Ruangan itu tak besar, bahkan lebih mirip aula sewaan untuk seminar kecil daripada acara formal. Tapi malam itu, lampu-lampu gantung berjajar rapi di langit-langit, tirai hitam dipasang untuk menutupi tembok usang, dan di sudut ruangan, sebuah layar proyektor menampilkan logo startup dengan huruf kapital berwarna biru muda: VIVARA.
“Visi Baru untuk Era Baru.” Begitu tagline yang tertulis di bawahnya.
Galan berdiri di atas panggung kecil berkarpet tipis. Ia mengenakan kemeja putih yang baru saja disetrika Nayla tadi siang, dipadukan dengan jas hitam bekas pinjaman temannya. Tangannya sedikit bergetar saat memegang mikrofon, tapi wajahnya memancarkan semangat dan keberanian.
“Selamat malam, semuanya,” ucapnya membuka pidato. “Saya Galan Mahesa, founder dari Vivara Tech. Startup ini belum punya kantor, belum punya tim besar, dan modal kami pun masih terbatas. Tapi kami punya satu hal: keyakinan.”
Beberapa kepala di antara audiens mulai menoleh. Di deretan kursi baris ketiga dari depan, seorang wanita muda duduk anggun meski kursinya berderit setiap kali ia sedikit bergerak. Gaun sederhana berwarna biru tua yang ia kenakan sudah mulai pudar warnanya, hasil diskon toko daring dua bulan lalu. Tapi ia duduk dengan kepala tegak, senyum merekah, dan mata yang berbinar penuh kebanggaan.
Itulah Nayla.
Sejak Galan mengajaknya pindah ke kosan sempit itu, sejak pagi-pagi mereka makan mie instan dan sore bekerja di bawah terik matahari, malam ini adalah titik terang yang sangat ditunggu. Momen ketika semua perjuangan terasa punya tujuan.
“Vivara bukan hanya tentang teknologi,” lanjut Galan, suaranya mantap. “Ini tentang membantu UMKM naik kelas. Tentang memberi ruang bagi bisnis kecil yang selama ini tertinggal oleh era digital. Kami ingin membangun sistem distribusi yang efisien, transparan, dan mudah diakses. Dan semua ini… semua ini tidak akan pernah ada kalau bukan karena satu wanita di hidup saya.”
Galan berhenti sejenak. Matanya menyapu penonton, lalu tertuju pada Nayla.
“Dialah Nayla. Wanita yang percaya pada saya saat dunia belum melihat apa-apa dari saya. Yang rela meninggalkan segala kenyamanannya demi satu hal: keyakinan bahwa saya bisa jadi seseorang. Tanpa dia, saya bukan siapa-siapa.”
Tepuk tangan menggema di ruangan. Beberapa peserta yang sebelumnya terlihat acuh kini ikut bertepuk tangan, beberapa bahkan menoleh untuk melihat Nayla, yang kini tertunduk malu, matanya berkaca-kaca.
Di saat itulah, untuk pertama kalinya sejak mereka memulai segalanya dari nol, Nayla merasa dihargai. Bukan karena kekayaan, bukan karena status sosialnya sebagai putri keluarga Hartono, tapi sebagai dirinya sendiri. Sebagai wanita yang memilih bertahan, bahkan ketika logika berkata sebaliknya.
**
Setelah acara usai, beberapa orang menghampiri Galan untuk berbincang dan bertukar kartu nama. Nayla berdiri di belakang, memberi ruang. Ia tahu ini malam penting bagi Galan. Ia ingin Galan bersinar.
Beberapa wanita muda dengan penampilan profesional dan dandanan rapi ikut mendekat. Mereka tertawa pada lelucon Galan, mengangguk setiap kali ia menjelaskan konsep Vivara, dan bahkan menawarkan kolaborasi. Nayla memperhatikan dari kejauhan, menatap Galan yang kini mulai tampak berbeda—lebih percaya diri, lebih luwes, dan lebih... berjarak.
“Galan, pitch kamu tadi keren banget,” ujar seorang wanita yang mengenalkan diri sebagai Clara, manager pemasaran dari perusahaan venture capital.
“Terima kasih. Saya hanya mencoba jujur,” jawab Galan, tersenyum.
“Kamu punya potensi besar. Dan jujur aja, karismamu itu... bikin orang mudah percaya.”
Galan tertawa. “Semoga itu cukup untuk dapat pendanaan.”
Clara menoleh ke arah Nayla. “Itu pasanganmu?”
Galan menoleh sekilas. “Iya. Nayla, tunangan saya.”
Clara mengangguk sopan, lalu melanjutkan obrolannya dengan Galan.
Nayla mencoba tak terlalu memikirkan nada suara Galan yang terasa... datar. Tapi hatinya mulai digelitik perasaan tak nyaman yang tak bisa ia jelaskan.
**
Dalam perjalanan pulang, mereka naik ojek online berboncengan. Hujan rintik-rintik turun, mengaburkan kaca helm yang dipakai Nayla. Galan duduk di depan, diam sepanjang jalan. Saat sampai di kos, mereka langsung masuk ke kamar.
Galan melepas jasnya, menaruhnya di gantungan paku tembok. Nayla menggantung gaunnya di sisi ranjang, lalu duduk sambil membuka sepatunya.
“Kamu hebat tadi malam,” kata Nayla akhirnya.
Galan mengangguk. “Thanks.”
“Banyak yang tertarik, ya?”
“Lumayan. Clara bilang dia mau bahas kemungkinan pitching formal minggu depan.”
“Clara yang rambut pendek itu?”
“Iya. Dia kerja di perusahaan VC gede.”
Nayla diam sejenak. Ia menunduk, lalu bertanya dengan suara pelan. “Kamu bangga padaku?”
Galan menoleh, bingung. “Maksud kamu?”
“Tadi waktu kamu nyebut nama aku di depan semua orang... itu bikin aku bahagia banget. Tapi waktu kamu kenalin aku ke Clara, nadanya beda. Kayak... aku cuma tambahan. Bukan bagian dari kamu.”
Galan mengerutkan kening. “Nay, kamu terlalu sensitif. Aku cuma jaga kesan profesional. Kamu tahu, dunia bisnis itu tricky. Kalau aku kelihatan terlalu personal, bisa-bisa mereka pikir aku nggak fokus.”
Nayla mengangguk pelan. “Maaf kalau aku terlalu perasa.”
Galan mendekat, lalu duduk di sebelah Nayla. Ia memegang tangannya. “Kamu tahu aku sayang kamu, kan?”
Nayla mengangguk lagi. Tapi entah kenapa, malam itu, kalimat itu tak lagi terdengar sekuat dulu.
**
Hari-hari selanjutnya, Galan semakin sibuk. Pitching demi pitching, pertemuan dengan calon mitra, hingga makan malam bisnis yang seringkali Nayla tak diundang. Ia bilang, “Nay, kamu kan nggak nyaman di situ. Biar aku aja.”
Tapi Nayla tahu, itu bukan soal kenyamanan. Itu tentang image.
Namun meski hatinya mulai diselimuti kabut kekhawatiran, ia tetap berdiri. Tetap menyetrika baju Galan, tetap membuatkan sarapan seadanya, tetap memeluknya setiap malam. Karena ada satu hal yang terus jadi tumpuan hidup Nayla: janji Galan.
Janji bahwa mereka akan sukses bersama. Janji bahwa kalau usaha ini berhasil, mereka akan menikah, punya rumah sendiri, dan membalas semua yang dulu dilepas demi cinta.
Janji bahwa semua ini bukan pengorbanan sia-sia.
Ia menggantungkan hatinya pada janji itu. Sekuat dan setegar apa pun ia mencoba tak berharap terlalu tinggi, tetap saja, ia ingin percaya.
Bahwa lelaki itu tak akan berubah.
Bahwa dirinya tak akan dilupakan saat kesuksesan mulai mengetuk pintu.
Tapi ia belum tahu—bahwa kadang, cinta tak cukup untuk membuat seseorang tetap setia pada apa yang dulu ia perjuangkan.
Dan pujian manis di atas panggung malam itu, akan jadi satu-satunya penghargaan yang Nayla terima... sebelum semuanya berubah.
.
Langkah-langkah sepatu hak Nayla bergema di koridor marmer gedung tinggi di kawasan SCBD. Tegas, mantap, penuh keyakinan. Tak ada lagi bayang-bayang ragu yang dulu sering mencuri pijakannya. Di tangannya, tas kulit hitam berisi proposal yang telah dipoles dan diperjuangkan selama berminggu-minggu.Hari ini bukan hari biasa. Hari ini, dia akan bertemu Marcus Chen—direktur utama Chen Industries. Tiga tahun lalu, nama itu sempat menjadi bayang samar dalam kisah masa lalunya bersama Galan. Kala itu, Galan menolak tawaran Marcus untuk menjalin kerja sama. Terlalu kaku, katanya. Terlalu mengatur. Ego Galan menolak diatur siapa pun, apalagi oleh mitra yang baru dikenal.Nayla masih mengingat betul malam itu.Galan pulang dengan wajah muram, membanting kunci mobil ke meja kaca.“Dia pikir dia siapa?” gerutunya. “Mau ngatur-ngatur perusahaan gue? Gue sukses tanpa bantuan orang kayak dia.”Nayla, yang saat itu masih menjadi tempat pulang segala amarah dan frustrasi Galan, hanya mengangguk pelan
Nayla berdiri di balkon lantai empat puluh Hotel Mandarin Oriental, menatap gemerlap lampu Jakarta yang berkelap-kelip seperti bintang jatuh di bumi. Udara malam yang masih menyimpan aroma hujan menyentuh wajahnya lembut, menyapu rambutnya yang tergerai—dingin, tapi justru menenangkan.Di belakangnya, di atas meja kaca, trofi kristal yang tadi malam ia genggam dengan penuh kebanggaan kini berdiri tenang, memantulkan cahaya kamar. Tapi Nayla tak menoleh. Pandangannya terpaku pada cakrawala. Jakarta yang dulu menjadi tempat ia berlutut dalam hancur kini menjadi saksi kebangkitannya."Tehmu sudah dingin."Suara bariton itu memecah keheningan. Nayla menoleh. Di ambang pintu berdiri Adrian—dengan sweater krem sederhana dan celana kain, membawa dua cangkir teh.Adrian Wijaya. Pria tiga puluh lima tahun, dokter anak, yang hadir dalam hidup Nayla bukan sebagai penyelamat, bukan sebagai pengganti, tapi sebagai seseorang yang melihatnya. Enam bulan lalu, mereka bertemu di rumah sakit saat Nayla
Nayla berdiri di podium, menggenggam trofi kristal dengan kedua tangan. Kilapnya memantulkan cahaya panggung, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak—melainkan beban dari setiap kata yang sebentar lagi akan ia ucapkan.Auditorium itu luas, dingin, penuh sorotan mata dan ekspektasi. Tapi Nayla tak gentar. Di balik detak jantung yang memacu cepat, ada keheningan dalam dirinya—hening, tapi kokoh.Ia tahu, di antara ratusan pasang mata yang menatapnya malam itu, ada sepasang mata yang pernah ia kenal terlalu dalam. Mata seseorang yang tak seharusnya hadir, tapi entah bagaimana kehadirannya justru terasa seperti titik akhir dari sebuah lingkaran yang pernah terbuka… dan tak pernah benar-benar tertutup.Nayla menarik napas panjang.Lalu ia mulai bicara.“Tiga tahun lalu…” suaranya jernih, tapi gemetar halus. “…aku berdiri di titik tergelap dalam hidupku.”Seluruh ruangan mendadak senyap. Bahkan napas pun terasa enggan keluar.“Aku kehilangan lebih dari sekadar hubungan,” lanjutnya,
Galan duduk di deretan paling belakang auditorium, tersembunyi di antara ratusan hadirin yang hadir malam itu. Gaun formal yang dikenakannya tak semewah dulu, dan jasnya tampak sedikit longgar. Berat tubuhnya turun drastis dalam beberapa bulan terakhir, dan tangan yang dulu stabil saat memegang gelas wine kini bergetar pelan ketika meraih segelas air putih.Ia tak seharusnya berada di sini.Tiket yang dia dapatkan pun bukan dari jalur undangan resmi, melainkan dari kenalan lama di industri media—seseorang yang dulunya akan dengan bangga menyambut Galan sebagai tamu VIP, kini hanya mampu memberinya kursi tanpa nama, jauh di sudut ruangan. Tapi itu tak masalah. Galan sudah terbiasa dengan versi hidupnya yang ini: jauh dari sorotan, jauh dari puncak.Yang penting, dia bisa melihatnya.Melihat Nayla.Ketika pembawa acara mulai membacakan nominasi untuk kategori "Wanita Muda Paling Berpengaruh di Dunia Bisnis Asia", dada Galan terasa sesak. Ia tahu nama itu akan disebut. Ia telah mengikuti
"Mereka mengingatkan saya bahwa hidup ini bukan tentang apa yang kita terima, tapi tentang apa yang kita berikan. Bukan tentang seberapa tinggi kita bisa naik, tapi tentang berapa banyak tangan yang bisa kita ulurkan untuk membantu orang lain naik bersama kita."Di barisan wartawan, seorang jurnalis muda mencatat dengan serius. Bukan lagi tertarik pada drama personal, tapi pada substansi dari apa yang disampaikan Nayla."Penghargaan yang saya terima malam ini," Nayla mengangkat trofi kristal yang berkilau di tangannya, "bukan hanya milik saya. Ini milik setiap orang yang pernah merasa tidak cukup tapi memilih untuk tetap berusaha. Milik setiap orang yang pernah jatuh tapi bangkit dengan lebih kuat. Milik setiap orang yang memilih untuk mengubah luka menjadi kekuatan."Tepuk tangan gemuruh pecah. Beberapa orang berdiri, kemudian seluruh auditorium ikut berdiri dalam standing ovation yang tulus.Nayla berdiri di podium, tidak lagi sebagai wanita yang ditinggalkan, bukan lagi sebagai kor
Nayla berdiri di belakang panggung, mendengar gemuruh tepuk tangan yang bergema dari auditorium. Gaun hitam yang dipilihnya dengan hati-hati terasa seperti baju besi—elegan namun kuat, melindunginya dari segala keraguan yang masih tersisa.Tangannya menyentuh kalung sederhana di lehernya, hadiah dari ibunya bertahun-tahun lalu. "Ingat, sayang," bisik ibunya dulu, "kekuatan sejati datang dari dalam, bukan dari pengakuan orang lain."Kalimat itu kini bergema dengan makna yang berbeda."Miss Nayla, lima menit lagi," bisik asisten panggung dengan lembut.Nayla mengangguk, napasnya teratur meski jantungnya berdebar. Ini bukan pertama kalinya dia berdiri di panggung besar, tapi kali ini berbeda. Kali ini dia berdiri bukan sebagai bayangan siapa pun, bukan sebagai pelengkap kesuksesan orang lain.Dia berdiri sebagai dirinya sendiri.Melalui celah tirai, dia bisa melihat ratusan orang duduk di kursi-kursi merah mewah. Para pemimpin industri, inovator, changemaker dari berbagai belahan dunia.