Share

Bab 4

 

"Sudah hampir dua Minggu lho, Dek ini, mana katanya Papamu mau tansfer." Ahza semakin gusar seraya terus memandang aplikasi M-Bangking di ponselnya.

 

Begitu pula dengan Wirda, ia pun tak kalah risau kala sang papa masih menjawab dengan jawaban yang sama ketika ia bertanya perihal uang itu. 

 

"Masih belum disetujui oleh bos."

 

Wirda bosan mendengar jawaban itu kerap kali menelpon papanya, ia kecewa karena kali ini papa tak menuruti keinginnya.

 

"Dek! Kok kamu diem sih?!" Ahza mulai jengah karena akhir-akhir ini istri satu-satunya itu banyak bertele-tele.

 

"Ya gimana dong, Mas, uangnya belum cair, emang kamu ga punya tabungan?" 

 

"Tabungan dari Hongkong! Uangku itu sudah habis di pake kamu belanja dan foya-foya," jawab Ahza kesal.

 

Bagaimana tidak kesal saat ingat begitu tidak adilnya ia terhadap Fatma, ia memanjakan Wirda dengan kemewahan tetapi tidak dengan Fatma, wanita itu terlalu banyak sabar dan mengalah, ia tak begitu tertarik pada perhiasan juga gamis-gamis mahal.

 

Baginya pakaian yang tertutup sesuai syariat saja itu sudah cukup.

 

"Kamu 'kan punya banyak perhiasan berlian, jual saja dulu ya," pinta Ahza memelas.

 

Namun, seketika Wirda menelan air liurnya, karena semua perhiasan itu sudah ia jual satu persatu unntuk mencicil hutang ayahnya tempo hari saat memberikan uang 200 Juta untuk memikat Ahza.

 

Lucu memang, Adiguna yang tak lain ayahnya Wirda memberikan iming-iming berupa uang 200 Juta pada Ahza dengan dalih untuk mengembangkan usaha, yang kala itu memang Ahza sedang membutuhkan tapi, dengan syarat harus menikahi putrinya. 

 

Tentu saja Ahza tertarik dengan penawaran licik Adiguna, ia berfikir bahwa dirinya menang banyak, selain bisa menikah dengan perempuan yang selama ini ia damba usai merasa jenuh terhadap Fatma, dirinya juga bisa mendapat modal tambahan untuk mengembangkan usahanya.

 

Namun, ternyata uang itu Adiguna pinjam dari sebuah bank konvensional yang harus dicicil perbulannya.

 

Dari mana lagi mereka membayar cicilan hutang itu jika bukan dari uangnya Ahza, sedangakan gaji bulanan Adiguna yang fantastis selalu habis oleh istrinya untuk memenuhi gaya hidup, saking b*doh dan bucinnya Ahza hingga tak sadar jika dirinya sedang dipermainkan oleh Wirda.

 

Tapi ternyata keberhasilan itu tak bertahan lama, semenjak hampir satu tahun pernikahan keduanya, usahanya perlahan mengalami kebangkrutan hingga rugi beratus-ratus juta, ia juga harus membayar uang pesangon para karyawannya yang langsung membuat raib uang tabungannya.

 

Masih untung ia tak memiliki hutang pada pihak Bank.

 

"Dek! Kok bengong lagi," gertak Ahza yang membuat istrinya terperanjat.

 

"I-iya, Mas." Wanita itu gelagapan.

 

"Gimana? jual saja ya perhiasanmu."

 

"Engga, enak aja itu 'kan perhiasanku, kamu yang sabar dong, siapa tahu sebentar lagi uangnya cair." Wirda berkilah.

 

"Tapi kapan? temen-temen Mas sudah banyak yang tanya katanya kapan dibuka kembali restoran itu," sanggah Ahza dengan kesal.

 

"Ya makanya sabar, bilang aja kamu mau rehat sejenak dari dunia bisnis, atau apalah yang masuk akal gitu."Wirda melontarkan ide konyolnya seraya memijat kening.

 

Hening, diantara mereka saling membisau larut dalam kebimbangannya.

 

Tiba-tiba datang Fatma dengan menuntun kedua anaknya dengan tertawa riang, seolah rasa sakit yang kemarin telah sembuh tanpa berbekas, padahal Wirda hanya menyembunyikan luka itu dalam-dalam dan mencoba mensyukuri juga bersabar atas takdir yang dijalaninya.

 

"Enak banget ya, Bund rawonnya, maaf ya punya Bunda aku habisin abis enak sih," cetus Uwais dengan terkekeh.

 

"Iya nih Kakak, kasian Adek kebagian makannya sedikit sorakin, Dek si Kakaknya."

 

Lalu bocah berumur tiga tahun itu bersorak ria pada kakaknya, kemudian mereka tertawa bersama-sama melewati Ahza dan Wirda begitu saja.

 

Semenjak kata talak terucap, Fatma memang kerap berbuka puasa di luar, atau membeli makanan dari luar untuk berbuka ataupun makan sahur, karena baginya saat ini tugasnya sebagai seorang istri sudah selesai,

hanya menunggu masa Iddah usai setelah itu ia akan pergi dari rumah ini sekaligus dari kehidupan Ahza.

 

Dua pasang mata itu tak beralih menatap Fatma yang berbusana lengkap dengan cadarnya hingga ketiganya masuk ke dalam kamar, lalu mereka saling memandang merasa aneh dengan sikap Fatma yang bersikap biasa saja selepas kata talak terucap.

 

Ketegaran Fatma kembali membangkitkan kagum di hati Ahza, pasalnya wanita bercadar itu selalu melewati harinya dengan riang dan gembira bersama kedua anaknya, lain halnya dengan Ahza dan Wirda, hari-hari mereka selalu di hantui rasa was-was karena Adiguna tak kunjung memberikan bantuan.

 

Ahza mulai stres, beberapa kali ia menghela napas dengan kasar, dalam hatinya timbul rasa dengki saat melihat Fatma yang sama sekali tak terlihat murung ataupun terluka.

 

Setidaknya jika ia merasa gundah gulana maka, Fatma pula harus merasakan hal yang sama. Namun, semua keadaan terbalik, justru Fatma nampak bahagia dengan kedua anaknya, sedangkan dirinya harus merasakan pening yang tak berkesudahan.

 

Mungkin itulah akibat jika kita terlalu obsesi terhadap dunia, tak akan menemukan ketenangan, yang ada hanya ambisi dan ambisi yang memenuhi relung hati.

 

"Dek, coba telpon Papamu sekarang," pinta Ahza putus asa.

 

Pria itu terlalu berharap pada manusia dan melupakan Tuhan-Nya yang Maha Penolong.

 

"Jam segini pasti sibuk, Mas, Papa lagi berbuka puasa" jawab Wirda sedikit meradang.

 

Perlahan perangai buruk Wirda mulai terlihat, dan Ahza mulai tak suka itu, Wirda sedikit egois, pencemburu akut, keras kepala juga manja yang luar biasa.

 

Tanpa disadari Ahza mulai merindukan sosok Fatma yang kini mulai dingin dan cuek terhadap dirinya, bukan hanya Fatma tapi kedua anaknya pun bersikap begitu.

 

Dengan terpaksa Wirda meraih gawai lantas menelpon Papanya.

 

"Iya hallo, Pa,"

 

"Ada apa, Nak?" tanya Adiguna di sebrang sana.

 

"Gimana uangnya? apa sudah cair? kita butuh banget, Pa." Tanpa basa-basi Wirda katakan itu.

 

"Duh kayanya pengajuan pinjaman Papa ga disetujui, Nak, karena katanya perusahaan sedang membutuhkan banyak biaya," ungkap Adiguna yang membuat tubuh Wirda merasa lemas 

 

"Duuh! Terus gimana dong, Pa?" Wirda mulai panik begitu pula dengan Ahza.

 

"Nanti kita bicarakan lagi ya, Nak, Papa banyak kerjaan lagi lembur."

 

Telpon terputus, Wirda mencebik lalu menekan layar ponselnya dengan kesal.

 

"Gimana, Dek?" tanya Ahza tak sabar.

 

Wirda menggelengkan pelan kepalanya.

 

"Katanya pinjaman uangnya ga disetujui, Mas," jawab Wirda lesu seraya tertunduk malu.

 

"Kamu ini gimana sih?! katanya Papa kamu mau bantu, terus sekarang? coba kamu jujur dari awal kalau uangnya belum ada gitu! ga usah sok kaya makanya, keterlaluan kalian ya, bohongin aku," sergah Ahza tak terima

 

"Iya maaf, lagian aku bilang bakal bantu kamu kok, bukan bilang uangnya sudah ada," jawab Wirda hati-hati.

 

"Terus sekarang gimana? uang kita sudah menipis?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status