Home / Urban / Balas Dendam sang Kultivator / Bab 111. Rantai dan Topeng

Share

Bab 111. Rantai dan Topeng

Author: Imgnmln
last update Last Updated: 2025-08-13 10:43:38

"Percepat langkah! Tuan Besar tidak suka menunggu!"

Karavan itu perlahan memasuki celah, sebuah prosesi kematian yang bergerak lambat. Di barisan depan, puluhan penjaga berjubah hitam berjalan dengan langkah yang teratur dan waspada. Di dada zirah kulit mereka, tersemat sebuah lambang yang aneh—sebuah mata merah tunggal yang seolah menatap ke dalam jiwa, tanpa kelopak. Aura mereka dingin, seragam, dan mematikan.

Di belakang mereka, menyusul tiga buah kereta berjeruji besi yang sangat besar. Roda-rodanya yang terbuat dari logam padat berderak ngeri di atas tanah berbatu, ditarik oleh binatang-binatang reptil lapis baja yang mendengus berat, uap panas keluar dari lubang hidung mereka. Dan di dalam kereta-kereta itulah persembahan itu berada.

“Kalian akan merasakannya.”

Dari tempat persembunyiannya di puncak tebing, Rayden mengamati dalam diam. Melalui jeruji besi yang tebal, ia bisa melihat mereka: belasan pemuda dan pemudi, mungkin berusia antara delapan belas hingga dua puluh lima tah
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Balas Dendam sang Kultivator    Bab 115. Pilihan Sang Pembebas

    Tawaran Elara menggantung di udara ngarai yang dingin, sebuah janji akan jalan pintas yang menggiurkan. Para pemuda dan pemudi di belakangnya menatap Rayden dengan mata yang sama, mata yang memancarkan harapan baru yang rapuh setelah sekian lama terkurung dalam keputusasaan.Rayden menatap kelompok di hadapannya. Ia melihat wajah-wajah yang masih muda, penuh dengan potensi yang belum tergali, namun kini ditandai oleh trauma yang dalam. Ia melihat dirinya dan Raelyn di dalam diri mereka. Rasa iba dan insting untuk melindungi bergejolak di dalam hatinya. Namun di atas semua itu, logika dingin seorang pejuang yang telah melalui neraka mengambil alih.Ia menggelengkan kepalanya perlahan, sebuah gerakan kecil yang terasa begitu berat dan final. "Tidak," katanya, suaranya tenang namun tidak menyisakan ruang untuk perdebatan.Kekecewaan langsung terlihat di wajah para pemuda itu, bahu mereka yang tadinya sedikit tegak kini kembali merosot. Elara hendak memprotes, bibirnya sudah terbuka, teta

  • Balas Dendam sang Kultivator    Bab 114. Kesaksian Para Korban

    Rayden menarik pedangnya dari tubuh pemimpin penjaga yang tak bernyawa itu. Darah hitam pekat menetes dari ujung bilahnya yang perak, menciptakan suara yang terdengar sangat keras di ngarai yang kini sunyi. Kata-kata terakhir pria itu terus bergema di benaknya, lebih mengganggu daripada raungan pertarungan mana pun."Bukan untuk meningkatkan kekuatan... lalu untuk apa?"Dengan semua penjaga telah dikalahkan, keheningan yang aneh turun di Celah Batu Hitam. Bau anyir darah dan sisa-sisa energi spiritual bercampur dengan udara gunung yang dingin. Rayden berdiri sejenak di tengah lingkaran mayat itu, membiarkan adrenalinnya mereda, pikirannya bekerja keras mencoba memecahkan teka-teki terakhir itu.Ia akhirnya berbalik dan berjalan perlahan mendekati kereta-kereta berjeruji besi. Di dalamnya, para tawanan muda menatapnya dengan campuran antara rasa takut, terima kasih, dan kekaguman yang luar biasa. Mereka baru saja menyaksikan seorang pria sendirian membantai seluruh unit penjaga elite s

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 113. Darah untuk Sang Naga

    Aura hitam pekat di sekitar pemimpin penjaga meledak ke luar, begitu kuat hingga meniup debu dan kerikil di sekelilingnya dalam sebuah badai kecil yang ganas. Otot-otot di tubuhnya menonjol, merobek zirah kulitnya, dan matanya yang tadinya dipenuhi amarah kini bersinar dengan cahaya merah darah yang kosong dan tidak manusiawi."Rasakan kekuatan yang dianugerahkan oleh Tuan Besar!" raungnya, suaranya kini terdengar serak dan pecah, lebih mirip geraman binatang buas daripada suara manusia.Dengan mengorbankan sisa esensi kehidupan dan kewarasannya, kekuatan sang pemimpin kini telah meroket, menembus belenggu tingkat Master puncak dan mencapai ambang tingkat Grandmaster awal.Tanpa strategi, tanpa teknik, ia menerjang maju. Ia tidak lagi mengayunkan pedang besarnya dengan keahlian seorang pejuang, melainkan menggunakannya seperti sebuah master, menghantamkannya ke bawah dengan kekuatan membabi buta yang bertujuan untuk meremukkan Rayden dan tanah di bawahnya.Rayden, yang energinya sudah

  • Balas Dendam sang Kultivator    Bab 112. Badai di dalam Ngarai

    Pemimpin penjaga, seorang pria kekar dengan bekas luka di wajahnya, menghunus pedang besarnya yang bergerigi. Tepi pedang itu bersinar dengan cahaya merah darah yang jahat, seolah telah meminum nyawa yang tak terhitung jumlahnya. Ia menatap ke arah tebing-tebing hitam yang kini sunyi."Tunjukkan dirimu, pengecut!" teriaknya, suaranya yang kasar menggema di antara dinding batu, penuh dengan arogansi dari seseorang yang terbiasa berkuasa.Sebelum suaranya sempat lenyap, jawabannya datang.Tapi bukan dari satu arah.BANG! BANG! BANG!Serangkaian ledakan tumpul meletus secara bersamaan dari kedua sisi tebing. Puluhan rune peledak kecil yang telah Rayden siapkan dengan saksama meledak, bukan untuk membunuh, melainkan untuk menciptakan kekacauan.Ribuan serpihan batu hitam yang tajam menghujani karavan itu seperti hujan panah, membuat para penjaga yang tadinya berbaris rapi menjadi panik dan tercerai-berai. Binatang-binatang reptil lapis baja meraung ketakutan, menarik kereta-kereta besi it

  • Balas Dendam sang Kultivator    Bab 111. Rantai dan Topeng

    "Percepat langkah! Tuan Besar tidak suka menunggu!"Karavan itu perlahan memasuki celah, sebuah prosesi kematian yang bergerak lambat. Di barisan depan, puluhan penjaga berjubah hitam berjalan dengan langkah yang teratur dan waspada. Di dada zirah kulit mereka, tersemat sebuah lambang yang aneh—sebuah mata merah tunggal yang seolah menatap ke dalam jiwa, tanpa kelopak. Aura mereka dingin, seragam, dan mematikan.Di belakang mereka, menyusul tiga buah kereta berjeruji besi yang sangat besar. Roda-rodanya yang terbuat dari logam padat berderak ngeri di atas tanah berbatu, ditarik oleh binatang-binatang reptil lapis baja yang mendengus berat, uap panas keluar dari lubang hidung mereka. Dan di dalam kereta-kereta itulah persembahan itu berada.“Kalian akan merasakannya.”Dari tempat persembunyiannya di puncak tebing, Rayden mengamati dalam diam. Melalui jeruji besi yang tebal, ia bisa melihat mereka: belasan pemuda dan pemudi, mungkin berusia antara delapan belas hingga dua puluh lima tah

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 110. Celah Batu Hitam

    Rayden menatap peta holografik di hadapannya, jarinya yang terangkat kini tak lagi ragu. Garis merah rute karavan itu telah menjadi satu-satunya jalan yang penting."Kita tidak perlu memilih jalan," katanya, suaranya dipenuhi oleh niat membunuh yang dingin. "Kita akan membuat jalan kita sendiri. Siapkan semua yang kau punya tentang karavan itu. Aku akan menyambut persembahan itu secara pribadi."Kael menatap Tuan Mudanya, sebuah kilat kekaguman bercampur dengan rasa ngeri melintas di matanya yang tua. Ia tidak bertanya atau membantah. Ia hanya membungkuk dalam-dalam. "Akan saya laksanakan, Tuan Muda."Dua hari kemudian, Rayden tiba di Celah Batu Hitam.Tempat ini adalah sebuah luka di permukaan bumi, sebuah ngarai sempit yang diapit oleh tebing-tebing batu hitam bergerigi yang menjulang ke langit ungu. Seolah seekor dewa pernah mengayunkan ekor raksasanya ke puncak gunung ini, membelahnya menjadi dua. Angin menderu-deru tanpa henti melewati celah sempit itu, menciptakan siulan panjang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status