Share

Bab 2

 

Tangisan Fatma mulai mereda, beberapa kali melafalkan istighfar seraya menghela napas, ia berkeyakinan harus kuat, hidup akan masih berlanjut terlebih ada dua orang anak yang harus dididik agamanya.

 

"Bunda, Kakak pulang," ucap si sulung Uwais.

 

Dengan sigap Fatma menghapus buliran-buliran bening yang membekas di pipinya, selepas itu ia tersenyum pada putra pertamanya, menyembunyikan segala duka nestapa.

 

"Ucap salam dong, Nak," jawabnya dengan suara yang masih serak.

 

Uwais terkekeh. "Assalamualaikum, Bunda."

 

"W*'alaikumus'salam, sudah selesai ngajinya, Nak?" tanya Fatma ramah.

 

"Bunda habis nangis?" bukan menjawab Uwais malah sibuk menelisik wajah ibundanya.

 

Anak berumur enam tahun itu berubah murung, ia sudah faham jika wajah ibundanya sembab maka, ayahnya dan Wirda lah penyebab kesedihan itu.

 

"Iya." 

 

Fatma tak memiliki kata lagi untuk menjawab, ia ingin berbohong dengan mengatakan sedang kelilipan. Namun, ia takut dosa terlebih ini adalah bulan suci ramadhan.

 

 

"Bunda, emang lelaki itu harus ya punya istri dua?"

 

Pertanyaan yang membuat Fatma tercekat, matanya mulai mengembun lagi. Namun, ia mendongak menahan agar cairan itu tak luruh di hadapan anak sulungnya.

 

"Engga kok, emang kenapa?" jawab Fatma dengan suara parau karena menahan tangisan.

 

"Oh kirain harus. Kalau Bunda sedih terus di sini mendingan kita pergi aja, semenjak ada Bunda Wirda Ayah jadi beda sama Kakak,"ungkap bocah itu seraya tertunduk.

 

Hati Fatma semakin merana, ternyata bukan hanya dirinya saja yang merasakan hal itu. Ia bisa saja bersabar. Namun, bagaimana dengan Uwais yang selalu mengemis perhatian ayahnya setiap saat.

 

***

 

Seperti beberapa hari ke belakang saat Uwais meminta sang ayah untuk menemani murojaah hafalan Alquran-nya, ia harus menelan pil pahit saat menerima penolakan dari sang ayah karena lebih memilih menemani Bunda kedua yang katanya sedang sakit.

 

"Murojaah sama Bunda saja ya," ucap Ahza lalu melenggang memasuki kamar istri keduanya.

 

"Kakak maunya sama Ayah." 

 

Bocah itu merengek seraya mencegah langkah ayahnya, saat itu ada raut kesal yang terpancar di wajah Ahza, lantas ia menoleh Fatma dan memberi kode lewat tatapan mata agar segera menjauhkan Uwais dari hadapannya.

 

"Sebentar saja, Mas, temani Uwais murojaah," tutur Fatma lembut.

 

Namun, suara dari dalam kamar kembali mengalihkan perhatian Ahza.

 

"Mas, kepalaku sakit ... pijitin," rengek Wirda memelas, secepat kilat Ahza masuk ke kamarnya meninggalkan sang anak dan istri pertamanya yang sedang kecewa karena ketidak adilannya.

 

***

 

Menetes lagi air mata Fatma kala mengingat kejadian itu, ia membatin karena semenjak Uwais kecil mereka berdua pernah bermimpi untuk memiliki anak seorang penghafal Alquran, sekarang semua sudah terwujud. Namun, Ahza justru menyia-nyiakannya.

 

Tidak bersyukur!

 

Tega!

 

Fatma merutuk sendiri dalam hati, juga berusaha menyembunyikan setiap tetesan bening yang siap meluncur, dengan sigap ia tahan dengan ujung jemarinya.

 

"Bun, sudah adzan."

 

Tak terasa waktu cepat berputar, kini waktunya setiap insan berbuka puasa dengan bahagia. Namun, tidak dengan Fatma, ia kehilangan selera makannya seketika.

 

"Kamu tunggu di sini ya, Bunda ambilkan makanan ke dapur." 

 

Dahi Uwais mengkerut, ia heran karena biasanya mereka bersantap makanan di ruang makan bukan di ruang tidur.

 

"Kok di kamar, Bun?" 

 

Langkah kaki Fatma terhenti lalu ia menoleh ke belakang seraya menyunggingkan senyum.

 

"Mulai sekarang kita akan makan di kamar ya tanpa Ayah dan Wirda," ucapnya lalu mengenakan hijab yang menggantung di depan pintu.

 

Dahi Uwais kembali mengkerut keheranan kala sang bunda Memakai hijabnya walau di dalam rumah. Namun, rasa penasarannya lenyap kala Fatma berlalu dan di waktu bersamaan Fatimah--adik bungsunya--terbangun dari tidur.

 

*

 

Langkah kaki Fatma terhenti di pintu dapur saat melihat dua insan sedang asyik menyantap menu buka puasa seraya bercengkrama ria, siapa lagi jika bukan Ahza dengan istri keduanya, mereka lahap menyantap makanan yang di masak Fatma sore tadi.

 

Ia tersenyum getir seraya berdiri mematung walau lututnya hampir goyah dan limbung.

 

Mereka bisa makan dengan lahapnya, sementara aku bergulung dengan rasa sakit dan hati yang hancur berkeping-keping, gumamnya dalam hati.

 

Langkah kakinya berat untuk melanjutkan langkah untuk mengambil satu piring nasi juga lauk pauknya.

 

"Jadi kapan, Dek, uangnya akan di kasih? sebentar lagi kita harus bayar sewa tempat, terus sudah dua Minggu ini restoran kita tutup, lama-lama kita bisa ga makan," ucap Ahza risau, sedangkan dahi Fatma mengkerut mendengar hal itu.

 

Fatma mundur satu langkah dengan maksud menguping pembicaraan mereka, ia mulai mencium gelagat yang tidak beres.

 

"Tenang, Mas, aku sudah minta sama Papa, dan katanya sebentar lagi akan di kirim," jawab Wirda ceria, karena sang ayah selalu membantu menuruti setiap keinginannya, termasuk menikah dengan Ahza satu tahun yang lalu.

 

Seorang Wirda sudah terbiasa dimanja sejak kecil sampai sebesar sekarang, sehingga kedua orang tuanya tak tega menolak setiap keinginan anaknya termasuk menikahkan Wirda dengan Ahza walau harus jadi istri kedua.

 

Uang 200 Juta juga paras Wirda yang cantik jelita sukses membuatnya terpana, dan langsung meminangnya tanpa berpikir panjang.

 

Lelaki itu eg*is, memaksa Fatma berlapang dada agar menerima Wirda sebagai adik madunya, tanpa pernah memikirkan rasa sakit yang diderita Fatma, seorang istri yang menemaninya dari nol hingga sukses mendirikan sebuah restoran mewah kelas atas.

 

Jiwa penasaran Fatma meronta, ia tak sabar menanti ucapan mereka berikutnya agar rasa penasaran itu terpecahkan.

 

"Jangan bohong ya, Dek, aku sudah turuti mau kamu untuk menceraikan Fatma, jadi jangan sia-siakan pengorbananku," ungkap Ahza yang sukses membuat tubuh Fatma hampir limbung dengan mata yang membelalak, nyaris luruh lagi cairan yang sudah mengembun itu.

 

Dipegangnya ujung tembok dengan erat sebagai sandaran agar tubuhnya tak terjatuh ke lantai.

 

Tega kamu, Mas! Menukarku dengan sejumlah uang, gumam Fatma dalam hati.

 

Sakit? tentu iya. Namun, kini Fatma belajar menata hati agar kuat sekuat baja.

 

"Iya, Mas sabar ya, Papaku bilang katanya dia lagi mengajukan pinjaman ke atasannya sebesar 500 Juta untuk modal usaha kita," jawab Wirda seraya memasukkan makanan ke dalam mulut lalu mengunyahnya dengan lahap.

 

Keterlaluan kalian! Rutuk Fatma.

 

Madunya itu tak sadar jika bos ayahnya adalah sepupunya Fatma yang baru dua tahun ini merintis usaha di bidang properti.

 

Tuan Adiguna yang tak lain ayahnya Wirda hanyalah kaki tangan dari Fatan--sepupunya--walau pemuda itu telah sukses di usia yang masih muda, tetapi dirinya sama sekali tak suka pamer atas keberhasilan yang di dapat, sehingga hanya orang-orang tertentu yang mengetahui jika dirinya pemilik perusahaan Angkasa Properti.

 

Fatma menyunggingkan bibir, terbesit sebuah rencana dalam benaknya.

 

Yah, mereka semua harus merasakan kehancuran ini, angan-angan yang mereka impikan akan terputus hanya dengan satu tepukan saja.

 

Fatan, ia adalah sepupu yang selalu mendukung juga membantu Fatma.

 

Siap-siap saja, Mas! Kamu akan mati kutu saat istri mudamu tak mampu menolongmu, gumam Fatma dengan dada bergemuruh.

 

Rasa simpati dan kasih sayang yang dulu melimpah hanya untuk Ahza seorang, kini semua berganti dengan rasa benci yang menggebu-gebu.

 

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Lucky Dorkas
jgn mau ksh makan sm mereka biar tahulah bedanya sdh talak ya jgn nikmati masakannya
goodnovel comment avatar
Lucky Dorkas
fatma masakan jgn diletakan diatas meja tp bw kekamar jd mereka tdk dpt menikmati masakanmu khan udh ditalak
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kamu aja yg du gu dan banyak drama fatma. mana ada dlm agama 2 istri tinggal seatap. kamu yg memperlakukan diri mu seperti sampah yg ketika udah g berguna dicampakkan. pantasnya kamu memang jadi babu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status