Share

Bagian 2

Duar!

Tepat lima langkah sebelum panah api mengenai tubuhnya, Lady Neenash membuat perisai es. Ledakan besar pun tak terelakkan. Beruntung, kawasan Istana Rubi dilapisi pelindung tak kasat mata yang kedap suara.

Pemuda tampan yang tadi melemparkan panah api mendekat. Tawa menyebalkannya membuat Lady Neenash mendelik tajam.

"Sudah lama kita tidak bercanda dan bermain bersama, Neenash," celetuk si pemuda.

"Candaan yang tidak lucu, Sallac."

Lady Neenash menyeringai, lalu membungkuk.

"Saya memberi salam kepada Pangeran Sallac," ucapnya dengan suara dibuat-buat hormat.

Pangeran Sallac mendecakkan lidah. Dia duduk dengan kasar di bangku kayu. Lady Neenash terkekeh, lalu duduk di sebelah sahabat masa kecilnya yang dikucilkan karena dianggap terkutuk itu.

"Kau suka mencandaiku, tetapi tidak suka jika kucandai," gerutu Lady Neenash.

"Aku tak suka kauperlakukan seperti orang asing. Bukankah aku yang paling dekat denganmu?" sahut Pangeran Sallac.

"Ya, ya, ya, tentu saja. "

Lady Neenash menatap Pangeran Sallac dalam. Namun, dia cepat mengalihkan pandangan karena jantung yang berdebar.

"Iya, Sallac. Hanya di hadapanmu, aku bisa bebas dari sosok lady penuh etika yang anggun," gumamnya lirih.

Pangeran Sallac menepuk punggung Lady Neenash cukup kuat. Gadis itu hampir tersedak. Dia seketika melotot.

"Tidak bisakah kau menjadi pria yang lebih lembut sedikit saja?" gerutu Lady Neenash.

Pangeran Sallac terkekeh. "Kukira kau suka aku apa adanya." Dia tiba-tiba tampak sendu. "Ah, seleramu memang lelaki penuh kasih sayang seperti si bodoh itu."

Hening sejenak. Lady Neenash mengumpat dalam hati. Dia benci ketidakpekaan Pangeran Sallac. Pemuda itu masih tak menyadari rasa yang telah lama dipendam Lady Neenash untuknya.

"Si bodoh itu dulu berkata akan menjadikanmu satu-satunya, tapi ternyata dengan mudah terjerat kecantikan wanita lain," geram Pangeran Sallac.

Tatapannya berubah tajam, membuat mata merah itu semakin menyeramkan. Dia mengepalkan tangan, lalu melepaskan belasan panah api yang membakar beberapa tangkai lavender.

"Jangan jadikan lavender malang itu pelampiasan amarahmu. Aku tidak masalah jika Seandock memiliki selir. Aku tidak mencintainya, Sallac. Tak perlu cinta dalam pernikahan politik."

Pangeran Sallac tertawa pahit.

"Seandainya, mata merah ini tidak dianggap terkutuk, aku pasti menjadi putra mahkota dan bisa menjadikanmu istriku."

Lady Neenash diam-diam meremas gaunnya. Kenyataan pahit yang diucapkan Pangeran Sallac terasa menggores hati. Cinta mereka harus terhalang rumor kutukan sialan itu.

Pangeran Sallac tiba-tiba meraih helaian rambut Lady Neenash. Dia memejamkan mata dan mencium rambut perak beraroma lemon itu dengan sepenuh hati. Lady Neenash seketika merona dan berdebar.

"Hachim! Hachim!"

Wajah Lady Neenash benar-benar memerah. Oleh karena terlalu gugup, dia malah bersin-bersin. Pangeran Sallac terkekeh.

"Ah, di luar sini memang dingin. Tidakkah kau ingin masuk dan berkunjung ke istanaku?" tawar Pangeran Sallac.

Dia berdiri dari bangku, lalu mengulurkan tangan. Lady Neenash menyambut uluran tangan.

"Tawaran yang menarik. Aku juga sudah lama tak bermain dengan Molly," tutur Lady Neenash, lalu berdiri sambil menenteng sepatunya.

Mereka pun segera memasuki Istana Rubi. Seekor binatang mirip kucing, tetapi memiliki tanduk kecil melompat ke pelukan Lady Neenash. Molly, hewan magis peliharaan Pangeran Sallac itu rupanya juga sangat merindukan Lady Neenash.

"Indah sekali senyumanmu saat bersama Molly, seperti dulu saat kita masih kecil. Apa Nenek sihir itu yang membuat senyum indahmu menghilang? Sayang sekali," goda Pangeran Sallac.

Nenek sihir yang dimaksudnya adalah Ratu Olive. Ibunda putra mahkota tersebut memang sudah lama bermusuhan dengan Pangeran Sallac. Ya, sejak sang ibu tiri menghasut raja untuk mengasingkannya dengan isu kutukan mata merah.

Lady Neenash mengusap bulu Molly yang lembut. "Kudengar pemilik menara sihir sangat dingin dan misterius. Tak disangka bisa secerewet ini," sindirnya.

Identitas sebagai pemilik menara sihir juga merupakan rahasia Pangeran Sallac. Dia menggunakan ramuan untuk mengubah warna rambut dan mata, lalu membangun menara sihir yang sangat diandalkan kerajaan.

"Apakah pemilik menara sihir ini tidak boleh mencemaskan temannya?" balas Pangeran Sallac dengan wajah memelas.

"Wajah lembek begitu tidak cocok untukmu."

Lady Neenash melempar wajah Pangeran Sallac dengan bantal bulu tempat tidur Molly. Lemparan tepat sasaran. Pangeran Sallac malah tergelak.

Selanjutnya, mereka hanya mengobrol ringan. Kebanyakan topik pembicaraan berkisar kenangan masa kecil dan kegiatan sehari-hari. Lady Neenash pamit pulang ketika dirasanya pesta sudah hampir menjelang akhir.

Pangeran Sallac melepas kepergian gadis pujaan hatinya dengan tatapan sendu. "Apakah aku bisa benar-benar rela menyerahkanmu kepada si bodoh Sean," gumamnya lirih.

***

Cicit burung mengusik pendengaran, membangunkan Lady Neenash dari tidurnya. Dia membuka mata perlahan, lalu duduk dengan hati-hati. Tangan berjari lentik direnggangkan.

Lady Neenash tersenyum manis. Tidurnya benar-benar nyenyak karena suasana hati membaik. Meskipun tingkah putra mahkota melukai harga diri, kebersamaan dengan Pangeran Sallac menghapus segala kekecewaan.

Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Lady Neenash.

"Ya?"

"Ini saya Pheriana, Nona."

"Masuklah, Pheri!"

Pintu dibuka perlahan. Pheriana, pelayan kesayangan Lady Neenash masuk, menutup pintu, dan memberi hormat. Seperti biasa, dia akan membantu sang nona mandi. Namun, baru saja gadis itu hendak menyiapkan wewangian, pintu kamar diketuk dengan tempo cepat.

"Lady, gawat! Gawat! Tuan Marquess!" Seruan di luar terdengar panik.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status