"Wirda!" Teriak Ahza menggema, bahkan Fatma yang sedang khusyuk membaca Alquran pun sampai terperanjat mendengar teriakkan itu.
"Wirda!" Ia berteriak kedua kalinya karena Wirda tak kunjung menghampiri.
Ahza mulai kesal, ditendangnya ember yang teronggok di pojok toilet hingga benda itu retak, tak sampai disitu ia juga menendang bak mandi dengan kerasnya.
"Awww!" Suara erangannya menunjukan jika kakinya merasa kesakitan akibat benturan keras.
"Ada apa, Mas teriak-teriak?" Wirda menghampiri dengan raut wajah yang kesal.
"Cepat cuci toiletnya, bau kaya begini."
"Engga ah, Mas, aku lagi lapar mana tahan, sudah biarkan nanti dicuci sama Mbak Fatma saja, sekarang kita keluar cari makan."
Ia telah lupa siapa Fatma di rumah itu, posisinya bukan lagi seorang istri hingga semuanya dibebankan pada Kaka madunya seperti tempo hari.
"Fatma terus! Sampai kapan kamu bergantung sama orang lain hah?! Lupa kalau dia itu bukan lagi istriku, kamu sendiri yang minta aku supaya menceraikannya, tanpa sadar kamu itu sudah menipuku."
Ahza geram, emosi dalam dadanya mulai membara, berjuta rasa sesal menggulung mengusik fikirannya.
Ia merutukki kebodohannya sendiri.
"Nipu apa sih, Mas?! Kalau uangnya belum ada ya gimana? sabar dulu dong, aku dan Papa lagi cari uangnya," balas Wirda tak mau kalah.
Ahza pergi dari hadapan istri yang selama ini sukses memuaskan ha*ratnya. Namun, ia tak pandai dalam mengurus dan melayani kebutuhannya yang lain.
Ternyata keindahan fisik takkan menjadi jaminan kita merasa nyaman.
"Mas kamu mau kemana? bukannya beresin dulu bebersihnya."
Namun, Ahza tetap melenggang pergi, tak dihiraukan suara cempreng istrinya di belakang sana.
Percuma cantik dan modis kalau tidak bisa meneduhkan jiwa, ingatannya kembali pada sosok Fatma, lemah lembut dan penyayang.
Wanita yang memiliki lautan sabar, lautan kasih sayang seluas samudra, hanya karena dunia ia kehilangan bidadari surganya.
Ahza menyenderkan diri di depan pintu kamar Fatma, ingin sekali tangannya mengetuk lalu masuk ke dalam bergabung dengan mereka yang sedang sibuk membaca Kalamullah.
Namun, ia segan dan malu atas apa yang sudah dilakukannya beberapa pekan kemarin, dirinya sadar jika tiba-tiba ditalak tanpa ada salah dan dosa itu memang menyakitkan, ia pun memahami jika duka dan nestapa Fatma takkan mungkin menghilang begitu saja.
"Alhamdulillah ya, Nak, kamu sudah hafal lima juz sekarang, Bunda bangga sama kamu."
"Imah juga mau hapal Alquran, Bunda," celoteh si bungsu Fatimah dengan gaya cadelnya.
"Coba surat Alfatihah-Nya sudah hapal belum?" tanya Fatma.
Kemudian bocah berumur tiga tahun itu melafalakan ayat demi ayat surat Al Fatihah, walau masih tertatih. Namun, anak itu dapat membacanya hingga ayat terakhir.
"Yeee, Adek udah hapal surat Al Fatihah." Si sulung bersorak ria.
Sedangkan di balik pintu Ahza masih menguping pembicaraan mereka.
"Alhamdulillah, Bunda bangga sama Adek dan Kakak, terus hafalkan sampai juz ke 30 ya, Nak."
"Tapi ayah engga bangga sama Kakak, Bu." Uwais tertunduk kecewa.
Ucapan ayahnya tempo hari masih terngiang di telinga.
"Baru hafal empat juz aja sudah heboh dan bangga, tuh lihat di TV, anak seumuran kamu ada yang sudah hafal 30 juz."
Kalimat itu begitu menyakitkan bagi Uwais, dan sempat membuat dirinya hampir menyerah, untungnya sang Bunda selalu mendukung dan memberi semangat hingga ia kembali bangkit.
"Sudahlah, Nak, Jangan fikirkan ayahmu, dia itu sedang sibuk dengan dunianya sekarang, fokus saja sama hafalanmu ya." Kesekian kalinya penuturan Fatma mampu menyejukkan hati putranya yang mulai memanas..
Ahza menghela napas yang terasa sesak.
Fatma memang penyejuk jiwa kini ia menyadari, karena hal itu tak pernah ditemukan di dalam sosok istri keduanya.
*
Esok hari
Dering ponsel membuyarkan lamunan Ahza yang sedang bersandar di kursi belakang rumahnya, rindangnya pepohonan membuat hati dan otaknya sejuk dalam sejenak.
Lekas ia meraih gawai dalam saku celananya, terkejut lelaki itu saat melihat layar ponsel.
"Hallo, Pak."
"Iya, Pak Ahza kapan akan membayar sewa tempat, sebentar lagi jatuh tempo, saya hanya mengingatkan jika Bapak tak berniat meneruskan usahanya maka, silakan pindahkan semua barang-barang Bapak dari tempat itu, insyaallah jika Bapak mundur maka akan ada kerabat saya yang akan memakai tempat itu untuk usahanya."
Mendengar itu tangan Ahza bergetar, tubuhnya tiba-tiba mendingin, bimbang itu yang ia rasakan.
"Sa-saya akan lanjutkan kok, Pak, jangan khawatir ya nanti saya akan transfer secepatnya," jawab Ahza berbohong, padahal dia sendiri tak dapat memastikan perkataannya itu benar atau tidaknya.
"Oh baik, Pak, saya kasih waktu sampai abis lebaran ya, saya harap Bapak ga mengulur-ngulur waktu," ungkap si Pemilik tempat usaha itu.
"Baik, Pak."
Telpon terputus, ia menaruh ponsel itu di bangku lalu meremas kepalanya yang terasa berdenyut.
Tak berselang lama sosok Wirda muncul dari arah pintu belakang, senyum manis itu kini tak lagi menyejukkan pandangan, karena dalam benaknya bayangan rasa bersalah terhadap Fatma menari-nari dengan riangnya.
Haruskah kukatakan pada Fatma jika aku menyesal? gumamnya dalam hati.
"Mas, aku mau beli gamis ini ya buat lebaran, modelnya bagus simple dan elegan, harganya cuma 5 juta kok," celetuk Wirda enteng, yang sukses membuat Ahza frustasi seketika.
Ahza mengusap kasar wajahnya, kata-kata pemilik tempat usaha barusan masih terngiang menghantui fikiran, belum lagi rasa penyesalan terhadap Fatma yang tak juga kunjung menghilang kini, Wirda menambahkan beban lagi ke pundaknya.
Ya Tuhan, tak bisakah wanita ini mengerti keadaanku walau sekejap saja, gumam Ahza dalam hatinya.
"Sudahlah lebaran tahun ini ga usah beli baju segala, baju kamu masih banyak, Dek, di lemari pakai saja yang ada." Ahza berusaha membendung rasa kesal.
"Tapi semua gamis itu sudah pernah dipake, Mas, pokoknya aku mau beli lagi, pake dulu tabungan kamu ya, kalau belinya nanti bisa lebih mahal lho, ya Mas." Perempuan itu bergelayut di dada bidang suaminya.
Biasanya ia akan senang jika Wirda bergelayut seperti ini. Namun, tidak dengan saat ini, ia begitu muak pada tingkah lakunya yang tak pernah bijak seperti mantan istrinya.
Pemikiran lelaki itu begitu lemah, hingga bayangan Fatma dengan mudah meluluh lantakan fikirannya.
"Engga usah, Dek, kemahalan itu beli yang 200.000 atau 500.000 saja, Fatma juga sering beli gamis dengan harga segitu, bagus-bagus aja."
Lagi-lagi Fatma!
"Engga mau ah, aku mau yang ini, bahannya bagus adem, ga panas, pokoknya aku mau beli walau kamu ga kasih izin, orang ATM-nya aku yang pegang."
Dengan enteng wanita itu pergi meninggalkan Ahza yang sedang bergelut dengan emosinya.
"Dasar Matre!"
Ia frustasi, beberapa kali mengacak rambutnya hingga berantakan.
"Oke kalau gitu, saya nggak akan ambil uangnya lagi, Bapak ambil aja.""Baiklah, Pak."Saat itu juga Uwais langsung pergi ke kos-kosan tempat Anisa, dia menemui pemilik rumah kos kosan untuk bertanya perihal gadis yang membuat perasaannya tidak tenang "Saya nggak tahu soal itu, lagi pula Anisa juga nggak ada bilang apa apa sama saya, kirain dia masih di dalam kamarnya.""Ya ampun." Uwais mengusap wajahnya, dia benar benar merasa khawatir."Memangnya ada apa gitu?""Saya curiga Anisa diculik seseorang, Bu.""Hah, masa sih?""Saya pergi dulu, Bu.""Nak, kau telpon saja polisi."Uwais hanya menoleh sekilas.Ribet banget harus telepon polisi segala, belum harus nunggu 24 jam Setelah Anisa pergi lalu harus ada bukti kuat, lebih baik kucari sendiri.Naik ojek online, Uwais pergi ke rumah salah satu temannya yang paham IT, dia memberikan nomor ponsel Anisa untuk melacak keberadaan saat ini, tentunya sebelum itu Uwais melakukan basa basi."Di sini nih tempatnya."Akhirnya nomor ponsel gadis
Ayah dan anak yang selama ini nampak akrab itu kini mulai saling memandang dengan tajam, Uwais kecewa karena ternyata semua ayah di dunia ini sama, baik itu ayah kandung yang dulu sudah menelantarkannya, juga ayah tiri yang kini boleh mengungkit ngungkit pemberiannya.Kalau tahu akan begini lebih baik dahulu Aku tidak pernah mengizinkan ibuku menikah dengan siapapun, lagi pula kau sanggup menghidupinya sebagai balas jasa karena ia sudah membesarkan seorang diri, begitu pikir Uwais."Nak, tenangkan dirimu ya." Fatma berdiri lalu mengelus bahu Uwais.Amarah yang akan meledak itu seketika pudar mendengar suara lembut yang keluar dari bibir Fatma, sejak dulu Jika ada masalah apapun dia memang tidak pernah mengeluarkan suara tinggi ataupun bicara kasar."Baiklah, Bi, aku akan pergi nggak bawa apa-apa, termasuk supermarket yang selama ini disokong oleh Abi, ambil aja, aku masih bisa cari uang dengan cara lain yang penting itu halal dan tidak menzalimi orang lain." Uwais tersenyum tipis.Sej
"Gimana Zhafran? Apa penyesalanmu itu ada gunanya?"Lelaki itu mengalihkan pandangannya, dia juga seorang lelaki normal, satu tahun yang lalu ketika bisnis mereka untung besar, kantor mengadakan pesta yang dihadiri oleh karyawan penting saja, Zhafran sempat mabuk berat dan dibawa ke sebuah kamar hotel lalu dengan lancangnya Selly masuk ke kamar pria itu, menggodanya mati Matian hingga dia mau mengga gahi Selly untuk pertama kali.Perempuan itu tidak bo doh, dia mengabadikan momen itu dengan ponselnya lalu menyimpan rapi dalam sebuah folder untuk dijadikan senjata, Selly yang ambisius sangat ingin menjadi Nyonya Zhafran yang kaya raya, tidak peduli walaupun dia sudah beristri, toh dia tidak pernah melihat wajah istrinya seperti apa karena selalu tertutup cadar, Selly berpikir jika Fatma adalah perempuan tua seperti kebanyakan ibu ibu lainnya karena sudah memiliki anak gadis dan bujang yang beranjak dewasa.Namun, ternyata Zhafran tidak sebodoh itu, sedikit pun dia tidak tertarik menjad
27Hiruk pikuk orang orang di pelabuhan ini membuat Uwais bisa melangkah perlahan tanpa takut dilihat oleh Zhafran dan yang lainnya, bagaimana pun juga Uwais ingin tahu sebenarnya untuk apa Anisa berada di tempat ini? Dirangkul lelaki pula? Apakah memang wanita itu tidak baik seperti kata ayahnya?Dia terus mengendap ngendap bahkan sekarang sudah mulai memakai masker walau wajahnya berkeringat banyak karena terkena teriknya sinar matahari di siang hari.Setelah hampir mendekat Uwais hampir mendengar jelas percakapan mereka, diabtidka terima seorang pria yang berada di hadapan Anisa menyentuh pipi gadis itu, entah kenapa ada rasa cemburu menyelusup ke dalam hatinya, dia pun melangkah lebih dekat lagi "Beneran dia masih pe ra wan ini?""Masih lah segelan, kalau ternyata udah jebol nanti duit kembali lima puluh persen.""Beneran nih ya duit kembali.""Kapan sih gua bohong."Uwais tercekat saat mendengar percakapan Zhafran dan lelaki itu, ternyata Anisa memang benar akan dijual dan mungk
"Tunggu!" Orang orang yang menyeret Anisa langsung menoleh, sementara gadis itu masih meronta ronta sambil menatap Uwais, untuk beberap detik mereka saling berpandangan."Ngapain kalian kasar sama perempuan? Dia itu temanku!"Lalu salah satu lelaki menyorotkan senter ke wajah Uwais hingga lelaki itu merasa silau."Kau kan anaknya Tuan, ngapain di sini?""Mau nyusul temenku, lepaskan dia."Beberapa orang lelaki itu saling berpandangan nampak bingung karena bagaimanapun juga perintah Zhafran pantang dilanggar."Bicarakan saja sama Tuan, urusanku cuma menangkap perempuan ini, dia masuk ke dalam ingin mencuri.""Hah?"Uwais langsung menatap Anisa, rasanya tidak mungkin gadis selembut dia harus mencuri, begitu pikir Uwais."Aku nggak mencuri! Aku mau menyelamatkan ….""Diam! Masuk ke dalam sekarang juga! Silakan Anda bicara dengan Tuan Zhafran, saya nggak mau disalahkan."Melihat Anisa kembali diseret Uwais langsung masuk ke dalam berlarian entah ke mana, beberapa kali dia menghadang para
Pagi itu Wirda sudah tak sabar menanti kedatangan Uwais, pasalnya malam tadi dia langsung pulang ke rumah karena sudah kemalaman dan kelelahan."Mbak, aku sudah agak enakan kalau mau pulang silakan, aku bisa sendiri kok."Fatma menatap Wirda dengan getir, pagi ini Wirda memang terlihat lebih bugar, baru satu malam saja sudah ada perubahan pada tubuhnya lain lagi ketika dirawat di rumah sakit kemarin Wirda lebih banyak tidur dan susah bergerak."Besok deh aku pulang ya, biar yang jaga gantian sama Uwais, hari ini dia ngajar dulu nanti siang baru kemari katanya.""Ngajar di mana, Mbak?" "DI sebuah universitas, Wir, ini hari pertamanya setelah kembali dari Madina, kamu sabar ya.""Oh hebat banget ya anak Mbak, punya bisnis jadi dosen lagi, iya deh aku sabar, tapi gimana suami Mbak?""Tidak hebat tapi Allah yang karuniakan kelebihan itu padanya." Dia tersenyum.Sejak dulu Fatma memang tidak pernah membanggakan dirinya ataupun prestasi anak anaknya pada orang lain, itu semua untuk menjaga