Home / Romansa / Balas Dendam Sang Pendamping Setia / Bab 7 – Peluh yang Tak Terlihat

Share

Bab 7 – Peluh yang Tak Terlihat

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-04-08 08:29:49

Matahari sudah turun ke balik awan kelabu ketika Nayla berdiri di halte. Udara sore itu padat oleh asap kendaraan dan debu jalanan, membuat napas terasa berat. Di kedua tangannya, ia menenteng dua kantong besar berisi baju pesanan pelanggan onlinenya—masing-masing dibungkus rapi dengan plastik, diberi label alamat tulisan tangan. Tangannya bergetar, bukan karena dingin, tetapi karena kelelahan.

Baru satu jam lalu ia menyelesaikan les privat dengan seorang anak SD. Anak itu sedang persiapan lomba matematika dan Nayla sudah menjanjikan tambahan waktu belajar. Mata dan pikirannya nyaris kosong saat itu, tetapi senyum anak kecil itu menguatkannya.

Sekarang, ia harus buru-buru kirim paket ke agen ekspedisi sebelum tutup. Kalau terlambat, rating tokonya bisa jatuh, dan ia tak punya waktu atau tenaga untuk menjelaskan ke semua pelanggan yang mungkin komplain.

Di seberangnya, jalanan macet total. Klakson bersahut-sahutan. Bus mini yang ditunggunya belum juga datang. Ia mengusap peluh di dahi dengan punggung tangan, meski keringat terus merembes dari balik kerudung tipisnya.

Ponselnya bergetar. Nama Galan muncul di layar.

Dengan cepat ia angkat. “Halo?”

“Nay, kamu sibuk nggak?” suara Galan terdengar cemas, terburu-buru.

“Sedikit. Mau kirim pesanan. Kenapa?”

“Aku butuh tolong. Kamu bisa pinjemin uang lima ratus ribu? Aku butuh banget buat bahan cetak proposal—yang ini penting banget, kemungkinan deal-nya besar,” katanya tanpa jeda, seperti takut permintaannya ditolak kalau memberi Nayla waktu berpikir.

Nayla menggigit bibir. Lima ratus ribu.

Itu uang terakhir yang tersisa setelah ia membayar listrik dan galon. Uang itu ia sisihkan untuk beli bahan makanan minggu ini. Tanpa itu, ia harus hidup dari mi instan dan air putih.

Tapi suara Galan terdengar seperti seseorang yang sedang berdiri di tepi tebing.

“Bisa. Aku transfer sekarang,” jawab Nayla tanpa jeda.

Dia tak bertanya lebih lanjut. Tak minta rincian proposalnya. Tak minta janji kapan uang itu kembali. Hanya... percaya.

Satu menit kemudian, bukti transfer terkirim. Lalu bus datang. Nayla naik dengan kantong yang mulai menyesakkan jemarinya.

Di tengah kebisingan jalan dan guncangan kendaraan, ponselnya kembali berbunyi. Notifikasi dari aplikasi mobile banking—saldo tersisa: Rp27.300.

Nayla menarik napas panjang. Ia menatap keluar jendela, melihat dunia berlalu cepat, seolah semuanya punya arah. Sedangkan ia... sedang bertahan di antara harapan dan kenyataan yang terus bertabrakan.

**

Sampai di agen ekspedisi, Nayla menyerahkan dua paketnya. Petugas kasir mengenalinya. “Masih semangat aja, Mbak Nay. Ini paket keberapa minggu ini?”

“Alhamdulillah, masih ada yang pesan,” jawab Nayla sambil memaksakan senyum.

Petugas itu tersenyum ramah, lalu memberikan nota pengiriman. “Semoga makin laris ya, Mbak.”

Nayla mengangguk. Tapi dalam hatinya, ada yang mengganjal. Ia tak ingat kapan terakhir kali ia mendapat ucapan “terima kasih” dari Galan. Bukan karena dia butuh pujian—tapi karena kadang seseorang ingin diingat bahwa peluh yang ia keluarkan, sekecil apapun, tetap berarti.

**

Malam itu, Nayla pulang ke kamar kos dan langsung duduk di lantai. Ia membuka lemari plastik kecil berisi sembako seadanya. Tersisa setengah liter beras, dua bungkus mi instan, dan satu sachet kopi.

Perutnya lapar. Tapi yang lebih terasa adalah lelah.

Bukan lelah karena pekerjaan. Tapi lelah karena ia merasa seperti... tak terlihat.

Ia merebahkan diri di lantai beralaskan tikar, menatap langit-langit yang retaknya semakin lebar. Di sudut kamar, cucian menumpuk. Laptop Galan tergeletak terbuka, memperlihatkan grafik dan proposal yang tertata rapi. Judul besar terbaca jelas:

“Vivara Expansion Plan – For Investor Clara Group”

Clara lagi.

Nama yang akhir-akhir ini sering muncul di bibir Galan. Seorang investor muda, cerdas, dan katanya tertarik tidak hanya pada ide bisnis, tetapi juga potensi kepemimpinan Galan. Nayla hanya bisa mendengar dari sepotong cerita Galan, yang makin lama makin jarang bercerita.

**

Pukul sembilan malam, pintu kamar terbuka.

Galan masuk, wajahnya penuh semangat.

“Nay! Kamu udah transfer, kan? Makasih banget ya. Tadi aku langsung cetak semua, dan hasilnya keren. Clara bilang dia suka formatnya.”

Nayla bangun pelan, menyembunyikan kelelahan di balik senyum tipis. “Syukurlah. Semoga deal-nya beneran kejadian.”

“Iya. Pokoknya kalau ini berhasil... semua bakal berubah. Kita nggak perlu hidup kayak gini terus.”

Nayla ingin percaya. Tapi entah kenapa, hatinya mengeras malam itu. Ia hanya mengangguk dan bertanya, “Kamu udah makan?”

“Belum. Tapi aku nggak lapar,” jawab Galan sambil duduk, membuka laptop lagi. “Aku masih harus revisi satu bagian. Clara bilang dia mau presentasiin ini ke partner-nya lusa.”

Nama itu lagi.

Nayla berdiri, mengambil mangkuk kecil, lalu menuangkan nasi dan lauk sisa semalam. Ia makan pelan-pelan di pojok ruangan. Sendoknya beradu dengan piring, pelan, agar tak mengganggu Galan.

Tapi Galan tak pernah menoleh. Matanya terpaku pada layar, jarinya mengetik cepat.

**

Larut malam, saat Galan tertidur di depan laptopnya, Nayla masih terjaga.

Ia membuka aplikasi toko online miliknya, membaca satu per satu pesan pelanggan. Ada yang mengeluh ukuran salah. Ada yang tanya stok. Ada juga yang memuji kerapian jahitan.

Komentar-komentar kecil itu yang menguatkannya.

Bukan pujian besar. Bukan hadiah mahal. Tapi tanda bahwa ia ada. Bahwa usahanya nyata.

Ia menoleh pada Galan yang tidur di kursi. Laki-laki itu selalu tampak seperti sedang berlari—mengejar sesuatu yang belum tentu tahu akan menunggunya di mana.

Sedangkan Nayla... terus berjalan di belakang, memastikan jalannya tetap mulus.

**

Suatu malam, Nayla bermimpi aneh. Ia berada di tengah hutan, sendirian, membawa lentera kecil. Di kejauhan, ia melihat Galan berlari, dikejar cahaya besar. Ia memanggilnya, berteriak-teriak, tapi Galan tak menoleh. Ia terus berlari... sampai akhirnya hilang dalam cahaya.

Nayla terbangun dengan napas terengah.

Ia melihat ke sekeliling kamar. Galan masih tertidur, mendengkur pelan. Di antara mereka, hanya suara tetesan air dari keran bocor yang memecah keheningan.

Ia memeluk lutut, duduk diam dalam gelap.

Di balik semua cinta dan pengorbanan, ada peluh yang tak terlihat. Air mata yang tak menetes. Suara hati yang tak terdengar.

Tapi Nayla tetap memilih bertahan.

Karena sampai hari itu, ia masih percaya bahwa cinta adalah tentang siapa yang tetap ada—meski dunia tidak melihatnya.

Dan dia, Nayla, adalah wanita yang tetap ada.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 153

    Keesokan paginya, Nayla baru saja menyelesaikan tinjauan presentasi untuk klien saat resepsionisnya mengetuk pintu kantor.“Bu Nayla, Pak Galan ada di lobi. Katanya membawa proposal bisnis yang sangat mendesak.”Nayla menarik napas dalam. Semalam, ia sudah menyampaikan dengan sangat jelas bahwa percakapan mereka selesai. Tapi rupanya, Galan belum benar-benar mendengar.“Sudah berapa lama dia menunggu?”“Sekitar setengah jam, Bu. Katanya akan menunggu sampai Ibu bisa meluangkan waktu.”“Baik. Suruh dia ke Ruang Rapat B. Saya beri lima belas menit.”Di Ruang Rapat B, Galan masuk dengan membawa koper kerja dan wajah penuh tekad. Jas yang ia kenakan rapi, penampilannya seperti hendak menghadapi rapat bisnis penting.“Nayla, terima kasih sudah bersedia bertemu.”“Galan, kupikir pembicaraan kita tadi malam sudah cukup.”“Memang. Tapi ini berbeda. Aku datang dengan proposal bisnis, bukan urusan pribadi.”Nayla menunjuk kursi di hadapannya. “Silakan. Tapi waktumu lima belas menit.”“Aku ingin

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 152

    Galan duduk sendirian di ruang makan pribadi yang elegan, menghadap gemerlap langit malam Jakarta. Ia telah merancang pertemuan ini dengan penuh perhitungan—bukan di kantor Nayla, bukan dalam suasana konsultasi profesional, melainkan sebuah makan malam di tempat netral."Situasi putus asa menuntut tindakan putus asa," pikirnya, sembari merapikan dasi dengan gugup.Pintu terbuka. Nayla melangkah masuk dalam balutan gaun hitam yang anggun, rambutnya tergerai lembut di bahu. Sejenak, Galan seolah kembali ke masa lalu—makan malam berdua, acara bisnis, saat-saat ketika mereka benar-benar menjadi rekan dalam segala hal."Terima kasih sudah datang, Nayla.""Kamu bilang ini penting," jawab Nayla singkat, sopan tapi berjaga."Silakan duduk. Aku sudah pesan wine favoritmu."Nayla melirik botol Bordeaux di meja. "Aku tidak minum anggur merah lagi, Galan.""Oh... aku tidak tahu.""Ada banyak hal tentangku yang tidak kamu tahu lagi."Hening mengisi ruangan ketika Nayla duduk di hadapannya. Jarak d

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 151

    Dua hari setelah Alya mengundurkan diri. Galan duduk sendirian di ruang kerjanya yang kini tak lagi terasa seperti kantor, melainkan seperti bunker—terkunci, sunyi, dan penuh tekanan. Di mejanya, berderet dokumen hukum, surat keluhan dari para investor, dan potongan berita media yang makin hari makin tajam menghantam nama perusahaannya.“Pak Galan,” suara Dimas terdengar pelan dari balik pintu, mengetuk dengan ragu. “Laporan dari tim legal dan keuangan sudah siap.”“Berapa total kerugiannya?” tanya Galan, suaranya berat.“Pak… Singapore Investment Group resmi menarik diri. Itu 150 miliar. Kredit dari Jakarta Development Bank dibekukan, 200 miliar. Dan ada lima investor lain yang sedang mempertimbangkan untuk keluar juga.”Galan memejamkan mata. “Total?”“Kalau semuanya jadi keluar… kerugiannya bisa sampai 500 miliar, Pak.”“Cash flow kita sekarang?”“Dengan proyek berjalan dan biaya operasional… maksimal bisa bertahan tiga bulan, mungkin empat kalau semua pengeluaran non-essensial dip

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 150

    Nayla berdiri di depan cermin di ruang rias, memeriksa penampilannya untuk terakhir kali. Blazer biru navy yang pas di tubuh, rambut disanggul rendah dengan rapi, riasan tipis tapi memberi kesan tegas. Hari ini, ia akan memoderatori sesi utama bertajuk “Kepemimpinan Perempuan di Dunia Bisnis Asia-Pasifik”—sebuah forum bergengsi yang dihadiri dua ribu peserta dan disiarkan langsung ke seluruh Asia."Bu Nayla, sudah siap?" Sari muncul dari balik pintu, membawa clipboard dan earpiece."Sepertinya... ya." Nayla menarik napas panjang. "Ingatkan aku lagi, siapa saja panelisnya?""CEO Unilever Indonesia, Managing Director Google Asia Tenggara, Presiden Direktur BCA, dan Pendiri Tokopedia. Semuanya pemain besar, Bu.""Sempurna. Lalu setelah sesi ini, apa jadwal kita?""Istirahat makan siang, lalu ada sesi networking dengan investor internasional. Oh ya, Bu—ada yang menarik. Ternyata di ruangan lain ada sesi panel soal konstruksi berkelanjutan."Nayla terdiam sejenak. "Konstruksi?""Ya. Hanya

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 149

    Pagi itu, Nayla tengah menikmati kopi hangat ketika sebuah email masuk dengan subjek yang mencuri perhatiannya: “Undangan Keynote Speaker - Seminar Nasional Perempuan Indonesia 2025.”“Sari, tolong ke ruanganku sebentar,” panggil Nayla sambil tetap menatap layar.Sari masuk dengan wajah penuh semangat dan tablet di tangan. “Bu, ini luar biasa. Ibu sudah baca email dari Kongres Perempuan Indonesia?”“Baru saja. Mereka mengundangku jadi keynote speaker bulan depan?” tanya Nayla, masih belum sepenuhnya percaya.“Benar, Bu. Dan ini bukan acara biasa. Ini pertemuan tahunan paling bergengsi—5.000 perempuan dari seluruh Indonesia akan hadir. Mulai dari CEO, pengusaha, tokoh publik, aktivis, hingga profesional. Temanya ‘Transformasi Diri, Transformasi Bangsa.’”Nayla membaca lebih lanjut. “Mereka memintaku membawakan pidato berjudul From Heartbreak to Empowerment: A Personal Journey.”Sari tersenyum lebar. “Ini kesempatan emas, Bu. Bukan sekadar tampil di media sosial—tapi langsung menyentuh

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 148

    12 jam setelah tayangan Prime TalkSari masuk ke ruangan Nayla dengan langkah cepat, wajahnya menyimpan kegembiraan sekaligus kegelisahan. Di tangannya, laptop terbuka dengan layar penuh data."Bu Nayla... Ibu harus lihat ini."Nayla yang tengah menelaah kontrak proyek hanya mengangkat alis. "Seberapa parah?"Sari menggeleng. "Bukan parah, Bu. Ini... luar biasa." Ia meletakkan laptop di meja Nayla dan memutar layar ke arahnya. "Video Prime Talk sudah ditonton 2,3 juta kali di YouTube. 850 ribu kali dibagikan di Facebook. Dan 45 ribu retweet di Twitter. Itu baru dalam 12 jam."Nayla terdiam, matanya terpaku pada angka-angka yang bergerak cepat."Ini beneran?" suaranya nyaris berbisik.Sari mengangguk. "Dan itu belum semuanya. Hashtag #WanitaTangguh sekarang trending nomor satu. #BangkitTanpaBalas di posisi ketiga. Dan nama Ibu sendiri, #NaylaMahardika, ada di nomor tujuh.""Bangkit tanpa balas?""Netizen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status