Mireya terdiam, bingung harus percaya dengan Rayden atau tidak.
"Kak, sekarang antarkan aku ke tempat Raelyn," kata Rayden, suaranya lebih lembut, tetapi ada urgensi yang tak terbantahkan, sebuah kelembutan yang kontras dengan kekejaman yang baru saja ia tunjukkan.
Mireya yang masih tampak gemetar melihat sisa-sisa kekejaman Rayden terhadap Lazren dan para pengawalnya, juga keterkejutannya tentang kekuatan Rayden yang begitu besar, hanya bisa mengangguk kaku.
Ketakutan yang ia rasakan beberapa saat lalu kini bercampur dengan rasa iba yang mendalam. Pria di hadapannya bukanlah Rayden yang ia kenal, bocah lelaki hangat yang sering ia ejek kini telah menjadi sosok dingin yang dipenuhi amarah. Namun, tatapan putus asa di matanya saat menyebut nama Raelyn adalah sisa-sisa terakhir dari jiwa yang dulu ia kenali.
"Dia ada di apartemenku, ayo," jawab Mireya, suaranya sedikit bergetar, tetapi ia berusaha tegar. Ia tahu Rayden tidak akan menyakitinya.
Mereka berdua meninggalkan rumah Duskar yang kini kembali menjadi milik Rayden, meninggalkan kehancuran di belakang mereka. Pintu yang rusak dibiarkan terbuka, seolah mengundang siapa pun yang berani masuk untuk melihat konsekuensi dari kemarahan seorang Rayden Duskar.
Perjalanan menuju apartemennya terasa mencekam. Keheningan di dalam mobil lebih menyesakkan daripada teriakan manapun.
Rayden duduk diam di kursi penumpang, matanya menatap lurus ke depan. Di dalam sorot matanya, gemerlap lampu Kota Malora kini terasa asing. Pikirannya berkecamuk, memutar ulang tragedi sepuluh tahun lalu seperti film rusak.
Ayahnya yang tergeletak, ibunya yang tersenyum untuk terakhir kali, dan perintahnya pada Raelyn.
[Lari, Lyn! Lari dan jangan menoleh!]
Ia pikir ia telah menjadi pahlawan saat itu, mengorbankan diri untuk menyelamatkan adiknya. Namun sebuah kebodohan!
Di balik pengorbanannya, penderitaan yang jauh lebih buruk ternyata menanti kembarannya itu. Topeng tenang yang ia bangun selama sepuluh tahun untuk mengendalikan amarah dan dukanya kini retak di mana-mana.
"Kak, kenapa kamu bisa bertunangan dengan keluarga itu?" tanya Rayden tiba-tiba dengan suara datar, memecah keheningan.
Mireya menelan ludah, jemarinya mencengkram setir hingga buku-buku jarinya memutih.
“Aku terpaksa menerimanya, Ray. Kamu tahu kan kalau ayahku bekerja dengan mereka dan sempat berhutang pada mereka. Lalu, entah kenapa tiba-tiba Lazren justru tertarik padaku dan mengatakan akan membebaskan hutang keluargaku asal aku menikah dengannya,” jawab Mireya lirih.
Mendengar itu, suasana di dalam mobil semakin berat, Rayden tidak langsung merespon. Ia hanya menatap lurus ke depan, tetapi Mireya bisa merasakan perubahan drastis pada auranya. Kelembutan sesaat yang tadi ia tunjukan saat menyebut nama Raelyn kini lenyap tak berbekas, digantikan oleh hawa dingin yang menusuk tulang.
Ia menoleh, dan untuk pertama kalinya sejak mereka masuk ke dalam mobil, Rayden menatap Mireya sepenuhnya. Tatapannya begitu tajam, intens, hingga Mireya merasakan seluruh pertahanannya runtuh.
“Kak, aku pastikan kamu gak akan menikah dengannya,” ucap Rayden, suaranya terdengar datar, tetapi ada sebuah janji yang mengerikan di baliknya.
Mireya tersentak, ia melihat sebuah kilatan berbahaya di mata Rayden.
“Tapi, Ray … mereka—”
“Berapa kali aku harus bilang kalau mereka bukan masalah besar untukku?” potong Rayden dengan santai.
Mireya tidak menjawab ucapan Rayden, ia terdiam dengan tatapan lurus ke depan, lalu ia hanya mengangguk kecil. Sebagian dirinya merasa ngeri, tetapi sebagian dalam dirinya merasakan secercah harapan baru.
Tak lama kemudian, mobil itu melambat dan akhirnya berhenti di depan sebuah gedung apartemen yang sederhana. Pandangan Rayden menyapu setiap sudut gedung itu.
“Keluargamu pindah ke gedung apartemen ini kak?” tanya Rayden penasaran.
Sebab, seingatnya, dulu keluarga Arsena memiliki satu rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas untuk ditanami berbagai tanaman hias. Bahkan, mereka juga mengelola sebuah perkebunan di dekat bukit dengan pendopo di dalamnya. Itu sebabnya, dulu Rayden meminta Raelyn untuk lari ke pendopo milik mereka.
Raelyn menggeleng, “Tidak. Orang tuaku masih di rumah yang dulu. Tempat ini bisa dikatakan sebagai tempat persembunyianku jika Lazren atau orang-orangnya menggangguku. Di sini juga aku merawat Raelyn.”
Mendengar itu, Rayden semakin penasaran. Sebenarnya, seperti apa perlakuan Lazren kepada Mireya.
Namun, yang membuat Rayden lebih penasaran adalah tentang keadaan Raelyn saat ini. Ia ingin segera melihat bagaimana adik kembarnya itu dan memastikan semua baik-baik saja. Sebab, kini hanya Raelyn keluarga Rayden yang tersisa.
Sepuluh tahun Rayden hidup dalam sebuah desa terpencil, berlatih untuk memahat tubuh dan jiwanya menjadi sebuah senjata, semua ia lakukan demi bisa membalas perlakuan buruk pada keluarganya.
Tak lama, mereka berhenti di lantai 10, kamar nomor 141.
Mireya menatap Rayden, matanya menyiratkan keraguan dan sebuah peringatan.
“Ray,” panggilnya pelan, membuat Rayden tersentak dari lamunannya. “Kau harus mempersiapkan dirimu, apapun yang kau lihat di dalam, kendalikan dirimu. Banyak hal yang telah terjadi…”
Jantung Rayden tiba-tiba terasa seperti diremas, tetapi ia hanya mengangguk. Ia tahu, 10 tahun bukan waktu yang singkat. Jelas banyak perubahan yang terjadi.
Mireya menatap Rayden sekali lagi dengan cukup dalam, lalu ia membuka pintu itu.
Klikk.
Pintu berderit terbuka perlahan, menampakkan ruang tamu yang remang-remang diterangi cahaya dari jendela yang menghadap kota Malora.
Dan di sana, duduk di atas sebuah kursi roda yang menghadap jendela, terdapat sosok gadis kurus dengan rambut panjang. Ia menatap lurus ke arah jendela, sorot matanya seolah tersesat di dalam dunianya sendiri.
Waktu seakan berhenti, dan nafas Rayden tercekat di tenggorokan, pikirannya melayang jauh ke segala arah.
Itu Raelyn?
Rayden belum sempat bersuara, tetapi Mireya lebih dulu berkata, “Itu Raelyn. Sekarang, dia harus menggunakan kursi roda. Tubuhnya tidak seperti dulu lagi, Ray. Dia banyak terluka.”
Jantung Rayden terasa berhenti, giginya menggeretak penuh amarah. Sekejap, aura membunuh menyelimuti tubuhnya seolah siapapun yang telah membuat adiknya terluka akan segera ia mangsa.
“Apa yang terjadi padanya?” tanya Radyen, berusaha menahan semua amarahnya.
“Beberapa hari setelah dia datang ke rumah, orang-orang dari keluarga Bramasta menemukannya. Mereka langsung menyiksa Raelyn, bahkan saat kami ingin menolongnya, kami juga ikut disiksa,” jelas Mireya dengan suara bergetar, seolah ingatannya dibawa kembali ke masa kelam itu.
Tangan Rayden mengepal kuat, tatapannya tajam menusuk. Mungkin, jika tatapan mata bisa membunuh, saat ini siapapun yang menatap Rayden pasti langsung mati.
Saat itu, Raelyn yang duduk di kursi roda itu sedikit tersentak setelah mendengar suara Mireya. Setelah keheningan yang menyiksa, perlahan ia menoleh.
Tatapannya kosong, tidak ada emosi di wajahnya. Di pipi kanannya terdapat bekas luka goresan yang cukup dalam, membuatnya terlihat lebih menyedihkan.
Melihat itu, Rayden semakin terkejut. Tatapan Raelyn benar-benar tampak tidak seperti manusia yang utuh, bahkan Rayden bisa merasakan ada yang salah dengan tatapan itu.
Seketika, sebuah dugaan muncul di kepala Rayden.
“Kak, selain disiksa secara fisik, apa ada lagi yang menyentuhnya?” tanya Rayden penasaran.
Mireya terdiam sejenak, seolah sedang mencari kepingan kejadian di malam itu. Hingga akhirnya, ia berkata, “Ah, saat itu, Vania Bramasta, kakak Lazren, juga ikut datang. Saat dia melihat Raelyn, entah kenapa tiba-tiba Raelyn berteriak kesakitan. Padahal, Vania tidak menyentuhnya sama sekali. Setelah itu, Raelyn jadi seperti ini.”
“Aku dengar, dia memang orang kuat, tetapi aku tidak tahu dia seperti apa,” tambah Mireya.
Hal itu membuat Rayden menaikkan satu alisnya.
Mungkinkah?
“Tapi, saat kami membawanya ke berbagai rumah sakit dan dokter spesial terbaik di Ibu Kota Selvaria, psikiater terkemuka. Mereka melakukan semua tes yang ada di dunia medis modern. CT scan, MRI, pemindaian gelombang otak, hasilnya selalu sama, tidak ada kerusakan fisik. Saraf tulang belakangnya utuh, otaknya berfungsi normal, tapi dia tetap seperti ini. Mereka memberinya obat, terapi kejut, hipnoterapi, tidak ada yang berhasil. Seolah jiwanya sudah tidak ada di sana lagi untuk diajak bicara,” kata Mireya lagi, kali ini tatapannya dipenuhi kekhawatiran dan kebingungan yang selama ini selalu menghantuinya.
Rayden mengangguk. Sepertinya, dugaannya memang benar.
Vania itu, pasti minimal ada di tingkat Grandmaster.
Namun, itu bukan masalah untuk Rayden. Ia bisa dengan mudah memusnahkan wanita yang telah mencelakai adiknya.
Peringatan terakhir dari Tetua Agung Altair masih menggema di telinga Rayden, meninggalkan jejak dingin dari paranoia. Namun, pria tua itu tidak menunggu jawaban. Ia mendorong piringan giok kusam itu ke seberang meja dengan gerakan final."Hutang keluargaku, baik pada Kalesvara maupun pada cucuku, tidak akan pernah bisa lunas," katanya dengan suara yang dipenuhi kelelahan. "Anggap ini sebagai bunga pertamanya."Ia menjelaskan dengan singkat. Piringan itu adalah Kunci Spasial, sebuah artefak kuno sekali pakai. Fungsinya hanya satu, membuka gerbang sementara menuju perbatasan Wilayah Nebulon, dimensi tersembunyi tempat para kultivator tingkat tinggi seperti Brahma Angkara bersemayam. Ini adalah satu-satunya cara bagi Rayden untuk melanjutkan perburuannya.Rayden menatap kunci di tangannya, lalu pada pria tua di hadapannya. Tujuannya kini jelas, dan jalan di hadapannya, meskipun berbahaya, telah terbentang. Ia mengambil kunci itu tanpa berkata apa-apa.***Di atap markas bawah tanahnya,
Rayden menatap pria tua di hadapannya, matanya menyipit dengan tatapan menyelidik yang dingin. Secercah harapan yang ditawarkan sang Tetua terasa seperti umpan di atas sebuah perangkap yang rumit."Jalan masuk?" tanyanya skeptis, suaranya datar. "Setelah semua kebohongan dan manipulasi, kenapa aku harus percaya kau tidak sedang menuntunku ke dalam jebakan lain?"Menghadapi ketidakpercayaan itu, Tetua Agung Altair justru tersenyum getir. Itu bukan lagi senyum licik, melainkan senyum lelah dari seorang pemain catur yang telah kalah dan kini membuka semua strateginya."Kau tidak harus percaya padaku, anak muda," jawabnya, suaranya terdengar jujur untuk pertama kalinya. "Tapi kau harus percaya pada logikaku. Percaya pada kepentingan pribadiku."Ia menegakkan tubuhnya, kembali ke persona seorang ahli strategi. "Aku akan jujur padamu. Tindakanku ini bukan didasari oleh kebaikan hati atau keinginan untuk menebus dosa. Ini adalah pertaruhan terakhirku."Ia mengangkat satu jari. "Pertama, Brah
"Aku adalah monster yang sebenarnya dalam cerita ini."Bisikan yang bergetar itu menggantung di udara paviliun teh yang kini terasa dingin, sebuah pengakuan akhir yang menyedihkan. Tetua Agung Altair menunduk, bahunya yang rapuh berguncang karena isak tangis yang tertahan, sosoknya tidak lebih dari seorang pria tua yang hancur oleh dosanya sendiri.Rayden terdiam untuk waktu yang sangat lama.Ia tidak merasakan kemenangan. Ia tidak merasakan kepuasan dari melihat musuhnya yang licik ini hancur. Ia bahkan tidak merasakan amarah yang meledak-ledak. Yang ia rasakan hanyalah hawa dingin yang menusuk dari sebuah kebenaran yang pahit, rumit, dan sangat melelahkan.Di dalam keheningan itu, pikirannya bekerja dengan kecepatan kilat, menyusun kembali semua masalah yang selama ini terasa salah tempat.Kara Kalderis.Sikapnya yang dingin namun penuh selidik saat pertama kali mereka bertemu. Itu bukanlah arogansi, melainkan kewaspadaan dari seseorang yang telah belajar untuk tidak mempercayai sia
Rayden menatap Tetua Agung Altair, matanya yang berwarna amber kini menyipit menjadi dua titik cahaya yang berbahaya. Udara di sekelilingnya terasa mendingin, dan suaranya keluar bukan sebagai teriakan, melainkan desisan yang jauh lebih menakutkan."Apa... yang telah kau lakukan padanya?"Pertanyaan itu menggantung di udara, sebuah tuntutan yang absolut. Wajah sang Tetua yang keriput kini basah oleh air mata yang akhirnya tak bisa lagi ia bendung. Ia tidak lagi terlihat seperti seorang penguasa licik, melainkan hanya seorang kakek tua yang hancur oleh penyesalannya sendiri."Aku melakukan dosa yang tak termaafkan," bisiknya, suaranya parau. Ia mulai menceritakan bagian terakhir dari kisahnya, bagian yang paling ia kubur dalam-dalam.Ia menceritakan hari saat Kara dengan mata berbinar penuh kebanggaan, mengumumkan bahwa ia telah siap. Siap untuk melakukan meditasi tertutup, untuk mengerahkan seluruh kekuatannya dan menerobos belenggu terakhir dari tingkat Master menuju alam Grandmaster
Kalimat terakhir dari laporan Lucien Dorne—"saksi mata itu... adalah salah satu dari kita"—menggantung di udara seperti vonis mati. Rayden menatap Tetua Agung Altair, semua kepingan puzzle yang membingungkan itu akhirnya mulai mengarah pada satu nama, satu sosok yang tak terduga. Kesabarannya habis."Aku tidak tertarik dengan detail kegagalanmu," potong Rayden dengan tajam, suaranya dingin dan tidak menyisakan ruang untuk basa-basi. "Aku melihat seorang anak perempuan di belakang Lucien Dorne malam itu. Jelaskan tentang Kara."Saat nama itu disebut, topeng ketenangan dan kendali yang selama ini dikenakan oleh Tetua Agung Altair hancur berkeping-keping. Wajahnya yang keriput mengeras, dipenuhi oleh penderitaan yang begitu dalam dan nyata hingga membuat amarah Rayden seketika surut, digantikan oleh firasat buruk yang mencekam. Ini adalah inti dari penyesalannya."Kara..." bisik sang Tetua, suaranya serak seolah kata itu terasa sakit untuk diucapkan. Ia memejamkan matanya. "Dia adalah bi
"Masalah besar?" ulang Rayden, firasat terburuknya langsung mencengkeram hatinya. Seluruh tubuhnya menegang. "Apa yang terjadi pada Raelyn? Apa yang Lucien lakukan padanya?"Tetua Agung Altair menatap Rayden, dan untuk sesaat, topeng baja di wajahnya yang tua retak. Di kedalaman matanya yang keruh, ada secercah simpati yang tulus, sebuah kilatan rasa sakit yang beresonansi. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya tetap dingin dan faktual, seolah ia hanya membacakan kembali laporan dari malam terkutuk itu, sebuah mekanisme pertahanan yang telah ia asah selama sepuluh tahun."Bukan itu," jawab sang Tetua pelan. "Masalah yang ia maksud bukanlah adikmu. Menurut laporan singkat Lucien, Raelyn telah diurus. Dia tidak memberikan detailnya. Laporannya hanya menyatakan bahwa target kedua tidak lagi menjadi ancaman bagi rencana kita."Kata-kata 'diurus' dan 'tidak lagi menjadi ancaman' terdengar lebih kejam di telinga Rayden daripada deskripsi penyiksaan mana pun. Ia langsung mengerti apa ar