Aku memasuki ruang redaksi dengan perasaan campur aduk yang menghantui pikiran. Pernyataan River tentang hubungannya dengan Evan masih terus membelenggu pikiranku, seakan tak bisa dipercaya. Setiap langkah yang kuambil terasa begitu berat, dan ketidakpastian merayap di dalam benaknya.
Masih tak bisa dipercaya bahwa aku mengambil keputusan seperti tadi. Umpan yang dipasang River … aku telah memakannya mentah-mentah. Dia berhasil menipuku, melakukannya seolah-olah aku memutuskan semuanya sendiri. Ayolah, semuanya tampak mudah bagi pria itu!
Emma, yang sibuk menata berkas di meja kerjanya, merupakan orang pertama yang menyadari kehadiranku. Ia mengangkat kepala ketika aku memasuki ruangan. Wajahnya langsung berubah penuh perhatian, barangkali karena melihat ekspresiku yang sangat muram. “Hai! Mia, bagaimana wawancara dengan River Lynch?”
Hampir semua orang yang berada di ruangan itu langsung menoleh padaku, berharap-harap cemas.
“Sangat baik,” jawabku, tak sepenuhnya jujur. Mereka terus memperhatikan, aku memandang Cody yang sedang meringis. Aku buru-buru mengubah ekspresi yang sesuai dengan apa yang kuucapkan, membuat diriku tampak seakan sedang bersemangat dan merasa puas. “Wawancara dengan River Lynch sangat luar biasa!” Aku kemudian berjalan menuju ke mejaku. Orang-orang sudah tidak terlalu memperhatikan dan kembali ke pekerjaan masing-masing.
Langkahku terhenti ketika melewati meja Emma. Aku meletakkan jus delima di atas mejanya, minuman yang mulai sering ia konsumsi semenjak hamil. “Aku sangat berterima kasih padamu. Sungguh.”
Wajah Emma berbinar melihat minuman yang kuberikan. “Bayiku sangat menyukainya. Terima kasih kembali.” Dia langsung meminum jus itu. Matanya sampai terpejam saking ia menikmatinya. Aku tersenyum kemudian menepuk bahunya sebelum menghampiri bangkuku.
Cody langsung mendekat sedetik setelah bokongku menyentuh kursi. “Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi!” bisiknya sangat pelan.
“Apanya?” tanyaku balik, berpura-pura sibuk dengan langsung menyalakan komputer.
“Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu! Ayo katakan padaku apa yang telah terjadi.” Ia terus mendesak, menempelkan kursi ergonomisnya pada kursiku.
“Nanti saja, oke?” Aku berdecak kesal kemudian mendorong kursinya menjauh. Pandanganku mencari keberadaan seseorang. “Lukas!” Cody memelotot panik. “Cody menawarkan diri untuk mencoba koleksi pakaian kita!”
“Tentu!” seru seorang pria yang sedang tersembunyi di balik rak berisi pakaian. Dialah Lukas Cheadle, redaktur rubrik fashion di Majalah Pamela. Ia menjulurkan kepala, menatap Cody yang lesu. “Kemari, Sobat!”
“Aku datang!” Cody balas berseru. Ia kemudian memberengut padaku sebelum bangkit dari kursi dan berjalan mendekati Lukas.
Aku mengembuskan napas. Setidaknya bisa terlepas dari Cody selama beberapa menit.
Kepalaku tak bisa berhenti mengingat kejadian barusan. Ketika aku mencium River di depan Evan. Ketika aku menuruti kehendak impulsifku yang didorong oleh emosi yang memuncak. Apa yang dikatakan orang-orang memang benar. Jangan memutuskan sesuatu saat kepalamu penuh sesak dan hatimu dipenuhi kemarahan. Akibatnya, inilah yang terjadi. Aku meremas kepalaku, merasa malu sekaligus putus asa.
“Sialan!” umpatku, tak sadar keluar cukup keras hingga membuat beberapa orang memperhatikan. “Bukan masalah, bukan masalah. Semuanya baik-baik saja,” ucapku cengengesan, membuat beberapa dari mereka geleng-geleng kepala.
Pintu ruang redaksi terbuka. Rory berjalan dengan langkah cepat menuju ruangannya sambil membawa gelas kertas yang kutebak berisi piccolo dengan tambahan gula.
Aku kemudian menyiapkan alat perekam dan catatan ketika wawancara dengan River tadi. Aku menatap Emma, yang memberikan semangat dengan dua tangannya yang mengepal di udara. Setelah menarik napas panjang, aku bangkit dari tempat duduk, memeluk dua benda itu di dadaku. Aku siap bertemu dengan Rory!
Aku mengetuk pintu kaca ruangan Rory kemudian membukanya. Rory mendongak dari tabletnya. Ia memundurkan tubuh dan bersandar di kursi, meletakkan benda pipih itu di meja kemudian menatapku dengan intens.
“Aku sudah bertemu dengan River Lynch,” ucapku memulai. Tidak ada respons yang berarti dari wanita bermata abu-abu kehijauan itu. “Wawancaranya berjalan lancar.” Dan bahkan aku menciumnya. Aku mengusir pemikiran itu. Kau harus fokus, Mia Abreu! Di depanmu adalah Rory Burnett, orang yang memegang kunci untuk menggapai impianmu!
Aku menangkap gerakan tubuhnya yang kuartikan bahwa dia meminta apa pun yang sedang kubawa saat ini. “Aku sudah mencatat semuanya. Dan ini juga ada rekaman yang bisa kau dengarkan.” Aku meletakkan kedua benda itu di atas mejanya. “Kupikir River Lynch adalah pengusaha yang hebat. Dia memiliki segudang pengalaman. Dan menurutku dia juga berpotensi menjadi angin segar untuk Majalah Pamela.”
Rory masih belum menjawab. Dia membaca sekilas catatan yang kutulis sambil mengangguk-angguk. Aku menunggunya dengan jantung berdebar.
“Lumayan bagus,” komentarnya pada akhirnya, membuatku menghela napas lega. Senyuman terukir di wajahku. “Kau bisa mulai menulis artikelnya. Kirimkan saja salinan rekaman ini. Aku akan mendengarkannya nanti.” Tangannya mengulurkan buku catatanku.
Aku buru-buru menerima benda itu. “Terima kasih! Aku akan mengerjakan artikelnya dengan sungguh-sungguh!” Tubuhku sudah siap berbalik hingga akhirnya aku ingat apa tujuan utamaku ke sini.
“Masih ada yang ingin kau sampaikan?” tanya wanita itu ketika menyadari pergerakan tubuhku yang mendadak terhenti.
“Aku ingin meminta maaf terkait Marcel Monaghan,” ucapku pelan, sedikit khawatir.
Rory menghela napas. Ia memajukan tubuh dan menatapku. “Kita sudah mendapatkan River Lynch. Masalah Marcel Monaghan kuanggap telah lewat. Tapi, Mia ….” Rory menjeda kalimatnya, membuat perutku mual setengah mati. Aku memasang telinga dan hati dengan sungguh-sungguh. “Kau ingat, kan, apa tujuanmu bekerja denganku?”
Aku mengangguk. “Sangat ingat.” Aku sudah mematrinya di hatiku. Tak mungkin aku melupakannya.
“Nah, kuharap kau tak melakukan kesalahan seperti ini lagi di masa mendatang.”
Aku menatap wajahnya yang kini sedang tersenyum. Dia adalah salah satu orang dengan tipe wajah ramah dan manis. Namun, terkadang apa yang ia ucapkan sangat berbalik dengan kelembutan yang terpancar di wajahnya. Walaupun sering bermulut pedas, tapi aku tahu dia peduli dengan kami semua. Rory peduli denganku.
“Aku akan menjaminnya.”
“Bagus,” tanggapnya. “Kau bisa keluar sekarang.”
Aku mengangguk, berterima kasih sekali lagi, kemudian keluar dari ruangan Rory yang suhunya lebih rendah daripada ruangan lainnya di kantor redaksi ini.
***
“APA?!” Cody hampir berseru, mengundang perhatian dari orang-orang di restoran. Aku hampir berhasil memukulnya jika saja dia tidak lihai menghindar. “Kau tak sedang bercanda?” Lanjutnya dengan suara yang lebih kecil.
Aku berdecak malas. “Pikirmu aku akan bercanda dengan topik seperti itu?”
“Tapi yang benar saja? Evan? Evan kesayangan kita … menyelingkuhimu?” tanyanya menegaskan, aku memutar bola mata sambil menyuap kentang goreng. “Oke, baiklah, dia bukan lagi kesayangan kita.”
“Aku memergokinya dengan mataku sendiri. Dan dia bahkan tidak menyangkal atau berusaha berbohong mencari alasan.”
Cody bersandar di kursi. Keningnya berkerut dalam. “Aku tak habis pikir.”
“Dan tentang River Lynch ….”
“Ada apa?” sahutnya cepat, kembali menegakkan tubuh.
“Dia paman Evan,” jawabku, bersiap-siap menerima responsnya.
“APA?! Bagaimana bisa? Siapa nama belakang Evan?”
“Dan aku tadi mencium River di hadapan Evan.”
“Fxck, Mia! Kau menciumnya?!”
Aku menenangkan Cody yang benar-benar menarik perhatian orang-orang. “Husssh, tenang sedikit ….”
“KAU GILA?!”
“Cody!” bisikku tegas.
Ia akhirnya menatap sekitar, lalu mencondongkan tubuh ke arahku. “Bagaimana ceritanya? Astaga, aku tiba-tiba sudah kenyang.”
Aku kemudian menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Bermula dari Addy yang memberitahu tentang Evan hingga aku mencium River beberapa jam yang lalu.
Cody melongo, matanya melebar seolah tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. “Jadi, kau mencium paman Evan di depan Evan sendiri?” ucapnya dengan nada campuran antara kagum dan keheranan. “Dan semalam kalian tidur bersama ….”
Aku mengangguk perlahan. “Ya, benar. Ini benar-benar kekacauan total. Aku tak berpikir jernih, dan River seolah sengaja memancingku.”
Cody meremas ujung meja, mencoba meresapi informasi yang baru saja dia terima. “Apa yang akan kau lakukan sekarang? Kau yakin tentang semuanya?”
“Ini seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir,” ujarku sambil meraih gelas minumku.
Cody terlihat mencerna segala informasi dengan cepat. “Tentang River, apa yang akan kau lakukan?”
“Aku tidak tahu, Cody. Semuanya terlalu rumit,” sahutku dengan nada frustrasi.
Cody menarik napas panjang. “Aku tidak pernah menduga kau akan terjebak dalam drama sebesar ini.” Namun, kemudian dia menyeringai. Sisi asli Cody muncul kembali. “Well, Mia … tapi jujur saja aku penasaran dengan River Lynch ini.”
Aku menatapnya tak percaya.
Dia merogoh ponselnya dari dalam saku. “Aku akan meng-g****e-nya sekarang juga.”
“Tolong, bunuh aku sekarang juga.”
Richard membukakan sebuah pintu yang agak berbeda dengan pintu-pintu lainnya lalu mengisyaratkanku untuk masuk. Dan hal pertama yang kulihat adalah River yang sedang duduk di balik meja kerjanya. Dia tak lagi mengenakan jasnya, yang kemudian kulihat sedang tergantung di standing hanger dekat jendela besar di belakang bangkunya.“Apa yang ingin Anda diskusikan, Mr. Lynch?” tanyaku sopan, mengantisipasi ada orang lain di ruangan ini.Dengan gerakan mulus, River bangkit dari kursinya. “Banyak sekali,” jawabnya sambil berjalan ke arahku. Aku terlena dengan entah bagaimana waktu seakan melambat seiring dengan langkahnya yang kian mendekatiku. “Banyak sekali yang ingin kudiskusikan,” ucapnya lagi, suaranya mengalun lembut di telingaku. Dia menarikku mendekat, tangannya menangkup pipiku, dan aku merasa seperti terhipnotis oleh kehangatan sentuhan itu.Lututku mendadak terasa seperti jeli ketika bibirnya menekan bibirku, dan aku pasti sudah ambruk ke belakang jika saja tangannya tidak melingk
“Jadi, Richard tahu tentang kita?” tanyaku sambil memainkan kancing piamanya. Kami berada di atas tempat tidur River, berbaring dengan lengan besarnya berada di bawah kepalaku.“Seperti itulah,” jawabnya sederhana, tangannya memainkan rambut cokelatku.“Kau bisa saja mengirimiku pesan teks untuk bertemu. Kenapa harus menyuruh Richard berbohong?”“Kau sendiri yang tidak ingin orang-orang tahu, kan?” balasnya dengan tenang. Aku mengingat-ingat di mana ketika aku berkata pada River mengenai orang-orang di kantorku yang tak perlu mengetahui hubunganku dengan River—yang pada saat itu mengacu pada hubungan di atas perjanjian. Namun, meskipun Cody (hanya Cody) tahu mengenai bagaimana hubunganku dengan River waktu itu, dia masih belum tahu bahwa kini hubungan kami mulai berbeda. “Akan lebih masuk akal bagi rekan-rekanmu jika aku mengungkit-ungkit mengenai pekerjaan.”“Kau ada benarnya juga sih …,” gumamku, melihat ke wajahnya yang sedang menampilkan tampang sombong, seolah-olah berkata “tentu
Berhubung aku, Cody, dan Sasha—orang terpilih dari Departemen Periklanan—tidak ada yang membawa mobil ke kantor, Lukas dengan murah hati meminjami kami Volvo merahnya untuk digunakan ke kantor River Lynch.“Memangnya di mana sih mobilmu?” tanya Cody yang sedang menyetir.“Sedang diperbaiki,” jawabku berbohong, diam-diam mengirim sinyal pada Cody agar tak membicarakannya lebih lanjut karena ada orang lain yang bisa mendengar.Shasa duduk di jok belakang. Dia sedang fokus mempelajari catatan Cody sambil membuka tabletnya. Dia pernah dua kali mewakili divisi periklanan mengikuti rapat tim proyek ulang tahun merk Sèduisant. Cody memilih orang yang tepat. Atau mungkin bukan Cody yang memilihnya? Bisa saja dia mengajukan diri atau Kepala Departemen Periklanan yang menugaskannya.Cody manggut-manggut mendengar jawaban asal-asalanku, meski dilihat dari sisi wajahnya pun aku tahu dia sedang tersenyum penuh makna. “Apanya yang rusak?” tanyanya lagi, mengetes. Ya Tuhan, aku ingin memecahkan kepa
Aku tak tahu lagi mengenai nasib perjanjian yang kusepakati dengan River. Apakah sekarang perjanjian itu batal karena hubungan kami tak lagi pura-pura? Tunggu, aku bahkan jadi bingung mengenai status hubungan kami yang sebenarnya. Apakah hubungan kami masih berlandaskan simbiosis mutualisme? Apakah kami jadi pasangan sesungguhnya seperti orang normal lainnya? Hubungan berlandaskan perasaan? Memang apa perasaanku padanya? River juga tak pernah menyebut-nyebut tentang perasaannya padaku. Dia hanya bilang menginginkanku, beberapa saat sebelum kami berhubungan seks. Barangkali River hanya merujuk pada keinginan biologisnya untuk bercinta denganku.“Hei!” Sebuah kibasan tangan di depan wajahku tiba-tiba menyadarkanku di mana aku sedang berada. Aku berada di dalam mobil River yang sudah terparkir di basement gedung Pamela Magazine. Saat sarapan tadi, River meminta untuk mengantarku bekerja lagi
Mataku terbuka saat merasakan tubuh River menempel di tubuhku. Pemandangan pertama yang kulihat adalah dada bidang River, dan kurasakan lengannya melingkari pinggangku dengan erat. Beberapa titik di tubuhku terasa nyeri, dan pipiku langsung memerah saat aku mengingat kegiatan kami yang menguras tenaga semalam.“Wake up, sleepyhead,” bisiknya, bibirnya menempel di telingaku.Aku menguap dan meregangkan tubuh, merasakan lengannya mengencang di sekelilingku saat tubuhku bereaksi terhadap sentuhannya. “Jam berapa sekarang?” Aku bergumam, meringkuk lebih dekat dengannya.River tertawa pelan dan mengecup leherku. “Ini jam kau-akan-terlambat,” jawabnya.“Apa?” Kesadaran menyergapku seketika. Dengan gerakan cepat, aku bangkit dan melihat sekeliling untuk mencari benda apa saja yang bisa menunjukkan waktu. Dan tatapanku tertuju pada jam persegi di atas meja kecil di samping tempat tidur. “Kenapa kau tidak membangunkanku dari tadi?” Mataku tertuju pada angka 8.42 yang berkedip-kedip futuristik
Aku menyandarkan kepalaku ke sandaran sofa sambil terengah-engah, melihat dia melepaskan semua pakaiannya dan kemudian meraih tubuhku lagi. Dia mengangkat tubuhku dan membalikkannya, memosisikanku di atas pangkuannya sementara dia sudah duduk di sofa.Jantungku berdegup kencang saat merasakan paha keras River menekan pangkal pahaku yang sudah basah, tangannya memandu tanganku menuju ereksinya. Aku terkesiap, mataku membelalak saat dia dengan lembut membimbing tanganku, menunjukkan padaku apa yang harus kulakukan. Dengan ragu-ragu aku melingkarkan jari-jariku di sekelilingnya, pipiku memerah karena merasakan kekerasannya di tanganku.Dia tersenyum, matanya tidak pernah lepas dari mataku saat dia mendorong tanganku lebih jauh, menuntunku untuk mengelusnya. Aku menggerakkan tanganku ke atas dan ke bawah, perlahan-lahan pada awalnya, kemudian meningkatkan kecepatan saat aku merasakan nafasnya semakin cepat dan matanya penuh dengan gairah.“Kau tidak tahu betapa aku sangat menginginkan ini
“Mia,” panggilnya lagi sambil menguraikan pelukan, mengisi jarak di antara kami dengan embusan angin malam. Mata River yang sendu menatapku yang tiba-tiba merana. “Sebesar apa pun keinginanku untuk menghajar bokongnya, anak itu tetap putra dari mendiang saudara kembarku. Dan aku tidak bisa memungkiri bahwa aku juga menyayanginya.”“Jangan membelanya,” sahutku dengan kesal. Dia kemudian tersenyum lembut, begitu lembut hingga membuatku makin merana. Tatapannya berhasil mengunciku untuk tidak bergerak sama sekali. “Kesepakatan yang kita lakukan … aku melakukannya sebagai paman Evan. Namun, di sisi lain, sisi River Lynch yang berdiri sendiri, aku ingin bersikap egois karena menginginkanmu.”Aku terlalu terkejut untuk berkata-kata. Mataku terpejam ketika tangan hangatnya mengusap lembut pipiku. “River ….”Napas River makin terasa dingin ketika ia makin menyisihkan jarak di antara kami. “Mia … izinkan aku untuk menginginkanmu.”“River … kau mabuk …,” gumamku, mencoba menyadarkannya walaupu
“Aku penasaran bagaimana kondisi dapur di rumahmu.” River tiba-tiba berkata tanpa melihat ke arahku.Aku duduk di kursi bar, bersandar pada mejanya dan memandangi River yang sedang menyiapkan ravioli. Dia memakai kaus putih polos yang cukup tipis, membuat tulang belikatnya terlihat menyembul ketika tangannya melakukan gerakan tertentu. Celemek berwarna hitam memeluk tubuhnya dari depan.“Sangat rapi, tentu saja.” Karena hampir tak pernah ada aktivitas apa pun di sana … jika kau tidak menghitung melakukan hubungan seks adalah salah satu aktivitas yang wajar dilakukan di dapur.“Aku akan mengeceknya sendiri kapan-kapan,” ucapnya, yang kemudian gerakan tangannya berhenti sesaat. Aku yakin dia sendiri tidak berharap kata-kata itu akan keluar dari mulutnya.
“Orang-orang ramai berkomentar mengenai River Lynch di media sosial kita,” kata Cody dari meja kerjanya. Aku langsung menoleh padanya, tertarik dengan apa yang dia katakan.Lukas pun kelihatannya juga begitu karena dia langsung meninggalkan rak pakaian dan mendekati Cody tanpa basa-basi. “Coba aku lihat!” katanya, melongokkan kepala untuk ikut menengok layar ponsel Cody, yang cukup lama digulir ke bawah, keduanya tampak sedang membaca komentar-komentar—mungkin pada postingan mengenai peluncuran Majalah Pamela Edisi November tahun ini. “Gadis-gadis itu sangat mengerikan.” Lukas bergidik, tapi terus melanjutkan membaca.Karena penasaran, aku ikut membuka akun media sosial Pamela Magazine, membaca komentar-komentar pada postingan terakhir.Aku tidak menyangka parfum favorit