Beranda / Romansa / Balas Dendam Sang Pendamping Setia / Bab 6 – Wanita Seribu Peran

Share

Bab 6 – Wanita Seribu Peran

Penulis: perdy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-08 08:29:44

Jam di dinding berdetak lambat, seakan tahu bahwa malam ini Nayla tak ingin cepat berlalu. Angka digital merah di pojok ponselnya menunjukkan pukul 22.07. Suara mesin jahit manual yang ia gunakan sejak sore mulai melemah. Tangan kanannya terasa berat, jari-jarinya pegal karena menjahit puluhan badge seragam sekolah untuk anak-anak SD di lingkungan sekitar.

Benang terakhir ia potong dengan gunting kecil, lalu disusun rapi seragam-seragam itu di atas kursi lipat. Satu pesanan lagi selesai. Satu langkah kecil untuk membayar tagihan listrik minggu depan.

Nayla menghela napas panjang. Lehernya kaku, bahunya terasa seperti tertusuk jarum. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding lembab kamar kos berukuran 3x4 itu. Di pojok ruangan, galon air sudah lama kosong. Bahkan suara 'gluk-gluk' terakhir dari dispenser tadi siang masih membekas di kepalanya.

“Besok pagi harus angkat galon baru...” gumamnya, matanya mengarah pada botol air minum yang tinggal seperempat.

Di sudut ruangan yang lain, Galan tertidur dengan laptop di pangkuan. Slide presentasi masih terbuka, tampilan Excel penuh grafik dan angka. Kepalanya miring ke kanan, bibirnya sedikit terbuka. Sesekali ia menggumam tak jelas, mungkin tentang pitch deck, investor, atau deadline yang terus membayang.

Nayla memandanginya lama.

Laki-laki itu selalu tampak sibuk sekarang. Pulang larut malam. Kadang lupa makan. Dan meski tubuhnya ada di kamar yang sama, Nayla merasa ia harus menjangkau lebih jauh untuk sekadar menyentuh pikirannya.

Ia beringsut pelan, mengambil selimut tipis dari ujung ranjang, lalu menyelimutkan tubuh Galan. Ia menyingkirkan laptopnya pelan-pelan, takut membangunkannya. Tangannya bahkan sempat berhenti di atas keyboard, sekadar membaca judul presentasi: "Vivara – Digitalisasi UMKM Menuju Masa Depan".

Senyum tipis muncul di wajah Nayla.

"Aku yang bekerja, kamu yang bermimpi. Tapi tak apa... asal kita jalan bareng," bisiknya, nyaris tak terdengar.

**

Pagi belum datang saat Nayla bangun. Alarmnya berbunyi pukul 04.45, dan tanpa banyak berpikir, ia langsung menggulung rambut, mencuci muka, lalu membuka buku matematika untuk menyiapkan materi les privat pagi ini. Hari ini ia akan mengajar anak SMP yang akan menghadapi ujian akhir. Anak itu cerdas, tapi sulit fokus. Nayla harus menyiapkan cara belajar yang menyenangkan.

Setelah selesai menyusun soal latihan, ia bergegas menyiapkan sarapan. Tak banyak—hanya nasi goreng sederhana dari sisa nasi semalam dan dua telur mata sapi.

“Kalau nggak ada telur, Galan bisa pusing,” katanya sendiri sambil memasak.

Setelah sarapan selesai, ia menuangkan air panas ke dalam termos dan meletakkannya di samping gelas kopi instan kesukaan Galan. Lalu, ia menyelipkan catatan kecil di sebelah gelas:

"Good luck pitching hari ini. Kamu pasti bisa. Jangan lupa sarapan, ya! – N"

Setelah itu, Nayla keluar dari kamar, mengunci pintu pelan-pelan, dan berjalan cepat ke tempat les.

**

Hari berlalu tanpa jeda. Dari les privat pagi hingga siang, Nayla langsung ke warung kecil tempat ia biasa bantu-bantu di jam makan siang. Ia mencatat pesanan, mencuci piring, bahkan membantu ibu pemilik warung memasak.

“Nayla, kamu ini hebat ya... muda, cantik, kerja keras. Calon istri siapa sih kamu?” canda si ibu warung sambil menumis.

Nayla hanya tertawa kecil. “Calon istri pengusaha sukses, Bu. Tapi masih berjuang dari nol.”

“Wah, cocok! Kamu memang tipe wanita seribu peran!”

Ucapan itu membuat Nayla terdiam sejenak. Seribu peran. Ya. Ia merasa seperti memegang semuanya—jadi guru, penjahit, pembantu warung, sekretaris tidak resmi, sekaligus kekasih dan pendukung utama seseorang yang tengah mengejar impiannya.

Tapi di balik semua itu, kadang ia ingin... jadi hanya satu: pasangan yang dicintai sepenuhnya.

**

Sore hari, hujan turun mendadak. Nayla berlari kecil menembus gerimis dengan bungkusan makanan di tangannya. Ia membeli nasi padang untuk Galan—makanan favoritnya kalau sedang stres. Beberapa kali sebelumnya, Galan bilang nasi padang bisa bikin pikirannya “lebih tajam”.

Saat sampai di kamar, ia mendapati pintu tidak terkunci.

“Galan?” panggilnya pelan.

Tidak ada sahutan. Tapi suara air mengalir dari kamar mandi. Laptop Galan menyala di meja, dan di layar, sebuah panggilan Zoom masih aktif, meski tanpa suara. Terdapat rekaman presentasi tadi siang. Galan tampak percaya diri, berbicara dengan seseorang yang Nayla belum pernah lihat sebelumnya.

Di layar, seseorang tertawa. Seorang wanita dengan blazer krem dan wajah penuh riasan profesional.

“Oh, Clara...” desis Nayla, mengenali wajah itu.

Ia memalingkan wajah, meletakkan bungkusan nasi padang di atas meja, lalu duduk di lantai. Ia mengganti bajunya dengan kaus lusuh, kemudian diam menatap ke luar jendela.

Hujan belum reda. Tapi di dalam dadanya, badai sudah mulai membesar.

**

Malamnya, Galan pulang. Segar, wangi, dan terlihat senang.

“Pitching-nya lancar?” tanya Nayla sambil menyiapkan air hangat untuk Galan.

“Banget! Clara bilang mereka akan bahas internal dan mungkin minggu depan sudah ada keputusan. Doain ya!”

“Pasti aku doain,” jawab Nayla lembut.

“Dan ini...” Galan mengeluarkan kotak kecil. “Bonus dari Clara. Produk skincare dari perusahaan rekanannya. Katanya kamu pasti suka.”

Nayla membuka kotak itu. Isinya cantik, mahal. Tapi di hatinya, ada rasa getir.

Dulu kamu selalu kasih aku sesuatu dari hasil keringat sendiri. Sekarang… kenapa yang kamu bawa adalah pemberian orang lain?

Namun ia tersenyum, tetap menjaga wajahnya tetap hangat. “Makasih. Aku suka.”

Galan memeluknya sekilas. “Kamu pahlawan, Nay. Aku nggak akan sampai sini tanpa kamu.”

Dan itu lagi-lagi cukup bagi Nayla—cukup untuk membuatnya bertahan semalam lagi.

**

Beberapa hari kemudian, Nayla berdiri di depan cermin kecil, menyisir rambutnya yang kusut. Di meja, tumpukan seragam baru harus dijahit, lembar latihan harus dikoreksi, dan galon air yang ia ganti dua hari lalu sudah hampir habis lagi.

Ia menatap dirinya sendiri.

Wajahnya sedikit pucat. Lingkaran hitam di bawah mata semakin jelas. Tapi ia tetap tegak.

Wanita seribu peran.

Penopang rumah tangga yang belum resmi menjadi rumah tangga.

Bayangan dalam cahaya kesuksesan lelaki yang ia cintai.

**

Tapi suatu hari, akan datang saat di mana ia bertanya:

Apakah aku masih bagian dari mimpi itu? Atau aku hanya anak tangga yang akan dilewati saat impian itu mulai menggapai awan?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 7 – Peluh yang Tak Terlihat

    Matahari sudah turun ke balik awan kelabu ketika Nayla berdiri di halte. Udara sore itu padat oleh asap kendaraan dan debu jalanan, membuat napas terasa berat. Di kedua tangannya, ia menenteng dua kantong besar berisi baju pesanan pelanggan onlinenya—masing-masing dibungkus rapi dengan plastik, diberi label alamat tulisan tangan. Tangannya bergetar, bukan karena dingin, tetapi karena kelelahan.Baru satu jam lalu ia menyelesaikan les privat dengan seorang anak SD. Anak itu sedang persiapan lomba matematika dan Nayla sudah menjanjikan tambahan waktu belajar. Mata dan pikirannya nyaris kosong saat itu, tetapi senyum anak kecil itu menguatkannya.Sekarang, ia harus buru-buru kirim paket ke agen ekspedisi sebelum tutup. Kalau terlambat, rating tokonya bisa jatuh, dan ia tak punya waktu atau tenaga untuk menjelaskan ke semua pelanggan yang mungkin komplain.Di seberangnya, jalanan macet total. Klakson bersahut-sahutan. Bus mini yang ditunggunya belum juga datang. Ia mengusap peluh di dahi

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-08
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 8 – Keringat yang Tak Dianggap

    Langit malam menumpahkan hujan seperti kemarahan yang sudah lama dipendam. Petir membelah langit, menyinari jalanan basah tempat Nayla berjalan terseok dengan dua tangan penuh. Tas jinjing di satu tangan berisi paket pesanan, dan tangan satunya menahan kotak makanan yang mulai hancur terendam air.Langkahnya terhuyung saat melewati genangan air. Sepatu kanvas murahan yang sudah usang mengeluarkan bunyi ceplak-ceplok, menandakan bahwa satu-satunya alas kaki itu mungkin tak akan bertahan seminggu lagi.Ia baru saja selesai mengantar paket COD ke seorang pelanggan yang menuduhnya lambat, padahal Nayla sudah menerobos tiga lampu merah dan menumpang ojek online demi sampai tepat waktu. Namun nyatanya, ia tetap dimarahi. Dituduh menipu. Dibentak seolah harga dirinya tak lebih mahal dari plastik pembungkus barang itu sendiri.Tapi Nayla hanya tersenyum, menunduk, lalu meminta maaf. Karena ia tahu, pelanggan puas berarti satu ulasan bintang lima. Dan ulasan itu, bisa jadi harapan untuk hari e

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-08
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 9 – Di Antara Cinta dan Harga Diri

    Pagi itu, matahari memancar hangat dari balik jendela kamar kos yang mulai lembap di beberapa sudut. Di dapur kecil, aroma tumisan sederhana menyebar. Nayla mengenakan daster lusuh bermotif bunga, rambutnya dikuncir asal. Di tangannya, sendok kayu bergerak pelan mengaduk telur orak-arik yang dicampur potongan tahu.Meja makan diisi dua piring nasi dan dua cangkir teh manis hangat. Ia mengecek jam dinding—07.18.“Galan belum bangun,” gumamnya pelan. Lalu, seperti biasa, ia membangunkan lelaki itu dengan lembut.Setelah sarapan, Galan berdiri di depan cermin, merapikan kerah kemeja biru langit yang sudah Nayla setrika malam sebelumnya. Ia tampak bersemangat pagi ini—senyum merekah, matanya berbinar.“Aku mau ke coworking space hari ini. Ada acara pitching kecil-kecilan. Kayaknya bakal ketemu orang-orang penting juga,” katanya sambil menyemprotkan parfum.Nayla mengangguk. “Kamu bawa proposalnya?”“Udah. Semua udah siap. Oh iya,” Galan berbalik cepat, “kemarin aku ketemu sama partner bis

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-08
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 10 – Cinta yang Tertatih

    Hujan turun perlahan di luar jendela. Tetesannya menari di atas atap seng, menciptakan irama yang dulu bisa membuat Nayla tertidur pulas. Tapi malam ini berbeda. Hujan bukan lagi lagu nina bobo, melainkan denting-denting kesepian yang memantul di dinding hatinya.Di atas ranjang tipis itu, Nayla duduk bersandar pada dinding yang dingin. Tubuhnya lelah luar biasa. Tulang punggungnya nyeri karena duduk terlalu lama menjahit seragam pesanan pelanggan. Tangan kanannya masih terasa panas akibat setrika rusak yang menyemburkan uap tak teratur. Dan di matanya, kelelahan itu tak hanya berasal dari tubuh—tapi dari hati yang mulai retak, perlahan.Ponselnya tergeletak di samping dompet tipis berisi uang kertas lima puluh ribu yang terlipat rapi. Uang itu adalah sisa dari pengiriman paket tadi sore. Nayla ingat betul ekspresi remeh dari ibu-ibu pelanggan yang berkata, “Masa ongkir segini mahal banget, padahal bajunya biasa aja.” Nayla hanya tersenyum, menunduk, dan mengangguk seperti biasa.Lalu

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-08
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 11 – Kamar Kosong, Hati Kosong

    Malam telah larut. Lampu redup menyala di ruang kerja sempit di sudut kamar kos mereka. Di antara tumpukan kertas, sketsa-sketsa desain produk digital berserakan. Gambar-gambar prototipe sederhana, alur kerja aplikasi, dan beberapa catatan strategi pemasaran ditulis tangan dengan pulpen hitam yang tintanya mulai habis.Nayla duduk bersila di lantai, tubuhnya menyandar pada dinding yang dingin. Rambutnya diikat sembarangan, matanya sembab dan lelah. Tapi tangannya masih bergerak—menghapus, menggambar ulang, mencoret, mencatat.Sudah tiga malam berturut-turut ia begadang, bukan untuk pekerjaannya sendiri, tapi untuk merapikan konsep yang dilempar Galan tanpa bentuk. Ide itu masih mentah—“aplikasi layanan berbasis komunitas”, katanya. Tapi tanpa detail, tanpa arah. Hanya semangat kosong yang mengandalkan energi dari kopi dan ambisi.Nayla mencoba menyusunnya ulang. Ia belajar dari forum, membaca artikel bisnis, bahkan menonton video tutorial dari internet yang kadang tersendat karena kuo

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-11
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 12 – Otak di Balik Nama

    Langit pagi itu mendung. Jakarta seperti malas bangun, dan matahari enggan menampakkan diri. Tapi di kamar kos kecil yang pengap itu, Nayla sudah sibuk sejak subuh.Tangannya lincah menyetrika kemeja putih milik Galan—kemeja terbaik yang mereka punya, yang hanya dipakai kalau ada acara penting. Ia menyisir rapi lipatan lengan, lalu menyiapkan dasi hitam dan sepatu yang semalam ia bersihkan sendiri. Meski usang, Nayla ingin semuanya tampak terbaik. Hari ini penting bagi Galan. Hari ini, ia akan presentasi di inkubator bisnis kampus ternama—tempat yang bisa membuka jalan ke pendanaan besar.Di sisi lain kamar, Galan berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan satu tangan sambil melihat ke layar ponsel.“Kamu udah siapin slide-nya?” tanyanya tanpa menoleh.“Udah. Aku juga masukin semua analisis pasar dan peta kompetitor ke bagian akhir. Kalau ditanya soal revenue stream, kamu tinggal buka slide ke-17.”Galan mengangguk pelan. “Good. Nggak nyangka bisa lengkap juga, ya.”Nayla ter

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-11
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 13 – Gema di Balik Panggung

    Malam itu hujan rintik-rintik. Di kamar sempit yang lampunya mulai berkedip karena kabel usang, Nayla dan Galan duduk bersila di atas lantai beralas tikar tipis. Di depan mereka dua bungkus mie instan tersaji dalam mangkuk plastik, masih mengepul hangat. Aroma gurih sederhana mengisi ruangan, menumpuk bersama rasa lelah dan rasa lega.Galan membuka berita di ponselnya—sebuah media kampus menulis singkat soal proyeknya yang mendapatkan investasi awal dari alumni sukses.“Tuh, lihat,” katanya sambil tersenyum lebar. “Gue masuk media, Nay. Katanya ini bukti langkah awal startup yang bisa tembus pasar nasional.”Nayla ikut tersenyum, meski matanya sembab karena terlalu lama menatap layar laptop semalam—mengutak-atik prototype versi alpha dari aplikasi yang Galan bawa ke investor. Ia tahu betul, di balik angka-angka yang Galan sebut, di balik desain antarmuka yang katanya ‘inovatif’, ada dirinya. Ada tangannya. Ada pikirannya.“Aku bangga,” katanya pelan. “Kamu layak dapet itu.”Galan meny

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-11
  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 14 – Cinta yang Semakin Sepi

    Pagi itu dingin, tapi bukan karena cuaca. Bukan juga karena angin yang masuk dari celah jendela yang belum sempat diperbaiki. Dingin itu datang dari suara yang tak lagi hangat, dari tatapan yang mulai terasa jauh, dan dari kehadiran yang tak lagi menyentuh hati.Nayla terbangun lebih dulu seperti biasa. Ia menyeduh dua gelas kopi—satu manis tanpa gula untuknya, dan satu dengan krimer yang selalu jadi favorit Galan. Meja kecil sudah dirapikan, sarapan sederhana disiapkan: roti isi telur dadar dan irisan tomat sisa kemarin.Tapi Galan tak keluar dari kamar. Hanya suara ponselnya yang terdengar. Nada rendah, tawa pelan yang ditahan, lalu langkah cepat ke arah kamar mandi sambil menutup pintu.Nayla mematung.Beberapa hari terakhir, hal itu menjadi rutinitas baru. Galan lebih sering menerima telepon di kamar mandi, atau di luar kost, atau saat ia menyuruh Nayla membeli sesuatu ke warung. Dan tiap kali ia kembali, Galan sedang tertawa kecil dengan suara pelan—bukan tawa lega seperti dulu,

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-12

Bab terbaru

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 30

    Galan akhirnya memutar kursinya, menghadap Nayla sepenuhnya. Ada ekspresi waspada di wajahnya. "Nayla, apa sebenarnya yang ingin kau katakan?"Nayla menimbang, haruskah ia mengungkapkan tentang helaian rambut dan aroma parfum itu? Atau menunggu waktu yang lebih tepat?"Tidak ada," jawabnya akhirnya. "Hanya penasaran bagaimana acara gala itu. Kau hampir tidak bercerita apa-apa saat pulang malam itu."Galan menatapnya lama, seolah mencari tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Nayla. "Acaranya biasa saja. Formal, membosankan, banyak obrolan bisnis.""Dan Alya?" nama itu terasa pahit di lidah Nayla. "Apakah dia... menikmati acaranya?""Nayla," nada suara Galan berubah, ada kekesalan di dalamnya. "Bisakah kita tidak memulai ini lagi? Aku harus kembali ke kantor.""Memulai apa?" Nayla balik bertanya, kini ada tantangan dalam suaranya. "Aku hanya bertanya tentang kolegamu.""Kau tahu persis apa yang kau lakukan," Galan menutup laptopnya de

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 29

    Tiga hari berlalu sejak pembicaraan pagi itu. Tiga hari penuh dengan keheningan yang canggung, percakapan singkat tentang hal-hal remeh, dan malam-malam yang dihabiskan di ruangan terpisah. Galan kembali tenggelam dalam rutinitas kerjanya—berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut malam, kadang bahkan tidak pulang dengan alasan lembur atau meeting di luar kota. Nayla pun mulai sibuk dengan proyek barunya, membiarkan dirinya terserap dalam sketsa dan desain sebagai pelarian dari kenyataan rumah tangga yang perlahan runtuh.Pagi itu, Senin yang kelabu, Nayla menemukan setumpuk pakaian kotor di keranjang laundry. Sebagian besar milik Galan—kemeja-kemeja kerja, celana formal, dan di bagian paling bawah, jas navy yang ia kenakan minggu lalu ke acara gala perusahaan. Acara yang Nayla tidak diundang untuk hadir."Rutinitasmu tak berubah, ya?" gumam Nayla pada dirinya sendiri sambil memilah pakaian. Meski hubungan mereka sedang di ambang kehancuran, ia masih melak

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 28

    "Mungkin kita berdua," jawabnya akhirnya. "Mungkin kita berdua sama-sama membiarkan jarak itu tumbuh."Nayla menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak, Galan. Aku mencoba. Aku berusaha menjaga komunikasi kita, mengajakmu bicara, bertanya tentang harimu. Tapi kau selalu menjawab dengan singkat, selalu terburu-buru, selalu ada meeting berikutnya atau email yang harus dibalas."Galan menatap Nayla, ada rasa bersalah yang kini terpancar jelas di matanya. "Aku tidak menyadarinya," ucapnya pelan. "Aku pikir... aku pikir kau mengerti kesibukan pekerjaanku.""Aku mengerti, Galan. Tapi mengerti tidak berarti aku harus menerima diabaikan, ditinggalkan, dan digantikan pelan-pelan dalam hatimu."Kata-kata Nayla menggantung di udara, berat dan menusuk. Galan terlihat kehabisan kata-kata, seperti seseorang yang akhirnya menyadari kesalahan fatal yang telah ia lakukan, namun terlalu terlambat untuk diperbaiki."Apakah..." Galan memulai dengan ragu, "apakah artinya

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 27

    Pagi itu, Nayla berdiri di depan cermin kamar tamu. Matanya sembab, lingkaran hitam menghiasi bagian bawah kelopaknya yang bengkak. Rambutnya acak-acakan karena tak tidur semalaman. Tangannya menyentuh permukaan cermin, seolah ingin memastikan bahwa bayangan yang terpantul adalah benar dirinya."Siapa kau?" bisiknya pada refleksi yang menatap balik dengan sorot terluka.Suara air mengalir dari kamar mandi utama terdengar samar. Galan sudah bangun, bersiap-siap untuk berangkat kerja seperti pagi-pagi biasanya—seolah semalam tak pernah terjadi apa-apa, seolah topeng mereka tak pernah terlepas.Nayla menarik napas dalam-dalam. Aroma kopi menguar dari dapur, mengisi apartemen dengan kehangatan yang ironis. Galan selalu menyeduh kopi untuk mereka berdua setiap pagi—salah satu kebiasaan yang masih bertahan dari masa-masa awal pernikahan mereka. Namun pagi ini, rutinitas itu terasa hambar, seperti sebuah gerak refleks belaka, bukan lagi ungkapan kasih.

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 26

    "Ya," akhirnya ia mengakui. "Dengan Alya. Tapi itu murni profesional, Nayla.""Profesional?" Nayla tersenyum pahit. "Apakah 'aku juga senang bisa ngobrol sama kamu' termasuk percakapan profesional, Galan?"Galan mengacak rambutnya, kebiasaan lama saat ia merasa terdesak. "Kau mengambil kalimat itu dari konteksnya.""Kalau begitu jelaskan konteksnya padaku," tantang Nayla. "Jelaskan mengapa kau berbicara dengan nada seperti itu kepada CMO perusahaanmu di tengah malam. Jelaskan mengapa kau tertawa seperti itu—tawa yang sudah lama tidak kudengar di rumah ini."Galan tidak menjawab. Keheningan yang menyakitkan kembali menyelimuti mereka, hanya diinterupsi oleh suara hujan yang semakin deras di luar."Tidak bisa menjawab?" tanya Nayla akhirnya, suaranya bergetar. "Atau tidak mau jujur?""Apa yang ingin kau dengar dariku, Nayla?" tanya Galan, nada frustasi jelas terdengar dalam suaranya. "Kau sudah memutuskan apa yang kau percayai.""Aku ingin mend

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 25

    Malam itu hujan turun rintik-rintik di luar jendela apartemen. Nayla duduk sendirian di sofa ruang tengah, menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Cahaya dari layar laptop menerangi wajahnya yang lelah. Sudah hampir tengah malam, dan Galan belum juga pulang—tak ada kabar, tak ada pesan, seolah ia telah terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya.Suara pintu terbuka membuat Nayla menoleh. Galan masuk dengan jas tersampir di lengan dan dasi yang sudah dilonggarkan. Wajahnya terlihat lelah, namun ada sesuatu yang berbeda dari sinarnya—sebuah keceriaan yang tak cocok dengan seseorang yang baru saja menghadiri meeting bisnis hingga larut malam."Oh, kau masih bangun," kata Galan, sedikit terkejut melihat Nayla."Deadline," jawab Nayla singkat, kembali menatap layar laptopnya. "Meeting sampai selarut ini?"Galan meletakkan tasnya di meja. "Ya, lalu kami melanjutkan diskusi di restoran. Kau tahu bagaimana orang-orang Singapura—mereka ingin membicarakan

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 24

    "Kau selalu bilang begitu," bantah Nayla. "Setelah pendanaan awal, kau bilang semuanya akan lebih baik. Setelah ekspansi pertama, kau bilang hal yang sama. Sekarang pendanaan seri B. Nanti apa lagi? IPO? Akuisisi?"Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Di luar, senja mulai berganti malam, menyapu ruangan dengan bayangan panjang yang semakin gelap."Aku harus bersiap-siap," kata Galan akhirnya, memutuskan untuk tidak melanjutkan perdebatan. "Meeting malam ini penting.""Tentu saja," balas Nayla, mengalah seperti biasa. "Semua meetingmu penting."Galan menatapnya sejenak, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Ia berbalik dan berjalan menuju kamar mereka untuk berganti pakaian.Nayla tetap berdiri di dapur, menyandarkan tubuhnya pada konter. Matanya menatap punggung Galan yang menjauh, mengamati caranya berjalan yang kini lebih tegap dan percaya diri—sangat berbeda dari langkah sedikit canggung yang dulu i

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 23 – Jam Tangan Baru, Waktu yang Hilang

    Cahaya matahari sore menerobos masuk melalui jendela apartemen, menciptakan pola keemasan di lantai kayu ruang tamu. Nayla membaca buku di sofa saat mendengar suara lift terbuka di lorong, diikuti langkah kaki yang sudah terlalu familiar baginya—langkah kaki Galan yang ringan namun tegas, ritme yang selalu bisa ia kenali bahkan dengan mata tertutup.Pintu terbuka dan Galan masuk, mengenakan setelan biru tua yang rapi dengan kemeja putih tanpa dasi. Rambutnya tertata sempurna, tidak berantakan seperti dulu saat ia masih menghabiskan malam-malam untuk mengerjakan kode di apartemen sempit mereka."Hai," sapa Nayla, menurunkan bukunya dan menatap Galan dengan senyum tipis."Hai," balas Galan singkat, meletakkan tasnya di meja dan melonggarkan kancing teratas kemejanya. "Sudah makan?""Belum. Aku menunggumu. Kupikir kita bisa makan bersama malam ini."Galan melirik jam dinding. "Maaf, aku sudah ada janji makan malam dengan tim marketing dari Singapura j

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 22 – Sentuhan yang Hilang

    Nayla melangkah pelan ke ruang tengah, mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek yang dulu selalu dikomentari Galan sebagai "outfit paling seksi" karena kesederhanaannya. Lampu ruangan sudah diatur redup—kebiasaan malam mereka sejak dulu. Galan duduk di sofa, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan acara bisnis yang biasanya tak pernah ia tonton."Mau kopi?" tanya Nayla, suaranya lembut memecah keheningan.Galan menoleh sekilas. "Boleh."Nayla mengangguk dan bergerak ke dapur. Tangannya dengan cekatan menyiapkan dua cangkir kopi—satu hitam tanpa gula untuk Galan, satu dengan sedikit susu dan satu sendok gula untuk dirinya sendiri. Rutinitas yang sudah ratusan kali ia lakukan, hingga tangannya bisa bergerak otomatis tanpa perlu berpikir.Ia masih ingat bagaimana dulu mereka sering berbagi cangkir yang sama, Galan akan menyesap dari sisi yang sama dengan bekas lipstik Nayla, mengatakan itu cara tidak langsung untuk menciumnya. Kenangan kecil yang dulu terasa remeh, ki

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status