Home / Fantasi / Bangkit Dari Putus Asa / 8. Jejak Berdarah

Share

8. Jejak Berdarah

Author: Nicko Wibowo
last update Last Updated: 2023-06-15 11:33:04

"Bersihkan noda darah ini. Selesaikan sebelum para pelayan bangun dan mulai berdatangan," perintah Hector. "Sebelum matahari terbit, aku harus meninggalkan tempat ini, atau orang-orang akan curiga. Aku akan mengurus yang di dalam," Hector menutup pintu dan terdengar suara perabotan bergeser.

Durant bergegas ke arah dapur. Setelah mengganti pakaiannya, dia merebus air dan menyiapkan kain untuk mengelap bekas noda darah. Diambilnya sekantong bubuk kopi. Dalam hatinya Durant merasa berat menggunakan bubuk hitam kecoklatan nan harum menyegarkan itu, untuk menutupi bau amis darah. "Benar-benar malam yang berat kali ini," gumamnya.

Dalam hati dia merasa curiga dengan stoples tempat penyimpanan kopi dan gula yang berantakan. "Ada tikus di rumah ini. Esok harus dilakukan perburuan," Durant tidak menyadari bahwa itu semua adalah ulah Jovan, yang tak pernah menyeduh kopi atau teh seumur hidupnya. Segera Durant membersihkan meja kerja para juru masak. Mereka sangat sensitif akan kebersihan dan tata letak alat kerjanya.

Durant membersihkan noda darah di lantai seorang diri. Dengan cepat disekanya noda darah dengan air panas dan digosoknya sampai tak ada noda tersisa. Setelah bersih, ditaburkannya bubuk kopi di sekitar area bekas noda darah. Diambilnya pedang yang telah membantunya meraih kemenangan, lalu bergegas dia turun untuk membersihkan pedang itu.

Dengan hati-hati Durant membersihkan noda darah di bilah pedang itu. Durant mengeringkan pedang itu, dan memeriksa kondisinya. "Sedikit goresan, tapi masih sangat layak pakai."

Durant masuk kembali ke dalam dapur, dan membuka sebuah papan pelapis dinding dapur. Diusapnya pedang itu dengan lembut. Tanpa ragu dia menyimpan pedang itu di dalam tembok. Ditutupnya kembali papan itu, dan memeriksa agar tak ada yang menyadari bekas congkelan pada papan.

"Sedikit lagi selesai tugasku," Durant menghela nafas dan bergegas kembali ke atas.

Sesampainya di lantai atas, dia segera mengetuk pintu sebuah ruangan secara perlahan. "Sebentar lagi para pelayan akan segera bangun, kita harus bergegas tuan Hector," ujarnya lirih disela-sela ketukannya.

Hector membuka pintu dan menunjukkan isi ruangan pada Durant. "Semuanya beres untuk sementara, tak akan ada yang menyadari kerusakan pada jendela itu," balas Hector.

"Kita pikirkan langkah selanjutnya esok," Hector berkata dengan lesu, dan menguap menahan kantuk. "Dua orang pengacau itu, apa yang akan kita lakukan dengan mereka?" sambung Hector lirih.

"Prajurit itu akan saya serahkan pada pasukan keamanan kota, mereka akan membereskannya," balas Durant dengan tenang dan yakin.

"Baiklah, saya lanjutkan membersihkan bekas bubuk kopi, pergilah duluan agar tak ada yang melihat anda tuan," saran Durant. "Akan kupastikan tak ada yang mendekati tempat ini." Seraya mempersilahkan Hector meninggalkan ruangan.

"Baiklah, tak usah kau antar. Pintunya tidak terkunci tadi. Sir Milan tidak datang rupanya, berarti dia telah mempercayakan semuanya pada kita," Hector menguap lagi, dan beranjak pergi secepatnya. Tubuhnya sudah tak sanggup lagi menahan penat dan kantuk. Hanya tempat tidur yang diinginkannya saat ini.

*

"Bodohnya … mengapa aku tidak meminjam lentera tadi? Malam ini bulan bersinar terang," Hector menghentikan langkah beratnya, karena teringat akan sesuatu.

Penguasa malam yang kesepian itu mengajak seluruh alam semesta untuk menemaninya malam itu. Cahaya lembutnya menuntun penghuni alam semesta yang mencari ketenangan dan kedamaian yang sendu dalam kegelapan malam. Angin dan mendung pun menyingkir untuk memberi waktu bagi sang penguasa malam membagikan pesonanya.

Warga kota yang penat dan lelah dari pergumulan melawan tuntutan hidup sehari-hari. Dari berbagai arah dan tempat, sama-sama tertatih dalam letih dan pedih. Berangkulan mereka menuju satu tujuan yang sama. Sebuah tempat yang menjanjikan kebahagiaan dan kebersamaan sesaat nan semu.

Bar itu sedang ramai pengunjung, ketika Hector tiba di dekatnya. "Tukang minum sialan! Kenapa mereka tidak tidur saja di rumah?" Hector memperhatikan sekitar dengan rasa sebal. Dilihatnya beberapa meja masih penuh pengunjung. Sayup-sayup terdengar suara orang berteriak dan tertawa. Beberapa pengunjung keluar dan nampak berjalan sempoyongan. Sebagian dari mereka duduk santai di depan bar, sambil menunggu rekan-rekannya yang masih ada di dalam.

"Pasti langsung ketahuan, kalau aku lewat jalan ini sekarang," Hector berpikir cepat menganalisa situasi. "Hampir seluruh orang dewasa di kota ini mengenalku." batinnya. "Menyusuri sungai mungkin akan lebih aman," Hector memutar arah dan berjalan menuju sungai yang mengitari kota.

Menyusuri sungai sebenarnya merupakan pilihan paling tepat untuk hari ini. Ketika bulan bersinar terang, para pemancing akan berkumpul di jembatan utara kota. Sungai yang mengalir di utara telah dilebarkan, digali, dan dibendung sehingga membentuk semacam danau buatan. Proyek itu dikerjakan oleh pasukan Cedric untuk menjadi barikade alami. Di masa damai, danau kecil itu menjadi tempat favorit untuk memancing ikan.

Posisi Hector sekarang ini ada di selatan kota, tak ada pemancing yang nampak malam ini. Hector memeras semua ingatannya tentang denah dan tata letak kota. Dia berpikir cepat untuk mencari cara menghindari penjaga malam yang patroli.

"Di tempat itu pasti tak ada penjaga malamnya," Hector tersenyum memuji diri sendiri atas kepandaiannya.

**

Hector kini berlari melintasi halaman balai kota. Dia melihat sekeliling, dan benar-benar tak ada penjaga malam. Dengan cepat dia masuk ke halaman belakang, dilihatnya beberapa peti bekas. Segera dia menyusun peti itu, dan dengan sekali gerakan, Hector melompat ke atas tembok. Sebelum turun, Hector melihat dulu ke area sekitar. "Aman. Tinggal menyusuri jalan ini, langsung tembus kesungai."

Dirasa aman, Hector segera turun kebawah. Setelah tiba dibawah, Hector duduk bersandar ke dinding untuk beristirahat sejenak. Hingga tiba-tiba dia mendengar sesuatu berlari mendekat.

"Woof … woof ... guk ... guk … grrr.. woof … guk … kaing … kaing," salak anjing bersahutan.

Sekawanan anjing mendekati Hector. Gerombolan hewan yang seharusnya sedang menjaga properti tuannya itu, malah mengelilingi, menggeram dan menyalak padanya. Anjing paling besar berdiri di barisan belakang. Tatapan matanya tajam dan nampak waspada. Anjing itu mengawasi gerak-gerik Hector dengan diam. Sedikit seringai dari anjing itu menunjukkan taringnya yang tajam.

Hector balas menatap anjing itu dan sekilas melihat kalung dilehernya. "Bangsaaat!" maki Hector tanpa tau ditujukan pada siapa. "Esok kupastikan menulis rekomendasi penutupan seluruh bar dikota ini," Hector hanya bisa pasrah melihat anjing yang sangat kekar dan besar itu.

"Cerby … anak baik ... pulang ya," Hector mencoba membujuk ketua kawanan anjing itu.

"Cerby ... Cedric nanti marah kalau kau tak ada di rumah," Hector mencoba lebih gigih lagi, karena beberapa ekor anjing sudah berani mendekatinya. "Anjing ini hanya patuh pada perintah Cedric. Anjing ini tak pernah jauh dari tuannya, mengapa bisa dia sampai ada disini?" ratap Hector.

Semua orang di benteng dan di kota kenal anjing hitam dan besar ini. Cerby adalah anjing kesayangan Cedric, jendral yang menjaga dan mempertahankan kota. Cerby turut menjadi penguasa jalanan sesungguhnya di malam hari. Reputasinya tidak main-main, puluhan pencuri dan penyusup berhasil ditangkapnya.

Cerby mencatatkan rekor seratus persen serangan telak di leher. Hector yang tahu pasti rekor itu, langsung gemetar tanpa sebab. Jubah dirapatkan untuk melindungi lehernya. Cerby berdiri dan mulai berjalan mengitari mangsanya.

Seketika Hector melihat sesuatu di jubahnya. Penyebab semua anjing di kota begitu agresif menyerangnya pastilah ini. Sebuah noda darah yang menempel di jubahnya. "Bau darah membuat mereka menggila rupanya."

Tanpa pikir panjang, dilepasnya jubah itu. Diperiksanya isi jubah agar tidak ada satupun benda tertinggal, yang dapat mengarahkan kecurigaan pada dirinya. Jubah itu segera dibuntalnya seperti bola. Sekuat tenaga dilemparnya bola itu sejauh-jauhnya. "Selamat tinggal bodoh," Hector tertawa melihat kawanan anjing itu mengejar dan memperebutkan jubah itu.

Jubah itu segera terkoyak menjadi beberapa bagian. Bentuknya sudah tak dapat dikenali lagi. Menyadari hal tersebut, Hector berjalan cepat menjauhi kawanan anjing itu. "Gawat kalau mereka sudah bosan bermain dengan jubah itu."

Hector terus berjalan tanpa menoleh kebelakang. Ketika dirasanya jarak cukup jauh dari kawanan anjing itu, ia mulai berlari sekuat tenaga, hingga tiba di dekat sebuah dermaga kecil.

Hector berhenti sejenak untuk menenangkan dirinya. "Esok, kupastikan semua pemilik anjing wajib mengikat peliharaanya," Masih teringat akan pengalamannya yang mengerikan barusan, diperiksanya lagi seluruh tubuhnya.

"Bedebah!" Hector mengumpat sambil melepas kemejanya. Noda darah itu ternyata menembus lapisan jubahnya. Dengan terpaksa Hector turun ke sungai untuk membersihkan noda darah di baju dan tubuhnya.

Penderitaan Hector belum berakhir untuk hari ini. Lewat tengah malam, air sungai terasa dingin menusuk tulang. Seluruh tubuhnya menggigil menahan dingin, giginya bergetar dengan hebat, dan wajahnya menjadi sangat pucat.

"Sudah, waktunya pulang sekarang!" Hector tak tahan lagi menahan rasa kantuk, capek dan tekanan batin yang menyiksanya. "Sudah aman, tak ada lagi jejak yang tertinggal."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangkit Dari Putus Asa   48. Di Ujung Tanduk part 1

    "Dugh! Bangun! Kemana perginya kawanmu itu?" Seorang pria menendang Stab dan menginterogasi orang yang baru saja tak sadarkan diri.Sekelompok tawanan yang tadinya merasa gagah, menjadi sedikit ciut nyalinya. Tanpa seorangpun yang menyadari, Romeo telah berhasil meloloskan diri. Hilang lenyap bersama tali yang mengikat dirinya."Apa kalian lalai menggeledah bandit itu? Jangan-jangan dia menyembunyikan pisau di badannya" gerutu pria yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin perlawanan itu. Stab terbangun akibat rasa sakit dari tendangan keras di rusuknya. Wajah-wajah asing yang tak pernah diingatnya sama sekali, sedang mengerumuninya. Stab adalah penjahat sejati berdarah dingin, dia tidak pernah mengingat wajah para korban yang terlihat sama di matanya.Wajah seperti domba, yang biasanya memohon untuk kehidupannya itu nampak berbeda kali ini. Ada sorot amarah dan harapan di wajah yang tidak lagi merana itu. Harapan untuk memutus sebuah mata rantai kekejaman dan kejahatan."Gel

  • Bangkit Dari Putus Asa   47. Menuju ujung tanduk part 2

    "Bandit?" Mata Jenderal Cedric menunjukkan gairah yang lama terpendam."Tunggu sebentar! Aku ikut, sudah lama aku mendengar insiden di Desa Mapple. Urusan warga kota biarlah diatur oleh Sir Milan dan Hector, sebentar lagi juru arsip yang terluka itu pulih dan bisa membantu mereka," seloroh Jendral yang sedang bosan itu."Sir Milan berpesan agar anda tetap di markas," tutur Jaden dengan nada segan. "Duke Robert hendak bertemu secara pribadi. Ada hal penting yang hendak disampaikan beliau," tegasnya."Aish … kirim utusan pada Duke Robert, katakan aku akan mengunjunginya segera. Menjaga keamanan wilayah itu lebih penting," sergah Jenderal Cedric."Ini bukan masalah besar Jenderal," cegah Jaden, yang lebih takut dengan amarah Sir Milan. "Kami hanya membantu regu yang bertugas, untuk menutup jalan keluar dari Desa Mapple, agar seluruh bandit dapat tertangkap. Regu yang dipimpin Sir Aiden sangat yakin bisa mengatasi bandit-bandit itu," bebernya."Hm … Sir Aiden sampai turun tangan sendiri y

  • Bangkit Dari Putus Asa   46. Menuju Ujung Tanduk part 1

    "Rom! Kabar buruk, hosh … hosh … berikan aku minum," pinta Stab yang nampak habis berlari sekuat tenaga."Ada apa? Apa rencana kita gagal? Apakah rombongan ketua tertangkap?" buru Romeo tak sabaran.Stab menghabiskan air dalam kantung itu. Nafasnya belum pulih sepenuhnya. "Parah … lebih parah lagi," semburnya menambah kekhawatiran Romeo."Apa yang bisa lebih parah dari tertangkap?" cebik Romeo."Kabur! Ketua dan rombongannya tidak membuat kerusuhan seperti rencana awal. Dia melanjutkan perjalanan dan meninggalkan desa menuju perbatasan!" pekik Stab. "Kita ditinggalkan di hutan ini, aku yakin dia menggunakan kita untuk mengalihkan perhatian.""Apa kau yakin?" lirih Romeo."Aku melihat sendiri! Seperti biasa aku memilih posisi paling aman, jadi aku memilih rombongan ke dua setelah rombongan ketua melumpuhkan penjaga," urai Stab. "Ternyata hanya lima orang yang bersedia menjadi rombongan pertama untuk membuka jalan.""Hm … hanya lima orang? Tanpa kehadiran ogre itu sama saja misi mengant

  • Bangkit Dari Putus Asa   45. Tersudutkan

    "Wow … benar-benar sembuh," puji Coman. "Jangan-jangan kau ini benar-benar ogre.""Hahaha … mana ada ogre yang berniat berhutang duapuluh keping uang emas dengan ganti sebuah pedang," balas Jack. "Biaya melintas sampai Gothlandia itu memakan lebih dari lima keping. Kecuali kau melewati daerah kaum barbar, bebas biaya masuk.""Kau benar-benar hebat kawan," puji Coman sambil mengganti kain perban di lengan kiri Argon. "Kau bertahan hidup hanya demi menyampaikan kabar mengenai rekan-rekanmu yang gugur di pertempuran sepuluh tahun yang lalu."Jack tersenyum dan mengembalikan pedang besar itu pada Argon. "Maaf, kami membaca surat dan daftar nama itu tanpa seijinmu."Argon membalas dengan senyuman pedih di hatinya. Betapa dia mengutuk ketidak mampuannya sendiri. Usaha sederhana untuk mengakhiri kehidupannya yang hitam dan kelam itupun gagal, di tangan ksatria yang diharap bisa menolongnya."Maafkan aku juga bila meminta kalian melakukan hal yang di luar kemampuan," balas Argon. "Mencari sem

  • Bangkit Dari Putus Asa   44. Surat

    "Tak bisa dibiarkan! Keluarga Durandal itu sejak dulu selalu kurang ajar," geram seorang bangsawan tua sambil merobek sepucuk surat."Pelayan! Panggil cucuku kemari, ada yang hendak kubicarakan," perintahnya tegas. "Berani-beraninya si tua bangka itu mencoba mencari jodoh untuk cucuku," gerutu Sir Duval.Si pelayan segera berlari tergopoh-gopoh menuju ruang berlatih. Ruangan itu sedang ramai para prajurit dan ksatria yang sedang mengelilingi dan menyoraki sebuah duel yang sedang berlangsung. Tak ada satupun yang mempedulikan omongan pelayan yang sedang mencari cucu Sir Duval.Susah payah pelayan bertubuh kecil itu menerobos kerumunan. Seketika lututnya lemas melihat orang yang sedang berduel. Tuan muda Aaron sang cucu Sir Duval sedang mempertaruhkan nyawa melawan seorang royal knight dari istana."Trang! Trang! Trang!" suara tiga kali pukulan penuh tenaga ksatria itu ditangkis Aaron.Ksatria itu tampak santai dan meremehkan. Sekilas dia melirik ke arah penonton. Seorang pemuda berpaka

  • Bangkit Dari Putus Asa   43. Mewujudkan Mimpi

    "Brengsek! Mengapa tak ada yang membangunkan aku!" raung Romeo. "Hampir tengah hari, mana ketua?" tanyanya lagi dengan nada khawatir. Baru kali ini dia merasa menyesal meninggalkan kesempatan untuk melihat sapaan mentari terbit. "Hahaha … tenang, aku juga bangun kesiangan. Ketua sudah pergi bersama Bernie untuk mengintai," jawab Stab. "Ketua agak cemas karena kita sudah tidak memiliki senjata pemusnah lagi. Lagipula … tak ada seorangpun yang berani mengganggu tidurmu. Hehehehe."Dengan malas Romeo bangun dan berjalan pelan untuk membasuh muka. Kepalanya masih berdenyut, akibat efek minuman semalam. Kesadarannya masih belum pulih sepenuhnya, namun dia cukup sadar untuk menyadari kegiatan rekan-rekannya."Mengapa kalian sudah membongkar tenda-tenda itu?" tanya Romeo pada seorang bandit."Kita akan pulang, misi selesai," jawab bandit itu sambil mengikat erat kain tenda."Kita akan menyamar menjadi pedagang, mengelabui penjaga dan membuat kerusuhan begitu masuk desa itu," sela Stab. "Se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status