LOGINQueen mengangkat sebelah alisnya yang terpahat sempurna, sebuah gestur kecil yang memancarkan keraguan sedingin es. "Kau?" ejeknya, nada suaranya tajam menusuk. "Seorang pria yang beberapa jam lalu sekarat di selokan, akan menyembuhkan penyakit yang bahkan ditolak oleh tim dokter kepresidenan?"
Sarkasme dalam suaranya begitu kental, cukup untuk membuat pria normal mana pun merasa ciut. Tapi Harris hanya menatapnya dengan ketenangan yang membingungkan. Dia tidak membela diri, tidak juga menjelaskan sumber kekuatannya yang baru. Itu akan membuang-buang waktu. Sebaliknya, dia melukis sebuah gambaran dengan kata-kata, sebuah gambaran yang seharusnya tidak mungkin ia ketahui.
"Tuan Besar Hidayat tidak menderita penyakit," ujar Harris, suaranya tenang namun bergema dengan otoritas yang tak terbantahkan. "Dia diracun. Racun dingin yang bekerja sangat lambat, meniru gejala kegagalan organ alami."
Mata Queen sedikit melebar, keterkejutannya nyaris tak terlihat. Informasi itu sangat rahasia.
Harris melanjutkan, seolah sedang membacakan sebuah laporan dari dalam benak sang taipan. "Setiap malam tepat jam satu, dada kirinya terasa seperti ditusuk balok es, membuatnya sulit bernapas selama tepat sebelas menit. Denyut nadinya kacau—cepat di pergelangan kanan, nyaris tak terasa di kiri. Dan yang terpenting," Harris berhenti sejenak, menatap lurus ke mata Queen, "Sia selalu melihat bayangan mendiang istrinya di sudut kamarnya saat demamnya memuncak. Benar, bukan?"
Keheningan total.
Wajah Queen yang biasanya seperti topeng porselen kini menunjukkan keretakan. Gejala terakhir itu adalah informasi yang hanya diketahui oleh dirinya, Bima Hidayat, dan dokter pribadi keluarga. Sebuah rahasia yang dijaga ketat untuk melindungi mental sang kakek tua.
"Bagaimana... bagaimana kau tahu semua itu?" bisik Queen, profesionalismenya goyah untuk pertama kali.
"Pengetahuan itu tidak penting," jawab Harris, melambaikan tangannya seolah menepis pertanyaan sepele. "Yang penting adalah solusinya. 'Giok Penenang Jiwa' itu memiliki energi Yin yang sangat dingin dan murni. Memberikannya pada Tuan Hidayat yang tubuhnya sudah dipenuhi racun dingin sama saja seperti menuangkan bensin ke dalam api. Giok itu tidak akan menyembuhkannya. Giok itu akan membunuhnya dalam waktu kurang dari seminggu."
Logika dalam penjelasan Harris, meski berakar pada konsep yang asing, terasa sangat masuk akal. Queen adalah seorang pebisnis ulung. Naluri utamanya adalah mengenali peluang dan menimbang risiko.
Di hadapannya berdiri sebuah anomali, seorang pria yang bangkit dari kematian, memiliki informasi mustahil, dan memancarkan kepercayaan diri yang nyaris arogan. Ini adalah pertaruhan dengan risiko tertinggi, namun dengan potensi keuntungan yang tak terbayangkan.
Jika Harris benar, dia tidak hanya akan mendapatkan kesetiaan penuh dari keluarga Hidayat, tetapi juga membuktikan nilai dari senjata barunya ini.
Dia menarik napas dalam-dalam, keputusannya telah dibuat. "Apa yang kau butuhkan?" tanyanya, nadanya kembali menjadi tajam dan efisien.
Harris tahu dia telah memenangkan babak pertama. "Aku tidak butuh uangmu," katanya, sebuah pernyataan yang lagi-lagi mengejutkan Queen. "Aku hanya butuh tiga hal. Pertama, satu set jarum perak kualitas terbaik yang bisa dibeli dengan uang. Bukan jarum akupunktur biasa, cari yang dibuat oleh pengrajin ahli."
"Diatur," jawab Queen tanpa ragu, otaknya sudah memutar daftar kontak pemasok barang-barang langka.
"Kedua, aku butuh akses ke apotek herbal terlengkap di kota ini. Bukan toko obat modern, tapi yang tradisional. Aku akan pergi sendiri."
"Akan ku siapkan daftar dan mobilnya."
"Dan ketiga," Harris menatap pantulan dirinya yang samar di jendela, melihat pakaian rumah sakit yang dipakainya. "Aku butuh setelan jas yang layak. Aku tidak bisa menemui calon klien dengan penampilan seperti ini."
Satu jam kemudian, setelah mengenakan setelan Armani hitam yang pas di badan, Harris berdiri di depan sebuah toko tua yang terjepit di antara dua bangunan modern yang menjulang. Papan namanya yang terbuat dari kayu sudah lapuk, catnya terkelupas, menampakkan tulisan "Warisan Leluhur".
Aroma apek dari ribuan jenis herbal kering menyambutnya begitu ia mendorong pintu yang berderit.
Tempat itu remang-remang dan berdebu. Seorang pria tua dengan punggung yang sangat bungkuk sedang menata beberapa akar ginseng di etalase kaca yang retak. Setiap gerakannya tampak menyakitkan.
"Selamat datang," sapanya dengan suara serak, bahkan tanpa menoleh. "Cari apa, anak muda?"
Harris tidak langsung menjawab. Matanya yang tajam memindai pria tua itu, mendiagnosis kondisinya dalam sekejap. Saraf lumbar terjepit, peradangan kronis, diperparah oleh aliran Qi yang tersumbat akibat terlalu lama duduk. Penderitaan selama puluhan tahun.
"Aku mencari jarum perak," jawab Harris. "Tapi sebelum itu, sepertinya Anda yang lebih membutuhkan bantuan."
Pria tua itu, Pak Lin, akhirnya berbalik dan tertawa getir. "Bantuan? Nak, aku sudah mencoba semua terapi di kota ini. Dokter, sinse, tukang urut. Punggungku ini sudah jadi temanku selama dua puluh tahun. Tidak ada yang bisa menolongnya."
"Boleh saya pinjam satu jarum akupunktur dari etalase Anda?" tanya Harris dengan tenang.
Pak Lin menatapnya dengan curiga, tetapi ada sesuatu dalam tatapan pemuda itu yang membuatnya mengangguk dan menyerahkan sebuah jarum biasa.
Harris mengambilnya. "Berdirilah tegak, Pak. Sebisa mungkin."
Dengan susah payah, Pak Lin mencoba meluruskan punggungnya, wajahnya meringis kesakitan. Tanpa peringatan, tangan Harris bergerak secepat kilat. Jarum di tangannya menjadi seberkas cahaya perak, menusuk dengan presisi sempurna di satu titik yang aneh—bukan di punggung, melainkan di lekukan belakang lutut kanan Pak Lin.
KLANG~
Sebuah sensasi seperti sengatan listrik ringan menjalar dari lutut Pak Lin langsung ke pinggangnya. Sumbatan yang telah menyiksanya selama dua dekade seolah hancur lebur. Rasa sakit yang tajam dan tumpul yang selalu ada, tiba-tiba lenyap.
Dia mengerjapkan matanya. Perlahan, dia mencoba membungkuk, lalu meluruskan punggungnya. Tidak ada rasa sakit. Sama sekali. Dia bahkan bisa berdiri tegak sempurna untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.
"Ini... ini..." Air mata mulai menggenang di sudut matanya yang keriput. Dia menatap Harris dengan campuran rasa tak percaya, syukur, dan kekaguman yang luar biasa. "Keajaiban!"
Harris hanya tersenyum tipis dan mencabut kembali jarum itu. "Hanya melancarkan yang tersumbat."
Pak Lin terisak, air matanya kini mengalir deras. Dia bergegas ke belakang toko, kembali dengan sebuah kotak kayu cendana yang sudah tua namun sangat terawat. Auranya terasa kuno dan kuat.
"Aku tidak punya uang untuk membayarmu atas keajaiban ini," katanya dengan suara bergetar. "Tapi ambillah ini. Ini adalah harta warisan keluargaku. Aku sudah terlalu tua dan tidak layak menyimpannya. Benda ini menunggu pemilik yang tepat."
Dia membuka kotak itu. Di dalamnya, di atas bantalan sutra merah yang sudah pudar, terbaring sembilan jarum perak. Jarum-jarum itu tidak seperti jarum biasa. Warnanya lebih pekat, dan di setiap pangkalnya terukir relief naga kecil yang tampak hidup. Saat kotak itu terbuka, Harris bisa merasakan gelombang energi hangat yang samar mengalir darinya, seolah jarum-jarum itu memanggilnya.
"Ini bukan jarum biasa, Nak," bisik Pak Lin, matanya penuh dengan kekhidmatan. "Ini adalah 'Sembilan Jarum Naga Langit'."
Dia berhenti sejenak, menatap lurus ke mata Harris sebelum mengucapkan kalimat terakhirnya dengan suara penuh arti.
"Alat bagi seorang dewa."
Ruangan itu seharusnya sudah steril. Lampu stabil, medan tenang, tidak ada lonjakan Qi.Itulah sebabnya Harris langsung berhenti berjalan. “Ada yang salah,” katanya pendek.Liora mengangkat kepala dari panel. “Sensor normal, tidak ada intrusi.”“Justru itu,” jawab Harris.Udara di tengah ruangan menjadi hampa. Seperti satu lapisan realitas ditarik mundur setengah langkah. Cahaya di layar berkedip.Liora mundur setengah langkah. “Ini bukan gangguan medan.”Bayangan itu terbentuk perlahan, seperti siluet seorang pria yang berdiri dengan santai, tangan di saku dan kepala sedikit miring.Lalu suaranya terdengar. “Harris Gunawan…”Nada suara itu tenang dan terdengar familier.Harris tidak bereaksi. “Kau tidak punya akses ke sistem ini.”“Benar,” jawab Simon ringan. “Makanya aku tidak masuk lewat sistem.”Senyum tipis muncul di wajah bayangan itu, namun hanya separuh ekspresi yang diizinkan hadir.Liora mengepalkan tangan. “Ini proyeksi.”“Resonansi,” koreksi Simon lembut. “Kau membuka cela
Liora melangkah lebih dekat, hampir berhadapan. “Kau sedang mengorbankan prinsip.”Harris menatap Liora dengan tajam. “Aku hanya sedang memilih urutan.”“Apa maksud kata-katamu itu?”Harris menatapnya lebih tajam, suaranya rendah dan mantap. “Kalau aku tidak salah sekarang, kita mati nanti.”“Kau terlambat.” Tiba-tiba sebuah suara terdengar datar, hampir malas, ketika pintu baja ruangan itu bergeser terbuka, cukup untuk membiarkan udara dingin dan satu sosok asing masuk.Pria itu tidak mengenakan jas lab. Tidak juga jubah ritual. Pakaian hitam tak bertanda, ringan, dibuat untuk bergerak cepat. Wajahnya biasa saja, nyaris mudah dilupakan. Tapi cara ia berdiri, berat tubuh bertumpu sempurna.“Dokter Agung,” ucapnya, nada sopan tapi kosong. “Kami datang untuk mengamankan aset yang tidak stabil.”Liora yang berdiri di belakang Harris langsung menegang. “Jangan—”“Diam,” potong Harris.Matanya tidak pernah lepas dari pria itu. “D’Varuna?” tanyanya.Pria itu tersenyum tipis. “Cabang operasi
“Kalau ini gagal,” kata Liora lirih sambil mengenakan sarung tangan steril, “Kita tidak bisa menutupinya.”“Operasi ini memang tidak akan dicatat,” jawab Harris.Ia berdiri di sisi ranjang, membuka kotak jarum naga. Hanya delapan yang tersisa.“Ini penyeimbangan skala kecil, bukan penyembuhan. Kita hanya mencoba mencegah pemisahan.”Pasien itu mengerang, matanya terbuka setengah. “Dok…” suaranya pecah. “Aku… dingin—”“Jangan melawan,” kata Harris tenang. “Tarik napas pendek, dengarkan suaraku.” Ia menusukkan jarum pertama ke titik jangkar di bawah tulang dada. Jarum kedua menyusul, lalu ketiga untuk membentuk segitiga penahan Qi.Awalnya berhasil dan aliran Qi pria itu melambat, monitor menunjukkan stabilisasi halus. Liora menghela napas kecil.Lalu tiba-tiba tekanan datang.Qi di ruangan itu bergetar, seolah ada sesuatu yang mengenali prosedur ini. Alur yang sebelumnya pasif mulai bergerak, mengikuti jalur yang Harris buat.Suara Liora menegang. “Resonansi berbalik.”“Aku tahu,” jawa
“Ini bukan laporan tunggal.”Suara itu keluar dari sistem konferensi terenkripsi Heaven’s Pulse, teredam lapisan keamanan berlapis yang hanya dipakai untuk komunikasi lintas-zona. Layar kristal di dinding menyala, menampilkan wajah-wajah serius dari berbagai fasilitas, tidak ada satu pun logo publik, tidak ada nama rumah sakit umum.Semua yang hadir berada di balik dunia resmi.“Kami menerima pola mimpi sinkron di beberapa fasilitas berbeda,” lanjut suara itu. “Node Selatan, Wilayah Delta, dan satu pusat medis lintas-laut di luar yurisdiksi Konsorsium lokal.”Liora menegang. “Jaraknya terlalu jauh.”“Dan terlalu cepat,” tambah Harris dari sisi ruangan. Ia berdiri dengan tangan terlipat, suaranya tenang tapi memotong. “Onset tidak mengikuti pola penularan medis atau psikologis.”Seorang pria berkacamata di layar lain mengangguk. “Pasien kami melaporkan simbol yang sama. Pintu. Detak. Cahaya merah. Tidak ada koneksi sosial di antara mereka.”“Berarti medan resonansi,” gumam Liora. “Ia t
“Matikan seluruh sirkulasi medan!”Perintah Harris, suaranya terdengar parau tapi tegas.Lampu-lampu steril padam satu per satu. Garis Qi biru di lantai meredup, beberapa di antaranya retak permanen, meninggalkan bekas hitam seperti luka bakar pada kristal.Heaven’s Pulse masih berdiri, namun tidak lagi utuh.“Zona C dan D kolaps total,” lapor Raka dengan suara kaku. “Medan penyeimbang tidak bisa dipulihkan penuh. Kita… kita kehilangan tiga simpul inti.”Liora berdiri di tengah ruangan, matanya menyapu pasien-pasien yang tersisa. Beberapa tertidur paksa. Beberapa menangis dalam diam. Dan satu ranjang kosong, tertutup kain putih.Ia berhenti di sana.“Nadi berhenti sepuluh menit setelah medan runtuh,” katanya lirih. “Jiwanya sudah lebih dulu pergi.”Harris tidak mendekat, ia hanya menutup mata sesaat. Satu kematian adalah harga yang telah dibayar.Getaran susulan terasa halus, hampir tak disadari, tapi Harris merasakannya sampai ke tulang. “Ini bukan lokal,” gumamnya.Liora menoleh cep
“Lihat makhluk itu, dia berubah!” Suara Liora terdengar tegang, nyaris tenggelam oleh dengungan medan yang kembali hidup. Cahaya biru berkedip tak stabil, seperti denyut nadi yang dipaksa bekerja di luar batas.Harris berdiri di tengah ruang rawat, matanya tajam. “Apakah dia sedang berusaha meniru?”Qi merah yang tersisa dari manifestasi sebelumnya tidak lagi menggumpal liar. Ia memanjang, menipis, lalu menyusun pola alur yang terlalu familier. Garis-garisnya membentuk lintasan yang Harris kenali tanpa perlu berpikir.“Pola Nafas Surga,” gumam Liora. “Tidak mungkin—”“Mungkin,” potong Harris. “Karena dia belajar dari jangkar.”Qi itu melesat ke arah meridian seorang pasien, ia menjerit ketika tekanan tak kasatmata menekan saraf Qi di pergelangan tangannya. Tubuhnya kaku, mata membelalak, napas tersedak.“Zona C, tutup!” teriak Raka.Harris sudah bergerak, ia berlari menyilang ruangan, jarum naga berkilat di tangannya. Tusukan pertama memutus lintasan Qi di udara. Tusukan kedua mengali







