Home / Romansa / Balas Dendam Sang Pendamping Setia / Bab 6 – Wanita Seribu Peran

Share

Bab 6 – Wanita Seribu Peran

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-04-08 08:29:44

Jam di dinding berdetak lambat, seakan tahu bahwa malam ini Nayla tak ingin cepat berlalu. Angka digital merah di pojok ponselnya menunjukkan pukul 22.07. Suara mesin jahit manual yang ia gunakan sejak sore mulai melemah. Tangan kanannya terasa berat, jari-jarinya pegal karena menjahit puluhan badge seragam sekolah untuk anak-anak SD di lingkungan sekitar.

Benang terakhir ia potong dengan gunting kecil, lalu disusun rapi seragam-seragam itu di atas kursi lipat. Satu pesanan lagi selesai. Satu langkah kecil untuk membayar tagihan listrik minggu depan.

Nayla menghela napas panjang. Lehernya kaku, bahunya terasa seperti tertusuk jarum. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding lembab kamar kos berukuran 3x4 itu. Di pojok ruangan, galon air sudah lama kosong. Bahkan suara 'gluk-gluk' terakhir dari dispenser tadi siang masih membekas di kepalanya.

“Besok pagi harus angkat galon baru...” gumamnya, matanya mengarah pada botol air minum yang tinggal seperempat.

Di sudut ruangan yang lain, Galan tertidur dengan laptop di pangkuan. Slide presentasi masih terbuka, tampilan Excel penuh grafik dan angka. Kepalanya miring ke kanan, bibirnya sedikit terbuka. Sesekali ia menggumam tak jelas, mungkin tentang pitch deck, investor, atau deadline yang terus membayang.

Nayla memandanginya lama.

Laki-laki itu selalu tampak sibuk sekarang. Pulang larut malam. Kadang lupa makan. Dan meski tubuhnya ada di kamar yang sama, Nayla merasa ia harus menjangkau lebih jauh untuk sekadar menyentuh pikirannya.

Ia beringsut pelan, mengambil selimut tipis dari ujung ranjang, lalu menyelimutkan tubuh Galan. Ia menyingkirkan laptopnya pelan-pelan, takut membangunkannya. Tangannya bahkan sempat berhenti di atas keyboard, sekadar membaca judul presentasi: "Vivara – Digitalisasi UMKM Menuju Masa Depan".

Senyum tipis muncul di wajah Nayla.

"Aku yang bekerja, kamu yang bermimpi. Tapi tak apa... asal kita jalan bareng," bisiknya, nyaris tak terdengar.

**

Pagi belum datang saat Nayla bangun. Alarmnya berbunyi pukul 04.45, dan tanpa banyak berpikir, ia langsung menggulung rambut, mencuci muka, lalu membuka buku matematika untuk menyiapkan materi les privat pagi ini. Hari ini ia akan mengajar anak SMP yang akan menghadapi ujian akhir. Anak itu cerdas, tapi sulit fokus. Nayla harus menyiapkan cara belajar yang menyenangkan.

Setelah selesai menyusun soal latihan, ia bergegas menyiapkan sarapan. Tak banyak—hanya nasi goreng sederhana dari sisa nasi semalam dan dua telur mata sapi.

“Kalau nggak ada telur, Galan bisa pusing,” katanya sendiri sambil memasak.

Setelah sarapan selesai, ia menuangkan air panas ke dalam termos dan meletakkannya di samping gelas kopi instan kesukaan Galan. Lalu, ia menyelipkan catatan kecil di sebelah gelas:

"Good luck pitching hari ini. Kamu pasti bisa. Jangan lupa sarapan, ya! – N"

Setelah itu, Nayla keluar dari kamar, mengunci pintu pelan-pelan, dan berjalan cepat ke tempat les.

**

Hari berlalu tanpa jeda. Dari les privat pagi hingga siang, Nayla langsung ke warung kecil tempat ia biasa bantu-bantu di jam makan siang. Ia mencatat pesanan, mencuci piring, bahkan membantu ibu pemilik warung memasak.

“Nayla, kamu ini hebat ya... muda, cantik, kerja keras. Calon istri siapa sih kamu?” canda si ibu warung sambil menumis.

Nayla hanya tertawa kecil. “Calon istri pengusaha sukses, Bu. Tapi masih berjuang dari nol.”

“Wah, cocok! Kamu memang tipe wanita seribu peran!”

Ucapan itu membuat Nayla terdiam sejenak. Seribu peran. Ya. Ia merasa seperti memegang semuanya—jadi guru, penjahit, pembantu warung, sekretaris tidak resmi, sekaligus kekasih dan pendukung utama seseorang yang tengah mengejar impiannya.

Tapi di balik semua itu, kadang ia ingin... jadi hanya satu: pasangan yang dicintai sepenuhnya.

**

Sore hari, hujan turun mendadak. Nayla berlari kecil menembus gerimis dengan bungkusan makanan di tangannya. Ia membeli nasi padang untuk Galan—makanan favoritnya kalau sedang stres. Beberapa kali sebelumnya, Galan bilang nasi padang bisa bikin pikirannya “lebih tajam”.

Saat sampai di kamar, ia mendapati pintu tidak terkunci.

“Galan?” panggilnya pelan.

Tidak ada sahutan. Tapi suara air mengalir dari kamar mandi. Laptop Galan menyala di meja, dan di layar, sebuah panggilan Zoom masih aktif, meski tanpa suara. Terdapat rekaman presentasi tadi siang. Galan tampak percaya diri, berbicara dengan seseorang yang Nayla belum pernah lihat sebelumnya.

Di layar, seseorang tertawa. Seorang wanita dengan blazer krem dan wajah penuh riasan profesional.

“Oh, Clara...” desis Nayla, mengenali wajah itu.

Ia memalingkan wajah, meletakkan bungkusan nasi padang di atas meja, lalu duduk di lantai. Ia mengganti bajunya dengan kaus lusuh, kemudian diam menatap ke luar jendela.

Hujan belum reda. Tapi di dalam dadanya, badai sudah mulai membesar.

**

Malamnya, Galan pulang. Segar, wangi, dan terlihat senang.

“Pitching-nya lancar?” tanya Nayla sambil menyiapkan air hangat untuk Galan.

“Banget! Clara bilang mereka akan bahas internal dan mungkin minggu depan sudah ada keputusan. Doain ya!”

“Pasti aku doain,” jawab Nayla lembut.

“Dan ini...” Galan mengeluarkan kotak kecil. “Bonus dari Clara. Produk skincare dari perusahaan rekanannya. Katanya kamu pasti suka.”

Nayla membuka kotak itu. Isinya cantik, mahal. Tapi di hatinya, ada rasa getir.

Dulu kamu selalu kasih aku sesuatu dari hasil keringat sendiri. Sekarang… kenapa yang kamu bawa adalah pemberian orang lain?

Namun ia tersenyum, tetap menjaga wajahnya tetap hangat. “Makasih. Aku suka.”

Galan memeluknya sekilas. “Kamu pahlawan, Nay. Aku nggak akan sampai sini tanpa kamu.”

Dan itu lagi-lagi cukup bagi Nayla—cukup untuk membuatnya bertahan semalam lagi.

**

Beberapa hari kemudian, Nayla berdiri di depan cermin kecil, menyisir rambutnya yang kusut. Di meja, tumpukan seragam baru harus dijahit, lembar latihan harus dikoreksi, dan galon air yang ia ganti dua hari lalu sudah hampir habis lagi.

Ia menatap dirinya sendiri.

Wajahnya sedikit pucat. Lingkaran hitam di bawah mata semakin jelas. Tapi ia tetap tegak.

Wanita seribu peran.

Penopang rumah tangga yang belum resmi menjadi rumah tangga.

Bayangan dalam cahaya kesuksesan lelaki yang ia cintai.

**

Tapi suatu hari, akan datang saat di mana ia bertanya:

Apakah aku masih bagian dari mimpi itu? Atau aku hanya anak tangga yang akan dilewati saat impian itu mulai menggapai awan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 284

    “Siapa yang mengancam pekerjaanmu?” tanya Nayla dengan suara tenang namun tegas kepada perempuan di ujung telepon.“Saya tidak tahu pasti. Ada seseorang yang menelepon bagian HR di kantor. Mereka bilang saya terlibat dalam ‘aktivitas politik kontroversial’ dan mengancam akan menghubungi klien besar kalau perusahaan tetap mempekerjakan saya.”Nayla merasakan simpul yang familiar di perutnya. Kali ini bukan ketakutan, melainkan amarah yang adil—dan tekad untuk melindungi.“Dengar aku baik-baik,” ucap Nayla dengan suara mantap sekaligus menenangkan. “Kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Kau hanya menceritakan kebenaranmu demi membantu perempuan lain. Dan aku tidak akan membiarkanmu menanggung akibat hanya karena keberanian itu.”“Tapi Nayla, aku tidak bisa kehilangan pekerjaan. Aku punya dua anak—”“Kau tidak akan kehilangan pekerjaanmu. Beri aku kontak direktur HR-mu, dan izinkan tim hukumku langsung menghubungi perusahaanmu.”Begitu telepon ditutup, Nayla segera mengumpulkan Arvino d

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 283

    “Kita harus segera merespons bukti palsu ini,” ujar Arvino sambil membuka laptop dan mulai menyusun draf pernyataan hukum. “Kalau kita terlambat, media bisa menafsirkannya sebagai pengakuan bersalah.”“Tunggu dulu.” Nayla mengangkat tangannya. “Sebelum bereaksi, aku ingin melihat dulu persis apa yang mereka tuduhkan.”Elena Rodriguez mengirimkan tautan artikel yang sudah dimuat di tiga media internasional besar. Nayla membaca seksama, sementara Harra dan Arvino ikut menunduk membaca dari balik bahunya.“Mereka menulis bahwa testimoni para perempuan dalam bukuku itu rekayasa,” kata Nayla setelah selesai. “Dan mereka mengklaim punya ‘sumber’ yang bisa membuktikan kalau aku tidak pernah benar-benar mewawancarai mereka.”“Itu jelas bohong,” sergah Harra, wajahnya memerah karena kesal. “Aku masih ingat Ibu melakukan wawancara lewat telepon dengan beberapa perempuan itu. Bahkan aku sempat membantu mengetik hasil transkripnya.”“Aku juga masih menyimpan semua rekaman wawancara, surat persetu

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 282

    “Dr. Chen,” suara Nayla terdengar tenang, meski tegas, “saya akan memberikan jawaban besok pagi. Saya perlu berdiskusi dulu dengan keluarga saya.”“Mrs. Kusuma, saya mengerti,” jawab Dr. Chen, “tapi komite Parlemen Eropa akan bersidang lusa. Waktunya sangat terbatas.”“Dan justru karena pentingnya keputusan ini, saya tidak akan mengambil pilihan terburu-buru. Selamat malam, Dr. Chen.”Nayla menutup telepon. Tatapannya beralih pada Arvino dan Harra yang sudah berkumpul di ruang kerja. Wajah keduanya memancarkan kekhawatiran, tapi juga penuh dukungan.“Mereka ingin aku memberikan kesaksian di Parlemen Eropa, tentang rekomendasi kebijakan perlindungan penyintas kekerasan,” ujar Nayla, duduk di antara suami dan anaknya. “Tapi ada kampanye terorganisir yang mencoba merusak reputasiku dan mengacaukan setiap penampilan publik.”Harra menggenggam tangan ibunya erat. “Apa pun yang Ibu putuskan, aku akan mendukung. Tapi aku ingin Ibu tahu… aku bangga. Kesempatan ini bisa membuat undang-undang y

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 281

    “Jurnalis internasional?” tanya Nayla sambil menatap satpam dengan ekspresi waspada, meski nada suaranya tetap tenang. Pengalaman beberapa bulan terakhir telah mengajarkannya untuk tidak reaktif setiap kali ada tamu tak terduga.“Betul, Bu. Dia mengaku bernama Elena Rodriguez dari The Guardian. Identitas persnya tampak sah, tapi saya tetap perlu konfirmasi pada Ibu terlebih dahulu.”Arvino melepaskan pelukan di pinggang Nayla, lalu bergerak ke posisi yang protektif tanpa terlihat mencolok.“Nayla, kamu memang ada janji dengan The Guardian?”“Tidak. Tapi agen literasiku sempat bilang kalau mereka tertarik menulis liputan internasional tentang bukuku. Mungkin ini kelanjutannya.”Harra, yang tadinya santai membaca, kini duduk lebih tegak. “Bu, apa kita perlu khawatir? Maksudku… setelah semua yang terjadi dengan Daniel—”“Nak, kita tidak bisa hidup dengan rasa takut selamanya. Tapi kita juga tidak boleh lengah.” Nayla menoleh pada satpam. “Tolong minta Nona Rodriguez menunggu di lobi. Per

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 280

    “Bukti apa yang membuat polisi khawatir tentang keselamatan kami?” tanya Nayla. Suaranya terdengar tenang, meski jantungnya berdebar kencang.“Miss Mahardika,” jawab Detektif Rahman dari seberang telepon, “di laptop Daniel Prawira yang kami sita, kami menemukan korespondensi dengan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Ada indikasi rencana untuk mengintimidasi Anda dan keluarga jika penyelidikan berlanjut.”Daniel yang mendengar penjelasan itu langsung panik. “Itu tidak benar! Saya tidak pernah—”“Mr. Prawira,” potong Detektif Rahman cepat, “Anda masih dalam pengawasan kami. Lebih baik tidak berkomentar tanpa pendampingan pengacara. Miss Mahardika, demi keselamatan Anda dan putri Anda, kami merekomendasikan perlindungan khusus selama penyelidikan berlangsung.”Harra spontan menolak. “Ibu, aku tidak mau sembunyi lagi. Kita sudah tidak sembunyi dari siapa pun.”“Nak,” kata Nayla lembut, “ini berbeda. Bukan soal rasa malu atau ketakutan. Ini soal keselamatan kita yang nyata.”Arvino

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 279

    “Tunggu sebentar,” ucap Nayla pada petugas keamanan, matanya menatap Maya dengan ekspresi tenang tapi penuh ketegasan. “Maya, matikan dulu rekaman podcast-nya.”Maya segera menghentikan perekaman. “Nay, kamu nggak perlu hadapi ini sendirian. Kita bisa—”“Tidak apa-apa.” Nayla berdiri dengan tubuh tegak, suaranya mantap. “Inilah persis situasi yang aku tulis di buku. Saat masa lalu mencoba menarikmu kembali, kamu harus memutuskan: mau menjawab dengan ketakutan, atau dengan kekuatan.”“Tapi ini bisa berbahaya.”“Makanya aku akan menanganinya dengan cerdas.” Nayla mengeluarkan ponselnya dan menelepon Arvino. “Vino, situasi di sini makin memanas. Perwakilan Daniel ada di studio, dan mereka ingin bertemu. Media juga sudah mulai berkumpul di luar.”“Nayla, jangan hadapi mereka langsung. Panggil keamanan, kalau perlu polisi. Jangan beri kesempatan sedikit pun untuk mereka memanipulasi keadaan.”“Justru aku punya ide yang lebih baik. Kamu masih terhubung dengan tim hukum PBB?”“Ya, mereka sta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status