Kalung itu menyala. Retak. Dan di pusatnya—kini ada satu huruf asing yang belum pernah dia lihat dalam hidupnya.
Langit di dunia mimpi Danu kini menghitam. Langkah para Penjaga Aksara berdentum menyayat udara. Danu berdiri di tengah lingkaran batu raksasa yang dipenuhi simbol-simbol purba, mengambang dan berputar membentuk gerbang dimensi. Satu demi satu Penjaga muncul. Ada yang bermata tiga, ada yang bertubuh transparan seperti bayangan air, ada pula yang mengenakan jubah dari lembaran naskah kuno. Mereka menatap Danu seolah dia adalah kunci terakhir. "Setiap kata yang kau tulis ... akan menjadi kenyataan atau kutukan," ujar salah satu Penjaga, suaranya seperti gema dari masa ribuan tahun lalu. Tiba-tiba, dari celah di antara simbol-simbol itu, muncul sebuah makhluk besar setengah bayangan, setengah nyala api. Wujudnya tak bisa dijelaskan dengan logika manusia. Seolah ia adalah hasil perpaduan ingatan manusia purba, suara leluhur, dan energi yang tak dikenal oleh ilmu pengetahuan manapun. "Ini yang akan terjadi jika kau menolak takdirmu," bisik sang Penjaga utama sambil menunjuk ke langit. Di atas, Danu melihat bayangan kota modern yang ia kenal, meledak oleh ribuan simbol raksasa yang jatuh seperti hujan meteor. Gedung-gedung roboh bukan karena ledakan, tapi karena kata-kata: ‘Luluh’, ‘Runtuh’, ‘Kehilangan’, terpahat di langit dan jatuh menghantam bumi. “Bukan senjata yang menghancurkan dunia ... tapi aksara yang tak dijaga.” Makhluk raksasa itu meraung, dan perlahan merayap ke arah Danu. Semua Penjaga mundur. “Kau adalah penjaga terakhir. Kau bisa mengusirnya, atau kau akan dikendalikan olehnya.” Danu ingin lari, tapi tanah terbelah. Angin menyedot tubuhnya. Makhluk itu masuk ke dadanya. Tidak lewat mulut atau mata, tapi lewat kalung yang menyala seperti bara. Danu menjerit. Teriakannya menggema dan merobek udara. Tubuhnya melayang, seluruh simbol kuno menempel di kulitnya, lalu membakar dan menyatu dengan darahnya. Lalu ... segalanya gelap. Danu terbangun dengan napas memburu. Di tangannya, kalung itu berubah warna. Tak lagi merah menyala, tapi hitam pekat... seperti menyimpan sesuatu yang baru saja bangkit. Dan di cermin kamarnya ... Tampak satu huruf asing terpahat samar di bawah tulang selangkanya. Tertulis dengan darah. Tapi terasa ... seperti tak bisa dihapus. **** Danu membuka mata. Dunia masih gelap. Tapi bukan karena malam, melainkan seolah semua warna di sekitarnya berubah—terlalu jelas, terlalu terang. Jantungnya berdegup tak karuan. Bukan karena takut. Tapi karena ... kekuatan. Ada sesuatu dalam dirinya yang berbeda. Sesuatu yang liar, berdenyut di bawah kulitnya. Ia bangkit dari ranjang. Melangkah ke cermin. Dan tercekat. Wajah itu ... masih miliknya, tapi lebih simetris. Lebih terdefinisi. Mata yang dulu terlihat sayu dan lelah, kini memancarkan ketajaman dan cahaya misterius seperti kumpulan aksara tersembunyi di balik bola matanya. Rambutnya berantakan tapi sempurna. Bahkan tubuhnya—yang selama ini kurus tanpa definisi—kini berotot ramping, simetris, dan tegap alami, seolah dipahat diam-diam saat ia tidur. “Gila ... ini bayangan diriku?” bisiknya, mengelus wajahnya sendiri. Pagi itu, Danu keluar rumah seperti biasa. Mengenakan kemeja, celana kain, tas slempang, dan rambut yang masih sedikit basah oleh air mandi. Namun setiap langkah kakinya seolah menciptakan gelombang tak kasat mata. Perempuan pertama yang berpapasan dengannya menoleh dua kali. Lalu tiga kali. Lalu berjalan tanpa sadar ke arah tiang lampu dan BRAK! Barang bawaannya terjatuh. Wajahnya memerah bukan karena malu—tapi bingung. Bahkan jatuh pun ia masih melirik ke arah Danu sambil menahan senyum aneh. “Eh ... maaf maaf,” gumam Danu bingung. Namun itu baru permulaan. Di perempatan, seorang pengendara motor wanita berhenti mendadak saat melihat Danu menyeberang. Dia terbengong terlalu lama—dan mobil dari belakang BRAKKK!! menghantam motornya. Orang-orang mulai berteriak. Kekacauan. Klakson bersahutan. Danu lari dari tempat itu, takut dianggap biang masalah. Namun di matanya, semua orang melihatnya. Menatap. Terpana. Seolah dia bukan manusia biasa. Seolah dia ... memiliki daya tarik gaib. Di kantor pun serupa. Begitu Danu masuk lobby, para staf perempuan yang biasanya tak pernah menoleh padanya kini saling mencolek, berbisik-bisik, bahkan satu dua mencoba menghampiri hanya untuk “menanyakan waktu”. Senyum mereka bergetar. Mata mereka berbinar. Namun bukan itu yang paling mengejutkan. Saat Danu masuk ke ruangan kerjanya dan menatap Nadine—gadis yang kemarin nyaris dia lukai secara misterius—waktu terasa berhenti. Nadine terdiam. Matanya tak bisa lepas dari Danu. Langkahnya pelan, seolah ditarik oleh kekuatan magnetis. Tangannya bergetar, tubuhnya merapat. Danu bahkan bisa mencium aroma parfum Nadine sebelum dia menyentuh .... Namun .... Seketika kenangan buruk itu menyeruak di benak Nadine. Wajahnya pucat. Dia mundur panik, bahkan menjatuhkan dokumen yang dibawanya. “Ma—maaf!” serunya dan berlari pergi. Danu menatap tangannya. Dia belum menyentuh siapa pun hari ini. Tapi semuanya ... seperti tersentuh tanpa disadari. Di balik itu semua, staf laki-laki mulai membentuk persekutuan diam-diam. Bisik-bisik meruncing di antara ruang meeting dan pantry. “Gue bilang juga apa, dia aneh,” desis salah satu dari mereka. “Lo liat Nadine tadi? Nggak kayak biasanya.” “Alvino harus tau ini ... kita nggak boleh biarin dia lebih lama di sini.” Dan di salah satu sudut ruangan, Alvino mengepalkan tangan. Matanya menyipit. Penuh api cemburu dan rencana licik yang baru saja tumbuh. "Tunggu apa yang bisa gue lakukan padamu, Danu!"Danu duduk di ruang kerjanya, naskah biografi Rendra Gunawan terbuka di hadapannya, penuh coretan, sticky notes, dan tinta merah yang belum sepenuhnya kering. Tangannya gemetar setiap kali ia menulis ulang satu kalimat—dan bukan karena takut salah gramatikal.Tapi karena … setiap kalimat yang ia ubah, menjadi kenyataan.Hari pertama.Ia menulis ulang bagian tentang "Rendra pernah nyaris mati tersambar petir di lereng Lawang Sentra saat badai hebat melanda."Setelah menyimpan dokumen itu di flashdisk dan pulang, ia membuka berita malam:"Hujan petir langka terjadi di Lereng Lawang Sentra. Satu pendaki ditemukan selamat meski tersambar."Danu nyaris menjatuhkan ponselnya. "Apa mungkin Rendra bisa keluar dari lorong itu dengan tulisanku?" Dia menggeleng samar.Hari kedua.Ia memperbaiki satu bagian kecil tentang ayah Rendra yang kabarnya "dikenal sebagai penjaga naskah-naskah kuno dan masih hidup dalam persembunyian."
Angin yang bertiup dari lorong waktu tak sekadar menyentuh kulit—ia menghantam sampai ke lapisan jiwa terdalam.Kayla, Danu, dan Rahwanagara berteriak tanpa suara saat pusaran cahaya biru kehijauan menggulung mereka. Tak ada arah, tak ada pegangan. Hanya waktu yang pecah, berdenging seperti alarm semesta. Gulungan sejarah Rahwanagara robek dengan sendirinya, aksara berhamburan seperti serpihan kaca yang berkilau.Dan ketika cahaya itu meredup …Mereka jatuh.Bukan di masa lalu. Bukan di masa kini. Tapi di masa depan.Sebuah kota tanpa bayangan, tanpa matahari. Gedung-gedung transparan setinggi langit berdiri di atas tanah yang memantulkan cahaya biru dingin. Mobil-mobil tanpa roda melayang. Jalanan tak lagi padat manusia, hanya hologram yang berjalan dan bekerja, sementara para manusia nyata tertidur dalam kapsul seperti kantung raksasa bening."Apa... ini?" Danu terhuyung. Pena apinya kehilangan cahaya. Buku takdirnya kosong.
Gemuruh guntur terdengar bahkan di siang bolong. Langit Lawang Sentra tak lagi membiru, melainkan dipenuhi retakan samar seperti kaca pecah. Tapi tak seorang pun benar-benar menyadarinya—bagi mata biasa, hanya terlihat seperti perubahan cuaca yang aneh.Di dalam ruang arsip kantor redaksi Suara Svara, pertempuran yang tak kasat mata telah dimulai.Danu berdiri menghadap Kayla. Pena api di tangan kirinya bergetar hebat.“Kamu menghapus semua kerja kerasku. Semua aksara yang kutulis. Kamu ... penghianat!” bentaknya, napasnya memburu. Aura panas menyebar dari telapak tangannya, membuat rak-rak logam di sekitar mulai mencair seperti lilin.Kayla berdiri tenang di tengah pusaran energi yang terbentuk. Matanya menyala biru pucat. “Kamu belum mengerti, Danu. Tulisanmu menembus batas waktu—dan itu berarti ... kamu mengacak-acak takdir tanpa saringan.”“Aku menulis untuk kebaikan!” Danu menyerang lebih dulu. Goresan pena api menghantam lantai, men
Langkah Kayla pelan. Sepasang sepatunya menyentuh lantai kamar Danu tanpa suara. Ia menatap tubuh yang tergeletak tak berdaya itu, napasnya masih berat, berkeringat dingin akibat kekuatan yang terlalu besar keluar dalam satu waktu.Matanya memantulkan cahaya lembut dari buku kuno yang masih menyala di lantai. Ia mengenal buku itu. Ia bahkan tahu dengan pasti bagaimana rasanya saat pena api keluar dari dalam tubuh. Itu rasa yang begitu familiar—sekaligus menakutkan.“Akhirnya kamu juga merasakannya, Danu ....” bisiknya, lirih dan penuh campur aduk.Kayla duduk perlahan di samping Danu, meraih selimut dan menutupinya pelan, nyaris seperti seorang kakak yang melindungi adiknya. Tapi matanya … matanya menyimpan rahasia berabad-abad.Lalu segalanya kembali.Ratusan tahun lalu.Langit merah membara. Di lembah Dunya Aksara, sebuah tempat sakral bagi para Penjaga, seorang anak lelaki berdiri di altar batu. Usianya dua belas tahun, rambut
Danu menatap layar komputer di hadapannya. Tampak buram. Bukan karena mengantuk, tapi karena mouse tak kunjung mau bergerak ke arah yang diinginkannya. Trackpad laptop bermasalah? Bukan. Tangannya sendiri... bergetar dan lemas.Tumpukan kertas di sisi meja hampir jatuh. Naskah-naskah lama yang harus dia koreksi, sunting ulang, proofreading baris per baris, mencocokkan referensi kutipan, dan menyusun layout halaman demi halaman dengan perhitungan kolom yang akurat. Semuanya harus dilakukan manual—tanpa bantuan alat koreksi otomatis, AI editing, atau aplikasi percepat kerja yang biasa ia manfaatkan diam-diam melalui kekuatan lamanya.Seminggu lalu, pekerjaan seperti ini bisa dia selesaikan hanya dalam hitungan jam.Sekarang?Layar Excel saja bisa membuat matanya berair dan punggung terasa diremas-remas. Ia tak bisa mengakses apapun secara instan. Bahkan tombol pintas pada keyboard terasa asing dan lambat.“Danu,” tegur Mbak Tari dari divisi tata letak, “layout halaman 7 sampai 14 belum
KRAK!!Lorong waktu retak.Danu terhuyung. Udara di sekitarnya bukanlah udara… melainkan seperti serpihan sejarah dan bayangan masa depan. Semuanya berputar. Tak ada atas, tak ada bawah.Ia meraba dinding bayangan, napasnya berat.“Ini … jebakan?” gumamnya, suara sendiri menggema seperti gema ribuan lidah.Tiba-tiba, pusaran terbelah. Sebuah cahaya merah keemasan muncul. Seolah ada tangan tak kasat mata yang menyibak tirai semesta.Danu melangkah maju. Tubuhnya terasa lebih ringan, tapi detakan jantungnya semakin berat.Di tengah kekosongan yang kini tampak seperti taman waktu yang melayang, duduklah seorang pria tua berjubah tinta, rambut putih panjang, dan mata tajam yang menyala seperti bara. Di belakangnya, mengambang lembaran-lembaran naskah kuno, pena-pena besar melayang seolah menjaga takhta tak kasat mata.“Kamu siapa …?” lirih Danu.Pria itu membuka mata. “Akhirnya … waktumu tiba.”Dan
Langit Lawang Sentra yang biasanya cerah, sore itu ditutupi awan kelabu yang menggantung berat. Udara mendadak dingin, seolah waktu menahan napas. Kota itu—yang dibangun di atas fondasi sejarah dan misteri—mulai merasakan getaran dari dimensi yang tak kasat mata.Dan semuanya … berpusat pada Danu.Nadine yang sedang berjalan pulang dari kantor, tiba-tiba berhenti di trotoar ketika lampu jalan menyala lebih awal dari biasanya. Bayangannya membelah dua, meski hanya ada satu sumber cahaya.Da mengernyit. "Aneh…"Tapi sebelum ia bisa melangkah lagi, suara retakan—seperti kaca pecah di langit—menggema di atas kepalanya. Orang-orang di sekitarnya berhenti berjalan, menatap langit yang tampak seperti layar film raksasa yang merekah dan berpendar keunguan.Seketika, udara berdesir dingin dan mengeras. Wajah-wajah di sekeliling Nadine mulai membeku—secara harfiah—seperti patung lilin.Lalu ia datang.Sosok berjubah kelam dengan topeng putih menyelubungi wajahnya, muncul dari pusaran retakan di
Pagi harinya di kantor, suasana terasa berbeda. Para staf masih bersikap canggung padanya. Sebagian menjauh. Sebagian wanita malah mulai terang-terangan memuji, menyentuh, dan mendekat. Tapi yang paling mengejutkan adalah ketika Bu Adhira memanggil Danu ke ruangannya. “Danu, kamu pernah bilang ingin kontribusi besar, kan?” tanya Bu Adhira tanpa basa-basi. “Aku punya proyek ... dan hanya kamu yang kupilih untuk ini.” Danu menegakkan punggung. “Tentu, Bu. Proyek apa?” “Menulis ulang ... dan menyusun ulang biografi penulis legendaris yang sudah hampir dilupakan. Rendra Gunawan.” Danu menahan napas. Nama itu ... asing, tapi terasa menggema di dadanya. Langkah kaki Danu terdengar tenang di sepanjang lorong, tapi sorot matanya tajam. Baru saja keluar dari ruang Bu Adhira dengan tugas baru, ia tahu betul ... seseorang sedang mengintainya. Danu mengabaikannya dan terus mengingat perintah atasannya. “Aku ingin kamu menelusuri hidupnya. Mencari sumber, dokumen, cerita, bahkan tulis
Langkah kaki terdengar pelan namun tegas. Gadis itu mendekat, membelah kerumunan pegawai yang terdiam melihat kerusuhan barusan. Rambut hitam panjangnya dikuncir kuda, blazer hitam pas tubuh membungkus posturnya yang tinggi dan tegas. Matanya langsung terkunci pada Alvino yang masih berdiri dengan napas memburu, dan Danu yang kini duduk bersandar pada mobil dengan luka memar di pelipisnya.“Alvino.”Suaranya tenang, tapi dingin dan tajam. Alvino menoleh, wajahnya masih merah dan dipenuhi amarah.“Kay ... ini bukan urusanmu!”“Justru ini urusanku. Kamu menciptakan gangguan energi besar. Sangat besar, hingga aku mencium aroma kebusukan dari ujung dunia.”Alvino memicingkan mata. “Jangan mulai pakai bahasa anehmu di depan mereka!”Tapi gadis yang dipanggil Kay itu melangkah maju, hingga wajahnya hanya sejengkal dari sepupunya. Nyaris tanpa suara, ia berbisik dalam nada rendah namun bisa didengar Danu.“Kamu terlalu cepat me