Tiga kali Fatma menghirup napas dan mengembuskannya, lalu kaki jenjang yang terbalut rok panjang itu melangkah menuju meja makan menghampiri mereka yang sedang tertawa ria.Lebih tepatnya tertawa di atas derita Fatma, menyadari jika mantan kakak madunya menghampiri, seketika Wirda diam membisu mengakhiri tawanya.Tatapan matanya tak henti menyorot Fatma yang sedang mengambil piring lalu mengisi nasi juga lauk pauknya ke piring tersebut dengan wajah tenang walau terlihat sembab."Buka puasa, Bund, eh Fatma."Ahza mulai membiasakan diri untuk tidak memanggilnya 'Bunda' panggilan spesial yang selalu di ucapnya saat pertama kali memiliki Uwais.Fatma diam tak sepatah katapun mengucap kata, wanita itu sibuk memilih makanan Yang akan disuguhkan kepada kedua anak tercintanya."Mau di bawa kemana, Bund, eh Fatma? di sini saja makannya," tutur Ahza.Namun, wanita berhijab merah marun itu tetap diam tak bergeming, tangannya masih sibuk mengisi air ke dalam teko untuk stok minuman di dalam kama
"Sudah hampir dua Minggu lho, Dek ini, mana katanya Papamu mau tansfer." Ahza semakin gusar seraya terus memandang aplikasi M-Bangking di ponselnya.Begitu pula dengan Wirda, ia pun tak kalah risau kala sang papa masih menjawab dengan jawaban yang sama ketika ia bertanya perihal uang itu. "Masih belum disetujui oleh bos."Wirda bosan mendengar jawaban itu kerap kali menelpon papanya, ia kecewa karena kali ini papa tak menuruti keinginnya."Dek! Kok kamu diem sih?!" Ahza mulai jengah karena akhir-akhir ini istri satu-satunya itu banyak bertele-tele."Ya gimana dong, Mas, uangnya belum cair, emang kamu ga punya tabungan?" "Tabungan dari Hongkong! Uangku itu sudah habis di pake kamu belanja dan foya-foya," jawab Ahza kesal.Bagaimana tidak kesal saat ingat begitu tidak adilnya ia terhadap Fatma, ia memanjakan Wirda dengan kemewahan tetapi tidak dengan Fatma, wanita itu terlalu banyak sabar dan mengalah, ia tak begitu tertarik pada perhiasan juga gamis-gamis mahal.Baginya pakaian yang
"Terus sekarang gimana? uang kita sudah menipis!""Engga tahu, Mas, kita pikirin nanti aku lapar ini." Wirda melenggang masuk menuju dapur, berharap jika Fatma akan menyajikan sedikit makanan untuk mengganjal perutnya.Sedangkan Ahza mendengus kesal saat melihat istrinya begitu saja mengingkari janji, tak dapat dipungkiri ia pun merasa lapar, karena semenjak berbuka puasa hanya satu lembar roti tawar berisi selai coklat yang Wirda hidangkan dan air putih dingin sebagai pelepas dahaga.Tanpa ada sop buah, takjil buatan Fatma dan masakkannya yang sudah terkenal lezat di lidah, Ahza memang merasakan ramadhan kali ini berbeda dengan sebelumnya.Wirda melangkah menuju dapur sembari memegangi ulu hatinya, perut mulai terasa melilit kala menghirup aroma kuah rawon yang menguar di sekitar dapur.Beberapa kali wanita itu menelan air liur saat aroma rawon begitu menusuk indra penciumannya. Namun, nahas rawon itu milik Fatma, dan sepertinya mantan kakak madunya itu enggan untuk berbagi.Wirda me
"Wirda!" Teriak Ahza menggema, bahkan Fatma yang sedang khusyuk membaca Alquran pun sampai terperanjat mendengar teriakkan itu."Wirda!" Ia berteriak kedua kalinya karena Wirda tak kunjung menghampiri.Ahza mulai kesal, ditendangnya ember yang teronggok di pojok toilet hingga benda itu retak, tak sampai disitu ia juga menendang bak mandi dengan kerasnya."Awww!" Suara erangannya menunjukan jika kakinya merasa kesakitan akibat benturan keras."Ada apa, Mas teriak-teriak?" Wirda menghampiri dengan raut wajah yang kesal."Cepat cuci toiletnya, bau kaya begini.""Engga ah, Mas, aku lagi lapar mana tahan, sudah biarkan nanti dicuci sama Mbak Fatma saja, sekarang kita keluar cari makan."Ia telah lupa siapa Fatma di rumah itu, posisinya bukan lagi seorang istri hingga semuanya dibebankan pada Kaka madunya seperti tempo hari."Fatma terus! Sampai kapan kamu bergantung sama orang lain hah?! Lupa kalau dia itu bukan lagi istriku, kamu sendiri yang minta aku supaya menceraikannya, tanpa sadar
Senja mulai muncul, sudah menjadi rutinitas Fatma di jam seperti ini ia keluar membeli makanan di warung makan atau restoran terdekat.Lelah memang. Namun, ia tak mengeluh dijalaninya rutinitas baru itu dengan penuh kesabaran. Uangnya telah menipis terbesit rasa bingung di hati, bagaimana makan untuk esok hari?Akan tetapi keyakinan terhadap Tuhannya begitu kuat, ia yakin Allah Maha Kaya, Maha Pemberi Rizki, takkan mungkin membiarkan hambanya kelaparan, terlebih seorang hamba itu beriman padanya.Dipandangi dompet berwarna soft pink berukuran kurang lebih satu jengkal itu, tinggal satu lembar warna biru, ia menghela napas lalu melangitkan doa dalam hatinya agar Allah senantiasa memberi kecukupan pada dirinya dan kedua anaknya.Ingin meminta pada Ahza ia segan, terlebih mengetahui jika keadaannya pun sedang tak memungkinkan, usahanya berada diambang kebangkrutan."Kak Fatma." Suara seorang lelaki membuyarkan lamunan, ia menengok ke asal suara, Fatan, sedang apa dia di rumah makan seder
"Mbak, please tolong Mas Ahza." Wirda mengiba dengan cara menangkupkan kedua telapak tangannya.Fatma masih tak bergeming ia malah melengos dari hadapannya. Namun, Wirda tak putus asa ia membuntuti Fatma hingga ke depan pintu kamar."Tunggu di sini!" tegas Fatma lalu menutup pintu itu sedikit keras.Ada kesal yang menyeruak dalam dadanya. Disaat sakit mereka mencari, lalu dimana mereka ketika saat itu sedang bersenang-senang? ternyata kedua orang itu hanya ingin berbagi duka, gumamnya, lalu Fatma tersenyum getir.Di dalam kamar ia lekas mencari selembar kertas dan pulpen lalu tangannya mulai menulis resep."Ini resep ramuan obat sakit lambungnya suamimu, buat saja sendiri aku malas."Fatma segera menutup pintu rapat-rapat, tanpa memberi kesempatan pada mantan adik madunya untuk bertanya, ia sudah malas jangankan untuk bicara, untuk bertatap muka saja ia risih.*Sementara di luar sana Wirda mencebik lalu mendengkus kesal.Bagaimana ia bisa membuat ramuan yang terbuat dari rempah-rempa
Tak dihiraukan bau tubuh Ahza yang menyengat, lantas Wirda mendekap tubuh suaminya seraya terisak."Mas, kita ke rumah sakit ya," ucapnya di telinga Ahza.Lelaki yang sudah tak berdaya itu hanya mengangguk lemah, lalu Wirda beringsut bangkit."Sebentar ya, Mas."Ia melangkah untuk menemui Fatma di kamarnya.Dua kali pintu diketuk akhirnya muncullah sosok Fatma yang mengenakan mukena, kedua wanita itu saling memandang."Mbak, Mas Ahza makin parah BAB dan muntah terus, bantu aku ya kita bawa dia ke rumah sakit," pinta Wirda memelas, rasa gengsi dan malu sudah terkubur berganti dengan rasa cemas."Sudah dikasih belum ramuannya?"Wirda menggeleng pelan."Kenapa ga dibuatin? takut tanganmu jadi kotor?" Fatma mendecap."A-aku ga tahu, Mbak bahan-bahannya kaya gimana, aku mohon bantu Mas Ahza sekarang ia akan di bawa ke rumah sakit aku sudah pesen taxi online," mohon Wirda memelas.Namun, dalam hatinya ia muak melakukan hal itu."Kalau sudah pesen taxi online ya sudah pergi saja, dia itu sua
Fatma merasa geram mendengar permohonan mantan madunya."Aku ga bisa bantu, maaf!" tegasnya yang membuat Wirda semakin dilanda rasa bimbang.Bagaimana tak panik seorang perawat menyuruhnya untuk membayar biaya administrasi secepatnya, karena Ahza harus segera di pindahkan ke ruang rawat inap dengan segera.Sementara dirinya tak membawa uang lebih, bisa saja menjual kalung atau perhiasan lainnya. Namun, ia enggan lakukan itu, sayang jika perhiasan itu harus terjual."Mbak ini kenapa sih sekarang berubah? inget! Mas Ahza itu masih ada hak terhadap Mbak, kalian masih masa Iddah belum bercerai resmi, Mbak mau berdosa karena ga mau ngurus suami sendiri?!"Wirda pun mulai meluapkan emosi, lebih tepatnya ia tak ingin menghadapi kesulitan ini seorang diri, Fatma juga harus ikut andil dalam mengurus Ahza. Fikiranya.Fatma terkekeh, ia faham betul apa yang di maksud Wirda, sebenarnya ia tak ingin melalui kesulitan ini seorang diri.Curang!Licik!Disaat sulit mereka mencari sedangkan disaat sen