LOGIN"Kau sudah punya alatnya. Sekarang apa?" tanya Queen saat mereka berada di dalam Bentley, melaju tanpa suara melewati jalanan lengang di kawasan elite. Di dalam mobil, aroma kulit mahal berbaur dengan aroma samar kayu cendana dari kotak yang tergeletak di pangkuan Harris. "Kau tidak bisa langsung mengetuk pintu dan bilang kau bisa menyembuhkan orang mati, kan?"
Harris tidak menjawab. Matanya menatap keluar jendela, mengamati rumah-rumah megah yang tersembunyi di balik tembok tinggi dan gerbang besi. Setiap kediaman adalah sebuah benteng kecil. Pengetahuan di benaknya memberitahunya bahwa semakin kaya seseorang, semakin besar pula ketakutannya akan kematian.
"Berhenti di tikungan depan," perintah Harris kepada sopir dengan nada tenang.
Mobil itu menepi dengan mulus di bawah naungan pohon mahoni yang rindang. Dari sini, tembok setinggi empat meter yang mengelilingi kediaman Hidayat terlihat jelas, dimahkotai dengan kawat berduri dan kamera CCTV yang berkedip waspada setiap beberapa meter.
Queen menatap benteng itu, lalu kembali menatap Harris. "Rencanamu?"
"Tunggu," hanya itu yang dikatakan Harris.
Dia tidak hanya melihat dengan matanya. Dengan kesadarannya yang baru, dia bisa merasakan tempat itu. Dia merasakan aliran listrik yang memberi daya pada kamera-kamera itu. Dia merasakan getaran langkah kaki para penjaga yang berpatroli dengan pola yang monoton dan dapat diprediksi. Pikirannya memproses semua data itu, bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai sebuah sistem yang memiliki celah.
‘Satu penjaga berjalan dari gerbang timur ke barat setiap sembilan puluh detik. Kamera nomor tiga dan empat memiliki titik persimpangan di mana sapuan pandangan mereka menciptakan jeda 0,8 detik di sudut tenggara. Sensor inframerah di atas tembok dialiri daya yang sedikit lebih lemah di dekat pohon beringin tua.’
Pengetahuan ini bukan hanya tentang medis, tetapi juga tentang aliran energi, kelemahan, dan presisi. Di mata Harris, benteng yang tak tertembus itu kini terlihat seperti sebuah teka-teki dengan solusi yang gamblang.
"Dalam tujuh menit dari sekarang," kata Harris, akhirnya memecah keheningan. Tatapannya masih terkunci pada tembok itu. "Aku ingin kau menyuruh sopir membunyikan klakson panjang di depan gerbang utama. Jangan katakan apa pun, cukup buat keributan kecil yang akan menarik perhatian setidaknya dua penjaga selama lima belas detik."
Queen menatapnya, mencoba memahami logika di balik perintah yang aneh itu. Tapi melihat ketenangan yang menakutkan di wajah Harris, dia memutuskan untuk tidak bertanya. "Baik," jawabnya singkat. Dia percaya pada hasilnya, bukan metodenya.
"Tujuh menit," Harris menegaskan kembali. Lalu, tanpa suara, dia membuka pintu mobil dan melangkah keluar.
Queen hanya bisa menatap punggungnya yang menghilang ke dalam kegelapan. Untuk sesaat, dia ragu. Tapi kemudian dia melihat jam tangannya yang bertatahkan berlian dan mulai menghitung mundur.
Bagi Harris, dunia melambat. Suara jangkrik, desir angin, detak jantungnya sendiri—semuanya menjadi musik latar yang harmonis. Tubuhnya terasa ringan, dipenuhi oleh aliran Qi hangat yang memberinya kekuatan dan kelincahan yang tidak manusiawi. Dia berlari tanpa suara di atas rerumputan, gerakannya lebih mirip macan yang berburu daripada manusia.
Dia tiba di sudut tenggara tembok, tepat di bawah pohon beringin tua. Dia mendongak, matanya mengukur jarak dengan presisi matematis. Dia menunggu. Tepat ketika sapuan kamera nomor tiga dan empat menciptakan jeda sepersekian detik itu, dia bergerak.
Dia tidak memanjat. Dia mengalir.
Dengan satu lompatan yang mustahil, tangannya mencengkeram tepian tembok. Otot-ototnya berkontraksi dengan kekuatan eksplosif, melontarkan tubuhnya ke atas dengan mudah seolah gravitasi adalah sebuah saran, bukan hukum. Dia mendarat di sisi lain tanpa menimbulkan suara sedikit pun, bahkan sehelai daun kering pun tidak bergeser.
Dia kini berada di dalam taman luas kediaman Hidayat. Udara dipenuhi aroma melati dan tanah basah. Tapi indranya yang lain menangkap sesuatu yang berbeda. Di antara semua aroma itu, ada bau samar antiseptik dan obat-obatan. Dan di atas semua suara alam, ada satu suara yang menarik perhatiannya seperti magnet, suara napas yang berat, dangkal, dan tersengal-sengal, diselingi oleh bunyi mesin yang ritmis dan tanpa harapan.
Dipandu oleh suara itu, dia bergerak melewati taman yang terawat sempurna seperti hantu. Dia melewati patung-patung marmer dan kolam ikan koi, matanya tertuju pada sebuah paviliun kaca yang terang benderang di tengah taman, terhubung ke bangunan utama.
Di dalam paviliun itu, pemandangannya begitu menyedihkan. Tuan Besar Hidayat terbaring di ranjang rumah sakit canggih, tubuh kurusnya dipenuhi selang dan kabel.
Di sekelilingnya, beberapa anggota keluarga berdiri dengan wajah putus asa. Seorang pria yang lebih muda, mungkin putranya, mengepalkan tangannya di sisi tubuh, matanya merah karena kurang tidur dan duka. Suasana begitu pekat dengan kesedihan, hanya dipecahkan oleh bunyi mesin-mesin yang seharusnya menopang kehidupan, tetapi kini lebih terdengar seperti hitungan mundur menuju kematian.
Harris berhenti di batas antara bayangan pepohonan dan cahaya dari paviliun. Dia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan ketenangannya. Ini adalah langkah pertamanya. Nyawa pertama yang akan dia rebut kembali dari ambang kematian.
Kemudian, dia melangkah keluar dari kegelapan.
Kehadirannya begitu tiba-tiba sehingga pada awalnya tidak ada yang menyadarinya. Dia hanya berdiri di sana, di pintu kaca yang terbuka, sosoknya yang tegap dalam setelan hitam tampak kontras dengan suasana steril di dalam.
"Matikan semua mesin itu," katanya. Suaranya tidak keras, tetapi tenang dan penuh otoritas, memotong suasana duka seperti pisau bedah. "Kalian sedang membunuhnya."
Semua kepala menoleh serempak. Wajah-wajah yang penuh kesedihan kini berubah menjadi kaget, lalu bingung, dan akhirnya marah. Siapa pemuda asing ini yang berani datang entah dari mana dan mengucapkan kata-kata lancang seperti itu?
Pria yang lebih muda itu, Bima Hidayat, menatap Harris dengan mata menyala-nyala karena amarah. "Siapa kau?! Beraninya kau masuk ke sini!"
Dia menunjuk Harris dengan jari gemetar, wajahnya memerah.
"Penyusup! Pengawal!"
"Sentuh aku, dan dia akan berhenti bernapas dalam sepuluh detik," ujar Harris, tatapannya terkunci pada putra Tuan Hidayat, Bima.Ada aura tak terbantahkan dalam dirinya, sebuah ketenangan sedingin es di tengah badai emosi, yang membuat kedua pengawal berbadan tegap yang maju menjadi ragu. Langkah mereka melambat, lalu berhenti. Ancaman itu tidak diucapkan dengan teriakan, melainkan dengan bisikan yang membawa bobot kematian.Bima menatap Harris dengan amarah dan duka yang bergejolak di matanya. "Omong kosong apa yang kau bicarakan! Kau pikir kau siapa?!"Di samping ranjang, seorang pria paruh baya berkacamata tebal dan berjas putih—dokter keluarga Hidayat—melangkah maju. "Anak muda, kondisi Tuan Besar sangat kritis. Ini bukan waktunya untuk lelucon murahan. Kami sudah melakukan semua yang kami bisa."Harris mengalihkan pandangannya pada sang dokter, dan dalam sekejap, tatapannya berubah dari dingin menjadi tajam menusuk. "Semua yang kalian bisa? Kalian bahkan tidak tahu apa yang kali
"Kau sudah punya alatnya. Sekarang apa?" tanya Queen saat mereka berada di dalam Bentley, melaju tanpa suara melewati jalanan lengang di kawasan elite. Di dalam mobil, aroma kulit mahal berbaur dengan aroma samar kayu cendana dari kotak yang tergeletak di pangkuan Harris. "Kau tidak bisa langsung mengetuk pintu dan bilang kau bisa menyembuhkan orang mati, kan?"Harris tidak menjawab. Matanya menatap keluar jendela, mengamati rumah-rumah megah yang tersembunyi di balik tembok tinggi dan gerbang besi. Setiap kediaman adalah sebuah benteng kecil. Pengetahuan di benaknya memberitahunya bahwa semakin kaya seseorang, semakin besar pula ketakutannya akan kematian."Berhenti di tikungan depan," perintah Harris kepada sopir dengan nada tenang.Mobil itu menepi dengan mulus di bawah naungan pohon mahoni yang rindang. Dari sini, tembok setinggi empat meter yang mengelilingi kediaman Hidayat terlihat jelas, dimahkotai dengan kawat berduri dan kamera CCTV yang berkedip waspada setiap beberapa mete
Queen mengangkat sebelah alisnya yang terpahat sempurna, sebuah gestur kecil yang memancarkan keraguan sedingin es. "Kau?" ejeknya, nada suaranya tajam menusuk. "Seorang pria yang beberapa jam lalu sekarat di selokan, akan menyembuhkan penyakit yang bahkan ditolak oleh tim dokter kepresidenan?"Sarkasme dalam suaranya begitu kental, cukup untuk membuat pria normal mana pun merasa ciut. Tapi Harris hanya menatapnya dengan ketenangan yang membingungkan. Dia tidak membela diri, tidak juga menjelaskan sumber kekuatannya yang baru. Itu akan membuang-buang waktu. Sebaliknya, dia melukis sebuah gambaran dengan kata-kata, sebuah gambaran yang seharusnya tidak mungkin ia ketahui."Tuan Besar Hidayat tidak menderita penyakit," ujar Harris, suaranya tenang namun bergema dengan otoritas yang tak terbantahkan. "Dia diracun. Racun dingin yang bekerja sangat lambat, meniru gejala kegagalan organ alami."Mata Queen sedikit melebar, keterkejutannya nyaris tak terlihat. Informasi itu sangat rahasia.Ha
Mendengar suara itu, Harris tidak tersentak. Dia hanya menoleh perlahan, matanya yang kini jernih dan tajam bertemu dengan tatapan dingin wanita itu. Di masa lalu, komentar sarkastis seperti itu akan membuatnya menunduk malu. Kini, dia hanya merasakan ketenangan yang aneh.Pengetahuan yang membanjiri benaknya telah mengubah bukan hanya tubuhnya, tetapi juga cara dia memandang dunia. Dia bisa melihat ketegangan tipis di bahu Queen, tarikan napasnya yang terkontrol, dan aura ambisi sedingin es yang mengelilinginya.Dia duduk tegak di ranjang, seprai sutra yang mahal bergeser tanpa suara. "Kecoak bertahan hidup," balas Harris, suaranya masih sedikit serak tetapi mantap. "Aku tidak hanya bertahan. Aku akan berkembang biak."Queen berhenti di tengah ruangan, sedikit terkejut oleh respons yang tidak terduga itu. Dia mengharapkan seorang pria yang hancur dan berterima kasih, bukan seseorang yang balas menatapnya dengan percikan pemberontakan di matanya. Dia menyembunyikan keterkejutannya den
"Bangunlah, cucuku..."Suara itu tidak datang dari luar. Tidak ada getaran di udara, tidak ada bisikan yang menyentuh telinga Harris. Suara itu menggema langsung di pusat kesadarannya, sebuah suara dari masa lalu yang penuh dengan wibawa dan kehangatan yang telah lama ia lupakan. Itu adalah suara kakeknya, Devin Gunawan."Warisan keluarga Gunawan tidak boleh mati dalam kehinaan."Kegelapan yang memeluknya perlahan surut, bukan digantikan oleh cahaya, melainkan oleh ketiadaan. Harris merasa dirinya melayang di sebuah ruang hampa yang tak berujung, tanpa bobot, tanpa tubuh.Di hadapannya, satu per satu, titik-titik cahaya mulai menyala, kemudian memanjang dan membentuk gulungan-gulungan perkamen yang melayang anggun di kehampaan, memancarkan pendar keemasan yang menenangkan.Rasa ingin tahu mengalahkan kebingungannya. Ia mengulurkan tangan—sebuah tangan transparan yang terbentuk dari kesadarannya—dan menyentuh salah satu gulungan terdekat.Seketika, sebuah tsunami informasi menghantam b
Aroma parfum mahal dan anggur terbaik berbaur di udara, menjadi musik latar bagi denting gelas kristal dan tawa renyah para elite kota. Di dalam aula utama Hotel Movi yang bermandikan cahaya keemasan, setiap sudut adalah panggung kekuasaan. Karpetnya begitu tebal hingga mampu meredam suara langkah, seolah hanya bisikan transaksi miliaran rupiah yang pantas terdengar di sini.Di tengah kemewahan itu, Harris Gunawan berdiri seperti sebuah sketsa usang yang salah tempat. Setelan jas murah yang dipinjamnya tampak kusam di bawah lampu gantung megah, dan kerahnya sedikit berjumbai. Lima tahun di balik jeruji besi telah mengikis semua cahaya dari dirinya, meninggalkan sepasang mata yang terlalu dalam dan diam. Dia tidak bisa bicara. Jerat kawat panas yang membakar pita suaranya di penjara telah memastikan itu.Pandangannya terkunci pada dua sosok di panggung kecil di ujung aula. Sera—istrinya, dan Simon—sahabatnya. Tatapannya kosong, dipenuhi dengan keterkejutan yang mendalam.Sera dalam bal







