Share

Bab 6

"Wirda!" Teriak Ahza menggema, bahkan Fatma yang sedang khusyuk membaca Alquran pun sampai terperanjat mendengar teriakkan itu.

"Wirda!" Ia berteriak kedua kalinya karena Wirda tak kunjung menghampiri.

Ahza mulai kesal, ditendangnya ember yang teronggok di pojok toilet hingga benda itu retak, tak sampai disitu ia juga menendang bak mandi dengan kerasnya.

"Awww!" Suara erangannya menunjukan jika kakinya  merasa kesakitan akibat benturan keras.

"Ada apa, Mas teriak-teriak?" Wirda menghampiri dengan raut wajah yang kesal.

"Cepat cuci toiletnya, bau kaya begini."

"Engga ah, Mas, aku lagi lapar mana tahan, sudah biarkan nanti dicuci sama Mbak Fatma saja, sekarang kita keluar cari makan."

Ia telah lupa siapa Fatma di rumah itu, posisinya bukan lagi seorang istri hingga semuanya dibebankan pada Kaka madunya seperti tempo hari.

"Fatma terus! Sampai kapan kamu bergantung sama orang lain hah?! Lupa kalau dia itu bukan lagi istriku, kamu sendiri yang minta aku supaya menceraikannya, tanpa sadar kamu itu sudah menipuku."

Ahza geram, emosi dalam dadanya mulai membara, berjuta rasa sesal menggulung mengusik fikirannya.

Ia merutukki kebodohannya sendiri.

"Nipu apa sih, Mas?! Kalau uangnya belum ada ya gimana? sabar dulu dong, aku dan Papa lagi cari uangnya," balas Wirda tak mau kalah.

Ahza pergi dari hadapan istri yang selama ini sukses memuaskan ha*ratnya. Namun, ia tak pandai dalam mengurus dan melayani kebutuhannya yang lain.

Ternyata keindahan fisik takkan menjadi jaminan kita merasa nyaman.

"Mas kamu mau kemana? bukannya beresin dulu bebersihnya."

Namun, Ahza tetap melenggang pergi, tak dihiraukan suara cempreng istrinya di belakang sana.

Percuma cantik dan modis kalau tidak bisa meneduhkan jiwa, ingatannya kembali pada sosok Fatma, lemah lembut dan penyayang.

Wanita yang memiliki lautan sabar, lautan kasih sayang seluas samudra, hanya karena dunia ia kehilangan bidadari surganya.

Ahza menyenderkan diri di depan pintu kamar Fatma, ingin sekali tangannya mengetuk lalu masuk ke dalam bergabung dengan mereka yang sedang sibuk membaca Kalamullah.

Namun, ia segan dan malu atas apa yang sudah dilakukannya beberapa pekan kemarin, dirinya sadar jika tiba-tiba ditalak tanpa ada salah dan dosa itu memang menyakitkan, ia pun memahami jika duka dan nestapa Fatma takkan mungkin menghilang begitu saja.

"Alhamdulillah ya, Nak, kamu sudah hafal lima juz sekarang, Bunda bangga sama kamu."

"Imah juga mau hapal Alquran, Bunda," celoteh si bungsu Fatimah dengan gaya cadelnya.

"Coba surat Alfatihah-Nya sudah hapal belum?" tanya Fatma.

Kemudian bocah berumur tiga tahun itu melafalakan ayat demi ayat surat Al Fatihah, walau masih tertatih. Namun, anak itu dapat membacanya hingga ayat terakhir.

"Yeee, Adek udah hapal surat Al Fatihah." Si sulung bersorak ria.

Sedangkan di balik pintu Ahza masih menguping pembicaraan mereka.

"Alhamdulillah, Bunda bangga sama Adek dan Kakak, terus hafalkan sampai juz ke 30 ya, Nak."

"Tapi ayah engga bangga sama Kakak, Bu." Uwais tertunduk kecewa.

Ucapan ayahnya tempo hari masih terngiang di telinga.

"Baru hafal empat juz aja sudah heboh dan bangga, tuh lihat di TV, anak seumuran kamu ada yang sudah hafal 30 juz." 

Kalimat itu begitu menyakitkan bagi Uwais, dan sempat membuat dirinya hampir menyerah, untungnya sang Bunda selalu mendukung dan memberi semangat hingga ia kembali bangkit.

"Sudahlah, Nak, Jangan fikirkan ayahmu, dia itu sedang sibuk dengan dunianya sekarang, fokus saja sama hafalanmu ya." Kesekian kalinya penuturan Fatma mampu menyejukkan hati putranya yang mulai memanas..

Ahza menghela napas yang terasa sesak.

Fatma memang penyejuk jiwa kini ia menyadari, karena hal itu tak pernah ditemukan di dalam sosok istri keduanya.

*

Esok hari

Dering ponsel membuyarkan lamunan Ahza yang sedang bersandar di kursi belakang rumahnya, rindangnya pepohonan membuat hati dan otaknya sejuk dalam sejenak.

Lekas ia meraih gawai dalam saku celananya, terkejut lelaki itu saat melihat layar ponsel.

"Hallo, Pak."

"Iya, Pak Ahza kapan akan membayar sewa tempat, sebentar lagi jatuh tempo, saya hanya mengingatkan jika Bapak tak berniat meneruskan usahanya maka, silakan pindahkan semua barang-barang Bapak dari tempat itu, insyaallah jika Bapak mundur maka akan ada kerabat saya yang akan memakai tempat itu untuk usahanya."

Mendengar itu tangan Ahza bergetar, tubuhnya tiba-tiba mendingin, bimbang itu yang ia rasakan.

"Sa-saya akan lanjutkan kok, Pak, jangan khawatir ya nanti saya akan transfer secepatnya," jawab Ahza berbohong, padahal dia sendiri tak dapat memastikan perkataannya itu benar atau tidaknya.

"Oh baik, Pak, saya kasih waktu sampai abis lebaran ya, saya harap Bapak ga mengulur-ngulur waktu," ungkap si Pemilik tempat usaha itu.

"Baik, Pak."

Telpon terputus, ia menaruh ponsel itu di bangku lalu meremas kepalanya yang terasa berdenyut.

Tak berselang lama sosok Wirda muncul dari arah pintu belakang, senyum manis itu kini tak lagi menyejukkan pandangan, karena dalam benaknya bayangan rasa bersalah terhadap Fatma menari-nari dengan riangnya.

Haruskah kukatakan pada Fatma jika aku menyesal? gumamnya dalam hati.

"Mas, aku mau beli gamis ini ya buat lebaran, modelnya bagus simple dan elegan, harganya cuma 5 juta kok," celetuk Wirda enteng, yang sukses membuat Ahza frustasi seketika.

Ahza mengusap kasar wajahnya, kata-kata pemilik tempat usaha barusan masih terngiang menghantui fikiran, belum lagi rasa penyesalan terhadap Fatma yang tak juga kunjung menghilang kini, Wirda menambahkan beban lagi ke pundaknya.

Ya Tuhan, tak bisakah wanita ini mengerti keadaanku walau sekejap saja, gumam Ahza dalam hatinya.

"Sudahlah lebaran tahun ini ga usah beli baju segala, baju kamu masih banyak, Dek, di lemari pakai saja yang ada." Ahza berusaha membendung rasa kesal.

"Tapi semua gamis itu sudah pernah dipake, Mas, pokoknya aku mau beli lagi, pake dulu tabungan kamu ya, kalau belinya nanti bisa lebih mahal lho, ya Mas." Perempuan itu bergelayut di dada bidang suaminya.

Biasanya ia akan senang jika Wirda bergelayut seperti ini. Namun, tidak dengan saat ini, ia begitu muak pada tingkah lakunya yang tak pernah bijak seperti mantan istrinya.

Pemikiran lelaki itu begitu lemah, hingga bayangan Fatma dengan mudah meluluh lantakan fikirannya.

"Engga usah, Dek, kemahalan itu beli yang 200.000 atau 500.000 saja, Fatma juga sering beli gamis dengan harga segitu, bagus-bagus aja."

Lagi-lagi Fatma!

"Engga mau ah, aku mau yang ini, bahannya bagus adem, ga panas, pokoknya aku mau beli walau kamu ga kasih izin, orang ATM-nya aku yang pegang."

Dengan enteng wanita itu pergi meninggalkan Ahza yang sedang bergelut dengan emosinya.

"Dasar Matre!" 

Ia frustasi, beberapa kali mengacak rambutnya hingga berantakan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Putri Leo
Rasain Ahza
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status