Suara Uwais dan Fatimah yang sedang bermain di ruang keluarga, Ahza melangkah mendekati kedua anaknya, dengan harap mereka akan menyambut kedatangannya seperti yang biasa mereka lakukan.Namun, prasangka itu salah, baik Uwais ataupun Fatimah keduanya tak ada yang berhambur memeluk dan menyambutnya seperti hari-hari yang lalu.Perih, bagai tersayat hati Ahza mendapati kedua anaknya begitu acuh, seolah dia orang lain."Uwais, mainnya sudah ya, Nak, sekarang mandi sebentar lagi 'kan mau belajar bahasa arab sama Pak ustaz."Terdengar suara Fatma yang mulai mendekat, Uwais lari menuju kamar menghampiri ibunya, tak lama sosok Fatma muncul tanpa mengenakan hijab.Wanita itu terperanjat hingga kalimat istighfar keluar dari mulutnya, ia cepat-cepat menggendong Fatimah dan berlari menuju kamar karena menyadari jika auratnya terlihat oleh Ahza yang kini bukan lagi mahromnya.Ahza melangkah lalu duduk di sofa, merenungi diri Yang diselimuti rasa sepi, ia berada di rumahnya sendiri. Namun, semua p
Denting jam menemani Ahza yang sedang meringkuk di pembaringan, udara dingin menyapu wajah piasnya, matanya mengerjap lalu membulat sempurna, diliriknya sebuah jam dinding yang menunjukkan pukul 08.00 pagi.Pantas saja udara dingin menyeruak menyentuh pori-pori kulitnya, udara puncak Bogor memang sangat dingin terutama di pagi hari dan malam.Sejak sahur tadi ia ketiduran hingga lupa menjalankan salat subuh, biasanya ada Fatma yang selalu membangunkan jika dirinya tidur kebablasan, kini ia benar-benar kehilangan sosok itu.Ah, entah kapan otak ini berhenti memikirkan Fatma, wanita yang sudah 100 persen mengabaikannya, bahkan ia tak peduli pada Ahza yang bersantap sahur hanya dengan segelas air putih.Untuk apa peduli, bahkan ia sendiri tak pernah peduli pada hatinya yang terkoyak saat dulu membawa Wirda ke rumah ini sebagai madunya.Tak hanya itu ia juga kerap bersikap berat sebelah, dengan lebih mengutamakan Wirda dari pada Fatma dan kedua anaknya.Lelaki sepertiku memang tak pantas
"Fatma, Mas dan Wirda mau bicara sama kamu," ucap Ahza sesaat setelah tangannya mengetuk pintu kamar Fatma."Cepat."Fatma melengos membuang muka, terlalu lama berdiri di hadapan keduanya, membuat ulu hati terasa mual hingga ingin memuntahkan seluruh isi perutnya."Kita duduk di sofa saja ya, biar enak ngobrolnya," pinta Ahza seraya tersenyum sungkan.Sedangkan Wirda nampak tak sabar ingin mengetahui keputusan Fatma segera."Ya."Lalu mereka serempak melangkah menuju sofa dan duduk di atasnya."Gini, emm ...."Ahza ragu lalu ia melirik Wirda sekilas, sorot mata Wirda menyorot dengan tajam, sebagai kode agar Ahza cepat mengatakan maksud dan tujuannya.Tak dapat dipungkiri Wirda juga merasa risih duduk dan bertatap muka dengan mantan kakak madu, wanita itu menginginkan Fatma segera enyah dari rumah ini juga kehidupannya.Jiwa serakahnya meronta bukan hanya menginginkan Ahza seutuhnya. Namun, ia juga ingin menguasai seluruh aset."Gini, Mas 'kan butuh modal untuk membangun usaha kembali
"Mbak, kita ga bakal makan uang itu sendirian, Mbak juga akan kebagian uang hasil pinjaman itu," ucap Wirda meyakinkan."Aku ga sudi makan uang hasil riba, aku takut dengan siksaan Allah, usaha kalian ga akan berkah jika modalnya saja berasal dari yang har*m," balas Fatma sedikit pongah.Detak jantung Wirda tak menentu, perkataan barusan merupakan sebuah hinaan bagi dirinya."Mbak! Tolong jangan buat aku melakukan kekerasan terhadap Mbak ya, kami sudah berbaik hati dengan mengajak Mbak diskusi secara baik-baik," sergah Wirda dengan wajah yang memerah."Oh jadi kamu mau melakukan kekerasan gitu?! Sadar Wirda, kamu itu siapa? dan punya hak apa terhadap rumah ini? aku yang membangun rumah ini dari nol sampai sekarang kamu nyaman tinggal di sini, jadi kamu ga berhak atas rumah ini.""Dan satu lagi, jika masa iddahku selesai maka rumah ini harus dijual dan di bagi dua dengan Mas Ahza, kalian berdua tak boleh lagi tinggal di sini, karena rumah ini masuk dalam daftar harta gono-gini, ngerti
"Hallo, assalamualaikum, Fatan," ucap Fatma menelpon adik sepupunya, suara Fatma terdengar memilukan disertai dengan tangisan. "W*'alaikumus'salam, Kak kenapa nangis?" nada suara Fatan terjelas sangat cemas, lalu ia bangkit dan meninggalkan laptopnya yang masih menyala. "Fatan ...." Isak tangis yang menjeda ucapan Fatma, permasalahan hidupnya terlalu pelik hingga membuat mulutnya terbungkam oleh tangisan. "Kenapa, Kak? apa Ahza menyakitimu lagi?" Fatan semakin cemas kala tangisan sang kakak tak juga terhenti, beberapa kali ia merubah posisi duduknya. "Mereka sudah mendzalimi Mbak, Tan ...." Lagi-lagi tangisan itu membungkam bibir Fatma, lidahnya kelu untuk meneruskan ucapannya. Fatma menangis tersedu-sedu, kedua bahunya terguncang, juga kedua telapak tangan yang basah oleh keringat, rasa sedih, marah dan kecewa bergulung menjadi satu dalam rongga dadanya. Luka yang ditorehkan Ahza seakan tak berhenti, lelaki itu terus memahat hati Fatma dengan derita dan air mata. "Tenang ya,
Suara Fatan penuh dengan penegasan, sedangkan Fatma sibuk menyeka tetesan demi tetesan yang enggan berhenti membasahi pipinya, hingga lembaran tissue berserakan di lantai."Kak Fatma, tunggu di rumah aku akan segera ke sana, dan ya aku akan mengabarkan pada Ibu mengenai keadaan Kak Fatma, apa Kakak setuju?"Fatma terdiam kala mengingat sosok Daijah, ibu kandung yang memilki hati setegar karang, ia tak sanggup melihat air mata sang ibu karena menangisi kegagalan rumah tangganya.Namun, sampai kapan aku akan menyembunyikan ini? jika ini saatnya maka aku ridho, gumam Fatma dalam hati."Iya, Fatan katakan saja pada Ibu yang sebenarnya," ucap Fatma dengan yakin."Ok, Kak, aku langsung on the way ke rumah Ibu," jawab Fatan lalu ia bergegas meninggalkan apartemen yang merupakan rumah kedua setelah rumah Daijah.Apartemen itu memudahkan dirinya karena letak kantor dan rumah Daijah lumayan jauh. Namun, begitu setiap akhir pekan lelaki itu selalu mengunjungi seorang ibu yang sudah merawatnya s
"Ma-maaf ... jangan pecat saya, Pak," ucap Adiguna mengiba.Sedangkan Ahza dan Wirda tercenung bagaikan sebuah patung, kedua alisnya mengkerut dengan mulut sedikit menganga."Keputusan saya tidak bisa di ganggu gugat, Anda telah menyakiti kakak saya, dan kalian juga sama, sama-sama serakah!" Jari telunjuk Fatan menunjuk Ahza dan Wirda."Kamu jangan gitu dong, kami sudah berdiskusi sebelumnya dengan kakakmu," sela Ahza membela diri, sesekali ia celingukan melihat mobil Lamborghini milik Fatan."Ngomong-Ngomong kamu dapat uang dari mana bisa beli mobil itu?" tanya Ahza mengalihkan perhatian.Ia begitu penasaran terhadap mobil dan barang-barang mewah yang Fatan kenakan, pasalnya selama ini Fatan selalu tampil sederhana dalam bergaya."Kamu mau tahu aku ini siapa?"Kedua alis Ahza saling bertaut begitu pula dengan Wirda, rasa penasaran kian menggebu menyeruak dalam hatinya."Aku ini pemilik perusahaan PT Angkasa Properti, sudah dua tahun aku memimpin perusahaan itu, beli mobil begitu mah
Ahza memohon seraya mencium kening kedua anaknya, melihat itu Fatma melengos, ia muak menyaksikannya."Tolong ridhoi aku untuk pergi, terlalu lama tinggal di sini hanya akan membuat batinku sakit" jemari Fatma meremas kuat dadanya.Manik mata teduh itu mulai mengembun mengingat jika rumah tangga yang dibina sepuluh tahun lamanya harus kandas, tinggal menunggu hakim mengetuk palu maka semuanya benar-benar telah usai."Sudahlah ga usah banyak drama, mentalak Kak Fatma adalah keputusan mutlak yang sudah kamu buat, jadi biarkan dia pergi sekarang, toh kamu juga memiliki istri lain," sela Fatan, ia merasa jengah dengan sikap kepura-puraan Fatan."Fatma, aku minta maaf, soal uang pinjaman itu kita bagi dua ya, kamu jangan khawatir.""Aku ga butuh uang itu, silakan saja kalian makan sepuasnya! Tapi yang jelas aku tidak ridho dan berlepas diri dari perbuatan riba yang kalian lakukan.""Sudah ayo kita pergi, Kak, Pak Bejo sudah datang tuh," ujar Fatan seraya mengangkat koper lalu mulai melanju