Matahari sudah turun ke balik awan kelabu ketika Nayla berdiri di halte. Udara sore itu padat oleh asap kendaraan dan debu jalanan, membuat napas terasa berat. Di kedua tangannya, ia menenteng dua kantong besar berisi baju pesanan pelanggan onlinenya—masing-masing dibungkus rapi dengan plastik, diberi label alamat tulisan tangan. Tangannya bergetar, bukan karena dingin, tetapi karena kelelahan.
Baru satu jam lalu ia menyelesaikan les privat dengan seorang anak SD. Anak itu sedang persiapan lomba matematika dan Nayla sudah menjanjikan tambahan waktu belajar. Mata dan pikirannya nyaris kosong saat itu, tetapi senyum anak kecil itu menguatkannya.
Sekarang, ia harus buru-buru kirim paket ke agen ekspedisi sebelum tutup. Kalau terlambat, rating tokonya bisa jatuh, dan ia tak punya waktu atau tenaga untuk menjelaskan ke semua pelanggan yang mungkin komplain.
Di seberangnya, jalanan macet total. Klakson bersahut-sahutan. Bus mini yang ditunggunya belum juga datang. Ia mengusap peluh di dahi dengan punggung tangan, meski keringat terus merembes dari balik kerudung tipisnya.
Ponselnya bergetar. Nama Galan muncul di layar.
Dengan cepat ia angkat. “Halo?”
“Nay, kamu sibuk nggak?” suara Galan terdengar cemas, terburu-buru.
“Sedikit. Mau kirim pesanan. Kenapa?”
“Aku butuh tolong. Kamu bisa pinjemin uang lima ratus ribu? Aku butuh banget buat bahan cetak proposal—yang ini penting banget, kemungkinan deal-nya besar,” katanya tanpa jeda, seperti takut permintaannya ditolak kalau memberi Nayla waktu berpikir.
Nayla menggigit bibir. Lima ratus ribu.
Itu uang terakhir yang tersisa setelah ia membayar listrik dan galon. Uang itu ia sisihkan untuk beli bahan makanan minggu ini. Tanpa itu, ia harus hidup dari mi instan dan air putih.
Tapi suara Galan terdengar seperti seseorang yang sedang berdiri di tepi tebing.
“Bisa. Aku transfer sekarang,” jawab Nayla tanpa jeda.
Dia tak bertanya lebih lanjut. Tak minta rincian proposalnya. Tak minta janji kapan uang itu kembali. Hanya... percaya.
Satu menit kemudian, bukti transfer terkirim. Lalu bus datang. Nayla naik dengan kantong yang mulai menyesakkan jemarinya.
Di tengah kebisingan jalan dan guncangan kendaraan, ponselnya kembali berbunyi. Notifikasi dari aplikasi mobile banking—saldo tersisa: Rp27.300.
Nayla menarik napas panjang. Ia menatap keluar jendela, melihat dunia berlalu cepat, seolah semuanya punya arah. Sedangkan ia... sedang bertahan di antara harapan dan kenyataan yang terus bertabrakan.
**
Sampai di agen ekspedisi, Nayla menyerahkan dua paketnya. Petugas kasir mengenalinya. “Masih semangat aja, Mbak Nay. Ini paket keberapa minggu ini?”
“Alhamdulillah, masih ada yang pesan,” jawab Nayla sambil memaksakan senyum.
Petugas itu tersenyum ramah, lalu memberikan nota pengiriman. “Semoga makin laris ya, Mbak.”
Nayla mengangguk. Tapi dalam hatinya, ada yang mengganjal. Ia tak ingat kapan terakhir kali ia mendapat ucapan “terima kasih” dari Galan. Bukan karena dia butuh pujian—tapi karena kadang seseorang ingin diingat bahwa peluh yang ia keluarkan, sekecil apapun, tetap berarti.
**
Malam itu, Nayla pulang ke kamar kos dan langsung duduk di lantai. Ia membuka lemari plastik kecil berisi sembako seadanya. Tersisa setengah liter beras, dua bungkus mi instan, dan satu sachet kopi.
Perutnya lapar. Tapi yang lebih terasa adalah lelah.
Bukan lelah karena pekerjaan. Tapi lelah karena ia merasa seperti... tak terlihat.
Ia merebahkan diri di lantai beralaskan tikar, menatap langit-langit yang retaknya semakin lebar. Di sudut kamar, cucian menumpuk. Laptop Galan tergeletak terbuka, memperlihatkan grafik dan proposal yang tertata rapi. Judul besar terbaca jelas:
“Vivara Expansion Plan – For Investor Clara Group”
Clara lagi.
Nama yang akhir-akhir ini sering muncul di bibir Galan. Seorang investor muda, cerdas, dan katanya tertarik tidak hanya pada ide bisnis, tetapi juga potensi kepemimpinan Galan. Nayla hanya bisa mendengar dari sepotong cerita Galan, yang makin lama makin jarang bercerita.
**
Pukul sembilan malam, pintu kamar terbuka.
Galan masuk, wajahnya penuh semangat.
“Nay! Kamu udah transfer, kan? Makasih banget ya. Tadi aku langsung cetak semua, dan hasilnya keren. Clara bilang dia suka formatnya.”
Nayla bangun pelan, menyembunyikan kelelahan di balik senyum tipis. “Syukurlah. Semoga deal-nya beneran kejadian.”
“Iya. Pokoknya kalau ini berhasil... semua bakal berubah. Kita nggak perlu hidup kayak gini terus.”
Nayla ingin percaya. Tapi entah kenapa, hatinya mengeras malam itu. Ia hanya mengangguk dan bertanya, “Kamu udah makan?”
“Belum. Tapi aku nggak lapar,” jawab Galan sambil duduk, membuka laptop lagi. “Aku masih harus revisi satu bagian. Clara bilang dia mau presentasiin ini ke partner-nya lusa.”
Nama itu lagi.
Nayla berdiri, mengambil mangkuk kecil, lalu menuangkan nasi dan lauk sisa semalam. Ia makan pelan-pelan di pojok ruangan. Sendoknya beradu dengan piring, pelan, agar tak mengganggu Galan.
Tapi Galan tak pernah menoleh. Matanya terpaku pada layar, jarinya mengetik cepat.
**
Larut malam, saat Galan tertidur di depan laptopnya, Nayla masih terjaga.
Ia membuka aplikasi toko online miliknya, membaca satu per satu pesan pelanggan. Ada yang mengeluh ukuran salah. Ada yang tanya stok. Ada juga yang memuji kerapian jahitan.
Komentar-komentar kecil itu yang menguatkannya.
Bukan pujian besar. Bukan hadiah mahal. Tapi tanda bahwa ia ada. Bahwa usahanya nyata.
Ia menoleh pada Galan yang tidur di kursi. Laki-laki itu selalu tampak seperti sedang berlari—mengejar sesuatu yang belum tentu tahu akan menunggunya di mana.
Sedangkan Nayla... terus berjalan di belakang, memastikan jalannya tetap mulus.
**
Suatu malam, Nayla bermimpi aneh. Ia berada di tengah hutan, sendirian, membawa lentera kecil. Di kejauhan, ia melihat Galan berlari, dikejar cahaya besar. Ia memanggilnya, berteriak-teriak, tapi Galan tak menoleh. Ia terus berlari... sampai akhirnya hilang dalam cahaya.
Nayla terbangun dengan napas terengah.
Ia melihat ke sekeliling kamar. Galan masih tertidur, mendengkur pelan. Di antara mereka, hanya suara tetesan air dari keran bocor yang memecah keheningan.
Ia memeluk lutut, duduk diam dalam gelap.
Di balik semua cinta dan pengorbanan, ada peluh yang tak terlihat. Air mata yang tak menetes. Suara hati yang tak terdengar.
Tapi Nayla tetap memilih bertahan.
Karena sampai hari itu, ia masih percaya bahwa cinta adalah tentang siapa yang tetap ada—meski dunia tidak melihatnya.
Dan dia, Nayla, adalah wanita yang tetap ada.
“Siapa yang mengancam pekerjaanmu?” tanya Nayla dengan suara tenang namun tegas kepada perempuan di ujung telepon.“Saya tidak tahu pasti. Ada seseorang yang menelepon bagian HR di kantor. Mereka bilang saya terlibat dalam ‘aktivitas politik kontroversial’ dan mengancam akan menghubungi klien besar kalau perusahaan tetap mempekerjakan saya.”Nayla merasakan simpul yang familiar di perutnya. Kali ini bukan ketakutan, melainkan amarah yang adil—dan tekad untuk melindungi.“Dengar aku baik-baik,” ucap Nayla dengan suara mantap sekaligus menenangkan. “Kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Kau hanya menceritakan kebenaranmu demi membantu perempuan lain. Dan aku tidak akan membiarkanmu menanggung akibat hanya karena keberanian itu.”“Tapi Nayla, aku tidak bisa kehilangan pekerjaan. Aku punya dua anak—”“Kau tidak akan kehilangan pekerjaanmu. Beri aku kontak direktur HR-mu, dan izinkan tim hukumku langsung menghubungi perusahaanmu.”Begitu telepon ditutup, Nayla segera mengumpulkan Arvino d
“Kita harus segera merespons bukti palsu ini,” ujar Arvino sambil membuka laptop dan mulai menyusun draf pernyataan hukum. “Kalau kita terlambat, media bisa menafsirkannya sebagai pengakuan bersalah.”“Tunggu dulu.” Nayla mengangkat tangannya. “Sebelum bereaksi, aku ingin melihat dulu persis apa yang mereka tuduhkan.”Elena Rodriguez mengirimkan tautan artikel yang sudah dimuat di tiga media internasional besar. Nayla membaca seksama, sementara Harra dan Arvino ikut menunduk membaca dari balik bahunya.“Mereka menulis bahwa testimoni para perempuan dalam bukuku itu rekayasa,” kata Nayla setelah selesai. “Dan mereka mengklaim punya ‘sumber’ yang bisa membuktikan kalau aku tidak pernah benar-benar mewawancarai mereka.”“Itu jelas bohong,” sergah Harra, wajahnya memerah karena kesal. “Aku masih ingat Ibu melakukan wawancara lewat telepon dengan beberapa perempuan itu. Bahkan aku sempat membantu mengetik hasil transkripnya.”“Aku juga masih menyimpan semua rekaman wawancara, surat persetu
“Dr. Chen,” suara Nayla terdengar tenang, meski tegas, “saya akan memberikan jawaban besok pagi. Saya perlu berdiskusi dulu dengan keluarga saya.”“Mrs. Kusuma, saya mengerti,” jawab Dr. Chen, “tapi komite Parlemen Eropa akan bersidang lusa. Waktunya sangat terbatas.”“Dan justru karena pentingnya keputusan ini, saya tidak akan mengambil pilihan terburu-buru. Selamat malam, Dr. Chen.”Nayla menutup telepon. Tatapannya beralih pada Arvino dan Harra yang sudah berkumpul di ruang kerja. Wajah keduanya memancarkan kekhawatiran, tapi juga penuh dukungan.“Mereka ingin aku memberikan kesaksian di Parlemen Eropa, tentang rekomendasi kebijakan perlindungan penyintas kekerasan,” ujar Nayla, duduk di antara suami dan anaknya. “Tapi ada kampanye terorganisir yang mencoba merusak reputasiku dan mengacaukan setiap penampilan publik.”Harra menggenggam tangan ibunya erat. “Apa pun yang Ibu putuskan, aku akan mendukung. Tapi aku ingin Ibu tahu… aku bangga. Kesempatan ini bisa membuat undang-undang y
“Jurnalis internasional?” tanya Nayla sambil menatap satpam dengan ekspresi waspada, meski nada suaranya tetap tenang. Pengalaman beberapa bulan terakhir telah mengajarkannya untuk tidak reaktif setiap kali ada tamu tak terduga.“Betul, Bu. Dia mengaku bernama Elena Rodriguez dari The Guardian. Identitas persnya tampak sah, tapi saya tetap perlu konfirmasi pada Ibu terlebih dahulu.”Arvino melepaskan pelukan di pinggang Nayla, lalu bergerak ke posisi yang protektif tanpa terlihat mencolok.“Nayla, kamu memang ada janji dengan The Guardian?”“Tidak. Tapi agen literasiku sempat bilang kalau mereka tertarik menulis liputan internasional tentang bukuku. Mungkin ini kelanjutannya.”Harra, yang tadinya santai membaca, kini duduk lebih tegak. “Bu, apa kita perlu khawatir? Maksudku… setelah semua yang terjadi dengan Daniel—”“Nak, kita tidak bisa hidup dengan rasa takut selamanya. Tapi kita juga tidak boleh lengah.” Nayla menoleh pada satpam. “Tolong minta Nona Rodriguez menunggu di lobi. Per
“Bukti apa yang membuat polisi khawatir tentang keselamatan kami?” tanya Nayla. Suaranya terdengar tenang, meski jantungnya berdebar kencang.“Miss Mahardika,” jawab Detektif Rahman dari seberang telepon, “di laptop Daniel Prawira yang kami sita, kami menemukan korespondensi dengan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Ada indikasi rencana untuk mengintimidasi Anda dan keluarga jika penyelidikan berlanjut.”Daniel yang mendengar penjelasan itu langsung panik. “Itu tidak benar! Saya tidak pernah—”“Mr. Prawira,” potong Detektif Rahman cepat, “Anda masih dalam pengawasan kami. Lebih baik tidak berkomentar tanpa pendampingan pengacara. Miss Mahardika, demi keselamatan Anda dan putri Anda, kami merekomendasikan perlindungan khusus selama penyelidikan berlangsung.”Harra spontan menolak. “Ibu, aku tidak mau sembunyi lagi. Kita sudah tidak sembunyi dari siapa pun.”“Nak,” kata Nayla lembut, “ini berbeda. Bukan soal rasa malu atau ketakutan. Ini soal keselamatan kita yang nyata.”Arvino
“Tunggu sebentar,” ucap Nayla pada petugas keamanan, matanya menatap Maya dengan ekspresi tenang tapi penuh ketegasan. “Maya, matikan dulu rekaman podcast-nya.”Maya segera menghentikan perekaman. “Nay, kamu nggak perlu hadapi ini sendirian. Kita bisa—”“Tidak apa-apa.” Nayla berdiri dengan tubuh tegak, suaranya mantap. “Inilah persis situasi yang aku tulis di buku. Saat masa lalu mencoba menarikmu kembali, kamu harus memutuskan: mau menjawab dengan ketakutan, atau dengan kekuatan.”“Tapi ini bisa berbahaya.”“Makanya aku akan menanganinya dengan cerdas.” Nayla mengeluarkan ponselnya dan menelepon Arvino. “Vino, situasi di sini makin memanas. Perwakilan Daniel ada di studio, dan mereka ingin bertemu. Media juga sudah mulai berkumpul di luar.”“Nayla, jangan hadapi mereka langsung. Panggil keamanan, kalau perlu polisi. Jangan beri kesempatan sedikit pun untuk mereka memanipulasi keadaan.”“Justru aku punya ide yang lebih baik. Kamu masih terhubung dengan tim hukum PBB?”“Ya, mereka sta