Home / Urban / Balas Dendam sang Kultivator / Bab 4. Jiwa Yang Tertidur

Share

Bab 4. Jiwa Yang Tertidur

Author: Imgnmln
last update Last Updated: 2025-06-29 20:44:00

Mireya terdiam, bingung harus percaya dengan Rayden atau tidak. 

"Kak, sekarang antarkan aku ke tempat Raelyn," kata Rayden, suaranya lebih lembut, tetapi ada urgensi yang tak terbantahkan, sebuah kelembutan yang kontras dengan kekejaman yang baru saja ia tunjukkan.

Mireya yang masih tampak gemetar melihat sisa-sisa kekejaman Rayden terhadap Lazren dan para pengawalnya, juga keterkejutannya tentang kekuatan Rayden yang begitu besar, hanya bisa mengangguk kaku.

Ketakutan yang ia rasakan beberapa saat lalu kini bercampur dengan rasa iba yang mendalam. Pria di hadapannya bukanlah Rayden yang ia kenal, bocah lelaki hangat yang sering ia ejek kini telah menjadi sosok dingin yang dipenuhi amarah. Namun, tatapan putus asa di matanya saat menyebut nama Raelyn adalah sisa-sisa terakhir dari jiwa yang dulu ia kenali.

"Dia ada di apartemenku, ayo," jawab Mireya, suaranya sedikit bergetar, tetapi ia berusaha tegar. Ia tahu Rayden tidak akan menyakitinya.

Mereka berdua meninggalkan rumah Duskar yang kini kembali menjadi milik Rayden, meninggalkan kehancuran di belakang mereka. Pintu yang rusak dibiarkan terbuka, seolah mengundang siapa pun yang berani masuk untuk melihat konsekuensi dari kemarahan seorang Rayden Duskar.

Perjalanan menuju apartemennya terasa mencekam. Keheningan di dalam mobil lebih menyesakkan daripada teriakan manapun.

Rayden duduk diam di kursi penumpang, matanya menatap lurus ke depan. Di dalam sorot matanya, gemerlap lampu Kota Malora kini terasa asing. Pikirannya berkecamuk, memutar ulang tragedi sepuluh tahun lalu seperti film rusak.

Ayahnya yang tergeletak, ibunya yang tersenyum untuk terakhir kali, dan perintahnya pada Raelyn.

[Lari, Lyn! Lari dan jangan menoleh!]

Ia pikir ia telah menjadi pahlawan saat itu, mengorbankan diri untuk menyelamatkan adiknya. Namun sebuah kebodohan!

Di balik pengorbanannya, penderitaan yang jauh lebih buruk ternyata menanti kembarannya itu. Topeng tenang yang ia bangun selama sepuluh tahun untuk mengendalikan amarah dan dukanya kini retak di mana-mana.

"Kak, kenapa kamu bisa bertunangan dengan keluarga itu?" tanya Rayden tiba-tiba dengan suara datar, memecah keheningan. 

Mireya menelan ludah, jemarinya mencengkram setir hingga buku-buku jarinya memutih. 

“Aku terpaksa menerimanya, Ray. Kamu tahu kan kalau ayahku bekerja dengan mereka dan sempat berhutang pada mereka. Lalu, entah kenapa tiba-tiba Lazren justru tertarik padaku dan mengatakan akan membebaskan hutang keluargaku asal aku menikah dengannya,” jawab Mireya lirih.

Mendengar itu, suasana di dalam mobil semakin berat, Rayden tidak langsung merespon. Ia hanya menatap lurus ke depan, tetapi Mireya bisa merasakan perubahan drastis pada auranya. Kelembutan sesaat yang tadi ia tunjukan saat menyebut nama Raelyn kini lenyap tak berbekas, digantikan oleh hawa dingin yang menusuk tulang.

Ia menoleh, dan untuk pertama kalinya sejak mereka masuk ke dalam mobil, Rayden menatap Mireya sepenuhnya. Tatapannya begitu tajam, intens, hingga Mireya merasakan seluruh pertahanannya runtuh.

“Kak, aku pastikan kamu gak akan menikah dengannya,” ucap Rayden, suaranya terdengar datar, tetapi ada sebuah janji yang mengerikan di baliknya.

Mireya tersentak, ia melihat sebuah kilatan berbahaya di mata Rayden.

“Tapi, Ray … mereka—”

“Berapa kali aku harus bilang kalau mereka bukan masalah besar untukku?” potong Rayden dengan santai.

Mireya tidak menjawab ucapan Rayden, ia terdiam dengan tatapan lurus ke depan, lalu ia hanya mengangguk kecil. Sebagian dirinya merasa ngeri, tetapi sebagian dalam dirinya merasakan secercah harapan baru.

Tak lama kemudian, mobil itu melambat dan akhirnya berhenti di depan sebuah gedung apartemen yang sederhana. Pandangan Rayden menyapu setiap sudut gedung itu.

“Keluargamu pindah ke gedung apartemen ini kak?” tanya Rayden penasaran.

Sebab, seingatnya, dulu keluarga Arsena memiliki satu rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas untuk ditanami berbagai tanaman hias. Bahkan, mereka juga mengelola  sebuah perkebunan di dekat bukit dengan pendopo di dalamnya. Itu sebabnya, dulu Rayden meminta Raelyn untuk lari ke pendopo milik mereka.

Raelyn menggeleng, “Tidak. Orang tuaku masih di rumah yang dulu. Tempat ini bisa dikatakan sebagai tempat persembunyianku jika Lazren atau orang-orangnya menggangguku. Di sini juga aku merawat Raelyn.”

Mendengar itu, Rayden semakin penasaran. Sebenarnya, seperti apa perlakuan Lazren kepada Mireya.

Namun, yang membuat Rayden lebih penasaran adalah tentang keadaan Raelyn saat ini. Ia ingin segera melihat bagaimana adik kembarnya itu dan memastikan semua baik-baik saja. Sebab, kini hanya Raelyn keluarga Rayden yang tersisa.

Sepuluh tahun Rayden hidup dalam sebuah desa terpencil, berlatih untuk memahat tubuh dan jiwanya menjadi sebuah senjata, semua ia lakukan demi bisa membalas perlakuan buruk pada keluarganya.

Tak lama, mereka berhenti di lantai 10, kamar nomor 141.

Mireya menatap Rayden, matanya menyiratkan keraguan dan sebuah peringatan. 

“Ray,” panggilnya pelan, membuat Rayden tersentak dari lamunannya. “Kau harus mempersiapkan dirimu, apapun yang kau lihat di dalam, kendalikan dirimu. Banyak hal yang telah terjadi…”

Jantung Rayden tiba-tiba terasa seperti diremas, tetapi ia hanya mengangguk. Ia tahu, 10 tahun bukan waktu yang singkat. Jelas banyak perubahan yang terjadi.

Mireya menatap Rayden sekali lagi dengan cukup dalam, lalu ia membuka pintu itu.

Klikk.

Pintu berderit terbuka perlahan, menampakkan ruang tamu yang remang-remang diterangi cahaya dari jendela yang menghadap kota Malora.

Dan di sana, duduk di atas sebuah kursi roda yang menghadap jendela, terdapat sosok gadis kurus dengan rambut panjang. Ia menatap lurus ke arah jendela, sorot matanya seolah tersesat di dalam dunianya sendiri.

Waktu seakan berhenti, dan nafas Rayden tercekat di tenggorokan, pikirannya melayang jauh ke segala arah.

Itu Raelyn?

Rayden belum sempat bersuara, tetapi Mireya lebih dulu berkata, “Itu Raelyn. Sekarang, dia harus menggunakan kursi roda. Tubuhnya tidak seperti dulu lagi, Ray. Dia banyak terluka.”

Jantung Rayden terasa berhenti, giginya menggeretak penuh amarah. Sekejap, aura membunuh  menyelimuti tubuhnya seolah siapapun yang telah membuat adiknya terluka akan segera ia mangsa.

“Apa yang terjadi padanya?” tanya Radyen, berusaha menahan semua amarahnya.

“Beberapa hari setelah dia datang ke rumah, orang-orang dari keluarga Bramasta menemukannya. Mereka langsung menyiksa Raelyn, bahkan saat kami ingin menolongnya, kami juga ikut disiksa,” jelas Mireya dengan suara bergetar, seolah ingatannya dibawa kembali ke masa kelam itu.

Tangan Rayden mengepal kuat, tatapannya tajam menusuk. Mungkin, jika tatapan mata bisa membunuh, saat ini siapapun yang menatap Rayden pasti langsung mati.

Saat itu, Raelyn yang duduk di kursi roda itu sedikit tersentak setelah mendengar suara Mireya. Setelah keheningan yang menyiksa, perlahan ia menoleh.

Tatapannya kosong, tidak ada emosi di wajahnya. Di pipi kanannya terdapat bekas luka goresan yang cukup dalam, membuatnya terlihat lebih menyedihkan.

Melihat itu, Rayden semakin terkejut. Tatapan Raelyn benar-benar tampak tidak seperti manusia yang utuh, bahkan Rayden bisa merasakan ada yang salah dengan tatapan itu.

Seketika, sebuah dugaan muncul di kepala Rayden.

“Kak, selain disiksa secara fisik, apa ada lagi yang menyentuhnya?” tanya Rayden penasaran.

Mireya terdiam sejenak, seolah sedang mencari kepingan kejadian di malam itu. Hingga akhirnya, ia berkata, “Ah, saat itu, Vania Bramasta, kakak Lazren, juga ikut datang. Saat dia melihat Raelyn, entah kenapa tiba-tiba Raelyn berteriak kesakitan. Padahal, Vania tidak menyentuhnya sama sekali. Setelah itu, Raelyn jadi seperti ini.”

“Aku dengar, dia memang orang kuat, tetapi aku tidak tahu dia seperti apa,” tambah Mireya.

Hal itu membuat Rayden menaikkan satu alisnya.

Mungkinkah?

“Tapi, saat kami membawanya ke berbagai rumah sakit dan dokter spesial terbaik di Ibu Kota Selvaria, psikiater terkemuka. Mereka melakukan semua tes yang ada di dunia medis modern. CT scan, MRI, pemindaian gelombang otak, hasilnya selalu sama, tidak ada kerusakan fisik. Saraf tulang belakangnya utuh, otaknya berfungsi normal, tapi dia tetap seperti ini. Mereka memberinya obat, terapi kejut, hipnoterapi, tidak ada yang berhasil. Seolah jiwanya sudah tidak ada di sana lagi untuk diajak bicara,” kata Mireya lagi, kali ini tatapannya dipenuhi kekhawatiran dan kebingungan yang selama ini selalu menghantuinya.

Rayden mengangguk. Sepertinya, dugaannya memang benar.

Vania itu, pasti minimal ada di tingkat Grandmaster.

Namun, itu bukan masalah untuk Rayden. Ia bisa dengan mudah memusnahkan wanita yang telah mencelakai adiknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 177. Resonansi Darah

    Mereka akhirnya tiba di depan sebuah mulut gua kristal raksasa yang tersembunyi di balik sebuah air terjun beku. Gua itu dijaga oleh dua golem es raksasa yang duduk diam seperti gunung kecil.Saat para tetua mendekat, golem-golem itu terbangun, mata mereka yang terbuat dari safir biru murni bersinar terang. Setelah mengenali para tetua, mereka menyingkir tanpa suara, memperlihatkan jalan masuk yang gelap.Bagian dalam gua itu begitu indah hingga membuat napas tertahan. Dinding dan langit-langitnya sepenuhnya terbuat dari kristal es biru pucat yang memancarkan cahaya lembut dari dalam, seolah mereka telah melangkah masuk ke dalam sebuah berlian raksasa. Udara di sini berderak oleh energi murni yang begitu pekat hingga terasa seperti medan kekuatan yang hidup, membuat setiap tarikan napas terasa menyegarkan sekaligus menekan.Dan di tengah gua yang maha luas itu, mengambang beberapa inci di atas lantai kristal yang sempurna, adalah Jantung Es.Sebuah kristal biru pucat seukuran rumah ke

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 176. Vonis

    Lady Anya adalah yang pertama memecah keheningan yang pekat setelah cerita Rayden berakhir. Ia mengangkat kepalanya yang tadinya tertunduk, melepaskan topeng esnya, dan menatap lurus ke arah Tetua Agung Valerius di seberang ruangan."Tetua Agung," katanya, suaranya yang jernih dan kuat bergema di antara pilar-pilar gletser. "Ceritanya konsisten dengan apa yang kita ketahui tentang hilangnya Liana. Dan resonansinya dengan Segel Leluhur tidak bisa dibantah. Saya melihatnya dengan mata saya sendiri."Argumennya yang didasari oleh fakta dan logika itu seperti sebuah batu yang dilemparkan ke permukaan danau yang beku, menciptakan riak-riak di antara para tetua lainnya.Seorang tetua lain yang tampak lebih muda, dengan rambut hitam legam yang kontras dengan jubah putihnya, mengangguk setuju. "Lady Anya benar," katanya, suaranya dipenuhi oleh semangat yang terpendam. "Selama berabad-abad kita telah bersembunyi di sini, meratapi penghinaan di masa lalu. Jika Brahma Angkara benar-benar berada

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 175. Aula Penghakiman Es

    Lady Anya, yang berdiri sedikit di belakang, tampak ingin berbicara, membela keajaiban yang baru saja ia saksikan dengan matanya sendiri. Namun, satu tatapan tajam dari sang tetua agung membuatnya terdiam. Kata-kata yang hendak ia ucapkan seolah membeku di tenggorokannya. "Tetua Agung, mohon..." bisiknya, namun suaranya lenyap ditelan keheningan yang menindas.Valerius memberi isyarat dengan kepalanya, sebuah perintah tanpa kata. Dengan enggan, Lady Anya memandu Rayden masuk lebih dalam ke lembah. Mereka tiba di depan sebuah bangunan yang tak terpikirkan, sebuah aula besar yang tidak dibangun, melainkan diukir langsung di dalam jantung sebuah gletser kuno.Dindingnya yang transparan memancarkan cahaya biru pucat dari dalam, dan di tengahnya, beberapa kursi es raksasa yang diukir dengan pola kepingan salju yang rumit tersusun melingkar. Di sana, duduk dalam keheningan yang sakral, adalah para anggota Dewan Tetua Klan Salju Abadi lainnya, wajah-wajah mereka setua dan sekeras es abadi."

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 174. Langkah Pertama di Tanah Leluhur

    Rayden menatap wanita di hadapannya. Tanpa topeng es, wajahnya menunjukkan kecantikan yang tegas dan matang, namun matanya yang biru pucat masih menyimpan kewaspadaan yang dalam. Ia tidak membalas sapaan itu, hanya mengangguk singkat, lalu melangkah melewati gerbang cahaya.Dunia di sekelilingnya berubah seketika.Dinginnya Pegunungan Nafas Naga yang menusuk hingga ke tulang lenyap, digantikan oleh udara sejuk yang dipenuhi oleh energi spiritual yang begitu murni hingga terasa seperti nektar bagi Dantiannya yang baru pulih. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan energi murni itu membersihkan sisa-sisa kelelahan dari jiwanya.Ia telah memasuki sebuah surga yang tersembunyi. Lembah itu bahkan lebih indah dari yang terlihat dari luar. Di atasnya, langit tampak lebih biru, lebih jernih. Sungai-sungai kecil dengan air sejernih kristal mengalir dengan tenang di antara padang rumput hijau yang lembut.Di sepanjang tepi sungai, tumbuh bunga-bunga aneh yang kelopaknya terbuat dari es tipis, m

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 173. Gerbang yang Terbuka

    Di dalam sebuah aula megah di dalam lembah, Tetua Agung Valerius dan para tetua lainnya menatap sebuah cermin es raksasa yang menunjukkan pemandangan di luar. Saat badai itu tiba-tiba berhenti, semua tetua di dalam ruangan terkesiap.Di layar cermin itu, di dahi Rayden yang kini duduk tak sadarkan diri di tengah keheningan, sebuah simbol bunga es dengan enam kelopak yang bersinar dengan cahaya putih murni, seolah terbuat dari cahaya bulan yang membeku.Salah satu tetua yang paling tua di dewan itu, yang telah menyaksikan pergantian zaman, bangkit dari kursinya dengan tubuh gemetar, matanya yang keriput membelalak tak percaya."Tidak mungkin!" bisiknya dengan ngeri sekaligus kagum."Lambang Darah… Murni?!"Di dalam Aula Penghakiman Es yang agung, keheningan yang pekat menyelimuti Dewan Tetua. Semua mata terpaku pada cermin es raksasa di tengah ruangan, yang kini menampilkan pusaran badai spiritual biru yang mengamuk di luar lembah.Di pusat badai itu, sosok Rayden yang duduk bersila ta

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 172. Ujian Es dan Jiwa II

    Rayden berdiri sendirian, menatap tirai energi yang tadinya tenang, kini mulai bergejolak dengan firasat buruk. Ia bisa merasakan kekuatan kuno di dalamnya terbangun, seperti seekor binatang buas raksasa yang menggeliat dari tidurnya yang panjang."Ujian macam apa yang kau siapkan untukku, Pak Tua?" bisiknya pada angin, nadanya lebih merupakan sebuah tantangan yang getir daripada sebuah pertanyaan.Ia tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan jawabannya.Tanpa peringatan, formasi pelindung di hadapannya berubah. Cahaya auroranya yang lembut kini bergejolak hebat, warna-warni yang tadinya menenangkan kini memadat menjadi satu warna biru es yang menusuk mata. Tirai energi itu berubah menjadi badai, sebuah pusaran kekuatan spiritual es yang mengamuk.Namun, badai ini aneh. Ia tidak menyentuh salju di sekeliling Rayden. Ia tidak menerbangkan kerikil atau mengeluarkan suara gemuruh yang dahsyat. Seluruh kekuatannya terfokus pada satu target tunggal—Rayden.Bukan sebuah badai fisik. Tetap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status