Share

4. Rumah

"Raja perang telah tiba!" teriak pendongeng.

Dia melanjutkan dengan ekspresi takut. "Raja kejam itu seperti bukan manusia. Besar, berbulu lebat, dengan tinggi lebih dari dua meter, lengan dan betisnya sangat kokoh, seperti batang pohon oak."

Wajah pendongeng itu menunjukkan rasa muak. "Prajuritnya harus menyediakan seekor rusa atau beruang utuh, untuk makan malamnya."

"Raja kejam ini ingin melahap Solandia!" jerit si pendongeng menyayat hati.

Si pendongeng berhenti sejenak untuk memberi efek hening pada pendengar yang terlihat mulai terhanyut suasana. Diarahkannya seluruh pandangan ke pendengar yang ada.

Di meja paling ujung di bar itu, dia melihat sosok yang dinantikanya. Pendongeng itu tersenyum samar ketika melihat sosok itu.

Jaden duduk termenung, tak dihiraukannya suara si pendongeng yang seru menceritakan kisah kepahlawanan Solandia. Jovan sahabat karibnya tampak menghayati kisah tersebut. Air matanya menetes, ketika si pendongeng menceritakan kesengsaraan yang dialami Solandia, amarah tampak diwajahnya, ketika si pendongeng menceritakan tentang kekejaman raja perang. Kerinduan nampak sangat jelas, ketika si pendongeng menceritakan keindahan Solandia. Tanah kelahiran yang tak pernah dilihatnya lagi.

"Ayo pulang, habiskan minumannya," ajak Jovan yang berdiri dan membayar minuman mereka.

"Pulang? Kemana? Ke Solandia?" jawab Jaden lirih, seakan baru bangun dari tidur yang panjang.

"Barak peleton infanteri, lah! Itulah rumah kita sekarang!" Jovan berkata sambil memberikan sekeping uang emas pada si gadis kecil.

"Ayo cepat, nanti malam aku dapat jadwal jaga malam. Aku harus bersiap setelah jam makan malam," Jovan berjalan terburu-buru menuju barak mereka.

"Tunggu sebentar, aku lupa memberikan surat ini pada tuan Hector," decak Jaden sambil menghentikan langkahnya. "Kau ... pulanglah duluan, aku harus menyerahkan surat ini."

Jovan terdiam, tidak biasanya Jaden sahabatnya itu melalaikan tugasnya. Dalam hati dia merasa bersimpati pada Jaden. Dia merasa bahwa Jaden masih terpukul karena insiden kapak sialan itu. Jaden telah menjadi bahan pembicaraan dan candaan di seluruh benteng.

Pagi ini, secara sengaja, regu unit dapur membelah kayu bakar menggunakan kapak dan saling bercanda, persis didepan barak peleton Jaden. Sebuah tempat yang tidak biasanya mereka pakai. Andai mereka bukan unit khusus, mau rasanya Jovan menghajar mereka untuk membela harga diri Jaden. Sayang sekali dia tidak bisa melakukannya.

Bersama unit medis, unit dapur adalah segalanya bagi prajurit yang berperang. Jovan mungkin harus menghadapi seluruh kesatuan bila berani menyakiti unit dapur. Bila tak beruntung berurusan dengan unit dapur, mereka bisa mengurangi jatah makan satu peleton, atau malah mengerjai lawan dengan berbagai macam trik melalui makanan yang dibagikan.

Jovan segera bersiap untuk berangkat patroli malam. Sebelum berangkat, dia menuju kantor untuk melapor penugasannya. "Mantap!" pekiknya sambil tersenyum bahagia. "Menjaga rumah count … tak ada tugas yang sesulit ini, hanya aku yang bisa melakukannya hehehe…."

Jovan merasa bahwa dia sangat beruntung malam ini. Semua prajurit yang ada di benteng tau, menjaga rumah count adalah berkah. Rumahnya adalah tempat teraman kedua setelah markas militer benteng Carthania.

Tak ada yang perlu diperhatikan, penjaga dipersilahkan untuk istirahat, sering kali diberikan tambahan makanan, dan bila beruntung, bisa melihat sosok cantik putri Carmen.

*

Firasat Jovan ternyata benar. Malam ini dia sangat beruntung. Jovan datang ketika count sedang bersantai di kebun belakang rumahnya. Count Armand sedang bersama putrinya yang sangat cantik, namun tidak pernah sombong dalam pergaulan sehari-hari.

"Itu masalah besar Ayah!" sentak Putri Carmen.

Tak sengaja Jovan mendengar suara seorang gadis muda. Itu pasti suara Putri Carmen. Pintu ditutup dan Jovan tak bisa mendengar suara apapun lagi.

"Ambilah apapun yang anda kehendaki didapur ini. Katakan pada pelayan, bila anda ingin sesuatu seperti teh atau kopi. Hanya alkohol yang dilarang dirumah ini!" instruksi dari kepala pelayan.

Seperti biasanya, kepala pelayan yang kaku ini akan menerima surat penugasan dari prajurit yang dikirim barak. Memberi cap stempel, memberi makanan dan memberi pengarahan. "Lalu untuk malam ini, kau berjaga dikebun belakang."

"Siap Pak! ... seperti biasanya!" sahut Jovan dengan tegas.

Kepala pelayan memandang Jovan dengan pandangan lelah, dan mengulanginya lagi arahannya. "Kebun belakang ... kau berjaga di kebun belakang."

Kepala pelayan berkata dingin dengan wajah yang selalu datar dalam situasi apapun. Salah satu keajaiban dunia menurut Jovan. Wajah yang tak pernah berubah seiring waktu adalah wajah kepala pelayan ini. Wajah datar abadi.

Dengan perasaan heran, Jovan kembali berjalan menuju kebun belakang. Biasanya mereka yang ditugaskan, akan menempati pos penjagaan didepan rumah. Sebuah pos yang lebih mirip kamar di sebuah penginapan. Pos surgawi, sebutan Jovan dan rekan-rekan sejawatnya untuk tempat itu.

"Desa Mapple membutuhkan bantuan segera Ayah. Putri kepala desa adalah salah seorang sahabatku yang baik. Ladang mereka sudah tiga kali ini dirusak oleh sesuatu," rayu Putri Carmen.

"Para penebang kayu, pemburu, dan pedagang yang melintas, juga sering mengalami serangan, kabar terakhir sudah ada korban jiwa Ayah," urainya lagi.

"Ah ... mereka itu terlalu keras kepala, Nak. Andai mereka mau pindah ke selatan benteng, mungkin mereka akan lebih aman," sanggah Count Armand pada putrinya. "Desa itu terlalu jauh dari teritori kita, Cedric selalu pusing memikirkan biaya perawatan pos penjagaan yang ditempatkan disana."

Count Armand mendesah. "Paling lama, hanya dua bulan, pos yang baru diperbaiki akan rusak lagi terkena serangan pengintai musuh atau suku Barbar. Serangan terakhir bahkan menghancurkan seluruh bagian pos, sampai rata dengan tanah."

"Carmen … putriku …." bujuk Count Armand. "Bila kau sangat perduli dengan nasib kawanmu itu ... tolong bantu meyakinkan mereka untuk pindah ke wilayah yang lebih aman."

Pos neraka, mereka pasti sedang membahas pos terkutuk di Desa Mapple. Jovan teringat akan pengalaman mengerikan ketika ditugaskan di desa tersebut. Dalam riwayat kesatuan, dari sebuah regu yang dikirim, paling banyak hanya setengah personel, yang dapat kembali dalam kondisi baik. Cedera berat adalah kondisi baik tersebut.

"Aku beruntung dapat kembali dalam kondisi baik tersebut," kenang Jovan dengan sendu. Ia menyeka setetes air penuh kedukaan, dengan hikmat ia mengenang kawan-kawannya yang gugur di pos neraka tersebut.

"Apa sebenarnya yang diharapkan dari desa sunyi tersebut? Mengapa mereka berkeras hati bertahan didesa itu?" Armand berkata pelan pada dirinya sendiri.

"Ayah!" geram putrinya. "Disanalah tanah kelahiran mereka, turun temurun mereka lahir, hidup dan dikubur disana. Penduduk Carthania yang lahir disana, ketika ajal menjelang, lebih memilih pulang kedesa tersebut untuk dikuburkan disana."

Putri Carmen menegaskan. "Tak ada yang seindah kampung halaman Ayah!"

"Bukankah Ayah sendiri, yang sering mengatakan itu kepada kami. Ketika kawan-kawan Ayah mengajak untuk pindah ke ibukota dan masuk dalam lingkar kekuasaan kerajaan ... apa yang Ayah katakan?" sergah putrinya.

"Tak ada yang seindah kampung halaman…." ratap Jovan lirih, menjawab pertanyaan putri Carmen tersebut. Pikirannya melayang jauh ke setiap lapisan memori dalam kepalanya. Mencoba mengingat kembali seperti apa bentuk dan rupa rumah tempat dia lahir dan dibesarkan. Mengingat kembali setiap teman-teman bermain yang tumbuh dan berkembang bersama. Mengingat kembali wajah kedua orangtuanya dan sanak saudaranya.

Jovan mengalirkan kembali air penyesalan dari dalam lubuk hatinya yang terdalam.

Jovan seorang prajurit terlatih, yang ditempa dalam berbagai situasi demi mempertahankan hidup atau harus mati. Jovan menangis tersedu dalam keheningan malam, dia ternyata tidak bisa mengingat semuanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status