Share

Bab 3

 

Tiga kali Fatma menghirup napas dan  mengembuskannya, lalu kaki jenjang yang terbalut rok panjang itu melangkah menuju meja makan menghampiri mereka yang sedang tertawa ria.

 

Lebih tepatnya tertawa di atas derita Fatma, menyadari jika mantan kakak madunya menghampiri, seketika Wirda diam membisu mengakhiri tawanya.

 

Tatapan matanya tak henti menyorot Fatma yang sedang mengambil piring lalu mengisi nasi juga lauk pauknya ke piring tersebut dengan wajah tenang walau terlihat sembab.

 

"Buka puasa, Bund, eh Fatma."

 

Ahza mulai membiasakan diri untuk tidak memanggilnya 'Bunda' panggilan spesial yang selalu di ucapnya saat pertama kali memiliki Uwais.

 

Fatma diam tak sepatah katapun mengucap kata, wanita itu sibuk memilih makanan Yang akan disuguhkan kepada kedua anak tercintanya.

 

"Mau di bawa kemana, Bund, eh Fatma? di sini saja makannya," tutur Ahza.

 

Namun, wanita berhijab merah marun itu tetap diam tak bergeming, tangannya masih sibuk mengisi air ke dalam teko untuk stok minuman di dalam kamarnya.

 

Setelah di rasa cukup, wanita itu membawa nampan yang berisi makanan juga minuman ke dalam kamarnya. Akan tetapi, suara panggilan Ahza kembali membuatnya terhenyak dan menghentikan langkah.

 

Kenapa lelaki itu begitu sok peduli? bukankah dia sudah membuangku! Fatma geram.

 

Tak dihiraukan dua pasang mata yang sedang memperhatikannya, lantas ia segera beranjak karena merasa muak.

 

"Fatma! Di mana Uwais? kenapa dia ga buka puasa?" 

 

Wanita itu hanya tersenyum masam, lalu mempercepat langkah karena di dalam kamar sana ada dua buah hatinya yang sedang menunggu.

 

Melihat Fatma yang melengos begitu saja Ahza merasa jengah, ia tak terbiasa diacuhkan oleh Fatma, selama ini mantan istri pertamanya itu selalu bersikap manis dan lembut walau beratus-ratus kali dirinya menorehkan luka.

 

Ahza mulai kesal lalu ia bangkit untuk menyusul Fatma. Namun, Wirda sigap mencekal tangannya.

 

"Mau kemana, Mas?" 

 

"Mau lihat Uwais." sebelah tangannya berhasil melepaskan cengkraman Wirda, lalu lelaki itu segera melangkah menyusul Fatma ke kamarnya.

 

"Kenapa kita makan di kamar sih, Bund?"

 

"Mulai sekarang kita harus terbiasa hidup tanpa Ayah."

 

Langkah kaki Ahza terhenti di depan pintu karena mendengar percakapan anak sulung bersama ibundanya yang cukup membuat hatinya sedikit teriris.

 

Ahza berdiri mematung di depan pintu yang terbuka sedikit untuk mendengar percakapan mereka.

 

"Kenapa?" bocah kecil itu bertanya dengan mulut penuh, telaten Fatma menyuapi kedua anaknya tanpa sesuap pun makanan itu di masukkan ke dalam mulutnya, ia hanya fokus pada perut Uwais yang seharian belajar berpuasa juga Fatimah si bungsu.

 

"Karena Ayah sudah menceraikan Bunda, sekarang Ayah sudah seutuhnya milik Bunda Wirda."

 

Mendengar itu Uwais langsung menghentikan aktivitas mengunyahnya, walau masih belia tetapi ia faham tentang kata cerai, yang berarti harus berpisah dan tak bisa bersama lagi.

 

"Jangan sedih, walau kami bercerai tapi, Ayah dan Bunda tetep orang tua kamu kok," ujar Fatma seraya tersenyum meyakinkan.

 

Namun, ungkapan itu tak dapat mengobati goresan luka di hati Uwais, bocah itu mendadak kehilangan selera makannya dalam sekejap.

 

"Bunda sama Ayah Pisah gara-gara Bunda Wirda ya?" 

 

Manik mata bocah itu mulai mengembun seraya menatap nanar wajah ibundanya, tak kuasa Fatma melihat itu. Namun, apa boleh buat sedini mungkin ia harus memberitahu putra sulungnya agar kelak ketika ia benar-benar pergi, tak lagi merasa heran dan banyak melontarkan pertanyaan.

 

"Ini takdir Allah, Sayang, kita harus khusnudzon jika apapun yang di takdirkannya adalah yang terbaik, kita harus beriman pada qodo dan qodar ya."

 

Fatma berusaha membingkai senyum di bibir merahnya, walau dalam hati terasa perih menyayat-nyayat.

 

"Emang Bunda ga sedih pisah sama Ayah?"

 

Pertanyaan itu sontak membuat aktivitas Fatma terhenti dan terdiam beberapa saat.

 

Tentu saja sangat sakit, bahkan aku ingin menangis dan menjerit sekencang mungkin, lirih Fatma dalam hati, tentu ia takkan berani mengatakan hal itu, cukup dirinya sendiri yang menelan setiap kepahitan.

 

"Engga, Sayang, 'kan Bunda sudah bilang kita harus menerima dengan ikhlas setiap takdir Allah, insya Allah ada hikmah yang baik dibalik ini semua."

 

Mendengar percakapan itu hati Ahza mulai berdesir perih, tak menyangka jika istri yang baru saja ia talak memiliki hati setegar karang.

 

Ia kira Fatma akan murung dan abai terhadap kedua anaknya, tapi ternyata ia masih tetap sama, mengurus kedua anaknya seperti sedia kala, hanya satu yang berbeda yaitu sikapnya berubah dingin dan acuh terhadap dirinya.

 

Ada sedikit sesal yang terbesit dalam hati Ahza, ia faham betul yang dibuang itu adalah berlian. Namun, hasratnya terhadap dunia menjadi tembok penghalang, ia ingin jaya kembali seperti tahun-tahun lalu.

 

Dan yang bisa membuatnya bangkit ialah Wirda. Namun, wanita licik itu memberi syarat harus membuang Fatma terlebih dulu baru ia akan membantu.

 

Aarghh! Ahza mendengkur pelan karena merasa pening atas keputusan yang ia buat, ia berandai-andai jika saja yang mampu membantunya itu ialah Fatma. Namun, bisa apa ia selain mengurus rumah dan kedua anaknya.

 

Ahza juga Wirda belum mengetahui jika Fatma memiliki sepupu kaya raya, ia hanya tahu jika sepupunya Fatma itu seseorang yang sedang merintis usaha.

 

Fatma pernah memberi usul untuk meminjam uang pada Fatan sepupunya. Namun, Ahza menolak tentu saja ia merasa gengsi, pasalnya ia selalu memamerkan keberhasilannya pada semua orang, berhasil dalam bisnis juga berhasil beristri dua.

 

Lelaki egois itu tak ingin Fatan ataupun orang lain tahu jika dirinya sedang dilanda kesulitan, ia hanya ingin semua orang memandangnya kagum penuh hormat.

 

 

*

 

Gimana, Dek, kapan uangnya di transfer? tanya dong sama Papa kamu." 

 

Ahza mulai risau pasalnya sang mertua tak kunjung memberinya uang untuk modal untuk menyambung usaha, padahal ini sudah satu minggu lebih dirinya menjanjikan.

 

"Emmm ... nanti katanya, pengajuan pinjamannya belum di ACC sama bos-nya." Dengan hati-hati Wirda katakan itu.

 

"Kok lama sih? Mas malu kalau restoran kita terlalu lama tutup, apa kata mereka, Mas ga mau mereka tahu kalau sekarang Mas sudah bangkrut, mana sebentar lagi waktunya bayar sewa tempat lagi." Ahza semakin gelisah memikirkan nasib usahanya yang belum memiliki solusi.

 

Sementara di depan pintu kamar Fatma sedang berdiri menguping setiap pembicaraan mereka, ia tersenyum masam dan puas, karena Fatan sudah diberitahu agar tak menyetujui permohonan pinjaman uang ayahnya Wirda yang cukup arogan itu.

 

Untungnya Fatan percaya dan merasa iba setelah ia mengetahui jika sang kakak sepupu diperlakukan sedemikian rupa.

 

Terus saja kamu berharap pada manusia, Mas. Gumam Fatma dalam hati.

 

Sementara Ahza bingung setengah mati memikirkan usaha yang selama ini di banggakan di hadapan orang banyak. 

 

Dia tak ingin kehilangan segalanya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Arumni Arumni
lanjut thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status