Share

4. Rumah

Author: Nicko Wibowo
last update Last Updated: 2023-06-13 12:22:47

"Raja perang telah tiba!" teriak pendongeng.

Dia melanjutkan dengan ekspresi takut. "Raja kejam itu seperti bukan manusia. Besar, berbulu lebat, dengan tinggi lebih dari dua meter, lengan dan betisnya sangat kokoh, seperti batang pohon oak."

Wajah pendongeng itu menunjukkan rasa muak. "Prajuritnya harus menyediakan seekor rusa atau beruang utuh, untuk makan malamnya."

"Raja kejam ini ingin melahap Solandia!" jerit si pendongeng menyayat hati.

Si pendongeng berhenti sejenak untuk memberi efek hening pada pendengar yang terlihat mulai terhanyut suasana. Diarahkannya seluruh pandangan ke pendengar yang ada.

Di meja paling ujung di bar itu, dia melihat sosok yang dinantikanya. Pendongeng itu tersenyum samar ketika melihat sosok itu.

Jaden duduk termenung, tak dihiraukannya suara si pendongeng yang seru menceritakan kisah kepahlawanan Solandia. Jovan sahabat karibnya tampak menghayati kisah tersebut. Air matanya menetes, ketika si pendongeng menceritakan kesengsaraan yang dialami Solandia, amarah tampak diwajahnya, ketika si pendongeng menceritakan tentang kekejaman raja perang. Kerinduan nampak sangat jelas, ketika si pendongeng menceritakan keindahan Solandia. Tanah kelahiran yang tak pernah dilihatnya lagi.

"Ayo pulang, habiskan minumannya," ajak Jovan yang berdiri dan membayar minuman mereka.

"Pulang? Kemana? Ke Solandia?" jawab Jaden lirih, seakan baru bangun dari tidur yang panjang.

"Barak peleton infanteri, lah! Itulah rumah kita sekarang!" Jovan berkata sambil memberikan sekeping uang emas pada si gadis kecil.

"Ayo cepat, nanti malam aku dapat jadwal jaga malam. Aku harus bersiap setelah jam makan malam," Jovan berjalan terburu-buru menuju barak mereka.

"Tunggu sebentar, aku lupa memberikan surat ini pada tuan Hector," decak Jaden sambil menghentikan langkahnya. "Kau ... pulanglah duluan, aku harus menyerahkan surat ini."

Jovan terdiam, tidak biasanya Jaden sahabatnya itu melalaikan tugasnya. Dalam hati dia merasa bersimpati pada Jaden. Dia merasa bahwa Jaden masih terpukul karena insiden kapak sialan itu. Jaden telah menjadi bahan pembicaraan dan candaan di seluruh benteng.

Pagi ini, secara sengaja, regu unit dapur membelah kayu bakar menggunakan kapak dan saling bercanda, persis didepan barak peleton Jaden. Sebuah tempat yang tidak biasanya mereka pakai. Andai mereka bukan unit khusus, mau rasanya Jovan menghajar mereka untuk membela harga diri Jaden. Sayang sekali dia tidak bisa melakukannya.

Bersama unit medis, unit dapur adalah segalanya bagi prajurit yang berperang. Jovan mungkin harus menghadapi seluruh kesatuan bila berani menyakiti unit dapur. Bila tak beruntung berurusan dengan unit dapur, mereka bisa mengurangi jatah makan satu peleton, atau malah mengerjai lawan dengan berbagai macam trik melalui makanan yang dibagikan.

Jovan segera bersiap untuk berangkat patroli malam. Sebelum berangkat, dia menuju kantor untuk melapor penugasannya. "Mantap!" pekiknya sambil tersenyum bahagia. "Menjaga rumah count … tak ada tugas yang sesulit ini, hanya aku yang bisa melakukannya hehehe…."

Jovan merasa bahwa dia sangat beruntung malam ini. Semua prajurit yang ada di benteng tau, menjaga rumah count adalah berkah. Rumahnya adalah tempat teraman kedua setelah markas militer benteng Carthania.

Tak ada yang perlu diperhatikan, penjaga dipersilahkan untuk istirahat, sering kali diberikan tambahan makanan, dan bila beruntung, bisa melihat sosok cantik putri Carmen.

*

Firasat Jovan ternyata benar. Malam ini dia sangat beruntung. Jovan datang ketika count sedang bersantai di kebun belakang rumahnya. Count Armand sedang bersama putrinya yang sangat cantik, namun tidak pernah sombong dalam pergaulan sehari-hari.

"Itu masalah besar Ayah!" sentak Putri Carmen.

Tak sengaja Jovan mendengar suara seorang gadis muda. Itu pasti suara Putri Carmen. Pintu ditutup dan Jovan tak bisa mendengar suara apapun lagi.

"Ambilah apapun yang anda kehendaki didapur ini. Katakan pada pelayan, bila anda ingin sesuatu seperti teh atau kopi. Hanya alkohol yang dilarang dirumah ini!" instruksi dari kepala pelayan.

Seperti biasanya, kepala pelayan yang kaku ini akan menerima surat penugasan dari prajurit yang dikirim barak. Memberi cap stempel, memberi makanan dan memberi pengarahan. "Lalu untuk malam ini, kau berjaga dikebun belakang."

"Siap Pak! ... seperti biasanya!" sahut Jovan dengan tegas.

Kepala pelayan memandang Jovan dengan pandangan lelah, dan mengulanginya lagi arahannya. "Kebun belakang ... kau berjaga di kebun belakang."

Kepala pelayan berkata dingin dengan wajah yang selalu datar dalam situasi apapun. Salah satu keajaiban dunia menurut Jovan. Wajah yang tak pernah berubah seiring waktu adalah wajah kepala pelayan ini. Wajah datar abadi.

Dengan perasaan heran, Jovan kembali berjalan menuju kebun belakang. Biasanya mereka yang ditugaskan, akan menempati pos penjagaan didepan rumah. Sebuah pos yang lebih mirip kamar di sebuah penginapan. Pos surgawi, sebutan Jovan dan rekan-rekan sejawatnya untuk tempat itu.

"Desa Mapple membutuhkan bantuan segera Ayah. Putri kepala desa adalah salah seorang sahabatku yang baik. Ladang mereka sudah tiga kali ini dirusak oleh sesuatu," rayu Putri Carmen.

"Para penebang kayu, pemburu, dan pedagang yang melintas, juga sering mengalami serangan, kabar terakhir sudah ada korban jiwa Ayah," urainya lagi.

"Ah ... mereka itu terlalu keras kepala, Nak. Andai mereka mau pindah ke selatan benteng, mungkin mereka akan lebih aman," sanggah Count Armand pada putrinya. "Desa itu terlalu jauh dari teritori kita, Cedric selalu pusing memikirkan biaya perawatan pos penjagaan yang ditempatkan disana."

Count Armand mendesah. "Paling lama, hanya dua bulan, pos yang baru diperbaiki akan rusak lagi terkena serangan pengintai musuh atau suku Barbar. Serangan terakhir bahkan menghancurkan seluruh bagian pos, sampai rata dengan tanah."

"Carmen … putriku …." bujuk Count Armand. "Bila kau sangat perduli dengan nasib kawanmu itu ... tolong bantu meyakinkan mereka untuk pindah ke wilayah yang lebih aman."

Pos neraka, mereka pasti sedang membahas pos terkutuk di Desa Mapple. Jovan teringat akan pengalaman mengerikan ketika ditugaskan di desa tersebut. Dalam riwayat kesatuan, dari sebuah regu yang dikirim, paling banyak hanya setengah personel, yang dapat kembali dalam kondisi baik. Cedera berat adalah kondisi baik tersebut.

"Aku beruntung dapat kembali dalam kondisi baik tersebut," kenang Jovan dengan sendu. Ia menyeka setetes air penuh kedukaan, dengan hikmat ia mengenang kawan-kawannya yang gugur di pos neraka tersebut.

"Apa sebenarnya yang diharapkan dari desa sunyi tersebut? Mengapa mereka berkeras hati bertahan didesa itu?" Armand berkata pelan pada dirinya sendiri.

"Ayah!" geram putrinya. "Disanalah tanah kelahiran mereka, turun temurun mereka lahir, hidup dan dikubur disana. Penduduk Carthania yang lahir disana, ketika ajal menjelang, lebih memilih pulang kedesa tersebut untuk dikuburkan disana."

Putri Carmen menegaskan. "Tak ada yang seindah kampung halaman Ayah!"

"Bukankah Ayah sendiri, yang sering mengatakan itu kepada kami. Ketika kawan-kawan Ayah mengajak untuk pindah ke ibukota dan masuk dalam lingkar kekuasaan kerajaan ... apa yang Ayah katakan?" sergah putrinya.

"Tak ada yang seindah kampung halaman…." ratap Jovan lirih, menjawab pertanyaan putri Carmen tersebut. Pikirannya melayang jauh ke setiap lapisan memori dalam kepalanya. Mencoba mengingat kembali seperti apa bentuk dan rupa rumah tempat dia lahir dan dibesarkan. Mengingat kembali setiap teman-teman bermain yang tumbuh dan berkembang bersama. Mengingat kembali wajah kedua orangtuanya dan sanak saudaranya.

Jovan mengalirkan kembali air penyesalan dari dalam lubuk hatinya yang terdalam.

Jovan seorang prajurit terlatih, yang ditempa dalam berbagai situasi demi mempertahankan hidup atau harus mati. Jovan menangis tersedu dalam keheningan malam, dia ternyata tidak bisa mengingat semuanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangkit Dari Putus Asa   48. Di Ujung Tanduk part 1

    "Dugh! Bangun! Kemana perginya kawanmu itu?" Seorang pria menendang Stab dan menginterogasi orang yang baru saja tak sadarkan diri.Sekelompok tawanan yang tadinya merasa gagah, menjadi sedikit ciut nyalinya. Tanpa seorangpun yang menyadari, Romeo telah berhasil meloloskan diri. Hilang lenyap bersama tali yang mengikat dirinya."Apa kalian lalai menggeledah bandit itu? Jangan-jangan dia menyembunyikan pisau di badannya" gerutu pria yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin perlawanan itu. Stab terbangun akibat rasa sakit dari tendangan keras di rusuknya. Wajah-wajah asing yang tak pernah diingatnya sama sekali, sedang mengerumuninya. Stab adalah penjahat sejati berdarah dingin, dia tidak pernah mengingat wajah para korban yang terlihat sama di matanya.Wajah seperti domba, yang biasanya memohon untuk kehidupannya itu nampak berbeda kali ini. Ada sorot amarah dan harapan di wajah yang tidak lagi merana itu. Harapan untuk memutus sebuah mata rantai kekejaman dan kejahatan."Gel

  • Bangkit Dari Putus Asa   47. Menuju ujung tanduk part 2

    "Bandit?" Mata Jenderal Cedric menunjukkan gairah yang lama terpendam."Tunggu sebentar! Aku ikut, sudah lama aku mendengar insiden di Desa Mapple. Urusan warga kota biarlah diatur oleh Sir Milan dan Hector, sebentar lagi juru arsip yang terluka itu pulih dan bisa membantu mereka," seloroh Jendral yang sedang bosan itu."Sir Milan berpesan agar anda tetap di markas," tutur Jaden dengan nada segan. "Duke Robert hendak bertemu secara pribadi. Ada hal penting yang hendak disampaikan beliau," tegasnya."Aish … kirim utusan pada Duke Robert, katakan aku akan mengunjunginya segera. Menjaga keamanan wilayah itu lebih penting," sergah Jenderal Cedric."Ini bukan masalah besar Jenderal," cegah Jaden, yang lebih takut dengan amarah Sir Milan. "Kami hanya membantu regu yang bertugas, untuk menutup jalan keluar dari Desa Mapple, agar seluruh bandit dapat tertangkap. Regu yang dipimpin Sir Aiden sangat yakin bisa mengatasi bandit-bandit itu," bebernya."Hm … Sir Aiden sampai turun tangan sendiri y

  • Bangkit Dari Putus Asa   46. Menuju Ujung Tanduk part 1

    "Rom! Kabar buruk, hosh … hosh … berikan aku minum," pinta Stab yang nampak habis berlari sekuat tenaga."Ada apa? Apa rencana kita gagal? Apakah rombongan ketua tertangkap?" buru Romeo tak sabaran.Stab menghabiskan air dalam kantung itu. Nafasnya belum pulih sepenuhnya. "Parah … lebih parah lagi," semburnya menambah kekhawatiran Romeo."Apa yang bisa lebih parah dari tertangkap?" cebik Romeo."Kabur! Ketua dan rombongannya tidak membuat kerusuhan seperti rencana awal. Dia melanjutkan perjalanan dan meninggalkan desa menuju perbatasan!" pekik Stab. "Kita ditinggalkan di hutan ini, aku yakin dia menggunakan kita untuk mengalihkan perhatian.""Apa kau yakin?" lirih Romeo."Aku melihat sendiri! Seperti biasa aku memilih posisi paling aman, jadi aku memilih rombongan ke dua setelah rombongan ketua melumpuhkan penjaga," urai Stab. "Ternyata hanya lima orang yang bersedia menjadi rombongan pertama untuk membuka jalan.""Hm … hanya lima orang? Tanpa kehadiran ogre itu sama saja misi mengant

  • Bangkit Dari Putus Asa   45. Tersudutkan

    "Wow … benar-benar sembuh," puji Coman. "Jangan-jangan kau ini benar-benar ogre.""Hahaha … mana ada ogre yang berniat berhutang duapuluh keping uang emas dengan ganti sebuah pedang," balas Jack. "Biaya melintas sampai Gothlandia itu memakan lebih dari lima keping. Kecuali kau melewati daerah kaum barbar, bebas biaya masuk.""Kau benar-benar hebat kawan," puji Coman sambil mengganti kain perban di lengan kiri Argon. "Kau bertahan hidup hanya demi menyampaikan kabar mengenai rekan-rekanmu yang gugur di pertempuran sepuluh tahun yang lalu."Jack tersenyum dan mengembalikan pedang besar itu pada Argon. "Maaf, kami membaca surat dan daftar nama itu tanpa seijinmu."Argon membalas dengan senyuman pedih di hatinya. Betapa dia mengutuk ketidak mampuannya sendiri. Usaha sederhana untuk mengakhiri kehidupannya yang hitam dan kelam itupun gagal, di tangan ksatria yang diharap bisa menolongnya."Maafkan aku juga bila meminta kalian melakukan hal yang di luar kemampuan," balas Argon. "Mencari sem

  • Bangkit Dari Putus Asa   44. Surat

    "Tak bisa dibiarkan! Keluarga Durandal itu sejak dulu selalu kurang ajar," geram seorang bangsawan tua sambil merobek sepucuk surat."Pelayan! Panggil cucuku kemari, ada yang hendak kubicarakan," perintahnya tegas. "Berani-beraninya si tua bangka itu mencoba mencari jodoh untuk cucuku," gerutu Sir Duval.Si pelayan segera berlari tergopoh-gopoh menuju ruang berlatih. Ruangan itu sedang ramai para prajurit dan ksatria yang sedang mengelilingi dan menyoraki sebuah duel yang sedang berlangsung. Tak ada satupun yang mempedulikan omongan pelayan yang sedang mencari cucu Sir Duval.Susah payah pelayan bertubuh kecil itu menerobos kerumunan. Seketika lututnya lemas melihat orang yang sedang berduel. Tuan muda Aaron sang cucu Sir Duval sedang mempertaruhkan nyawa melawan seorang royal knight dari istana."Trang! Trang! Trang!" suara tiga kali pukulan penuh tenaga ksatria itu ditangkis Aaron.Ksatria itu tampak santai dan meremehkan. Sekilas dia melirik ke arah penonton. Seorang pemuda berpaka

  • Bangkit Dari Putus Asa   43. Mewujudkan Mimpi

    "Brengsek! Mengapa tak ada yang membangunkan aku!" raung Romeo. "Hampir tengah hari, mana ketua?" tanyanya lagi dengan nada khawatir. Baru kali ini dia merasa menyesal meninggalkan kesempatan untuk melihat sapaan mentari terbit. "Hahaha … tenang, aku juga bangun kesiangan. Ketua sudah pergi bersama Bernie untuk mengintai," jawab Stab. "Ketua agak cemas karena kita sudah tidak memiliki senjata pemusnah lagi. Lagipula … tak ada seorangpun yang berani mengganggu tidurmu. Hehehehe."Dengan malas Romeo bangun dan berjalan pelan untuk membasuh muka. Kepalanya masih berdenyut, akibat efek minuman semalam. Kesadarannya masih belum pulih sepenuhnya, namun dia cukup sadar untuk menyadari kegiatan rekan-rekannya."Mengapa kalian sudah membongkar tenda-tenda itu?" tanya Romeo pada seorang bandit."Kita akan pulang, misi selesai," jawab bandit itu sambil mengikat erat kain tenda."Kita akan menyamar menjadi pedagang, mengelabui penjaga dan membuat kerusuhan begitu masuk desa itu," sela Stab. "Se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status