Share

7. Malam Yang Damai

Malam ini bulan bersinar terang, langit cerah dan bintang bertaburan. Malam yang sangat damai, menurut Jaeger. Apalagi dengan berdiam diri didepan sebuah api unggun. Bagi seorang penjelajah sepertinya, api unggun adalah semacam ritual sebelum tidur yang wajib dilakukan. Jaeger selalu terpesona dan seakan terhipnotis oleh kobaran api dan liukan tariannya ketika terhembus angin.

"Paman! Masuklah," Seorang pemuda datang dan membuyarkan lamunannya.

"Mengapa engkau suka membuat api unggun di halaman belakang dan duduk diam sendirian saja? Kalau kedinginan, masuklah dan duduk di depan perapian bersama yang lainnya," saran pemuda itu.

"Semua orang membicarakanmu Paman,"

Pemuda itu mendekat dan duduk disampingnya.

Jaeger hanya tersenyum, dan tetap diam sambil terus memandang tarian api di depannya.

"Cobalah ini Paman, Marius membawa minuman baru dari kerajaan Gothlandia. Mereka menyebutnya goldenkey," Jaeger menerima botol itu, menenggaknya sampai hampir habis. Sambil tersenyum lebar, dia mengusap janggutnya.

Sisa minuman itu dituangkan ke api. Seketika api membesar dan hampir menyambar janggutnya. "Nyalakan api perjuangan!" Tanpa sadar dia bergumam.

"Awas Paman … janggut kesayanganmu terbakar nanti," seru si pemuda dengan khawatir.

"Grahahaha ... aku bukan suku barbar utara, yang merupakan kaum penggemar janggut!" Dielusnya janggut yang menjadi identitasnya selama beberapa tahun ini. "Aku terpaksa memanjangkan dan merawat janggut ini, hanya untuk sebuah misi khusus, permintaan spesial dari ayahmu."

Jaeger tersenyum dan kembali mencoba untuk terhanyut dalam pesona kobaran api unggun. Perlahan dia menambahkan kayu untuk mempertahankan kehidupan api itu. Sesekali dia mendekatkan kedua telapak tangannya ke depan api, lain waktu dia bermain dengan botol kosong bekas minuman tadi. Jaeger benar-benar melupakan kehadiran pemuda yang baru saja memberinya minuman itu.

"Oh ... Paman … sebenarnya artefak apa yang pernah kau berikan pada ayah?" Pemuda itu menyodok kayu yang terbakar, terbitlah percikan api yang sedikit meramaikan sepinya malam.

Pemuda itu mendekatkan tangannya ke arah api unggun, sekedar meminjam kehangatan yang dipancarkan, tanpa perlu mengembalikan. "Ayah pernah memintaku untuk menyimpan sebuah artefak secara rahasia. Sampai detik ini, aku tak pernah melihatnya. Ayah bilang itu pemberian darimu Paman," Rasa hangat dari api unggun yang berpijar menjalar hingga wajah pemuda itu, memperlihatkan wajah penuh kejujuran dan ketulusan yang penuh kehangatan.

"Kemarin, ayah pergi tergesa-gesa dengan membawa artefaknya," kata pemuda itu.

"Klontang!" botol ditangan Jaeger langsung terjatuh. Seketika rasa kantuknya hilang, tempatnya digantikan secara paksa dengan rasa tidak nyaman, yang dibawa oleh si firasat buruk. Jaeger tidak bodoh, dia tau pasti apa konsekuensi dari tindakan ayah pemuda itu. Dia memahami maksud dan tujuannya, tapi dia tak bisa menerimanya.

"Di mana titik pertemuannya?" Perubahan sikap dan nadanya nampak sangat jelas. Ada rasa khawatir dan gelisah dalam helaan nafasnya.

"Hutan Windemoor," jawab pemuda itu singkat.

Jaeger terdiam sejenak. Jari telunjuk yang penuh pengalaman itu mulai menggores-gores tanah, hingga mendapatkan sebuah gambaran. Gambaran yang hanya dimengerti olehnya. Setelah merasa yakin dengan arah dan tujuannya. Sebuah kepalan tangan yang penuh perjuangan mengusap-usap gambaran itu, hingga terserap sempurna dalam kepalannya.

"Kumpulkan orang yang tersedia dan siapkan kereta kuda tercepat," perintahnya. "Kutunggu di halaman depan, kecuali kau anak muda," Jaeger berdiri, mematikan api unggun yang dibuatnya dan meninggalkan tempat itu.

"Tapi paman ... aku harus ikut. Kau tidak mengenal perantara kita di titik pertemuan," bantah pemuda itu.

"Aku tak perlu perantara. Kami akan langsung menuju ke tempat dimana Fenix berada," Jaeger memegang pundak pemuda itu dengan kedua tangannya. Sekelebat bayangan tentang anaknya sendiri muncul di benaknya. Dengan pandangan bersahabat, pria kekar itu menatap kedua mata pemuda itu. "Felix, bisnis harus terus berjalan. Demi ayahmu kau tetaplah disini, dan bekerja untuk mengawasi orang-orang."

Tanpa basa-basi Jaeger pergi untuk membuat persiapan bagi dirinya sendiri. Dia menuju kamar tidurnya, membuka sebuah peti besar, dan mulai mengeluarkan peralatan perangnya. Sebuah pedang besar dan gada diletakkan diatas selimut tebal dan dibungkusnya dengan rapi. Dia mengeluarkan sebuah baju besi yang terbuat dari jalinan rantai, memakainya dan melapisinya dengan jubah. Belati dipasang di sepatu dan pinggangnya. Sebuah perisai besar dengan lambang cakar beruang diusapnya dengan lembut, dan dipasangnya di punggung. "Aku siap sekarang!"

Jaeger memeriksa perbekalan dan kereta kuda sambil menunggu kawanannya. Tak lama kemudian, lima orang muncul dan mulai menyimpan barang bawaan mereka kedalam kereta.

"Di mana kita bisa mengganti kuda-kuda ini nanti?" Ditepuknya punggung kuda itu untuk memeriksa kondisinya.

"Bila menuju hutan Windemoor, kita harus mengganti kuda-kuda ini di Desa Lembah Pinus. Aku akan mengirim pesan pada orang kita di sana untuk menyiapkan kuda segar untuk kita pakai nanti," jawab seseorang yang akan menjadi kusir kereta ini.

"Tunggu, tolong kabarkan untuk menyiapkan tambahan enam ekor kuda. Kita memerlukannya bila kita terpaksa berpencar," tambahnya.

"Baik, akan kutulis pesannya sekarang. Apa ada lagi yang perlu kita persiapkan pak?" tanya pemuda dengan raut wajah menyenangkan dan murah senyum itu.

"Panggil Marius dan Felix kemari" sahut Jaeger. "Tunggu ... Marius saja, Felix tidak usah."

Pengirim pesan itu segera masuk rumah dan menulis apa yang diperintahkan Jaeger. Dia segera mencari pria gempal pendek dengan satu penutup mata. Dibangunkannya pria bernama Marius itu dari tidurnya, dan dibawanya menemui Jaeger. Ketika berpapasan dengan Felix, tanpa sadar dia menunduk untuk menghindari tatapan mata Felix.

"Aneh, tak seperti biasanya Speed menghindariku," Felix merasa yakin, bila ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Perlahan dia mengikuti kedua orang itu untuk mencari tau apa yang disembunyikan darinya.

Samar-samar Felix mendengar suara Jaeger memberi instruksi pada Marius yang mengantuk. Ketika mendekat untuk menguping lebih jelas lagi, Jaeger tiba-tiba berjalan mendekati Marius dan berbisik-bisik di telinganya.

Felix jelas melihat perubahan raut wajah Marius. Wajah sangar yang sulit tersenyum itu berubah pucat, dan tampak seperti menahan nafas. Dia hanya termenung ketika Jaeger memberi salam perpisahan sebelum masuk ke dalam kereta.

"Marius pasti mengetahui semuanya," gumam Felix pelan. Dia meninggalkan tempat persembunyiannya, dan beranjak pelan menuju ruang pertemuan.

Felix pemuda yang cerdas, ia mulai memikirkan semuanya. Latar belakang kedua orang itu telah diketahuinya dengan baik, dari cerita ayahnya. Dua orang pelarian yang terkenal berbahaya dari jaman perang penyatuan, bila mereka serius sesuatu yang besar pasti akan terjadi.

Felix lelah dan memutuskan untuk mencoba menutup mata. Duduk termenung didepan perapian sedikit menghibur hatinya. Beberapa saat lalu, ruangan ini terasa begitu damai dan sangat bersahabat. Canda dan gurauan dari anak buah ayahnya, membuat suasana menjadi sangat menyenangkan. Dan kini, hanya tersisa dia, Marius dan beberapa pelayan yang tertinggal.

*

Jaeger sering dianggap beban oleh rekan persaudaraannya. Dia datang dan pergi sesukanya, tidak pernah mengambil tugas rutin seperti anggota lainnya. Dan yang membuat mereka jengkel, dia tidak pernah memanggil Fenix dengan hormat, meskipun yang bersangkutan tidak pernah mempermasalahkannya.

Malam ini, semuanya merasa sosok yang bersama mereka ini bukan seperti sosok yang mereka kenal biasanya. Sosok yang mereka kenal selama ini adalah seorang penjelajah dan pemburu yang handal. Seorang penyendiri yang selalu tampak waspada dan memiliki tatapan mata curiga.

Jaeger adalah sosok misterius yang tak pernah menyebutkan nama aslinya. Beberapa kali dia menyebutkan nama yang berbeda ketika orang menanyakan namanya. Namun semuanya sepakat, bahwa dia selalu menanggapi bila ada seseorang yang memanggilnya dengan sebutan "paman" .

"Paman," Seseorang mencoba untuk membuka pembicaraan.

Jaeger hanya terdiam dan melirik sekilas ke arah orang yang memanggilnya. Jaeger hanya merasa senang ketika Felix yang memanggilnya dengan sebutan itu. Ketika orang lain yang memanggilnya dengan sebutan itu, sebenarnya dia ingin menghajar orang itu. Andai mereka tau kebenarannya, tak akan mereka memanggilnya dengan ceroboh.

"Sebenarnya kita ini akan pergi kemana?" tanya Glover. Seorang pria gempal berumur duapuluh lima tahun dengan ciri khas kepala plontos.

"Utara" jawab Jaeger datar.

"Apa kita akan berburu tanduk, Paman?" tanya Archer. Seorang ahli memanah yang berumur hampir limapuluh tahun, bahkan beberapa rekan yakin bahwa umurnya sebenarnya lebih dari limapuluh tahun.

"Tidak, akhir-akhir ini tanduk sudah berkurang harganya. Mereka bukan ancaman lagi!" Jaeger menjawab dengan nada kesal, karena orang yang lebih tua darinya, memanggilnya dengan sebutan itu.

"Lalu … apa yang akan kita lakukan di Utara?" tanya Glover lagi.

"Memastikan kedamaian," kata Jaeger singkat. Jaeger menutup mata, seolah-olah tidak ingin melanjutkan percakapan mereka. Di luar, bulan tetap bersinar dengan terang, langit tetap cerah, dan bintang tetap bertaburan menghiasi langit malam. Malam yang damai ini terus berlanjut bagi sebagian orang. Namun bagi orang-orang yang berada dalam kereta ini, entah mengapa, naluri dan firasat mereka berkata lain.

"Bulan yang bersinar terang, waktu yang tidak cocok untuk melakukan kejahatan di malam hari," celoteh Glover.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status