Rayden menghela napas sejenak. Dengan keberanian yang ia kumpulkan dari sisa-sisa hatinya, ia berjalan ke arah Raelyn dan menyentuh tangan Raelyn yang dingin.
"Lyn," panggilnya lagi, lebih lirih, berharap ada keajaiban. "Ini aku, Rayden."
Tidak ada reaksi. Tidak ada kedipan. Tidak ada genggaman balik.
Rasa sakit yang tajam dan dingin menusuk jantung Rayden, lebih menyakitkan dari luka manapun yang pernah ia terima.
Rayden kembali menghela napas. Ia mengeratkan genggaman tangannya, merasakan jalur energi yang ada di tubuh Raelyn.
Sejak mengetahui bahwa dirinya memiliki darah seorang praktisi, ia menduga Raelyn juga pasti memiliki itu. Meskipun ia belum tahu pasti dari mana darah keturunan itu berasal, mengingat yang ia tahu kedua orang tuanya hanya orang biasa.
Setelah beberapa saat, Rayden melepas genggamannya. Ia menatap Raelyn dengan emosi yang sulit diartikan.
Benar. Rayden bisa merasakan sesuatu yang besar dari tubuh Raelyn, tetapi semua itu telah rusak. Inti jiwa Raelyn telah dirusak sehingga kekuatan itu juga tidak utuh lagi. Jadi, dugaan Rayden memang benar adanya.
Hening.
Keheningan yang lebih memekakkan dari jeritan manapun.
Kesedihan di hati Rayden kini telah mencapai tingkat yang sempurna.
Itu telah berubah menjadi kemarahan yang dingin. Kemarahan yang jernih. Kemarahan yang memiliki tujuan.
“Rey, kenapa?” tanya Mireya dengan hati-hati.
”Sekarang aku mengerti.” Tatapan mata Rayden yang tadi dipenuhi duka kini berubah menjadi tajam dan fokus. "Ini bukan masalah pikiran, Kak Mireya. Ini masalah jiwa."
"Jiwa?" Mireya mengerutkan kening. “Apa maksudmu, Rey?”
Rayden berbalik dan menatap Mireya dengan serius. “Inti jiwa Raelyn telah dirusak, itu yang membuatnya jadi seperti ini. Dokter biasa jelas tidak akan bisa menyembuhkannya, bahkan mendeteksi penyakitnya saja tidak bisa.”
Namun, Mireya justru semakin kebingungan saat mendengar ucapan Rayden.
Setelah menghilang selama 10 tahun, sekarang Rayden berubah menjadi pria dengan omong kosong? Apa dia pikir ini adalah cerita fiksi?
"Ray, aku tahu kau telah melalui banyak hal, tapi itu terdengar seperti... dongeng," ujar Mireya dengan pasrah.
Ekspresi Rayden tidak berubah, matanya tetap menatap Mireya dengan serius seolah tidak peduli dengan apa yang Mireya pikirkan. Kemudian, Rayden kembali memfokuskan perhatiannya pada Raelyn.
"Kak, aku butuh ketenangan mutlak. Jangan biarkan siapapun mengganggu. Aku akan mencoba mengobati Raelyn," kata Rayden dengan tenang.
Saat ini, Mireya hampir tertawa. Di kepalanya, Rayden benar-benar tampak seperti pembual. Meskipun ia tahu bahwa dulu Rayden termasuk murid yang cerdas, tetapi untuk percaya jika Rayden kini memiliki kemampuan medis itu cukup sulit.
Bayangkan saja, di mana ada seorang lulusan ilmu kedokteran yang berpenampilan seperti itu? Rambut panjang diikat, tubuh gagah dengan otot yang keras, juga setelan baju yang tampak kuno. Bahkan, Rayden lebih cocok disebut sebagai petarung.
“Kamu punya kemampuan medis, Rey?” tanya Mireya memastikan.
Rayden menggelengkan kepalanya, tatapannya tidak lepas dari Raelyn. “Tapi, ini memang bukan urusan medis. Di sini, hanya aku yang bisa menyembuhkannya. Jadi, percaya saja.”
Mireya menghela napas. Sejenak ia ingin percaya pada kemampuan Rayden, terutama setelah melihat perubahan beladiri Rayden sebelumnya meskipun untuk ini rasanya masih cukup berat.
“Terserah kamu saja.” Mireya mengangguk pasrah.
“Aku pinjam kamar, ya,” kata Rayden sambil mendorong kursi roda Raelyn.
Dengan pasrah dan sedikit harapan, Mireya menunjukkan jalan ke arah kamar Raelyn.
Sementara itu, Raelyn hanya diam dengan pandangan yang tetap kosong, seolah tak ada yang mengusiknya sedikitpun.
Setelah tiba di kamar dan membaringkan Raelyn di ranjang, tiba-tiba Raelyn berkata dengan lirih, “Kak Mire …”
Raelyn menatap Mireya dengan pandangan datar, meskipun ada sedikit kebingungan di sorot mata itu, tetapi sangat samar, hampir tidak terlihat.
Mireya mendekat dan menggenggam tangan Raelyn, lalu berkata, “Lyn, ada Rayden di sini. Kakakmu sudah kembali. Sekarang, dia akan membantumu untuk sembuh.”
“Kak Ray?” kata Raelyn lirih, tetapi tatapannya tidak lepas dari Mireya.
Saat itu juga, Rayden ingin maju dan merengkuh adiknya, tetapi ia masih menahannya. Sebab, ia tahu bahwa itu tidak akan membawa hasil apapun.
Setelah Mireya mengangguk dan mundur, Rayden baru mengambil langkah untuk maju. Sebelum mulai mencari titik kerusakan di tubuh Raelyn, Rayden menatap Mireya sejenak, memberi isyarat untuk meninggalkannya dengan Raelyn di kamar ini.
Setelah memahami maksud Rayden, Mireya langsung mundur dan keluar dari kamar itu dengan jantung yang terus berdegup kencang.
Bagi Mireya, Raelyn dan Rayden memang seperti adiknya sendiri. Jadi, kesembuhan Raelyn saat ini juga harapan baginya.
Sementara itu setelah Mireya pergi, Rayden menarik napas dalam-dalam, menenangkan badai di dalam hatinya. Ia harus jernih, dan juga objektif.
“Lyn, ini aku, Kakakmu. Sekarang, kamu tidur dulu sebentar ya,” kata Rayden dengan lembut ke arah Raelyn. Tatapan yang semua dingin dan penuh amarah, kini melunak. Namun, Raelyn tetap tidak berekspresi, dan itu membuat Rayden hanya bisa menelan pil pahit.
Setelah Rayden menyentuh dahi Raelyn sejenak, gadis itu seketika menutup matanya.
Rayden langsung menempatkan telapak tangan kanannya, bukan langsung menyentuh, melainkan melayang beberapa inci di atas perut bagian bawah Raelyn, lokasi di mana Inti Jiwa itu berada.
Ia menutup matanya. Seketika, dunia luar lenyap. Yang ada hanyalah persepsi spiritualnya.
Udara di sekitar tangannya mulai bergetar saat ia menyalurkan seutas energi spiritualnya yang murni ke dalam tubuh adiknya. Energi itu berwarna keemasan pucat, penuh dengan kehidupan dan ketenangan seorang praktisi kultivasi.
Wajah Rayden tampak sangat terkonsentrasi, pelipisnya mulai dibasahi keringat. Namun di dalam ‘penglihatan’ Rayden, pemandangan yang ia saksikan adalah neraka.
Rayden menelusuri jalur-jalur energi di tubuh Raelyn. Jalur yang seharusnya menjadi sungai cahaya yang deras dan penuh kehidupan, kini tak lebih dari parit-parit kering yang retak. Aliran energinya macet, keruh, dan nyaris mati. Dengan susah payah, ia mendorong energinya lebih dalam, menuju pusat Inti Jiwa Raelyn.
Pusat dari vitalitas, fondasi dari kehidupan yang seharusnya menjadi matahari kecil yang hangat dan bercahaya di dalam tubuh itu, kini telah hancur, bukan sekadar retak atau rusak. Seperti bintang yang meledak dan mati, meninggalkan kepingan-kepingan kristal hitam yang tajam dan dingin. Kepingan-kepingan itu tidak hanya diam, mereka memancarkan aura negatif yang dingin dan mematikan, secara aktif menolak dan menghancurkan setiap energi kehidupan yang mencoba mendekat.
Inilah alasan mengapa Raelyn tidak bisa sembuh. Tubuhnya sendiri menolak kehidupan!
“Shhh,” desis Rayden pelan.
Lebih buruk lagi, Rayden bisa merasakan sisa-sisa energi asing yang samar, seperti racun spiritual, masih menempel di setiap kepingan hitam itu. Energi yang penuh dengan kebencian dan keirihatian, memastikan bahwa luka ini tidak akan pernah bisa pulih secara alami.
‘Segel Kutukan?’ ucap Rayden dalam hatinya ketika menyadari apa energi aneh itu di dalam tubuh Raelyn.
Namun, tepat ketika Rayden ingin membongkar segel itu, energi jahat yang telah lama tersebar di tubuh Raelyn menolak.
Srrkkk!
Aliran energi itu terputus.
Rayden butuh banyak energi spiritual untuk bisa memecah segel itu dan mengembalikan kesuburan Inti Jiwa Raelyn.
Masalahnya, energi spiritual di sekitar sini sangat minim. Kristal-kristal spiritual milik Rayden juga belum bisa mencukupinya. Jadi, paling tidak ia membutuhkan tiga tanaman ilahi berusia ribuan tahun, atau 2 kristal spiritual tingkat atas.
Rayden menjauh dari tubuh Raelyn, sebuah senyum aneh melintas di sudut bibirnya.
Jika keluarga Bramasta memiliki pejuang seperti Vania yang mampu menghancurkan Inti Jiwa Raelyn, berarti kemungkinan besar mereka memiliki harta spiritual seperti itu, bukan?
Peringatan terakhir dari Tetua Agung Altair masih menggema di telinga Rayden, meninggalkan jejak dingin dari paranoia. Namun, pria tua itu tidak menunggu jawaban. Ia mendorong piringan giok kusam itu ke seberang meja dengan gerakan final."Hutang keluargaku, baik pada Kalesvara maupun pada cucuku, tidak akan pernah bisa lunas," katanya dengan suara yang dipenuhi kelelahan. "Anggap ini sebagai bunga pertamanya."Ia menjelaskan dengan singkat. Piringan itu adalah Kunci Spasial, sebuah artefak kuno sekali pakai. Fungsinya hanya satu, membuka gerbang sementara menuju perbatasan Wilayah Nebulon, dimensi tersembunyi tempat para kultivator tingkat tinggi seperti Brahma Angkara bersemayam. Ini adalah satu-satunya cara bagi Rayden untuk melanjutkan perburuannya.Rayden menatap kunci di tangannya, lalu pada pria tua di hadapannya. Tujuannya kini jelas, dan jalan di hadapannya, meskipun berbahaya, telah terbentang. Ia mengambil kunci itu tanpa berkata apa-apa.***Di atap markas bawah tanahnya,
Rayden menatap pria tua di hadapannya, matanya menyipit dengan tatapan menyelidik yang dingin. Secercah harapan yang ditawarkan sang Tetua terasa seperti umpan di atas sebuah perangkap yang rumit."Jalan masuk?" tanyanya skeptis, suaranya datar. "Setelah semua kebohongan dan manipulasi, kenapa aku harus percaya kau tidak sedang menuntunku ke dalam jebakan lain?"Menghadapi ketidakpercayaan itu, Tetua Agung Altair justru tersenyum getir. Itu bukan lagi senyum licik, melainkan senyum lelah dari seorang pemain catur yang telah kalah dan kini membuka semua strateginya."Kau tidak harus percaya padaku, anak muda," jawabnya, suaranya terdengar jujur untuk pertama kalinya. "Tapi kau harus percaya pada logikaku. Percaya pada kepentingan pribadiku."Ia menegakkan tubuhnya, kembali ke persona seorang ahli strategi. "Aku akan jujur padamu. Tindakanku ini bukan didasari oleh kebaikan hati atau keinginan untuk menebus dosa. Ini adalah pertaruhan terakhirku."Ia mengangkat satu jari. "Pertama, Brah
"Aku adalah monster yang sebenarnya dalam cerita ini."Bisikan yang bergetar itu menggantung di udara paviliun teh yang kini terasa dingin, sebuah pengakuan akhir yang menyedihkan. Tetua Agung Altair menunduk, bahunya yang rapuh berguncang karena isak tangis yang tertahan, sosoknya tidak lebih dari seorang pria tua yang hancur oleh dosanya sendiri.Rayden terdiam untuk waktu yang sangat lama.Ia tidak merasakan kemenangan. Ia tidak merasakan kepuasan dari melihat musuhnya yang licik ini hancur. Ia bahkan tidak merasakan amarah yang meledak-ledak. Yang ia rasakan hanyalah hawa dingin yang menusuk dari sebuah kebenaran yang pahit, rumit, dan sangat melelahkan.Di dalam keheningan itu, pikirannya bekerja dengan kecepatan kilat, menyusun kembali semua masalah yang selama ini terasa salah tempat.Kara Kalderis.Sikapnya yang dingin namun penuh selidik saat pertama kali mereka bertemu. Itu bukanlah arogansi, melainkan kewaspadaan dari seseorang yang telah belajar untuk tidak mempercayai sia
Rayden menatap Tetua Agung Altair, matanya yang berwarna amber kini menyipit menjadi dua titik cahaya yang berbahaya. Udara di sekelilingnya terasa mendingin, dan suaranya keluar bukan sebagai teriakan, melainkan desisan yang jauh lebih menakutkan."Apa... yang telah kau lakukan padanya?"Pertanyaan itu menggantung di udara, sebuah tuntutan yang absolut. Wajah sang Tetua yang keriput kini basah oleh air mata yang akhirnya tak bisa lagi ia bendung. Ia tidak lagi terlihat seperti seorang penguasa licik, melainkan hanya seorang kakek tua yang hancur oleh penyesalannya sendiri."Aku melakukan dosa yang tak termaafkan," bisiknya, suaranya parau. Ia mulai menceritakan bagian terakhir dari kisahnya, bagian yang paling ia kubur dalam-dalam.Ia menceritakan hari saat Kara dengan mata berbinar penuh kebanggaan, mengumumkan bahwa ia telah siap. Siap untuk melakukan meditasi tertutup, untuk mengerahkan seluruh kekuatannya dan menerobos belenggu terakhir dari tingkat Master menuju alam Grandmaster
Kalimat terakhir dari laporan Lucien Dorne—"saksi mata itu... adalah salah satu dari kita"—menggantung di udara seperti vonis mati. Rayden menatap Tetua Agung Altair, semua kepingan puzzle yang membingungkan itu akhirnya mulai mengarah pada satu nama, satu sosok yang tak terduga. Kesabarannya habis."Aku tidak tertarik dengan detail kegagalanmu," potong Rayden dengan tajam, suaranya dingin dan tidak menyisakan ruang untuk basa-basi. "Aku melihat seorang anak perempuan di belakang Lucien Dorne malam itu. Jelaskan tentang Kara."Saat nama itu disebut, topeng ketenangan dan kendali yang selama ini dikenakan oleh Tetua Agung Altair hancur berkeping-keping. Wajahnya yang keriput mengeras, dipenuhi oleh penderitaan yang begitu dalam dan nyata hingga membuat amarah Rayden seketika surut, digantikan oleh firasat buruk yang mencekam. Ini adalah inti dari penyesalannya."Kara..." bisik sang Tetua, suaranya serak seolah kata itu terasa sakit untuk diucapkan. Ia memejamkan matanya. "Dia adalah bi
"Masalah besar?" ulang Rayden, firasat terburuknya langsung mencengkeram hatinya. Seluruh tubuhnya menegang. "Apa yang terjadi pada Raelyn? Apa yang Lucien lakukan padanya?"Tetua Agung Altair menatap Rayden, dan untuk sesaat, topeng baja di wajahnya yang tua retak. Di kedalaman matanya yang keruh, ada secercah simpati yang tulus, sebuah kilatan rasa sakit yang beresonansi. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya tetap dingin dan faktual, seolah ia hanya membacakan kembali laporan dari malam terkutuk itu, sebuah mekanisme pertahanan yang telah ia asah selama sepuluh tahun."Bukan itu," jawab sang Tetua pelan. "Masalah yang ia maksud bukanlah adikmu. Menurut laporan singkat Lucien, Raelyn telah diurus. Dia tidak memberikan detailnya. Laporannya hanya menyatakan bahwa target kedua tidak lagi menjadi ancaman bagi rencana kita."Kata-kata 'diurus' dan 'tidak lagi menjadi ancaman' terdengar lebih kejam di telinga Rayden daripada deskripsi penyiksaan mana pun. Ia langsung mengerti apa ar