LOGIN"Sentuh aku, dan dia akan berhenti bernapas dalam sepuluh detik," ujar Harris, tatapannya terkunci pada putra Tuan Hidayat, Bima.
Ada aura tak terbantahkan dalam dirinya, sebuah ketenangan sedingin es di tengah badai emosi, yang membuat kedua pengawal berbadan tegap yang maju menjadi ragu. Langkah mereka melambat, lalu berhenti. Ancaman itu tidak diucapkan dengan teriakan, melainkan dengan bisikan yang membawa bobot kematian.
Bima menatap Harris dengan amarah dan duka yang bergejolak di matanya. "Omong kosong apa yang kau bicarakan! Kau pikir kau siapa?!"
Di samping ranjang, seorang pria paruh baya berkacamata tebal dan berjas putih—dokter keluarga Hidayat—melangkah maju. "Anak muda, kondisi Tuan Besar sangat kritis. Ini bukan waktunya untuk lelucon murahan. Kami sudah melakukan semua yang kami bisa."
Harris mengalihkan pandangannya pada sang dokter, dan dalam sekejap, tatapannya berubah dari dingin menjadi tajam menusuk. "Semua yang kalian bisa? Kalian bahkan tidak tahu apa yang kalian lawan."
Tanpa menunggu jawaban, Harris mulai berbicara dengan kecepatan dan presisi yang mengerikan. "Gagal jantung yang diinduksi oleh racun, menyebabkan detak jantung cepat dan tidak normal. Itu diagnosis modern kalian, bukan? Tapi kalian tidak bisa menemukan jejak racunnya karena itu bukan racun kimiawi. Ini adalah Racun Yin Dingin dari Bunga Es Abadi, merusak meridian jantung secara perlahan selama bertahun-tahun. Getaran frekuensi rendah dari mesin ventilator dan monitor ini," Harris menunjuk ke peralatan canggih itu dengan dagunya, "Justru mempercepat penyebaran racun di sepanjang sirkulasi Qi-nya yang sudah lemah. Kalian tidak menopang hidupnya, kalian mencekiknya secara perlahan."
Keheningan total menyelimuti paviliun. Setiap kata yang diucapkan Harris—baik modern maupun kuno—menghantam mereka. Wajah dokter keluarga itu berubah dari skeptis menjadi pucat pasi. Informasi tentang 'Racun Yin Dingin' dan 'meridian' adalah omong kosong baginya, tetapi diagnosis gejala yang begitu spesifik dan penjelasan tentang dampak getaran mesin itu adalah hipotesis mengerikan yang tidak pernah berani ia pertimbangkan.
Keputusasaan di wajah Bima kini berperang dengan secercah harapan yang mustahil. Pria ini tahu terlalu banyak. Dia tahu hal-hal yang rahasia. Di titik ini, logika dan akal sehat tidak lagi berarti. Yang tersisa hanyalah kesempatan terakhir, sekecil apa pun itu.
Dia melangkah maju, menatap Harris dengan mata merahnya. "Aku tidak peduli siapa kau atau bagaimana kau tahu semua ini," geramnya, suaranya serak karena emosi. "Aku akan memberimu kesempatan."
Dia mengangkat tangannya, menunjukkan lima jari yang gemetar. "Lima menit!" bentaknya, suaranya pecah. "Aku memberimu lima menit untuk membuktikan omong kosongmu! Jika dalam lima menit ayahku tidak membaik, aku bersumpah dengan nyawaku sendiri, kau tidak akan pernah melihat matahari terbit!"
Harris hanya mengangguk sekali, seolah ultimatum hidup dan mati itu hanyalah formalitas sepele. Dia berjalan ke sisi ranjang, membuka kotak kayu cendana itu dengan gerakan yang tenang dan penuh hormat. Sembilan Jarum Naga Langit terbaring di atas sutra merah, memantulkan cahaya lampu dengan kilau perak yang lembut dan hidup.
"Matikan mesinnya," perintahnya tanpa menoleh.
Setelah ragu sejenak, Bima memberi isyarat kepada sang dokter. Dengan tangan gemetar, dokter itu mematikan satu per satu mesin pendukung kehidupan. Suara yang monoton berhenti, digantikan oleh keheningan yang memekakkan telinga. Kini, satu-satunya suara adalah napas Tuan Hidayat yang nyaris tak terdengar.
Tangan Harris bergerak.
Gerakannya begitu cepat dan lancar hingga menjadi kabur. Sembilan Jarum Naga Langit menari di antara jemarinya, menjadi sembilan berkas cahaya perak yang melesat ke tubuh Tuan Hidayat. Tusukannya tidak seperti akupunktur biasa. Jarum-jarum itu menembus titik-titik yang mustahil. Di antara tulang rusuk, di ujung jari kaki, bahkan satu jarum bergetar lembut tepat di atas kelopak matanya yang tertutup.
Kemudian, hal yang paling menakjubkan terjadi. Harris meletakkan telapak tangannya beberapa senti di atas dada Tuan Hidayat. Aliran energi hangat keemasan yang samar namun terlihat jelas mengalir dari telapak tangannya, menyebar melalui jarum-jarum perak itu, dan masuk ke dalam tubuh sang kakek tua. Seluruh paviliun seakan menjadi lebih hangat.
Waktu seolah merangkak.
Tiga menit berlalu. Tidak ada perubahan. Wajah Bima menegang, kepalan tangannya memutih.
Empat menit. Napas Tuan Hidayat tampak semakin lemah. Penyesalan dan amarah mulai membakar mata Bima.
Tepat saat menit kelima hampir berakhir, keajaiban itu terjadi.
Bip... Bip... Bip...
Monitor detak jantung yang tadinya hanya menampilkan garis putus-putus yang lemah dan kacau, tiba-tiba berbunyi dengan ritme yang stabil dan kuat. Bukan ritme panik yang dipaksakan oleh mesin, tetapi detak jantung yang tenang dan penuh kekuatan.
Grrrrkkkk~
Sebuah erangan pelan keluar dari bibir Tuan Hidayat yang pucat. Tubuhnya yang lunglai sedikit bergerak. Perlahan, dengan susah payah, kelopak matanya yang keriput bergetar dan terbuka, menampakkan sepasang mata yang keruh namun sadar.
Keheningan total yang menyelimuti ruangan kini terasa begitu berat, hanya dipecahkan oleh suara ritmis dari mesin. Bima membeku di tempat, mulutnya sedikit terbuka, air mata mulai mengalir di pipinya tanpa ia sadari. Keluarga yang lain menutup mulut mereka dengan tangan, terisak dalam diam.
"Ini... ini mustahil..." bisik dokter keluarga itu, kacamatanya melorot di hidungnya. "Secara medis... ini tidak mungkin."
Tepat pada saat momen puncak yang sureal itu, sebuah suara wanita yang tenang dan anggun memecah keheningan dari arah pintu.
"Maaf mengganggu."
Semua orang menoleh ke sumber suara. Queen Hendrawan berdiri di sana, anggun dalam balutan gaun malamnya, seolah memiliki tempat itu. Dia melangkah masuk dengan ketenangan seorang ratu yang mengunjungi wilayah kekuasaannya, matanya yang tajam melirik sekilas pada Tuan Hidayat yang sudah siuman, sebelum akhirnya berhenti pada Harris.
Dia tersenyum tipis. "Saya datang untuk menjemput tunangan saya."
"Sentuh aku, dan dia akan berhenti bernapas dalam sepuluh detik," ujar Harris, tatapannya terkunci pada putra Tuan Hidayat, Bima.Ada aura tak terbantahkan dalam dirinya, sebuah ketenangan sedingin es di tengah badai emosi, yang membuat kedua pengawal berbadan tegap yang maju menjadi ragu. Langkah mereka melambat, lalu berhenti. Ancaman itu tidak diucapkan dengan teriakan, melainkan dengan bisikan yang membawa bobot kematian.Bima menatap Harris dengan amarah dan duka yang bergejolak di matanya. "Omong kosong apa yang kau bicarakan! Kau pikir kau siapa?!"Di samping ranjang, seorang pria paruh baya berkacamata tebal dan berjas putih—dokter keluarga Hidayat—melangkah maju. "Anak muda, kondisi Tuan Besar sangat kritis. Ini bukan waktunya untuk lelucon murahan. Kami sudah melakukan semua yang kami bisa."Harris mengalihkan pandangannya pada sang dokter, dan dalam sekejap, tatapannya berubah dari dingin menjadi tajam menusuk. "Semua yang kalian bisa? Kalian bahkan tidak tahu apa yang kali
"Kau sudah punya alatnya. Sekarang apa?" tanya Queen saat mereka berada di dalam Bentley, melaju tanpa suara melewati jalanan lengang di kawasan elite. Di dalam mobil, aroma kulit mahal berbaur dengan aroma samar kayu cendana dari kotak yang tergeletak di pangkuan Harris. "Kau tidak bisa langsung mengetuk pintu dan bilang kau bisa menyembuhkan orang mati, kan?"Harris tidak menjawab. Matanya menatap keluar jendela, mengamati rumah-rumah megah yang tersembunyi di balik tembok tinggi dan gerbang besi. Setiap kediaman adalah sebuah benteng kecil. Pengetahuan di benaknya memberitahunya bahwa semakin kaya seseorang, semakin besar pula ketakutannya akan kematian."Berhenti di tikungan depan," perintah Harris kepada sopir dengan nada tenang.Mobil itu menepi dengan mulus di bawah naungan pohon mahoni yang rindang. Dari sini, tembok setinggi empat meter yang mengelilingi kediaman Hidayat terlihat jelas, dimahkotai dengan kawat berduri dan kamera CCTV yang berkedip waspada setiap beberapa mete
Queen mengangkat sebelah alisnya yang terpahat sempurna, sebuah gestur kecil yang memancarkan keraguan sedingin es. "Kau?" ejeknya, nada suaranya tajam menusuk. "Seorang pria yang beberapa jam lalu sekarat di selokan, akan menyembuhkan penyakit yang bahkan ditolak oleh tim dokter kepresidenan?"Sarkasme dalam suaranya begitu kental, cukup untuk membuat pria normal mana pun merasa ciut. Tapi Harris hanya menatapnya dengan ketenangan yang membingungkan. Dia tidak membela diri, tidak juga menjelaskan sumber kekuatannya yang baru. Itu akan membuang-buang waktu. Sebaliknya, dia melukis sebuah gambaran dengan kata-kata, sebuah gambaran yang seharusnya tidak mungkin ia ketahui."Tuan Besar Hidayat tidak menderita penyakit," ujar Harris, suaranya tenang namun bergema dengan otoritas yang tak terbantahkan. "Dia diracun. Racun dingin yang bekerja sangat lambat, meniru gejala kegagalan organ alami."Mata Queen sedikit melebar, keterkejutannya nyaris tak terlihat. Informasi itu sangat rahasia.Ha
Mendengar suara itu, Harris tidak tersentak. Dia hanya menoleh perlahan, matanya yang kini jernih dan tajam bertemu dengan tatapan dingin wanita itu. Di masa lalu, komentar sarkastis seperti itu akan membuatnya menunduk malu. Kini, dia hanya merasakan ketenangan yang aneh.Pengetahuan yang membanjiri benaknya telah mengubah bukan hanya tubuhnya, tetapi juga cara dia memandang dunia. Dia bisa melihat ketegangan tipis di bahu Queen, tarikan napasnya yang terkontrol, dan aura ambisi sedingin es yang mengelilinginya.Dia duduk tegak di ranjang, seprai sutra yang mahal bergeser tanpa suara. "Kecoak bertahan hidup," balas Harris, suaranya masih sedikit serak tetapi mantap. "Aku tidak hanya bertahan. Aku akan berkembang biak."Queen berhenti di tengah ruangan, sedikit terkejut oleh respons yang tidak terduga itu. Dia mengharapkan seorang pria yang hancur dan berterima kasih, bukan seseorang yang balas menatapnya dengan percikan pemberontakan di matanya. Dia menyembunyikan keterkejutannya den
"Bangunlah, cucuku..."Suara itu tidak datang dari luar. Tidak ada getaran di udara, tidak ada bisikan yang menyentuh telinga Harris. Suara itu menggema langsung di pusat kesadarannya, sebuah suara dari masa lalu yang penuh dengan wibawa dan kehangatan yang telah lama ia lupakan. Itu adalah suara kakeknya, Devin Gunawan."Warisan keluarga Gunawan tidak boleh mati dalam kehinaan."Kegelapan yang memeluknya perlahan surut, bukan digantikan oleh cahaya, melainkan oleh ketiadaan. Harris merasa dirinya melayang di sebuah ruang hampa yang tak berujung, tanpa bobot, tanpa tubuh.Di hadapannya, satu per satu, titik-titik cahaya mulai menyala, kemudian memanjang dan membentuk gulungan-gulungan perkamen yang melayang anggun di kehampaan, memancarkan pendar keemasan yang menenangkan.Rasa ingin tahu mengalahkan kebingungannya. Ia mengulurkan tangan—sebuah tangan transparan yang terbentuk dari kesadarannya—dan menyentuh salah satu gulungan terdekat.Seketika, sebuah tsunami informasi menghantam b
Aroma parfum mahal dan anggur terbaik berbaur di udara, menjadi musik latar bagi denting gelas kristal dan tawa renyah para elite kota. Di dalam aula utama Hotel Movi yang bermandikan cahaya keemasan, setiap sudut adalah panggung kekuasaan. Karpetnya begitu tebal hingga mampu meredam suara langkah, seolah hanya bisikan transaksi miliaran rupiah yang pantas terdengar di sini.Di tengah kemewahan itu, Harris Gunawan berdiri seperti sebuah sketsa usang yang salah tempat. Setelan jas murah yang dipinjamnya tampak kusam di bawah lampu gantung megah, dan kerahnya sedikit berjumbai. Lima tahun di balik jeruji besi telah mengikis semua cahaya dari dirinya, meninggalkan sepasang mata yang terlalu dalam dan diam. Dia tidak bisa bicara. Jerat kawat panas yang membakar pita suaranya di penjara telah memastikan itu.Pandangannya terkunci pada dua sosok di panggung kecil di ujung aula. Sera—istrinya, dan Simon—sahabatnya. Tatapannya kosong, dipenuhi dengan keterkejutan yang mendalam.Sera dalam bal







