Share

Bab 2 Surat Perjanjian

Mas Harun langsung menekan layar tabletku. Tubuhnya menggigil ketakutan. Begitu juga dengan Raya. Hanya Ibu mertua yang menundukan kepalanya sambil memijat pelipis. Entah apa alasan yang benar Mas Harun memutuskan untuk menikah lagi. Aku sama sekali sudah tidak peduli. Karena aku sudah mendapat bukti jika Mas Harun dan Raya pernah berzina sebelum menikah.

“Kamu lupa kalau aku sempat jadi programmer selama tiga tahun sebelum memutuskan resign setelah kita menikah ya Mas?” Tanyaku dengan nada sinis.

“Mudah saja bagiku untuk membobol data di akun sosial mediamu dan Raya. Asal kamu tahu, istri mudamu itu yang sudah membagikan video ini di akun sosial medianya. Dia ingin menarik perhatian masa tapi dengan cara memblokir akun sosial media kita.”

“Apa? Jangan percaya pada Mbak Wulan Mas. Aku tidak pernah melakukan hal itu.” Bantah Raya mengelak tudinganku.

“Diam kamu.” Bentak Mas Harun marah.

“Awalnya aku ingin melaporkan kalian karena sudah menikah tanpa ijin istri pertama. Tapi, ternyata kalian sudah melakukan zina lebih dulu.” Mas Harun langsung berlutut di kakiku.

“Aku minta maaf Lan. Ini semua jebakan Raya agar aku mau menikah dengannya.”

“Mas Harun.” Jerit Raya tidak terima.

“Bangun Mas. Masih ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu.” Kataku acuh padanya. Ibu mertua menarik tangan putranya agar kembali duduk di sofa. 

Kedua matanya masih melirikku sinis. Padahal mereka yang bersalah. Tapi, dia juga yang marah. Membuatku berusaha menahan rasa jengkel dalam hati. Apa dia tidak ingat dengan semua uang yang sudah aku berikan padanya dan anak bungsunya?

“Apa Raya satu-satunya wanita yang pernah tidur denganmu?” 

“Jangan fitnah anakku Wulan.” Sela Ibu mertua tidak terima.

“Diam Bu. Karena aku sedang bicara dengan suamiku. Bukan dengan Ibu.” Balasku pelan berusaha menekan emosi. Mas Harun segera memegang tangan Ibunya agar tidak menyela percakapan kami lagi.

“Sumpah demi Allah Lan. Aku hanya pernah tidur dengan Raya sebelum menikah. Itupun karena dia yang menjebakku lebih dulu.”

“Aku sama sekali tidak menjebak kamu Mas. Kita berhubungan karena saling menyukai.” Sanggah Raya masih tidak terima dengan perkataan suami kami.

“DIAM. AKU SEDANG BICARA DENGAN WULAN.” Teriak Mas Harun hingga membuat tubuhku berjengit kaget.

Raya dan Ibu mertua juga sudah terdiam dengan wajah pucat pasi. Baru kali ini aku melihat Mas Harun berubah jadi sangat menyeramkan seperti tadi. Membuatku jadi bertanya-tanya apakah sikapnya selama sepuluh tahun pernikahan kami adalah palsu.

“Kamu percaya padaku kan Lan?” Tanya Mas Harun dengan nada memelas.

“Untuk saat ini ya. Aku akan percaya padamu. Mudah-mudahan saja kamu jujur. Karena aku nggak mau tertular penyakit seks darimu.”

“Jangan bicara sekasar itu Wulan. Harun bukan pembawa penyakit.” Ibu mertua kembali bersuara karena tidak terima aku sudah menjelek-jelekkan putra kebanggannya.

“Memang begitu adanya Bu. Orang yang sering jajan itu lebih rentan terjangkit penyakit.” Balasku tidak mau kalah.

“Jika sampai itu terjadi hingga membahayakan nyawaku, aku akan langsung menuntutmu Mas.” Ancamku tidak main-main. Dia menganggukan kepalanya berulang kali.

“Kamu bisa pegang perkataanku dengan baik. Aku akan berusaha bersikap adil untukmu dan Raya.” Kata Mas Harun yang masih berusaha meyakinkanku. Aku mendengus tidak percaya. Bersikap adil? Apakah dia bisa membagi uang sepuluh juta untukku, Raya dan Ibunya?

“Jangan hanya mengumbar janji saja. Aku ingin kamu menandatangani surat perjanjian ini. Besok aku akan membawanya ke notaris.”

Map itu sudah terpampang di atas meja. Mas Harun langsung mengambilnya. Setiap pasal yang tertera dalam surat perjanjian itu membuat matanya semakin melebar. “Apa-apaan ini Lan? Kenapa kamu tetap minta nafkah sebesar lima juta? Kamu tahu sendiri kalau aku harus membagi nafkahku jadi tiga.”

“Salah kamu sendiri kenapa nikah lagi? Selama Raya belum memiliki anak, kamu tidak boleh mengurangi jatah nafkah untukku dan anak-anak kita.” Ujarku sambil menunjuk surat perjanjian di atas meja.

Raut wajah Mas Harun yang semakin muram membuat Ibu mengambil surat perjanjian itu. Sama seperti Mas Harun tadi, Ibu mertua kini menatapku dengan pandangan tidak percaya.

“Kenapa Ibu harus bagi jatah juga untukmu dan Raya? Yang melakukan poligami itu Harun. Bukan Ibu.” Kata Ibu mertua yang membuat Raya yang ikut membaca surat perjanjian itu mendelik tajam padaku.

“Memang. Tapi, Raya juga harus merasakan jadi menantu Ibu itu seperti apa. Ibu dan Mas Harunkan sepaket. Benarkan Mas?” 

“Apa maksud Mbak Wulan tadi Mas?” Tanya Raya tidak mengerti. Aku menikmati selarik rasa takut yang nampak di kedua bola matanya.

Dasar perempuan tidak tahu malu. Dia hanya tahu enaknya saja karena melihat dari luar. Raya sama sekali tidak tahu perjuanganku selama menikah dengan Mas Harun. Demi meraih cinta Ibu mertua untukku, aku rela membayar biaya kuliah kedokteran adik iparku yang tidak sedikit. Sekarang aku tidak akan mau melakukannya lagi. Raya juga harus merasakan hal yang sama sepertiku saat dia menjadi istri kedua Mas Harun.

“Selain Mas Harun yang membagi jatah waktu di antara aku dan Raya, Ibu juga harus melakukannya.”

“Hah enggaklah. Rumah Raya itu kecil. Lebih enak tinggal disini.” Tolak Ibu mertua tidak mau.

“Nggak. Ibu harus bolak-balik dari rumahku ke rumah Raya. Ingat rumah ini adalah rumah warisan orang tuaku. Sama sekali tidak ada hak Mas Harun dalam rumah ini. Bahkan saat aku merenovasi rumah ini setelah kepergian orang tuaku, aku dan Mas Harun belum menikah.” Tegasku yang membuat Ibu mertua hanya bisa terdiam.

“Jangan seperti inilah dek. Kamu tahu sendiri rumah orang tua Raya itu kecil. Belum lagi ada dua adik Raya yang lain. Ibu mau tidur dimana?” Pinta suamiku dengan nada mengiba. Aku mengedikan bahu acuh.

“Terserah. Bukan urusanku. Kenapa kamu mikir mau tidur di rumah orang tua Raya? Cari kontrakan saja apa susahnya sih?”

“Kalau Mbak Wulan masih minta nafkah dari Mas Harun, dia nggak akan bisa cari kontrakan dan memenuhi kebutuhan kami sekaligus.” Sungut Raya yang mulai menampakan amarahnya. Aku terkekeh pelan.

“Nah itu tahu. Kenapa kalian menikah lagi kalau nggak bisa cari rumah kontrakan. Apa kamu mau mengajak Raya tinggal disini Mas?”Tanyaku pada suami kami. Membuat  Mas Harun langsung menggelengkan kepalanya.

“Nggak dek. Jangan bahas tentang hal itu. Aku mohon tetap ijinkan Ibuku tinggal di rumahmu. Akan aku lebihkan nafkahmu daripada Raya dan Ibu.”

“Jangan gitu dong Mas.”

“DIAM.” Bentak Mas Harun lagi di luar kendali. Apakah ini sifat aslinya yang tersembunyi dariku selama sepuluh tahun kita menikah?

“Keputusanku tetap sama. Bawa Ibu bolak-balik dari rumahku ke rumah Raya. Karena istri keduamu itu juga harus membuat makanan yang sesuai dengan selera Ibu. Mencuci pakaiannya dengan tangan, menjemur, hingga menyetrika pakaian Ibu sampai rapi. Dengan kedua tangannya sendiri. Bukankah selama ini aku selalu melakukan hal itu sendiri tanpa meminta tolong pada Bude Yah karena Ibumu yang meminta?”

“Apa? Kok jadi menantu yang mengerjakan semua itu? Apa gunanya ada mesin cuci kalau nggak di pakai.” Protes Raya tidak terima.

“Memang kamu nggak di kasih tugas seperti itu sama Mas Harun dan Ibu mertua kita?” Sindirku tajam sambil menatap ke arah Ibu mertua yang sudah menundukan kepalanya.

“Oke aku setuju. Hanya itu sajakan syaratnya?” Aku menggelengkan kepala.

“Tentu saja tidak. Syarat kedua, aku tidak akan membayar biaya kuliah kedokteran Rani secara full.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status