Home / Urban / Balas Dendam sang Kultivator / Bab 3. Deklarasi Perang

Share

Bab 3. Deklarasi Perang

Author: Imgnmln
last update Last Updated: 2025-06-29 20:43:42

Lazren menyipitkan mata, tatapannya yang arogan menilai Rayden dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Apa maksudmu?"

Jelas Laren tahu soal pembantaian keluarga itu, tetapi yang tersisa dari keluarga itu hanya sang anak perempuan.

Namun, saat mata Lazren beralih dan menangkap sosok Mireya yang berdiri sedikit di belakang Rayden, ekspresi Lazren berubah keruh. Dahi yang semula angkuh kini berkerut dalam.

"Kau? Kenapa ada di sini?" tanyanya pada Mireya, mengabaikan Rayden sepenuhnya.

Sebelum Mireya bisa menjawab, Lazren kembali menatap Rayden, kali ini dengan nada posesif yang kental. "Dan kenapa tunanganku bisa bersamamu?"

Mendengar itu, Rayden menaikkan satu alisnya, lalu mengalihkan pandangannya pada Mireya. “Tunangan?”

Mireya semakin merasa tegang, entah kenapa, tatapan Rayden membuatnya merasa seperti sedang diintimidasi. “I–iya, tap–”

“Sayangnya, Mireya sudah menjadi wanitaku sejak 10 tahun lalu,” potong Rayden tanpa basa-basi.

Jawaban itu membuat Lazren Lazren terbelalak. "Apa maksudmu? Dia adalah tunanganku! Tunangan Lazren Bramasta!"

Sementara itu, Mireya sendiri juga sama terkejutnya. Benar-benar tidak menyangka jika Rayden akan mengatakan hal seperti itu.

Namun, Rayden justru terlihat tetap tenang dengan senyum tipis di sudut bibirnya. “Dalam mimpimu!”

“Kau ….” Lazren menggertakkan giginya dan menatap Rayden penuh amarah. “Keluar dari rumah keluargaku!”

Radyen mendengus dingin, tetapi saat ia akan melangkah, Mireya mencegahnya.

“Ray,” ujar Mireya pelan sambil memegang tangan Rayden.

Namun, Rayden hanya tersenyum, lalu melepas genggaman tangan Mireya perlahan, seolah mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Setelah itu, ia mengambil dua langkah ke depan.

“Rumah ini telah kembali ke tangan keluarga Duskar, apa kau tidak tahu kalau aku telah membelinya?” kata Rayden dengan santai.

Lazren kembali menggertakkan giginya.

Apa mungkin?!

"Siapa kau sebenarnya, hah?!" tanya Lazren dengan suara yang semakin meninggi. Tatapannya begitu tajam dan menusuk. Bahkan, aura kemarahan telah menyelimutinya.

Tatapan Rayden menajam, sedingin es di puncak gunung bersalju. Ia tak lagi menyembunyikan identitasnya.

"Rayden Duskar," desisnya. Nama itu terdengar seperti guntur di ruangan yang senyap. "Putra dari pemilik sah rumah ini. Dan... orang yang kalian anggap telah mati 10 tahun yang lalu."

Seketika, suasana membeku. Udara terasa berat dan menyesakkan.

Mireya menahan napas, merasakan ketegangan yang begitu pekat hingga nyaris bisa disentuh.

Sementara Lazren tampak terkejut luar biasa, wajahnya pucat pasi. Namun, keterkejutan itu dengan cepat tergantikan oleh tawa yang dipaksakan, tawa yang penuh dengan penghinaan.

"Hahaha! Rayden Duskar, ya? Jadi... bocah sampah itu masih hidup? Bahkan, berani datang ke hadapanku dan mengusikku?" Tatapan Lazren berubah keji. "Apa kau ingin mati dua kali?"

“Aku rasa, justru kau yang akan menjemput ajalmu,”  kata Rayden dingin.

Detik itu juga—

BOOM!!

Dengan satu ayunan tangan, Rayden membuat Lazren terbang ke belakang hingga membentur tembok dan jatuh tersungkur dan memuntahkan segumpal darah.

“Tuan Muda!”

Dua pengawal yang berjaga di belakang Lazren langsung terkejut karena serangan Rayden yang tiba-tiba dan begitu kuat bahkan tanpa menyentuh tubuh Lazren sedikit pun.

Hal semacam itu jelas hanya bisa dilakukan oleh pejuang di tingkat Grandmaster.

“Bunuh dia!” perintah Lazren pada dua pengawalnya.

Mendengar perintah itu, tanpa berlama-lama lagi, dua pengawal yang berada di tingkat Master itu menerjang bersamaan. Masing-masing langsung mengacungkan pisau dan pistol, menerjang ke arah titik vital Rayden.

DOR!

HWOSH!

Namun dalam sekejap, Rayden telah menghilang.

BRAKK!

Dalam sekejap, tubuh Rayden telah sampai belakang kedua pengawal tingkat Master itu. Kedua tangannya menghantam perut membuat kedua pengawal itu terangkat dan terhempas beberapa meter sebelum menabrak tembok dengan keras.

“Uhuk!”

Keduanya menyemburkan darah segar dari mulut mereka sebelum merosot dengan lemas tak berdaya.

Pengawal ketiga yang merupakan seorang Grandmaster, langsung bereaksi lebih cepat. Ia membawa sebuah tongkat besi yang langsung ditebaskan ke arah kepala Rayden.

Namun, Rayden hanya mengangkat satu tangan, menangkap laju tongkat itu dengan telapak tangannya seolah menangkap ranting kering. Dengan satu hentakan, Rayden merebut tongkat itu. 

Sebelum si pengawal sempat bereaksi dengan apa yang terjadi, Rayden menarik kepalanya dan membenturkannya ke lantai dengan kejam.

BRAKK!

"Kau, bede—"

Belum sempat pengawal itu menyelesaikan umpatannya, Rayden menghantamkan tongkat baja yang kini ada di tangannya ke pelipisnya.

BUG!

Sosok kekar itu langsung terkulai tanpa suara. Mati seketika.

Dalam keheningan yang mencekam, Rayden mengalihkan pandangannya ke arah Lazren.

Lazren yang kini sendirian, dengan wajah pucat pasi, ia merogoh bagian dalam jasnya. Tangannya yang gemetar hebat mengeluarkan sepucuk pistol berwarna perak. Ia menodongkannya ke arah Rayden.

"J-Jangan bergerak! Sialan... Jangan mendekat!"

Rayden tidak berkata apa-apa, ia hanya berjalan secara perlahan ke arah Lazren, setiap langkah kakinya seakan membawa sabit malaikat.

"Tarik pelatukmu, aku jamin peluru itu akan berbalik ke arahmu." Suara Rayden rendah dan tanpa emosi, membuatnya terdengar lebih menakutkan.

“Kubilang diam! Jangan mendekat, bajingan! Ayahku tidak akan melepaskanmu jika kau berani menyentuhku!” Lazren menggerutu dengan suara yang parau dan penuh ketakutan.

Namun, Rayden justru tersenyum sinis. "Sebelum kau sempat mengadu, aku pastikan kau tidak bisa bicara."

Bugh!

“Arghh!!” teriak Lazren penuh kesakitan. Setengah wajahnya telah hancur. Daging dan darah bercampur jadi satu.

“Aku tidak akan membuatmu mati dengan mudah seorang diri. Kau harus mati dengan semua anggota keluargamu,” ucap Rayden dengan suara dingin, tatapannya tajam ke arah Lazren.

“Kau ….” Lazren memegang pipi kanannya yang berlumuran darah. Di tengah kesakitan itu, ia memang tak berani lagi berbuat sembrono pada Rayden, tapi ia juga tak mau menyerah begitu saja. “Apa maumu?!”

Rayden tersenyum sinis. “Kenapa keluargamu menyerang keluargaku?”

Lazren menelan ludahnya susah payah. Rasa sakitnya seolah lenyap saat menatap mata Rayden yang dingin. “Aku … aku tidak tahu apa-apa soal itu.”

“Ck! Tidak berguna.” Rayden mendengus, lalu tanpa peringatan, menghantam wajah Lazren lagi dengan keras, brutal, dan tanpa ampun.

Pukulan bertubi-tubi itu membuat darah muncrat, dan suara retakan tulang terdengar jelas.

Lazren terkapar di lantai, tak mampu bersuara, hanya mengerang lirih dengan wajah yang nyaris tak bisa dikenali. Setengah wajahnya hancur, bengkak, dan penuh darah, bahkan semua giginya telah lepas dan rahangnya hampir tak bisa digerakkan. Ketakutan memuncak di matanya, tapi tubuhnya tak lagi mampu melarikan diri.

Di saat itu, Mireya yang sejak tadi menyaksikan adegan mengerikan dengan wajah ketakutan dan keringat dingin, akhirnya bersuara. “Ray …”

Rayden langsung menoleh. Ia mendadak lupa jika sejak tadi ada Mireya di belakangnya yang melihat semua ini.

“Tidak usah khawatir, Kak,” kata Rayden seolah ingin menjawab apa yang Mireya pikirkan.

“Ray, kamu … kenapa bisa sekuat itu?” tanya Mireya dengan sedikit gemetar.

Namun, Rayden hanya tersenyum, tidak memberi penjelasan apapun.

“Dimana kamu selama 10 tahun ini, dan apa yang sudah kamu lakukan Ray?” tanya Mireya lagi, seolah tidak percaya dengan perubahan besar yang ada pada Rayden.

Dulu, yang Mireya tahu, Rayden bahkan tidak pernah belajar bela diri. Namun, setelah menghilang selama itu, bagaimana bisa Rayden menjadi begitu kuat?

“Itu tidak penting,” jawab Rayden santai, seolah itu memang bukan masalah besar.

“Tapi, Ray … kamu baru saja membuat masalah dengan keluarga militer terkuat di Malora, aku tidak yakin setelah ini kamu bisa aman,” ujar Mireya dengan cemas.

Meskipun Mireya ingin mengesampingkan rasa ingin tahunya soal kekuatan Rayden yang tiba-tiba begitu luar biasa, tetapi pada kenyataannya, Rayden telah membuat masalah dengan keluarga Bramasta. Jelas, sebesar apapun kekuatan Rayden, ia tidak yakin jika Rayden mampu menghadapi seluruh kekuatan keluarga itu.

“Itu bukan masalah besar, Kak.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
redijuwantara. 17
menarik juga
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 245. Bara Api Terakhir

    Rayden menembus perut naga itu dengan kecepatan melampaui cahaya. Setiap pukulan dan tebasannya mengandung bentuk.“Teknik Pertama, Tebasan Masa Lalu!”.“Teknik Kedua, Tebasan Kehendak!”“Teknik Ketiga, Tebasan Takdir!”.Dalam perut naga, energi merah dan putih beradu, membentuk pusaran besar. Rayden berteriak, suaranya menggema di seluruh dimensi.“Kau ingin abadi, Brahma? Maka abadi bersamaku!” Tubuhnya terbakar total, menjadi inti cahaya. Ia menancapkan pedangnya ke jantung naga. Dunia berhenti berputar.Ledakan putih lahir tanpa suara.Ketika cahaya mereda, hanya keheningan yang tersisa. Void tak lagi hitam, tapi biru muda, seperti fajar pertama setelah badai. Di tengahnya, Rayden jatuh perlahan, tubuhnya kini manusia lagi. Pedangnya sudah lenyap. Tapi di dadanya, api kecil masih berkedip.Dalam bayangan samarnya, ia mendengar langkah pelan di balik kabut cahaya. Raelyn berjalan mendekat, senyumnya lembut. “Kak…”Rayden menatapnya lama, bibirnya gemetar. “Aku… benar-benar pulang,

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 244. Dimensi Void II

    Ia mengangkat tangan, menancapkan pedangnya ke tanah kehampaan. Api dari tubuhnya melonjak ke segala arah, menyalakan Void, menelan langit, bumi, dan bahkan bayangan Brahma itu sendiri.Lord Dragon menjerit, separuh wajahnya meleleh. “Kau bodoh, Rayden! Kalau aku mati, kau mati bersamaku!”“Kau ingin abadi, Brahma?” Rayden tersenyum samar. “Maka abadi bersamaku… dalam api ini.”Ledakan putih meluas. Void runtuh. Langit pertama jatuh menimpa dunia roh, langit kedua jatuh ke dunia manusia. Lembah Sunyi meledak menjadi debu emas. Semuanya hancur, tapi bukan dalam kehancuran yang dingin. Hancur dalam keheningan yang hangat, seperti akhir dari lagu yang sudah terlalu lama dinyanyikan.Rayden berdiri di tengah lautan cahaya, tubuhnya perlahan lenyap. Api di dadanya padam satu per satu, menyisakan bara kecil yang berkedip pelan. Ia memandang tangannya yang hampir tak berbentuk, lalu menatap ke atas.Di atas sana, langit baru muncul. Tidak merah, tidak hitam. Tapi biru lembut, biru yang belum

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 243. Dimensi Void

    “Bara yang Menghapus Nama!”Cahaya menyapu kegelapan, tapi bayangan itu tidak hancur. Sebaliknya, ia tertawa.“Kau tidak bisa menghancurkan kehendak, Rayden. Karena kehendak itu juga hidup di dalammu.”Rayden berhenti di udara. Nafasnya berat. Suara tawa itu bergema dari segala arah. Lalu sebuah tangan bayangan keluar dari tanah, menembus dadanya. Rayden terhuyung, darahnya menyembur. Tapi anehnya, api di tubuhnya malah semakin besar.“Kau benar,” katanya pelan, suaranya mulai terdistorsi oleh panas. “Kau hidup di dalamku.”Bayangan itu menatapnya bingung. “Apa maksudmu?”Rayden menatap lurus ke mata kegelapan itu, senyum kecil muncul di bibirnya. “Kalau begitu,” katanya, suaranya tenang tapi tajam, “Aku akan memulai dari diriku.”Cahaya merah menyala dari dalam tubuhnya, seperti ledakan matahari. Api itu bukan keluar, tapi masuk menyusup ke setiap sel, setiap ingatan, setiap bayangan yang pernah ia bawa. Seluruh Void berubah warna. Kegelapan berubah menjadi merah, lalu emas, lalu put

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 242. Lord Dragon II

    Mereka saling menerjang. Benturan berikutnya bukan sekadar pertarungan, itu perang antar dua kehendak ilahi. Rayden memanggil Teknik Dewa Perang Arka ke tujuh.“Bara yang Membelah Langit.” raung RaydenApi keluar dari setiap pori tubuhnya, membentuk sayap cahaya merah keemasan.Brahma Angkara membalas dengan Teknik Saint Dragon.“Nafas Kekekalan,” desis Brahma Angkara.Semburan energi murni yang bisa menghapus eksistensi.Api dan cahaya bertubrukan, menghasilkan dentuman yang memecah lapisan ketujuh langit. Dunia bergetar.Di bawah, Orion berteriak. “Lembah jatuh!”Anya menahan formasi dengan darahnya sendiri, sementara Mireya dan Kara di bumi menegakkan perisai spiritual, menahan hujan energi naga yang membakar langit seperti meteor.Rayden terlempar lagi, tubuhnya penuh luka bakar. Tapi di wajahnya, tak ada rasa takut. Ia melangkah maju, darah menetes dari dagunya, bercampur dengan cahaya merah yang mengelilinginya.Brahma Angkara menatapnya, napasnya berat.“Kau seharusnya sudah ma

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 241. Lord Dragon

    Namun jumlah mereka tak berkurang. Dari balik awan, puluhan lagi muncul lebih besar, lebih cepat. Salah satunya meluncur ke Rayden, menabrak dengan kekuatan yang cukup untuk memecahkan gunung.Benturan itu menimbulkan ledakan cahaya putih. Tanah di bawah mereka terbelah, menciptakan jurang sejauh beberapa kilometer. Orion menutupi wajahnya, tapi tetap menatap ke tengah ledakan.Di sana, Rayden masih berdiri. Tubuhnya berlumuran darah, tapi matanya menyala lebih terang dari sebelumnya.“Kalian makhluk yang lahir dari darah naga…” katanya perlahan. “Kalian mencium darah itu di dalam diriku, bukan?”Pasukan Saint Dragon berhenti menyerang. Mereka terdiam. Ratusan makhluk bersisik itu berlutut serempak, menundukkan kepala mereka ke arah Rayden.Suara mereka bergema, serempak seperti mantra kuno. “Kami hanya tunduk pada pewaris naga sejati.”Orion terpaku. “Mereka... menyembahmu.”Rayden menatap mereka lama, lalu menggeleng dengan tatapan dingin. “Bangkit.”Tak ada yang bergerak. Rayden me

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 240. Saint Dragon

    Rayden mengangkat tangannya, dan seketika ribuan bara berputar mengelilingi aula. “Kalau begitu, kita bakar kegelapan itu sampai tak tersisa.”Api menyala dari dalam tubuhnya. Lidah-lidah merah keemasan menembus langit-langit, menelan bayangan yang bersembunyi di setiap sudut.Satu demi satu, tubuh-tubuh yang disusupi meledak menjadi serpihan cahaya, meninggalkan abu putih yang jatuh seperti salju. Namun darah menetes dari bibir Rayden. Cahaya di dadanya berdenyut liar, seolah jiwanya berjuang menahan beban dunia.Anya berlari ke arahnya, tapi Rayden menahan tangan wanita itu.“Jangan hentikan aku,” katanya pelan. “Biarkan mereka melihat pemimpin mereka bukan dewa, tapi manusia yang memilih terbakar demi mereka.”Cahaya terakhir menyala lembut tapi tak tergoyahkan. Saat api mereda, Lembah Sunyi berubah. Dinding-dinding hitam kini memantulkan kilau merah keemasan. Pilar-pilar yang runtuh berdiri kembali. Dan di tengahnya, Rayden berdiri dengan mata yang memantulkan langit.Orion berlut

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status