Belum sempat Lady Neenash menyahut, terdengar suara menggelegar diiiringi pancaran cahaya kuat dari jendela. Dia menghela napas berat, lalu bangkit dari tempat tidur. Pheriana membantu sang nona mengenakan jubah untuk menutupi pakaian tidur.
Kemudian, Pheriana membukakan pintu. Seorang kesatria tampak berlutut di depan pintu kamar nonanya.Namun, Lady Neenash malah membuka jendela, membuat Pheriana dan kesatria muda mengerutkan kening. Beberapa saat kemudian Lady Neenash melompat dari jendela."Nonaaa!" seru Pheriana dan kesatria kompak.Pheriana berlari cemas menuju jendela. Dia melongok ke bawah dan seketika menghela napas lega. Lady Neenash tak terluka sedikit pun, malah berdiri anggun di bongkahan es.Selanjutnya, Lady Neenash turun dari bongkahan es, lalu mendekati Marquess Arbeil yang tengah menghancurkan taman dengan sambaran petir. Langkahnya tenang. Tak ada rasa gentar tampak di wajahnya.Begitu cukup dekat, Lady Neenash merapalkan mantra. Sambaran petir yang tadi berhamburan seketika membeku. Marquess Arbeil tersentak dan berbalik."Ah, putriku! Putri cantikku." Dia menelan ludah melihat raut wajah kesal sang putri. "Ah, maaf Ayah tidak bermaksud menghancurkan taman lavender kesayanganmu."Lady Neenash menghela napas berat. "Taman ini bisa dibangun kembali. Tapi, bagaimana Ayah bisa ada di sini? Bukankah Ayah seharusnya sedang melakukan perundingan dengan Kerajaan Ferijola?" cecar Lady Neenash.Marquess Arbeil memang tak ikut berhadir dalam pesta semalam karena menghadiri perundingan dengan negeri tetangga. Perundingan seharusnya paling tidak selesai dalam 3-4 hari. Jika ditambahkan dengan waktu perjalanan, lelaki itu baru akan kembali ke rumah seminggu lagi.Marquess Arbeil menyengir lebar. "Ah, itu karena Ayah melihat perlakuan jahat putra mahkota padamu dari bola kristal kiriman orang tak dikenal. Jadi, Ayah langsung pulang. Perundingan pasti bisa diselesaikan oleh Grand Duke dengan baik."Lady Neenash mengumpati Pangeran Sallac dalam hati. Dia menebak pemuda itulah yang telah mengirimkan bola kristal kepada Marquess Arbeil."Ya ampun, Ayah! Hanya karena masalah sepele, Ayah meninggalkan perundingan penting?" keluh Lady Neenash.Marquess Arbeil mendelik tajam. Wajahnya menjadi merah padam. Dia menggeram dengan keras dan melepaskan petir, menghantam salah satu patung dan menghancurkannya."Sepele? Tidak! Itu bukan masalah sepele, Neenash! Putra Mahkota benar-benar keterlaluan!""Ayah, soal putra mahkota–""Kita akan membatalkan pertunanganmu dengannya, Neenash!" potong Marquess Arbeil dengan sorot mata berapi-api."Tenanglah dulu, Ayah. Pikirkan dengan kepala dingin," bujuk Lady Neenash."Bagaimana bisa aku tenang? Dia dulu datang memohon untuk memintamu, berkata akan menjadikanmu satu-satunya. Ayah tidak bisa membiarkanmu diduakan!"Sebenarnya, bukan rahasia lagi para bangsawan memiliki beberapa simpanan. Namun, Marquess Arbeil terkenal dengan sebutan budak cinta istrinya. Bahkan, sudah 10 tahun sejak Marchioness Meddeline meninggal dunia, dia masih tak ada niatan untuk menikah lagi.Tentu saja, tindakan putra mahkota memicu amarahnya. Meksipun harus menentang keinginan raja, dia tak rela putri kesayangan diduakan."Kita tak bisa gegabah, Ayah. Menolak permintaan pernikahan dari istana bisa dianggap pengkhianatan," bujuk Lady Neenash lagi."Ayah lebih suka mati di tiang gantungan daripada melihatmu disakiti oleh seorang pria," sergah Marquess Arbeil.Marquess Arbeil menggeram. Dia hampir saja melepas satu petir lagi. Beruntung, Lady Neenash sempat mengenggam tangan sang ayah dan memohon dengan tatapan memelas."Tiang gantungan itu akan menjerat kita semua Ayah. Berpikirlah dengan jernih. Apa Ayah ingin kita semua mati bersama?"Marquess Arbeil terdiam. Dia bahkan tak berani membayangkan kematian putri kesayangan. Ingatan saat istrinya meregang nyawa melintas. Marquess Arbeil pun menjadi lebih tenang."Baiklah, Ayah tidak akan membatalkan pertunangan seenaknya," gumamnya sendu. Namun, dia bertekad dalam hati akan mencari jalan keluar lain agar pertunangan tersebut batal tanpa menimbulkan amarah istana.Sementara itu, Lady Neenash menghela napas lega. Dia pun permisi hendak kembali ke kamar. Namun, baru saja masuk ke rumah, kakaknya sudah menghadang dengan wajah merah padam. Lady Neenash lupa sang kakak pasti juga ikut menyaksikan rekaman bola kristal."Berani-beraninya si bodoh melakukan itu padamu, Neenash! Akan kupenggal kepalanya!" seru Sir Durio Esbuach, putra tertua Keluarga Esbuach berapi-api.Lady Neenash seketika menghela napas berat. Ayah dan kakak yang begitu mencintainya ini memang kadang sangat merepotkan.***"Saya mau yang ini, yang ini juga. Ah, yang di sebelah sana terlihat enak, saya juga mau," cerocos Lady Neenash sembari menunjuk kue-kue di etalase kaca.Usai menenangkan dua singa di keluarganya, Lady Neenash merasakan energi dan emosinya terkuras. Oleh karena itulah, dia mengunjungi toko kue langganan. Makanan manis akan menambah energi dan memperbaiki suasana hati.Lady Neenash memilih lebih dari sepuluh jenis kue. Pelayan toko mengambil kue pesanan sang lady, lalu membungkusnya dengan cantik. Pheriana mengambil kue yang disodorkan pelayan toko sementara Lady Neenash melakukan pembayaran."Setelah ini, kita akan ke mana lagi, Nona?" celetuk Pheriana sembari menyimpan kue dalam keranjangnya.Lady Neenash mengelus dagu. "Hmm... aku tak ingin pulang cepat. Ayo ke toko gau–"Bruk!Lady Neenash terhuyung. Seseorang baru saja menabraknya. Beruntung, Pheriana bertindak sigap menahan tubuh sang nona agar tak sampai jatuh."Ah, baju Nona jadi kotor!" pekik Pheriana dengan wajah kecewa.Ya, sepotong kue cokelat memang menempel di gaun Lady Neenash. Rupanya, orang yang menabraknya tadi sedang memegang kue. Lady Neenash tak ingin ambil pusing."Tak apa, Pheri. Kalau begitu, kita langsung pulang saja agar aku bisa berganti pakaian," tuturnya lembut menenangkan Pheriana yang panik."Tapi, Nona–""Ayolah!"Lady Neenash menarik tangan Pheriana menuju pintu toko. Namun, si penabrak malah memegangi tangannya. Lady Neenash menjadi agak kesal dan berbalik. Melihat wajah itu, dia seketika mendapat firasat buruk.***Sosok yang menabrak Lady Neenash adalah Lady Cherrie. Gadis bermata biru itu tampak gemetaran. Raut wajahnya persis seperti terpidana hukuman mati, padahal Lady Neenash tidak menunjukkan ekspresi marah sama sekali."Ada apa Lady Searaby?" tanya Lady Neenash dengan nada datar. Lady Cherrie mendadak berlutut. Air mata berlomba menuruni pipinya. Dia mulai terisak dengan suara teramat menyayat. "Saya bersalah sudah mengotori gaun Anda! Mohon ampuni saya, Lady!" jeritnya histeris. "Tenanglah, Lady Searaby. Saya tidak marah," bisik Lady Neenash. "Kenapa Anda ketakutan dan berteriak? Kita akan jadi pusat perhatian–"Ucapan Lady Neenash terhenti. Dia menyadari tatapan sinis beberapa gadis bangsawan di toko kue. Bisikan-bisikan tak sedap mendengung samar. Namun, telinga sensitif Lady Neenash bisa mendengarnya dengan jelas. "Ya ampun, bukankah hanya kotor sedikit? Kenapa Lady Esbuach harus semarah itu?""Tidakkah Lady Esbuach terlalu angkuh?""Mungkinkah Lady Esbuach masih kesal karena putr
"Anda tidak boleh berlaku kejam seperti ini, Yang Mulia!" seru Lady Cherrie tiba-tiba. Dia mengenggam tangan Pangeran Seandock. Sorot matanya tampak memelas. Sementara Lady Neenash yang ucapannya terpotong hanya menghela napas, sudah muak dengan sandiwara dramatis itu. "Yang Mulia ... Anda dan Lady Neenash sudah bersama sejak lama. Saya tak ingin menjadi penyebab hancurnya hubungan kalian," gumam Lady Cherrie dengan mata berkaca-kaca.Ucapanya itu mengundang banyak pujian dari para tamu. Lady yang berhati amat lembut begitulah pandangan para bangsawan. Sebaliknya, mereka menatap sinis dan mengecam Lady Neenash. Pangeran Seandock tiba-tiba menatap tajam Lady Neenash. "Bersama sejak lama pun tidak menjamin kita benar-benar mengenal seseorang," sindirnya. Lady Cherrie menggeleng dengan dramatis. "Jangan begitu, Yang Mulia. Anda akan melukai perasaan Lady Neenash–"Lady Neenash berdeham. Suara manja Lady Cherrie yang membuatnya mual juga terhenti. Tamu undangan semakin melirik penuh k
Pangeran Seandock menggeram. Dia mengepalkan tangan dan menggemeletukkan gigi. Mata elangnya menyorot tajam, seperti akan menerkam Lady Neenash. "Penjaga, tangkap seluruh anggota Keluarga Esbuach dan jebloskan ke penjara bawah tanah! Duke Reinnerd, siapkan pengadilan!" titah Pangeran Seandock. Duke Thalennant membungkukkan badan. "Siap dilaksanakan, Yang Mulia."Aula kuil suci menjadi riuh. Para tamu saling berbisik mencemooh Keluarga Esbuach. Sementara itu, beberapa kesatria bergerak maju dengan pedang terhunus. Marquess Arbeil dan Sir Durio tentu tak tinggal diam. Mereka melakukan perlawanan. Pertarungan pun tak terelakkan. Bunyi besi beradu memekakkan telinga. Wanita dan anak-anak menjerit panik. Kemampuan berpedang sang pahlawan perang tentu tak sebanding dengan kesatrian biasa. Para kesatria semakin kewalahan dan babak belur. Namun, Pangeran Seandock tiba-tiba mengangkat tangan kanan dan berseru, "Atas janji setia kepada keluarga kerajaan, Keluarga Esbuach tunduklah!"Cincin
Duar! Ledakan besar meninggalkan sisa-sisa jelaga, Panggung eksekusi kini tinggal puing-puing kehitaman berbau sangit. Para penonton berlarian tunggang langgang menyelamatkan diri dan berteriak panik.Adapun Duke Thalennant terlempar sejauh 100 langkah, menubruk dinding bangunan sebuah bar. Lengan kanannya menderita luka bakar yang cukup parah. Dia menggeram, bersusah payah menggenggam kembali gagang padang dengan tangan kiri."Sial*n! Siapa yang lancang menganggu jalannya eksekusi?" teriaknya lantang."Aku! Aku yang melakukannya!" balas suara lantang dari balik asap akibat ledakan.Duke Thalennant memicingkan mata. Asap hitam perlahan tersapu angin. Tak lama kemudian, tampaklah Pangeran Sallac. Dia tengah melayang di udara sembari menggendong Lady Neenash yang tak sadarkan diri.Rakyat yang tadi berlarian semakin panik. Reputasi buruk Pangeran Sallac tentu sudah menjadi rahasia umum. Orang-orang bahkan percaya rumor kutukan bahwa seseorang yang berani bertatapan dengan Pangeran Sall
Lady Neenash menghela napas. Meskipun berat, dia telah mengambil keputusan. Bayangan kepala ayah dan kakaknya yang menggelinding di genangan darah menggoreskan luka dan mengobarkan api dendam."Ya, Sallac. Aku setuju," ucapnya penuh keyakinan.Persetan dengan harga diri. Terakhir kali, Lady Neenash menjunjung tinggi harga diri, dia malah menerima penghinaan yang semakin menjadi-jadi. Lagi pula, Pangeran Sallac adalah cinta pertama dan terakhirnya, seseorang yang selalu dimimpikannya menjadi suami."Berbaringlah lagi di ranjang dan pejamkan matamu. Ini tidak akan lama," perintah Pangeran Sallac.Lady Neenash mengangguk pelan. Dia mengatur napas sejenak, sebelum melangkah ke tempat tidur. Setelah membaringkan badan, Lady Neenash memejamkan mata dengan jantung berdetak kencang.Lady Neenash mengepalkan tangan saat mendengar langkah kaki Pangeran Sallac mendekat. Dia mencengkeram sprei ketika merasa lelaki itu telah naik ke tempat tidur. Detik-detik berlalu bagaikan belenggu yang menjerat
"Aha! Itu dia!" seru Pangeran Sallac girang.Dia menatap tabung kaca di tangannya. Senyuman semringah tersungging di bibir seksi yang kemerahan. Lady Neenash memalingkan wajah karena tak kuat menahan pesona lelaki pujaan hati."Bisa-bisanya kau memikirkan cinta-cintaan setelah melewati berbagai hal buruk, Neenash! Ayah dan kakakmu bahkan mati dengan keji dan kau bertingkah tak tahu malu, sial*n!" umpat Lady Neenash dalam hati.Setelah perasaannya lebih terkontrol, dia kembali menatap Pangeran Sallac. "Kau menemukan celah untuk kabur?" tanyanya.Pangeran Sallac mengedipkan mata. "Tentu saja, Neenash. Ini akan seru!"Dia menjentikkan jari dengan wajah riang. Bibirnya komat-kamit merapal mantra. Tabung kaca berisi air mata berpendar kemerahan, lalu menjadi menyilaukan. Lady Neenash refleks memejamkan mata. "Buka matamu, Neenash! Lihatlah apa yang bisa dilakukan pemilik menara sihir yang jenius ini," celetuk Pangeran Sallac.Lady Neenash membuka mata dengan perasaan sedikit dongkol. Saat
Pangeran Sallac berhasil melakukan teleportasi dengan jarak yang cukup jauh dari menara sihir. Kini, mereka tengah berada di tengah-tengah hutan tropis. Pangeran Sallac tersenyum bangga akan kemampuannya. Namun, Lady Neenash mendelik tajam dengan rambut berantakan. "Sallac! Sial*n! Beritahu dulu kalau ingin melakukan teleportasi!" umpatnya.Dia memegangi dada yang masih berdebar kencang. Teleportasi secara mendadak sangat tidak baik untung kesehatan jantungnya. Bukannya merasa bersalah, Pangeran Sallac malah menyeringai nakal."Berhentilah tersenyum menyebalkan seperti itu atau kurobek mulutmu!" ancam Lady Neenash."Lady Esbuach yang penuh tata krama kenapa jadi bar-bar seperti ini," goda Pangeran Sallac."Tata Krama sial*n itu pada akhirnya tidak berguna untuk menyelamatkan ayah dan kakakku," lirih Lady Neenash dengan tatapan sendu.Suasana mendadak suram. Lady Neenash mengepalkan tangan dan menggigit bibir. Pangeran Sallac merasa menyesal sudah bertingkah keterlaluan. Dia menepuk b
Pangeran Sallac menggeram. Dia melepaskan panah-panah api pada akar tanaman merambat. Sekali dua kali usahanya tak membuahkan hasil."Sial!"Tak peduli akan terlacak alat sihir, Pangeran Sallac menggunakan sihir api yang lebih kuat. Suara erangan yang mengerikan memekakkan telinga. Tanaman merambat itu benar-benar seperti makhluk hidup.Tanaman merambat terlihat gusar. Sulur-sulur berdurinya mencoba menghantam Pangeran Sallac. Namun, sang pangeran bukanlah tandingannya. Hanya satu serangan kuat, akar tanaman merambat hangus tak bersisa.Perlahan, sulur yang membelit tubuh Lady Neenash terlepas. Gadis itu hampir mengempas tanah. Beruntung, Pangeran Sallac cepat menangkapnya."Bertahanlah, Neenash," bisik Pangeran Sallac.Dia cepat mengeluarkan ramuan penyembuh luka dan meminumkannya ke mulut Lady Neenash. Ramuan tak bisa masuk karena Lady Neenash tengah pingsan. Pangeran Sallac terpaksa menggunakan sihir lagi agar cairan cokelat beraroma kuat itu bisa terdorong masuk ke kerongkongan."