Share

Bab 5

Author: Skyy
last update Last Updated: 2025-09-22 19:37:45

"Kau sudah punya alatnya. Sekarang apa?" tanya Queen saat mereka berada di dalam Bentley, melaju tanpa suara melewati jalanan lengang di kawasan elite. Di dalam mobil, aroma kulit mahal berbaur dengan aroma samar kayu cendana dari kotak yang tergeletak di pangkuan Harris. "Kau tidak bisa langsung mengetuk pintu dan bilang kau bisa menyembuhkan orang mati, kan?"

Harris tidak menjawab. Matanya menatap keluar jendela, mengamati rumah-rumah megah yang tersembunyi di balik tembok tinggi dan gerbang besi. Setiap kediaman adalah sebuah benteng kecil. Pengetahuan di benaknya memberitahunya bahwa semakin kaya seseorang, semakin besar pula ketakutannya akan kematian.

"Berhenti di tikungan depan," perintah Harris kepada sopir dengan nada tenang.

Mobil itu menepi dengan mulus di bawah naungan pohon mahoni yang rindang. Dari sini, tembok setinggi empat meter yang mengelilingi kediaman Hidayat terlihat jelas, dimahkotai dengan kawat berduri dan kamera CCTV yang berkedip waspada setiap beberapa meter.

Queen menatap benteng itu, lalu kembali menatap Harris. "Rencanamu?"

"Tunggu," hanya itu yang dikatakan Harris.

Dia tidak hanya melihat dengan matanya. Dengan kesadarannya yang baru, dia bisa merasakan tempat itu. Dia merasakan aliran listrik yang memberi daya pada kamera-kamera itu. Dia merasakan getaran langkah kaki para penjaga yang berpatroli dengan pola yang monoton dan dapat diprediksi. Pikirannya memproses semua data itu, bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai sebuah sistem yang memiliki celah.

‘Satu penjaga berjalan dari gerbang timur ke barat setiap sembilan puluh detik. Kamera nomor tiga dan empat memiliki titik persimpangan di mana sapuan pandangan mereka menciptakan jeda 0,8 detik di sudut tenggara. Sensor inframerah di atas tembok dialiri daya yang sedikit lebih lemah di dekat pohon beringin tua.’

Pengetahuan ini bukan hanya tentang medis, tetapi juga tentang aliran energi, kelemahan, dan presisi. Di mata Harris, benteng yang tak tertembus itu kini terlihat seperti sebuah teka-teki dengan solusi yang gamblang.

"Dalam tujuh menit dari sekarang," kata Harris, akhirnya memecah keheningan. Tatapannya masih terkunci pada tembok itu. "Aku ingin kau menyuruh sopir membunyikan klakson panjang di depan gerbang utama. Jangan katakan apa pun, cukup buat keributan kecil yang akan menarik perhatian setidaknya dua penjaga selama lima belas detik."

Queen menatapnya, mencoba memahami logika di balik perintah yang aneh itu. Tapi melihat ketenangan yang menakutkan di wajah Harris, dia memutuskan untuk tidak bertanya. "Baik," jawabnya singkat. Dia percaya pada hasilnya, bukan metodenya.

"Tujuh menit," Harris menegaskan kembali. Lalu, tanpa suara, dia membuka pintu mobil dan melangkah keluar.

Queen hanya bisa menatap punggungnya yang menghilang ke dalam kegelapan. Untuk sesaat, dia ragu. Tapi kemudian dia melihat jam tangannya yang bertatahkan berlian dan mulai menghitung mundur.

Bagi Harris, dunia melambat. Suara jangkrik, desir angin, detak jantungnya sendiri—semuanya menjadi musik latar yang harmonis. Tubuhnya terasa ringan, dipenuhi oleh aliran Qi hangat yang memberinya kekuatan dan kelincahan yang tidak manusiawi. Dia berlari tanpa suara di atas rerumputan, gerakannya lebih mirip macan yang berburu daripada manusia.

Dia tiba di sudut tenggara tembok, tepat di bawah pohon beringin tua. Dia mendongak, matanya mengukur jarak dengan presisi matematis. Dia menunggu. Tepat ketika sapuan kamera nomor tiga dan empat menciptakan jeda sepersekian detik itu, dia bergerak.

Dia tidak memanjat. Dia mengalir.

Dengan satu lompatan yang mustahil, tangannya mencengkeram tepian tembok. Otot-ototnya berkontraksi dengan kekuatan eksplosif, melontarkan tubuhnya ke atas dengan mudah seolah gravitasi adalah sebuah saran, bukan hukum. Dia mendarat di sisi lain tanpa menimbulkan suara sedikit pun, bahkan sehelai daun kering pun tidak bergeser.

Dia kini berada di dalam taman luas kediaman Hidayat. Udara dipenuhi aroma melati dan tanah basah. Tapi indranya yang lain menangkap sesuatu yang berbeda. Di antara semua aroma itu, ada bau samar antiseptik dan obat-obatan. Dan di atas semua suara alam, ada satu suara yang menarik perhatiannya seperti magnet, suara napas yang berat, dangkal, dan tersengal-sengal, diselingi oleh bunyi mesin yang ritmis dan tanpa harapan.

Dipandu oleh suara itu, dia bergerak melewati taman yang terawat sempurna seperti hantu. Dia melewati patung-patung marmer dan kolam ikan koi, matanya tertuju pada sebuah paviliun kaca yang terang benderang di tengah taman, terhubung ke bangunan utama.

Di dalam paviliun itu, pemandangannya begitu menyedihkan. Tuan Besar Hidayat terbaring di ranjang rumah sakit canggih, tubuh kurusnya dipenuhi selang dan kabel.

Di sekelilingnya, beberapa anggota keluarga berdiri dengan wajah putus asa. Seorang pria yang lebih muda, mungkin putranya, mengepalkan tangannya di sisi tubuh, matanya merah karena kurang tidur dan duka. Suasana begitu pekat dengan kesedihan, hanya dipecahkan oleh bunyi mesin-mesin yang seharusnya menopang kehidupan, tetapi kini lebih terdengar seperti hitungan mundur menuju kematian.

Harris berhenti di batas antara bayangan pepohonan dan cahaya dari paviliun. Dia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan ketenangannya. Ini adalah langkah pertamanya. Nyawa pertama yang akan dia rebut kembali dari ambang kematian.

Kemudian, dia melangkah keluar dari kegelapan.

Kehadirannya begitu tiba-tiba sehingga pada awalnya tidak ada yang menyadarinya. Dia hanya berdiri di sana, di pintu kaca yang terbuka, sosoknya yang tegap dalam setelan hitam tampak kontras dengan suasana steril di dalam.

"Matikan semua mesin itu," katanya. Suaranya tidak keras, tetapi tenang dan penuh otoritas, memotong suasana duka seperti pisau bedah. "Kalian sedang membunuhnya."

Semua kepala menoleh serempak. Wajah-wajah yang penuh kesedihan kini berubah menjadi kaget, lalu bingung, dan akhirnya marah. Siapa pemuda asing ini yang berani datang entah dari mana dan mengucapkan kata-kata lancang seperti itu?

Pria yang lebih muda itu, Bima Hidayat, menatap Harris dengan mata menyala-nyala karena amarah. "Siapa kau?! Beraninya kau masuk ke sini!"

Dia menunjuk Harris dengan jari gemetar, wajahnya memerah.

"Penyusup! Pengawal!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangkitnya Dokter Agung   Bab 115

    Ruangan itu seharusnya sudah steril. Lampu stabil, medan tenang, tidak ada lonjakan Qi.Itulah sebabnya Harris langsung berhenti berjalan. “Ada yang salah,” katanya pendek.Liora mengangkat kepala dari panel. “Sensor normal, tidak ada intrusi.”“Justru itu,” jawab Harris.Udara di tengah ruangan menjadi hampa. Seperti satu lapisan realitas ditarik mundur setengah langkah. Cahaya di layar berkedip.Liora mundur setengah langkah. “Ini bukan gangguan medan.”Bayangan itu terbentuk perlahan, seperti siluet seorang pria yang berdiri dengan santai, tangan di saku dan kepala sedikit miring.Lalu suaranya terdengar. “Harris Gunawan…”Nada suara itu tenang dan terdengar familier.Harris tidak bereaksi. “Kau tidak punya akses ke sistem ini.”“Benar,” jawab Simon ringan. “Makanya aku tidak masuk lewat sistem.”Senyum tipis muncul di wajah bayangan itu, namun hanya separuh ekspresi yang diizinkan hadir.Liora mengepalkan tangan. “Ini proyeksi.”“Resonansi,” koreksi Simon lembut. “Kau membuka cela

  • Bangkitnya Dokter Agung   Bab 114

    Liora melangkah lebih dekat, hampir berhadapan. “Kau sedang mengorbankan prinsip.”Harris menatap Liora dengan tajam. “Aku hanya sedang memilih urutan.”“Apa maksud kata-katamu itu?”Harris menatapnya lebih tajam, suaranya rendah dan mantap. “Kalau aku tidak salah sekarang, kita mati nanti.”“Kau terlambat.” Tiba-tiba sebuah suara terdengar datar, hampir malas, ketika pintu baja ruangan itu bergeser terbuka, cukup untuk membiarkan udara dingin dan satu sosok asing masuk.Pria itu tidak mengenakan jas lab. Tidak juga jubah ritual. Pakaian hitam tak bertanda, ringan, dibuat untuk bergerak cepat. Wajahnya biasa saja, nyaris mudah dilupakan. Tapi cara ia berdiri, berat tubuh bertumpu sempurna.“Dokter Agung,” ucapnya, nada sopan tapi kosong. “Kami datang untuk mengamankan aset yang tidak stabil.”Liora yang berdiri di belakang Harris langsung menegang. “Jangan—”“Diam,” potong Harris.Matanya tidak pernah lepas dari pria itu. “D’Varuna?” tanyanya.Pria itu tersenyum tipis. “Cabang operasi

  • Bangkitnya Dokter Agung   Bab 113

    “Kalau ini gagal,” kata Liora lirih sambil mengenakan sarung tangan steril, “Kita tidak bisa menutupinya.”“Operasi ini memang tidak akan dicatat,” jawab Harris.Ia berdiri di sisi ranjang, membuka kotak jarum naga. Hanya delapan yang tersisa.“Ini penyeimbangan skala kecil, bukan penyembuhan. Kita hanya mencoba mencegah pemisahan.”Pasien itu mengerang, matanya terbuka setengah. “Dok…” suaranya pecah. “Aku… dingin—”“Jangan melawan,” kata Harris tenang. “Tarik napas pendek, dengarkan suaraku.” Ia menusukkan jarum pertama ke titik jangkar di bawah tulang dada. Jarum kedua menyusul, lalu ketiga untuk membentuk segitiga penahan Qi.Awalnya berhasil dan aliran Qi pria itu melambat, monitor menunjukkan stabilisasi halus. Liora menghela napas kecil.Lalu tiba-tiba tekanan datang.Qi di ruangan itu bergetar, seolah ada sesuatu yang mengenali prosedur ini. Alur yang sebelumnya pasif mulai bergerak, mengikuti jalur yang Harris buat.Suara Liora menegang. “Resonansi berbalik.”“Aku tahu,” jawa

  • Bangkitnya Dokter Agung   Bab 112

    “Ini bukan laporan tunggal.”Suara itu keluar dari sistem konferensi terenkripsi Heaven’s Pulse, teredam lapisan keamanan berlapis yang hanya dipakai untuk komunikasi lintas-zona. Layar kristal di dinding menyala, menampilkan wajah-wajah serius dari berbagai fasilitas, tidak ada satu pun logo publik, tidak ada nama rumah sakit umum.Semua yang hadir berada di balik dunia resmi.“Kami menerima pola mimpi sinkron di beberapa fasilitas berbeda,” lanjut suara itu. “Node Selatan, Wilayah Delta, dan satu pusat medis lintas-laut di luar yurisdiksi Konsorsium lokal.”Liora menegang. “Jaraknya terlalu jauh.”“Dan terlalu cepat,” tambah Harris dari sisi ruangan. Ia berdiri dengan tangan terlipat, suaranya tenang tapi memotong. “Onset tidak mengikuti pola penularan medis atau psikologis.”Seorang pria berkacamata di layar lain mengangguk. “Pasien kami melaporkan simbol yang sama. Pintu. Detak. Cahaya merah. Tidak ada koneksi sosial di antara mereka.”“Berarti medan resonansi,” gumam Liora. “Ia t

  • Bangkitnya Dokter Agung   Bab 111

    “Matikan seluruh sirkulasi medan!”Perintah Harris, suaranya terdengar parau tapi tegas.Lampu-lampu steril padam satu per satu. Garis Qi biru di lantai meredup, beberapa di antaranya retak permanen, meninggalkan bekas hitam seperti luka bakar pada kristal.Heaven’s Pulse masih berdiri, namun tidak lagi utuh.“Zona C dan D kolaps total,” lapor Raka dengan suara kaku. “Medan penyeimbang tidak bisa dipulihkan penuh. Kita… kita kehilangan tiga simpul inti.”Liora berdiri di tengah ruangan, matanya menyapu pasien-pasien yang tersisa. Beberapa tertidur paksa. Beberapa menangis dalam diam. Dan satu ranjang kosong, tertutup kain putih.Ia berhenti di sana.“Nadi berhenti sepuluh menit setelah medan runtuh,” katanya lirih. “Jiwanya sudah lebih dulu pergi.”Harris tidak mendekat, ia hanya menutup mata sesaat. Satu kematian adalah harga yang telah dibayar.Getaran susulan terasa halus, hampir tak disadari, tapi Harris merasakannya sampai ke tulang. “Ini bukan lokal,” gumamnya.Liora menoleh cep

  • Bangkitnya Dokter Agung    Bab 110

    “Lihat makhluk itu, dia berubah!” Suara Liora terdengar tegang, nyaris tenggelam oleh dengungan medan yang kembali hidup. Cahaya biru berkedip tak stabil, seperti denyut nadi yang dipaksa bekerja di luar batas.Harris berdiri di tengah ruang rawat, matanya tajam. “Apakah dia sedang berusaha meniru?”Qi merah yang tersisa dari manifestasi sebelumnya tidak lagi menggumpal liar. Ia memanjang, menipis, lalu menyusun pola alur yang terlalu familier. Garis-garisnya membentuk lintasan yang Harris kenali tanpa perlu berpikir.“Pola Nafas Surga,” gumam Liora. “Tidak mungkin—”“Mungkin,” potong Harris. “Karena dia belajar dari jangkar.”Qi itu melesat ke arah meridian seorang pasien, ia menjerit ketika tekanan tak kasatmata menekan saraf Qi di pergelangan tangannya. Tubuhnya kaku, mata membelalak, napas tersedak.“Zona C, tutup!” teriak Raka.Harris sudah bergerak, ia berlari menyilang ruangan, jarum naga berkilat di tangannya. Tusukan pertama memutus lintasan Qi di udara. Tusukan kedua mengali

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status