliatin apa, sih, di rumah depan?

Kaya aku dulu aja, hahaha.

Dulu, tuh, tiap hari suka ngeliatin rumah seberang. Nungguin babang ganteng, cowoknya Kakak Rumah Depan, yang suka anter jemput tiap hari.

Ya, ampun! Baru nyadar, ternyata sejak pertama, aku selalu suka sama cowok orang. Kenapa yang punya orang selalu bikin mupeng? Ini ngga bener, kan?

Kuhempaskan badan ke kasur. Kenapa?

"Aaa!" Suara hape ngagetin aja. Telepon dari Dirga, mau apa dia?

"Halo, assalamu'alaikum," sapaku hati-hati.

"Halo, Bu Guru. Kok WA Ayah ngga dibales?" malah suara Baruna, kedengeran agak merajuk.

"Eh, maaf. Bu Guru belom baca," jawabku tak enak hati.

"Kasih alamat Bu Guru. Kan, kita mau anterin puding," pinta Baruna sedikit memaksa.

Aku ngga pernah kasih kesempatan Dirga buat nganter sampe rumah. Kalo abis ke mana sama dia, pulangnya pasti pake ojol. Mungkin dia kesel sekarang karena tahu Akbar bisa nganterin sampe rumah.

"Iya, deh. Ayah mana?"

"Ya, halo," suara bariton Dirga sekarang ngambil alih.

"Ini di speaker?"

"Ngga," jawabnya, "Baruna lagi ngobrol sama Pak Ali, manajernya La Luna. Kirain dia cuma pelayan." Kedengeran Dirga agak maksa buat ketawa.

Tarik napas, embuskan. Tenangkan diri sebelum mulai ngomong lagi. "Sekarang kamu pake Baruna buat dateng ke rumahku?"

"Emang kenapa? Anak murid ngga boleh silaturahmi sama gurunya?" dia ngebales sengit.

Halah, dia kira aku ngga tahu tujuannya apa. "Ngga gitu ...."

"Kenapa?" dia motong buru-buru, "dia boleh ke rumahmu, tapi aku ngga boleh?"

"Ya ...."

"Kenapa?"

"Ck! Motong aja, sih? Aku blom selese ngomong, tauk!"

Dia mendengkus keras.

"Kamu tahu, ini cuma bo'ongan. Dia juga udah sepakat, kok," kataku berusaha menenangkan.

"Oya? Trus kenapa dia malah ngenalin diri sebagai calon suami?"

"Itu karena ...."

"Apa?" Dia motong lagi, ngeselin.

"Dengerin dulu, sih, aku ngomong! Dia setuju ngga ada yang berubah setelah akad nikah. Aku masih tetep bisa ngelakuin apa yang kulakukan sebelum nikah. Dan itu termasuk berhubungan sama kamu. Oke?"

"Oya? Dia tahu apa soal aku?" tantangnya dengan nada kesal.

"Dia tahu, kamu cowokku. Puas?"

"Trus? Dia ngga masalah?" desaknya lagi.

"Ya, masalah." Huh! Kepalaku jadi berat, nginget Akbar yang nyuruh mikir ulang keputusan.

"Trus?"

"Katanya ngga ada poliandri dalam Islam."

Kedengeran Dirga narik napas panjang. "Tapi ada poligami," ujarnya lirih.

Hhh! Kita balik ke topik ini lagi. "Aku ngga mau poligami," balasku. Rasanya pengen nangis. Kenapa kita ngga bisa milih mau jatuh cinta sama siapa? Hati ini kaya punya kemauan sendiri.

"Aku ngga bisa ninggalin Lintang, kamu tahu, kan?"

Kugigit bibir biar ngga kelepasan nangis. "Udahlah, Ga. Kita udah salah dari awal. Cukup sampe sini, jangan dilanjutin."

Aku bisa denger embusan napasnya di speaker. "Tapi aku ngga mau ngelepasin kamu. Cuma sama kamu, aku bener-bener jadi diriku sendiri. Jangan tinggalin aku, Yang. Tanpa kamu, aku kehilangan diriku."

Kujauhkan hape dari kuping. Airmata meleleh di pipi. Hatiku sakit. Kenapa aku selalu jatuh cinta pada lelaki milik perempuan lain?

***

Baruna akhirnya bisa dibujuk buat nyimpen pudingnya di kulkas aja. Hari Senin nanti baru dikasihin ke aku.

Kurasa, sekarang waktunya memilih. Udah cukup ngejalanin hubungan yang ngga jelas ini. Mendingan nikah sama orang yang ngga dicinta tapi bener-bener nganggep akad nikah sebagai janji di hadapan Allah. Daripada ngejalanin hubungan cinta sama orang yang ngga tegas sama dirinya sendiri.

Okay, besok, aku akhiri aja hubungan sama Dirga. Dia lebih milih isterinya, trus kenapa aku harus maksa berdiri di antara mereka berdua?

Malam itu, aku kebangun karena suara hape. Mata lengket banget sampe ngga bisa melek. Kayanya kebanyakan nangis semalem.

Ngga pake liat layar, kuusap sembarangan ponsel dalam genggaman. "Aloh?" Suaraku pasti cempreng banget bangun tidur gini.

"Baru bangun, Cinta?" Suara berat dan dalam dari speaker bikin kelopak mata yang lengket langsung kebuka.

"Maaf, udah ngebangunin," lanjutnya lembut.

"Eh ...." Jadi ngga tahu mau jawab apa. Makhluk kutub ini, kenapa jadi lembut banget?

"Gimana kabarmu di sana?"

"Yah ...."

"Apa kamu kangen sama aku?" Suaranya makin lembut dan manis.

"He?" Salah sambung, nih, kayanya.

"Aku kangen banget sama kamu."

"Ha?" Kupastiin nama di layar. Bener, CEO Alim. Kenapa, nih, anak? Kesambet? "Halo, di sini Alisha Maharani. Salah pencet nomer, ya?"

Ngga ada jawaban, lalu suara tut-tut. Panggilan diputus.

Huh! Dhuasar!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Herna Wati
......... LG kesambet
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Balada Cinta ShaBar   105. Akbar: Galau

    Akhirnya, kutelepon nomor Alisha. Pada usaha pertama, teleponnya hanya berdering, tetapi tidak diangkat. Panggilan video kedua, juga diabaikan. Pada panggilan ketiga, baru diangkat oleh orang lain.“Halo.” Wajah Alex memenuhi layar. Ternyata dia benar-benar menunggui Alisha.“Halo,” jawabku tak bersemangat, “apa Alisha ada di sana?”Dia menoleh ke samping lalu berkata, “Dia lagi tidur.“Saya mau lihat bagaimana keadaannya,” kataku, memberi kode baginya untuk memasukkan Alisha ke dalam layar.Namun, dia tak menangkap kodeku, atau memang pura-pura tak paham. Aku memilih opsi kedua. “Semua sudah diurus dokter. Luka bakar sedang, derajat dua, di punggung dan kaki.

  • Balada Cinta ShaBar   104. Alisha: On Fire!

    Aku minta ijin buat jalan-jalan sendiri di area proyek. “Hati-hati, ya, Bu,” kata Hanif, “tetap dipakai sepatu safety dan helmnya.”Jadi, begitu masuk area proyek, aku sama Sari langsung dipinjemin peralatan-peralatan penunjang. “Sebenarnya pakai gamis kurang cocok untuk di sini, tapi hati-hati aja, ya, Bu,” gitu katanya.Aku manggut-manggut aja, sih. Manutlah, sama manajer proyek. Apalagi manajernya seganteng Hanif, uhuk.Astaghfirullah, tobat, Sha.Tapi beneran, deh, feeling-ku bilang kalo dia udah ada yang punya. Soalnya, dia seksi banget, astaghfirullah.

  • Balada Cinta ShaBar   103. Alisha: Ujian

    Pagi-pagi, Sari udah buru-buru ngedatengin aku pas lagi sarapan. “Mobil hotel sedang dipakai mengantar tamu, Bu. Saya sedang berusaha menghubungi travel untuk meminjam salah satu mobil mereka,” katanya dengan wajah agak cemas. Kayanya takut dimarahin karena ngga bisa ngurus soal mobil doang.Dalam hati, ketaw. Kebayang, dong, gimana kalo yang lagi dilaporin kaya ginian Akbar. Kalo aku, sih, cuma manggut-manggut trus kasih senyum semanis mungkin. Dia pasti udah berusaha keras buat dapetin mobil buat PJS Presdir. “Kalo pake taksol aja, gimana?” usulku.Sari keliatan lega dan ngangguk seneng. “Baik, Bu. Nanti kalo ngga dapat jawaban dari travel, saya akan langsung

  • Balada Cinta ShaBar   102: Akbar: Aaaargh!

    Naila terbahak. "Gayamu, Bang, kaya yang sanggup aja matiin orang." Kubiarkan dia menyelesaikan tawanya. Rasanya sudah lama sekali tak melihatnya tertawa selepas itu, tetapi pelayan malah menginterupsi dengan meletakkan lemon tea di hadapannya. "Biasanya kamu pesan cappucinno," kataku. "Kopi ngga bagus buat ibu hamil." Aku terdiam. Dia terdiam. Kami bertatapan. "Jadi udah fixed?"

  • Balada Cinta ShaBar   101. Akbar: Bukan Salahmu

    Pikiranku kacau, hilang fokus. Aku harus segera menata ulang lagi isi otak kalau mau tetap on track.Setelah mempelajari gmaps, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Ada sebuah taman yang terlihat cukup menarik untuk dijelajahi.Setelah pamit kepada Ibu Topan, aku keluar dengan menautkan ritsleting jaket. Layar ponsel memang menunjukkan bahwa suhu di luar cuma dua belas derajat, tetapi dengan angin yang lumayan kencang, rasanya jadi lebih rendah dari itu, mungkin sepuluh derajat.Alisha pasti sudah menggigil di cuaca sedingin ini. Kulirik ponsel, tak ada notifikasi apa pun. Masih pukul delapan pagi di Yogya, mungkin dia m

  • Balada Cinta ShaBar   100. Akbar: Kesempatan Kedua

    Aku terbangun di atas sajadah dengan selimut menutupi badan. Sepertinya aku tertidur setelah salat subuh dan entah siapa menyelimutiku. Cahaya matahari pagi masuk melalui kaca jendela, menyilaukan mata. Kualihkan pandang ke kolong meja yang gelap. Sinar matahari menghangatkan kuping yang terasa beku.Aku malas bangun. Andai boleh memilih, aku tidak ingin menjalani hari ini.Ayah pasti akan memarahiku kalau bermalas-malasan seperti ini, tetapi dia sendiri ....Argh! Kenapa sulit sekali menerimanya? Baiklah, dia pernah bersalah, tetapi selama dia menjadi ayah, dia telah melakukan segala yang terbaik. Apa itu tidak cukup untuk menerimanya?Kenapa meributkan satu orang pacar Ayah, tetapi memaklumi sepuluh mantan Alisha?Ya,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status