Lazren menyipitkan mata, tatapannya yang arogan menilai Rayden dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Apa maksudmu?"
Jelas Laren tahu soal pembantaian keluarga itu, tetapi yang tersisa dari keluarga itu hanya sang anak perempuan.
Namun, saat mata Lazren beralih dan menangkap sosok Mireya yang berdiri sedikit di belakang Rayden, ekspresi Lazren berubah keruh. Dahi yang semula angkuh kini berkerut dalam.
"Kau? Kenapa ada di sini?" tanyanya pada Mireya, mengabaikan Rayden sepenuhnya.
Sebelum Mireya bisa menjawab, Lazren kembali menatap Rayden, kali ini dengan nada posesif yang kental. "Dan kenapa tunanganku bisa bersamamu?"
Mendengar itu, Rayden menaikkan satu alisnya, lalu mengalihkan pandangannya pada Mireya. “Tunangan?”
Mireya semakin merasa tegang, entah kenapa, tatapan Rayden membuatnya merasa seperti sedang diintimidasi. “I–iya, tap–”
“Sayangnya, Mireya sudah menjadi wanitaku sejak 10 tahun lalu,” potong Rayden tanpa basa-basi.
Jawaban itu membuat Lazren Lazren terbelalak. "Apa maksudmu? Dia adalah tunanganku! Tunangan Lazren Bramasta!"
Sementara itu, Mireya sendiri juga sama terkejutnya. Benar-benar tidak menyangka jika Rayden akan mengatakan hal seperti itu.
Namun, Rayden justru terlihat tetap tenang dengan senyum tipis di sudut bibirnya. “Dalam mimpimu!”
“Kau ….” Lazren menggertakkan giginya dan menatap Rayden penuh amarah. “Keluar dari rumah keluargaku!”
Radyen mendengus dingin, tetapi saat ia akan melangkah, Mireya mencegahnya.
“Ray,” ujar Mireya pelan sambil memegang tangan Rayden.
Namun, Rayden hanya tersenyum, lalu melepas genggaman tangan Mireya perlahan, seolah mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Setelah itu, ia mengambil dua langkah ke depan.
“Rumah ini telah kembali ke tangan keluarga Duskar, apa kau tidak tahu kalau aku telah membelinya?” kata Rayden dengan santai.
Lazren kembali menggertakkan giginya.
Apa mungkin?!
"Siapa kau sebenarnya, hah?!" tanya Lazren dengan suara yang semakin meninggi. Tatapannya begitu tajam dan menusuk. Bahkan, aura kemarahan telah menyelimutinya.
Tatapan Rayden menajam, sedingin es di puncak gunung bersalju. Ia tak lagi menyembunyikan identitasnya.
"Rayden Duskar," desisnya. Nama itu terdengar seperti guntur di ruangan yang senyap. "Putra dari pemilik sah rumah ini. Dan... orang yang kalian anggap telah mati 10 tahun yang lalu."
Seketika, suasana membeku. Udara terasa berat dan menyesakkan.
Mireya menahan napas, merasakan ketegangan yang begitu pekat hingga nyaris bisa disentuh.
Sementara Lazren tampak terkejut luar biasa, wajahnya pucat pasi. Namun, keterkejutan itu dengan cepat tergantikan oleh tawa yang dipaksakan, tawa yang penuh dengan penghinaan.
"Hahaha! Rayden Duskar, ya? Jadi... bocah sampah itu masih hidup? Bahkan, berani datang ke hadapanku dan mengusikku?" Tatapan Lazren berubah keji. "Apa kau ingin mati dua kali?"
“Aku rasa, justru kau yang akan menjemput ajalmu,” kata Rayden dingin.
Detik itu juga—
BOOM!!
Dengan satu ayunan tangan, Rayden membuat Lazren terbang ke belakang hingga membentur tembok dan jatuh tersungkur dan memuntahkan segumpal darah.
“Tuan Muda!”
Dua pengawal yang berjaga di belakang Lazren langsung terkejut karena serangan Rayden yang tiba-tiba dan begitu kuat bahkan tanpa menyentuh tubuh Lazren sedikit pun.
Hal semacam itu jelas hanya bisa dilakukan oleh pejuang di tingkat Grandmaster.
“Bunuh dia!” perintah Lazren pada dua pengawalnya.
Mendengar perintah itu, tanpa berlama-lama lagi, dua pengawal yang berada di tingkat Master itu menerjang bersamaan. Masing-masing langsung mengacungkan pisau dan pistol, menerjang ke arah titik vital Rayden.
DOR!
HWOSH!
Namun dalam sekejap, Rayden telah menghilang.
BRAKK!
Dalam sekejap, tubuh Rayden telah sampai belakang kedua pengawal tingkat Master itu. Kedua tangannya menghantam perut membuat kedua pengawal itu terangkat dan terhempas beberapa meter sebelum menabrak tembok dengan keras.
“Uhuk!”
Keduanya menyemburkan darah segar dari mulut mereka sebelum merosot dengan lemas tak berdaya.
Pengawal ketiga yang merupakan seorang Grandmaster, langsung bereaksi lebih cepat. Ia membawa sebuah tongkat besi yang langsung ditebaskan ke arah kepala Rayden.
Namun, Rayden hanya mengangkat satu tangan, menangkap laju tongkat itu dengan telapak tangannya seolah menangkap ranting kering. Dengan satu hentakan, Rayden merebut tongkat itu.
Sebelum si pengawal sempat bereaksi dengan apa yang terjadi, Rayden menarik kepalanya dan membenturkannya ke lantai dengan kejam.
BRAKK!
"Kau, bede—"
Belum sempat pengawal itu menyelesaikan umpatannya, Rayden menghantamkan tongkat baja yang kini ada di tangannya ke pelipisnya.
BUG!
Sosok kekar itu langsung terkulai tanpa suara. Mati seketika.
Dalam keheningan yang mencekam, Rayden mengalihkan pandangannya ke arah Lazren.
Lazren yang kini sendirian, dengan wajah pucat pasi, ia merogoh bagian dalam jasnya. Tangannya yang gemetar hebat mengeluarkan sepucuk pistol berwarna perak. Ia menodongkannya ke arah Rayden.
"J-Jangan bergerak! Sialan... Jangan mendekat!"
Rayden tidak berkata apa-apa, ia hanya berjalan secara perlahan ke arah Lazren, setiap langkah kakinya seakan membawa sabit malaikat.
"Tarik pelatukmu, aku jamin peluru itu akan berbalik ke arahmu." Suara Rayden rendah dan tanpa emosi, membuatnya terdengar lebih menakutkan.
“Kubilang diam! Jangan mendekat, bajingan! Ayahku tidak akan melepaskanmu jika kau berani menyentuhku!” Lazren menggerutu dengan suara yang parau dan penuh ketakutan.
Namun, Rayden justru tersenyum sinis. "Sebelum kau sempat mengadu, aku pastikan kau tidak bisa bicara."
Bugh!
“Arghh!!” teriak Lazren penuh kesakitan. Setengah wajahnya telah hancur. Daging dan darah bercampur jadi satu.
“Aku tidak akan membuatmu mati dengan mudah seorang diri. Kau harus mati dengan semua anggota keluargamu,” ucap Rayden dengan suara dingin, tatapannya tajam ke arah Lazren.
“Kau ….” Lazren memegang pipi kanannya yang berlumuran darah. Di tengah kesakitan itu, ia memang tak berani lagi berbuat sembrono pada Rayden, tapi ia juga tak mau menyerah begitu saja. “Apa maumu?!”
Rayden tersenyum sinis. “Kenapa keluargamu menyerang keluargaku?”
Lazren menelan ludahnya susah payah. Rasa sakitnya seolah lenyap saat menatap mata Rayden yang dingin. “Aku … aku tidak tahu apa-apa soal itu.”
“Ck! Tidak berguna.” Rayden mendengus, lalu tanpa peringatan, menghantam wajah Lazren lagi dengan keras, brutal, dan tanpa ampun.
Pukulan bertubi-tubi itu membuat darah muncrat, dan suara retakan tulang terdengar jelas.
Lazren terkapar di lantai, tak mampu bersuara, hanya mengerang lirih dengan wajah yang nyaris tak bisa dikenali. Setengah wajahnya hancur, bengkak, dan penuh darah, bahkan semua giginya telah lepas dan rahangnya hampir tak bisa digerakkan. Ketakutan memuncak di matanya, tapi tubuhnya tak lagi mampu melarikan diri.
Di saat itu, Mireya yang sejak tadi menyaksikan adegan mengerikan dengan wajah ketakutan dan keringat dingin, akhirnya bersuara. “Ray …”
Rayden langsung menoleh. Ia mendadak lupa jika sejak tadi ada Mireya di belakangnya yang melihat semua ini.
“Tidak usah khawatir, Kak,” kata Rayden seolah ingin menjawab apa yang Mireya pikirkan.
“Ray, kamu … kenapa bisa sekuat itu?” tanya Mireya dengan sedikit gemetar.
Namun, Rayden hanya tersenyum, tidak memberi penjelasan apapun.
“Dimana kamu selama 10 tahun ini, dan apa yang sudah kamu lakukan Ray?” tanya Mireya lagi, seolah tidak percaya dengan perubahan besar yang ada pada Rayden.
Dulu, yang Mireya tahu, Rayden bahkan tidak pernah belajar bela diri. Namun, setelah menghilang selama itu, bagaimana bisa Rayden menjadi begitu kuat?
“Itu tidak penting,” jawab Rayden santai, seolah itu memang bukan masalah besar.
“Tapi, Ray … kamu baru saja membuat masalah dengan keluarga militer terkuat di Malora, aku tidak yakin setelah ini kamu bisa aman,” ujar Mireya dengan cemas.
Meskipun Mireya ingin mengesampingkan rasa ingin tahunya soal kekuatan Rayden yang tiba-tiba begitu luar biasa, tetapi pada kenyataannya, Rayden telah membuat masalah dengan keluarga Bramasta. Jelas, sebesar apapun kekuatan Rayden, ia tidak yakin jika Rayden mampu menghadapi seluruh kekuatan keluarga itu.
“Itu bukan masalah besar, Kak.”
Peringatan terakhir dari Tetua Agung Altair masih menggema di telinga Rayden, meninggalkan jejak dingin dari paranoia. Namun, pria tua itu tidak menunggu jawaban. Ia mendorong piringan giok kusam itu ke seberang meja dengan gerakan final."Hutang keluargaku, baik pada Kalesvara maupun pada cucuku, tidak akan pernah bisa lunas," katanya dengan suara yang dipenuhi kelelahan. "Anggap ini sebagai bunga pertamanya."Ia menjelaskan dengan singkat. Piringan itu adalah Kunci Spasial, sebuah artefak kuno sekali pakai. Fungsinya hanya satu, membuka gerbang sementara menuju perbatasan Wilayah Nebulon, dimensi tersembunyi tempat para kultivator tingkat tinggi seperti Brahma Angkara bersemayam. Ini adalah satu-satunya cara bagi Rayden untuk melanjutkan perburuannya.Rayden menatap kunci di tangannya, lalu pada pria tua di hadapannya. Tujuannya kini jelas, dan jalan di hadapannya, meskipun berbahaya, telah terbentang. Ia mengambil kunci itu tanpa berkata apa-apa.***Di atap markas bawah tanahnya,
Rayden menatap pria tua di hadapannya, matanya menyipit dengan tatapan menyelidik yang dingin. Secercah harapan yang ditawarkan sang Tetua terasa seperti umpan di atas sebuah perangkap yang rumit."Jalan masuk?" tanyanya skeptis, suaranya datar. "Setelah semua kebohongan dan manipulasi, kenapa aku harus percaya kau tidak sedang menuntunku ke dalam jebakan lain?"Menghadapi ketidakpercayaan itu, Tetua Agung Altair justru tersenyum getir. Itu bukan lagi senyum licik, melainkan senyum lelah dari seorang pemain catur yang telah kalah dan kini membuka semua strateginya."Kau tidak harus percaya padaku, anak muda," jawabnya, suaranya terdengar jujur untuk pertama kalinya. "Tapi kau harus percaya pada logikaku. Percaya pada kepentingan pribadiku."Ia menegakkan tubuhnya, kembali ke persona seorang ahli strategi. "Aku akan jujur padamu. Tindakanku ini bukan didasari oleh kebaikan hati atau keinginan untuk menebus dosa. Ini adalah pertaruhan terakhirku."Ia mengangkat satu jari. "Pertama, Brah
"Aku adalah monster yang sebenarnya dalam cerita ini."Bisikan yang bergetar itu menggantung di udara paviliun teh yang kini terasa dingin, sebuah pengakuan akhir yang menyedihkan. Tetua Agung Altair menunduk, bahunya yang rapuh berguncang karena isak tangis yang tertahan, sosoknya tidak lebih dari seorang pria tua yang hancur oleh dosanya sendiri.Rayden terdiam untuk waktu yang sangat lama.Ia tidak merasakan kemenangan. Ia tidak merasakan kepuasan dari melihat musuhnya yang licik ini hancur. Ia bahkan tidak merasakan amarah yang meledak-ledak. Yang ia rasakan hanyalah hawa dingin yang menusuk dari sebuah kebenaran yang pahit, rumit, dan sangat melelahkan.Di dalam keheningan itu, pikirannya bekerja dengan kecepatan kilat, menyusun kembali semua masalah yang selama ini terasa salah tempat.Kara Kalderis.Sikapnya yang dingin namun penuh selidik saat pertama kali mereka bertemu. Itu bukanlah arogansi, melainkan kewaspadaan dari seseorang yang telah belajar untuk tidak mempercayai sia
Rayden menatap Tetua Agung Altair, matanya yang berwarna amber kini menyipit menjadi dua titik cahaya yang berbahaya. Udara di sekelilingnya terasa mendingin, dan suaranya keluar bukan sebagai teriakan, melainkan desisan yang jauh lebih menakutkan."Apa... yang telah kau lakukan padanya?"Pertanyaan itu menggantung di udara, sebuah tuntutan yang absolut. Wajah sang Tetua yang keriput kini basah oleh air mata yang akhirnya tak bisa lagi ia bendung. Ia tidak lagi terlihat seperti seorang penguasa licik, melainkan hanya seorang kakek tua yang hancur oleh penyesalannya sendiri."Aku melakukan dosa yang tak termaafkan," bisiknya, suaranya parau. Ia mulai menceritakan bagian terakhir dari kisahnya, bagian yang paling ia kubur dalam-dalam.Ia menceritakan hari saat Kara dengan mata berbinar penuh kebanggaan, mengumumkan bahwa ia telah siap. Siap untuk melakukan meditasi tertutup, untuk mengerahkan seluruh kekuatannya dan menerobos belenggu terakhir dari tingkat Master menuju alam Grandmaster
Kalimat terakhir dari laporan Lucien Dorne—"saksi mata itu... adalah salah satu dari kita"—menggantung di udara seperti vonis mati. Rayden menatap Tetua Agung Altair, semua kepingan puzzle yang membingungkan itu akhirnya mulai mengarah pada satu nama, satu sosok yang tak terduga. Kesabarannya habis."Aku tidak tertarik dengan detail kegagalanmu," potong Rayden dengan tajam, suaranya dingin dan tidak menyisakan ruang untuk basa-basi. "Aku melihat seorang anak perempuan di belakang Lucien Dorne malam itu. Jelaskan tentang Kara."Saat nama itu disebut, topeng ketenangan dan kendali yang selama ini dikenakan oleh Tetua Agung Altair hancur berkeping-keping. Wajahnya yang keriput mengeras, dipenuhi oleh penderitaan yang begitu dalam dan nyata hingga membuat amarah Rayden seketika surut, digantikan oleh firasat buruk yang mencekam. Ini adalah inti dari penyesalannya."Kara..." bisik sang Tetua, suaranya serak seolah kata itu terasa sakit untuk diucapkan. Ia memejamkan matanya. "Dia adalah bi
"Masalah besar?" ulang Rayden, firasat terburuknya langsung mencengkeram hatinya. Seluruh tubuhnya menegang. "Apa yang terjadi pada Raelyn? Apa yang Lucien lakukan padanya?"Tetua Agung Altair menatap Rayden, dan untuk sesaat, topeng baja di wajahnya yang tua retak. Di kedalaman matanya yang keruh, ada secercah simpati yang tulus, sebuah kilatan rasa sakit yang beresonansi. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya tetap dingin dan faktual, seolah ia hanya membacakan kembali laporan dari malam terkutuk itu, sebuah mekanisme pertahanan yang telah ia asah selama sepuluh tahun."Bukan itu," jawab sang Tetua pelan. "Masalah yang ia maksud bukanlah adikmu. Menurut laporan singkat Lucien, Raelyn telah diurus. Dia tidak memberikan detailnya. Laporannya hanya menyatakan bahwa target kedua tidak lagi menjadi ancaman bagi rencana kita."Kata-kata 'diurus' dan 'tidak lagi menjadi ancaman' terdengar lebih kejam di telinga Rayden daripada deskripsi penyiksaan mana pun. Ia langsung mengerti apa ar