Share

Bab 7

Senja mulai muncul, sudah menjadi rutinitas Fatma di jam seperti ini ia keluar membeli makanan di warung makan atau restoran terdekat.

Lelah memang. Namun, ia tak mengeluh dijalaninya rutinitas baru itu dengan penuh kesabaran. Uangnya telah menipis terbesit rasa bingung di hati, bagaimana makan untuk esok hari?

Akan tetapi keyakinan terhadap Tuhannya begitu kuat, ia yakin Allah Maha Kaya, Maha Pemberi Rizki, takkan mungkin membiarkan hambanya kelaparan, terlebih seorang hamba itu beriman padanya.

Dipandangi dompet berwarna soft pink berukuran kurang lebih satu jengkal itu, tinggal satu lembar warna biru, ia menghela napas lalu melangitkan doa dalam hatinya agar Allah senantiasa memberi kecukupan pada dirinya dan kedua anaknya.

Ingin meminta pada Ahza ia segan, terlebih mengetahui jika keadaannya pun sedang tak memungkinkan, usahanya berada diambang kebangkrutan.

"Kak Fatma." Suara seorang lelaki membuyarkan lamunan, ia menengok ke asal suara, Fatan, sedang apa dia di rumah makan sederhana ini?

"Fatan? kamu lagi ngapain di sini?" Fatma menepi dari kerumunan orang-orang yang tengah mengantri makanan lalu duduk di bangku kayu bersamaan.

"Tadi aku lewat aja, lagi nyari takjil buat buka, eh lihat Kak Fatma di sini."

Ia sangat faham gestur tubuh Fatma walau kakak sepupunya itu bercadar.

"Ohh, apa kabar? Sudah jenguk Ibu?" tanya Fatma, ibu yang dimaksud ialah ibunya Fatma, Fatan menyebutnya ibu karena sejak kecil wanita itulah yang merawat dan membesarkan Fatan hingga sukses seperti sekarang.

"Sudah kok, Kak, alhamdulillah."

"Alhamdulillah, gimana keadaan beliau?"

"Dia sehat kok, oh ya aku ikut prihatin ya atas kejadian yang menimpa Kakak, aku ga nyangka Kak Ahza akan berbuat seperti itu, sudah berpoligami eh sekarang tiba-tiba dicerai, kalau di fikir wanita di luar sana mana ada yang mau dimadu terlebih tinggal satu atap."

Fatma tersenyum dibalik cadarnya hingga matanya nampak menyipit.

"Qodarullah Fatan, ini sudah kehendak Allah yakin saja ini yang terbaik untuk kita." Jawaban Fatma sukses membuat Fatan melongo seketika.

Bagaimana bisa seorang wanita yang rapuh hatinya bisa selegowo itu, bahkan dirinya yang notebene laki-laki saja seperti takkan sanggup bertahan jika berada di posisi Fatma.

"Oh gitu ya, Kakak kok sabar banget sih, sudahlah tinggalkan rumah itu sekarang, daripada makan hati."

"Awalnya aku juga pengen kaya gitu langsung pulang, tapi setelah dipikir-pikir Mas Ahza memang betul, tak sebaiknya perempuan yang menjalani masa Iddah pulang ke rumah orang tuanya sebelum masa itu selesai," Jawab Fatma seraya membetulkan posisi cadarnya.

Fatan nampak diam dan membisu antara kasihan dan juga kagum pada sosok kakak sepupunya.

"Ya sudah terserah Kakak saja, kalau bisa bersabar jalani aja." 

"Oh ya emang Kakak ga masak kok beli makanan di sini?"

Fatma menundukkan wajah lalu mendongkak untuk menahan cairan yang hendak menerjang keluar, setegar apapun ia tetap saja air mata akan menetes di  pelupuk matanya.

Terlebih pertanyaan Fatan barusan kembali mengingatkan ia ke masa-masa di mana dirinya masih menjadi istri seorang Ahza.

Ia memasak setiap hari untuk suami juga madunya, sering sekali Fatma tak kebagian makanan itu karena sudah lebih dulu dihabiskan oleh mereka.

ART ada pada waktu itu. Namun, tugasnya hanya sekedar bebersih rumah, ia tak mau tugas memasak diambil alih oleh orang lain, dan setelah penghasilan Ahza menurun drastis, pembantu itu tak lagi dipekerjakan, semua tugas dialihkan pada Fatma hingga kini.

"Untuk apa aku masak, Fatan, aku sudah bukan babu mereka lagi."

Fatan menghela napas lalu menatap kakak sepupunya dengan iba.

"Sabar ya, Kak, aku selalu berdoa agar Kakak bahagia setelah ini."

"Insya Allah, aku selalu sabar," jawab Fatma seraya menyeka tetesan bening dengan ujung jari telunjuknya.

Fatan merogoh dompet dari saku celana, lalu mengambil satu buah kartu ATM.

"Ini buat Kakak, jangan ditolak atau aku akan marah." Ia menyodorkan kartu itu ke hadapan Fatma.

Wanita itu terdiam bimbang antara butuh juga segan, karena ia takut ini akan membebankan sang keponakan.

Sedangkan Fatan sangat berharap jika Fatma akan menerimanya, ia memahami betul jika kakak sepupunya sangat membutuhkan uang untuk bekal hidupnya ke depan.

"Ayo terima, Kak, jangan kecewakan aku."

"Tapi ... apa kamu ga merasa kerepotan?"

"Ya engga lah, Kak, malah seneng bisa bantu, sudah ambil saja pakai uang ini sepuasnya, belikan dua keponokannku baju-baju dan mainan ya."

Fatma terdiam beberapa saat, lalu tangannya mulai meraih benda itu.

"Iya aku terima insya Allah uang ini akan digunakan seperlunya, terima kasih ya semoga Allah melipat gandakan pahala juga rezekimu."

Ia mengucap hamdallah juga merasa bersyukur, pasalnya baru saja melangitkan doa agar dicukupkan rezeki, ternyata Allah segera kirimkan rezeki itu lewat uluran tangan keponakannya.

Begitulah, tak seharusnya kita sebagai manusia merasa takut kekurangan rezeki atas hari esok, setiap hamba sudah Allah jamin rezekinya, dan seorang manusia itu takkan menemui ajal sebelum ia menghabiskan jatah rezekinya.

"Sama-sama, Kak, oh ya Kakak pesen aja makanan yang banyak biar aku yang bayarkan, aku mau traktir Uwais dan Fatimah, sudah lama ga ngasih jajan sama mereka."

"Apa ga ngerepotin kamu, Tan? Kakak masih ada kok uang cash."

"Ya engga lah, aku tuh mau teraktir Uwais dan Fatimah, masa ga boleh, sudah ya aku mau pesankan makanan terenak buat mereka, jangan bantah!" Tegas Fatan lalu ia bangkit menemui pemilik warung dan memesan makanan paling enak di warung tersebut.

Akhirnya sore ini Fatma dapat pulang dengan perasaan lega, dengan makanan yang begitu banyak juga lezat, terbayang bagaimana reaksi Uwais saat menyantap makanan itu dengan lahapnya 

Sampai di rumah Fatma disambut oleh madunya, lebih tepatnya mantan madu, wanita itu menatap Fatma dengan gurat wajah gelisah.

"Mbak, Mas Ahza ...."

Wirda mencegah langkah Fatma, mereka saling berpandangan sedangkan Fatma masih diam membisu, mulutnya seakan malas untuk sekedar bertegur sapa.

Tak dihiraukan lekas Fatma menghindar dan melanjutkan langkahnya.

"Tunggu, Mbak, Mas Ahza muntah-muntah dan mencret kepalanya juga pusing katanya, penyakit lambungnya pasti kambuh lagi."

Mendengar itu langkah kaki Fatma terhenti lalu menoleh kembali ke belakang.

"Terus?"

"Mas Ahza ga mau minum obat ataupun pergi ke dokter, dia maunya ... minum ramuan yang biasa Mbak bikin," ucap Wirda dengan malu-malu.

Tak ada pilihan selain mengemis pada mantan kakak madunya, walau ia tahu perbuatan itu akan merendahkan dirinya sendiri.

"Kamu istri kesayangannya 'kan? buat aja sendiri." 

"Tapi, Mbak, a-aku ga bisa buat, tolong Mas Ahza Mbak kali ini saja buatkan ramuan itu kasihan dia muntah terus, BAB juga ga berhenti."

Bimbang, itu yang dirasa Fatma, jauh dalam lubuk hati ia merasa kasihan. Namun, perlakuan Ahza membuat dirinya berpikir ulang untuk menolong.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status