"Solandia tak pernah menangis. Walaupun ribuan prajurit mengoyak. Dia tetap kokoh berdiri. Menunggu anak yang diharap," Pendongeng menyelesaikan sajaknya, dan mulai melanjutkan kisahnya.
Dia berekspresi sedih. "Anak-anak yang terserak, tercerabut dari akar, tak punya lagi tempat bernaung. Meninggalkan ibunya dalam kesendirian.""Ibu yang menunggu dalam sunyi itu kini telah bangkit. Ia memanggil setiap anaknya yang terlahir dari keberanian, setiap anak yang ditempa dengan air mata, dan setiap anak yang pernah menjanjikan genggaman tangannya!" pekik pendongeng."Pemberani lahir dari Solandia ... pemberani menggenggam claymore!" pungkas pendongeng itu.Prok ... prok ... prok ... ramai para pendengar memberikan tepuk tangan pada pendongeng keliling yang baru saja menyelesaikan ceritanya. Jaden tersenyum sekilas, menghabiskan minumannya, dan berjalan mendekati gadis kecil yang sedang mengedarkan kotak untuk mengumpulkan uang.Dipanggilnya si gadis, ditatapnya wajahnya, sambil tersenyum lebar diberikannya sekeping uang emas di telapak tangan si gadis. Tanpa menoleh dia berjalan pulang menuju barak, tak dilihatnya binar mata kegembiraan si gadis kecil, atau tatapan heran penonton lain yang merasa heran atas besarnya pemberian Jaden.*Teringat akan sore kemarin, Jaden merasa yakin. Sesuatu yang besar akan terjadi. Sang raja meminta Solandia. Gerland sekali lagi akan menjadi satu kesatuan yang utuh. Yang hilang akan kembali.Hari ini, secara resmi Jaden diijinkan untuk masuk ke ruang bawah tanah benteng untuk berlatih dan belajar. Semangatnya memuncak, Jaden yang belum diijinkan untuk menantang seorang knight memaksakan diri untuk melawan seorang knight."Hei pemula ... disini bukan tempat untuk bermain!" tegur Letnan Jendral Milan Rainer, wakil dari Cedric, seorang grand knight veteran, yang telah lama berjuang bersamanya. Ia mengomeli Jaden panjang lebar. "Belum waktunya kau meminta latih tanding melawan seorang knight. Pergilah ke ruang perpustakaan, dan lakukan sesuatu yang bermanfaat disana."Jaden terdiam, dia disini bukan untuk membaca buku. Dia harus menjadi lebih kuat. Solandia memanggil, dan Jaden merasa terpanggil. "Buku bukan untuk pemberani. Seorang pemberani seharusnya memegang claymore," batinnya. "Maaf, saya tak ada waktu untuk membersihkan debu di perpustakaan. Prajurit sejati tidak untuk membersihkan debu Sir!" bantah Jaden tanpa rasa ragu.Suasana menjadi hening. Knight yang sedang berlatih tak ada yang melanjutkan gerakannya. Mereka menatap Jaden dengan seribu satu perasaan. Ada yang marah dan tampak siap untuk memberi pukulan peringatan. Ada pula yang mulai memanaskan suasana, meminta hukuman kode etik untuk Jaden.Melawan perintah atasan, adalah hal yang paling tabu bagi seorang prajurit. Terutama dihadapan Letjen Milan Rainer, tiang penyangga pasukan benteng Carthania. Dialah sang penegak hukum dan aturan militer dalam pasukan. "Ambilkan Nibellung!" perintah Letjen Milan.Seorang knight bergegas untuk mengambil barang yang dimaksud. Beberapa suara mulai terdengar berbisik."Eksekusi ditempat sepertinya … sayang padahal masih muda.""Mungkin letjen ingin sedikit berlatih. kesempatan langka untuk melihat aksi Letjen Milan 'the horn collector' Rainer yang legendaris," celetuk seorang prajurit.Pengumpul tanduk adalah julukan Letjen Milan yang termasyhur di seluruh Carthania. Julukan yang didapat dari pertempuran melawan suku Barbar utara. Hanya pimpinan pasukan dan pahlawan perang yang mengenakan helm bertanduk di suku Barbar utara.Selain mengumpulkan tanduk, dia juga memiliki sebuah kapak besar dan berat yang bernama Nibellung. Kapak itu dulunya milik pahlawan perang dari suku Janggut Panjang. Suku Barbar utara dapat dibedakan dari janggutnya, dan yang terkenal paling ganas dan pemberani adalah suku Janggut Panjang. Kapak itu sekarang menjadi alat favoritnya untuk mengeksekusi penjahat atau pelanggar berat hukum militer."Mantap … provokasiku berhasil. Ini sebuah kesempatan untuk menunjukkan kemampuanku," harap Jaden dalam hati. "Aku berhasil selamat dengan luka memar dari pelatihan khusus melawan jendral. Dari kabar yang ada, semua seniorku mengalami patah tulang dihari pertama pelatihan mereka," batin Jaden yang merasa bangga atas pencapaian luka memar dan benjolan di kepalanya."Melawan orang nomor dua di benteng, harusnya aku bisa melakukan sesuatu," yakin Jaden untuk membulatkan tekadnya.Jaden mengatur nafasnya, merilekskan seluruh bagian tubuhnya, dan mulai berkonsentrasi penuh. Matanya waspada mengawasi setiap gerakan musuhnya. Dia mencoba bernafas sepelan mungkin, mulai menganalisa setiap gerakan yang mungkin terjadi."Kemarilah!" panggil Letjen Milan. Terkejut akan panggilan itu, seluruh konsentrasi Jaden buyar. Dengan enggan dia berjalan pelan menuju Letjen Milan.Letjen Milan tersenyum tipis. "Cobalah ini!" Dengan santai kapak yang tampak mengerikan itu diberikan pada Jaden.Jaden menerima kapak itu. Mendadak dia kehilangan keseimbangannya. Kapak ini bukan senjata biasa. Ini sangat berat, satu tangannya tak sanggup menahan beban beratnya. Dengan kedua tangannya, Jaden memegang erat kapak tersebut. Mencoba sekuat tenaga, kapak itu tetap tidak terangkat. Jaden terhuyung kedepan, dan hendak melepaskanya.Tap … sesaat sebelum kapak itu jatuh, seorang knight dengan sigap menahan kapak itu dengan satu tangannya. "Bodoh! Dasar pemula! Benda ini adalah piala tanda kemenangan kita. Bukti bahwa kita tidak takut pada suku Barbar yang terbelakang itu," maki hampir sebagian besar prajurit yang ada disana kepada Jaden.Jaden terdiam dan merasa sangat malu. Dia melihat kapak itu diberikan pada seorang knight yang badannya lebih kecil darinya. Knight tersebut dengan santainya membawa dan meletakkan kapak itu pada dudukannya."Lakukan apa yang kau mau." Letjen Milan menepuk pundak Jaden dan berjalan pergi. "Aku ada rapat penting dengan jendral. Lanjutkan latihan kalian.""Siap komandan!" jawab serempak dari semua yang ada sambil memberi hormat.**Letjen Milan berjalan pelan menuju rumah walikota. Count Armand sudah menunggu dengan gelisah didepan rumahnya. Dia tampak mondar-mandir, sambil sesekali melihat ke arah barak militer."Sabarlah Count, mungkin Sir Milan masih ada urusan penting," ujar Hector yang merupakan sekretaris walikota."Mana ada urusan lain yang lebih mendesak, selain urusan ini!" sentaknya keras. Count Armand tampak lelah, wajah bulat yang biasanya selalu tersenyum, kini telah tampak dua pasang kantung mata yang menambah kesan bulat pada wajahnya. "Hadiah itu ... apa yang harus kita lakukan dengan hadiah itu?" gumamnya.Count Armand terus berjalan mondar-mandir sambil menggumamkan kata-kata yang tak terdengar jelas."Bukankah sudah seharusnya kita berikan saja pada yang berhak? Hadiahnya biar menjadi urusan penerimanya, maka selesai masalah anda Count," saran Hector."Itu ... tidak semudah itu Hector!" tegas Count Armand. "Memberikan hadiah itu pada Cedric, justru menjadikan masalah baru yang akan sulit kita selesaikan.""Ehm … Count ... apa jangan-jangan Anda membuka kotak hadiah yang bersegel kerajaan itu?" tanya Hector dengan hati-hati."Iya ... tentu saja aku membukanya, jika aku tidak membukanya, bagaimana aku bisa tau isi dari hadiah itu!" jawab Count Armand dengan kesal."Anda dalam masalah besar ... kepala Anda mungkin akan hilang dalam waktu dekat. Merusak segel kerajaan tanpa hak membukanya itu hukumnya sama dengan pengkhianatan!" pekik Hector dengan nada khawatir."Kepalaku masih akan bersamaku dalam waktu yang lama! Merusak segel itu tidak akan menjadi pelanggaran, karena si utusan itulah yang sebenarnya merusaknya. Dia memaksaku untuk mengirimkan pada Cedric, dengan syarat tidak boleh melihat isinya," ungkap Count Armand."Jadi ... apa sebenarnya isi dari hadiah itu?" tanya Letjen Milan tiba-tiba."Lho ... sejak kapan kau tiba?" sapa Count Armand sambil langsung memeluk erat sahabat karibnya itu."Sudah lama, aku sudah tau sebagian besar ceritanya. Bagian pentingnya saja! Apa yang menjadi isi dari hadiah itu, bukankah sudah biasa Cedric menerima hadiah dari kerajaan?" berondong letjen yang tak sabaran itu."Ayo kita kekantor, lihat sendiri apa isinya," ajak Count Armand membawa mereka semua kedalam kantornya. "Bukalah, dan lihat isinya." Hector segera membuka peti kayu yang sangat mewah dan indah itu."Ini!" pekik Letjen Milan terkejut melihat isi peti tersebut."Ya ... benda yang seharusnya tak boleh berada dimanapun. Claymore yang patah ini adalah persembahan Cedric untuk Raja Pantheron August II. Pedang yang patah ini ikut diletakkan dalam peti mati mendiang raja, bagaimana bisa benda ini berada disini?" ratap Count Armand."Dugh! Bangun! Kemana perginya kawanmu itu?" Seorang pria menendang Stab dan menginterogasi orang yang baru saja tak sadarkan diri.Sekelompok tawanan yang tadinya merasa gagah, menjadi sedikit ciut nyalinya. Tanpa seorangpun yang menyadari, Romeo telah berhasil meloloskan diri. Hilang lenyap bersama tali yang mengikat dirinya."Apa kalian lalai menggeledah bandit itu? Jangan-jangan dia menyembunyikan pisau di badannya" gerutu pria yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin perlawanan itu. Stab terbangun akibat rasa sakit dari tendangan keras di rusuknya. Wajah-wajah asing yang tak pernah diingatnya sama sekali, sedang mengerumuninya. Stab adalah penjahat sejati berdarah dingin, dia tidak pernah mengingat wajah para korban yang terlihat sama di matanya.Wajah seperti domba, yang biasanya memohon untuk kehidupannya itu nampak berbeda kali ini. Ada sorot amarah dan harapan di wajah yang tidak lagi merana itu. Harapan untuk memutus sebuah mata rantai kekejaman dan kejahatan."Gel
"Bandit?" Mata Jenderal Cedric menunjukkan gairah yang lama terpendam."Tunggu sebentar! Aku ikut, sudah lama aku mendengar insiden di Desa Mapple. Urusan warga kota biarlah diatur oleh Sir Milan dan Hector, sebentar lagi juru arsip yang terluka itu pulih dan bisa membantu mereka," seloroh Jendral yang sedang bosan itu."Sir Milan berpesan agar anda tetap di markas," tutur Jaden dengan nada segan. "Duke Robert hendak bertemu secara pribadi. Ada hal penting yang hendak disampaikan beliau," tegasnya."Aish … kirim utusan pada Duke Robert, katakan aku akan mengunjunginya segera. Menjaga keamanan wilayah itu lebih penting," sergah Jenderal Cedric."Ini bukan masalah besar Jenderal," cegah Jaden, yang lebih takut dengan amarah Sir Milan. "Kami hanya membantu regu yang bertugas, untuk menutup jalan keluar dari Desa Mapple, agar seluruh bandit dapat tertangkap. Regu yang dipimpin Sir Aiden sangat yakin bisa mengatasi bandit-bandit itu," bebernya."Hm … Sir Aiden sampai turun tangan sendiri y
"Rom! Kabar buruk, hosh … hosh … berikan aku minum," pinta Stab yang nampak habis berlari sekuat tenaga."Ada apa? Apa rencana kita gagal? Apakah rombongan ketua tertangkap?" buru Romeo tak sabaran.Stab menghabiskan air dalam kantung itu. Nafasnya belum pulih sepenuhnya. "Parah … lebih parah lagi," semburnya menambah kekhawatiran Romeo."Apa yang bisa lebih parah dari tertangkap?" cebik Romeo."Kabur! Ketua dan rombongannya tidak membuat kerusuhan seperti rencana awal. Dia melanjutkan perjalanan dan meninggalkan desa menuju perbatasan!" pekik Stab. "Kita ditinggalkan di hutan ini, aku yakin dia menggunakan kita untuk mengalihkan perhatian.""Apa kau yakin?" lirih Romeo."Aku melihat sendiri! Seperti biasa aku memilih posisi paling aman, jadi aku memilih rombongan ke dua setelah rombongan ketua melumpuhkan penjaga," urai Stab. "Ternyata hanya lima orang yang bersedia menjadi rombongan pertama untuk membuka jalan.""Hm … hanya lima orang? Tanpa kehadiran ogre itu sama saja misi mengant
"Wow … benar-benar sembuh," puji Coman. "Jangan-jangan kau ini benar-benar ogre.""Hahaha … mana ada ogre yang berniat berhutang duapuluh keping uang emas dengan ganti sebuah pedang," balas Jack. "Biaya melintas sampai Gothlandia itu memakan lebih dari lima keping. Kecuali kau melewati daerah kaum barbar, bebas biaya masuk.""Kau benar-benar hebat kawan," puji Coman sambil mengganti kain perban di lengan kiri Argon. "Kau bertahan hidup hanya demi menyampaikan kabar mengenai rekan-rekanmu yang gugur di pertempuran sepuluh tahun yang lalu."Jack tersenyum dan mengembalikan pedang besar itu pada Argon. "Maaf, kami membaca surat dan daftar nama itu tanpa seijinmu."Argon membalas dengan senyuman pedih di hatinya. Betapa dia mengutuk ketidak mampuannya sendiri. Usaha sederhana untuk mengakhiri kehidupannya yang hitam dan kelam itupun gagal, di tangan ksatria yang diharap bisa menolongnya."Maafkan aku juga bila meminta kalian melakukan hal yang di luar kemampuan," balas Argon. "Mencari sem
"Tak bisa dibiarkan! Keluarga Durandal itu sejak dulu selalu kurang ajar," geram seorang bangsawan tua sambil merobek sepucuk surat."Pelayan! Panggil cucuku kemari, ada yang hendak kubicarakan," perintahnya tegas. "Berani-beraninya si tua bangka itu mencoba mencari jodoh untuk cucuku," gerutu Sir Duval.Si pelayan segera berlari tergopoh-gopoh menuju ruang berlatih. Ruangan itu sedang ramai para prajurit dan ksatria yang sedang mengelilingi dan menyoraki sebuah duel yang sedang berlangsung. Tak ada satupun yang mempedulikan omongan pelayan yang sedang mencari cucu Sir Duval.Susah payah pelayan bertubuh kecil itu menerobos kerumunan. Seketika lututnya lemas melihat orang yang sedang berduel. Tuan muda Aaron sang cucu Sir Duval sedang mempertaruhkan nyawa melawan seorang royal knight dari istana."Trang! Trang! Trang!" suara tiga kali pukulan penuh tenaga ksatria itu ditangkis Aaron.Ksatria itu tampak santai dan meremehkan. Sekilas dia melirik ke arah penonton. Seorang pemuda berpaka
"Brengsek! Mengapa tak ada yang membangunkan aku!" raung Romeo. "Hampir tengah hari, mana ketua?" tanyanya lagi dengan nada khawatir. Baru kali ini dia merasa menyesal meninggalkan kesempatan untuk melihat sapaan mentari terbit. "Hahaha … tenang, aku juga bangun kesiangan. Ketua sudah pergi bersama Bernie untuk mengintai," jawab Stab. "Ketua agak cemas karena kita sudah tidak memiliki senjata pemusnah lagi. Lagipula … tak ada seorangpun yang berani mengganggu tidurmu. Hehehehe."Dengan malas Romeo bangun dan berjalan pelan untuk membasuh muka. Kepalanya masih berdenyut, akibat efek minuman semalam. Kesadarannya masih belum pulih sepenuhnya, namun dia cukup sadar untuk menyadari kegiatan rekan-rekannya."Mengapa kalian sudah membongkar tenda-tenda itu?" tanya Romeo pada seorang bandit."Kita akan pulang, misi selesai," jawab bandit itu sambil mengikat erat kain tenda."Kita akan menyamar menjadi pedagang, mengelabui penjaga dan membuat kerusuhan begitu masuk desa itu," sela Stab. "Se