"Afkar, kamu datang? Kamu benar-benar bisa menyambung kembali lengan Arin?" tanya Felicia. Tatapan presdir cantik itu penuh dengan perasaan yang campur aduk. Ada harapan di matanya, tetapi juga kekhawatiran dan rasa cemas.Afkar hanya tersenyum tanpa mengiakan secara langsung. Dia memberi tahu, "Lihat saja nanti, seharusnya bisa."Mendengar itu, Delson langsung mendengus dingin di samping mereka. Dia menatap Afkar dari atas ke bawah sebelum berkomentar, "Benar-benar konyol. Kami sudah memakai teknologi dan peralatan terbaik di dunia saja nggak bisa melakukannya, tapi kamu malah berani berbual di sini? Apa yang membuatmu yakin bisa menyambungnya kembali? Pakai pengobatan tradisional pula?"Memang sejak awal, Delson meremehkan pengobatan tradisional. Sekarang, saat melihat Afkar masih muda, dia makin yakin bahwa ini hanyalah omong kosong belaka. Rasa meremehkannya benar-benar terlihat jelas di wajahnya.Ekspresi Arifin terlihat dingin. Dia berbicara dengan nada ketus, "Anak Muda, hati-ha
Orang-orang di sekitar juga langsung menatap ke arah Felicia dengan sorot mata penuh keraguan dan ketidakpercayaan.Delson langsung mengerutkan alisnya rapat-rapat. Sebagai ahli asing dalam bidang ini, dia sendiri sudah menyatakan bahwa lengan itu tidak bisa disambung lagi. Namun sekarang, ada seseorang yang berani bicara seperti itu di hadapannya. Bukankah ini bentuk langsung dari keraguan terhadap profesionalismenya?Felicia memberi tahu, "Bukan aku, tapi suamiku! Dia yakin 90% bisa menyelamatkan lengan Bu Arin!""Oh?" Mendengar itu, Arifin mengangkat alis. Dia bertanya dengan nada terkejut, "Suamimu? Dia dokter juga? Dia ahli dalam bidang ini?"Delson langsung menyela dengan nada sinis, "Hmph! Mana mungkin? Bahkan, aku saja nggak bisa menyambungnya. Aku berani bilang, di dunia ini nggak ada orang yang bisa. Lengan yang sudah mati total, mana mungkin bisa disambung kembali? Siapa suamimu? Apa dia sudah pernah melakukan operasi semacam ini?"Felicia sempat ragu sejenak, lalu tetap mem
Mendengar penjelasan dari Delson, mata Arifin langsung membelalak. Orang-orang di sekitarnya juga terlihat kaget dan penuh tanda tanya di wajah mereka. Apa? Lengan Arin sudah benar-benar membusuk hanya dalam waktu sesingkat itu? Ini ... ada apa sebenarnya?Ekspresi Felicia pun tak bisa menyembunyikan keterkejutan. Raut wajahnya sedikit berubah. Dalam benaknya, terlintas bayangan para penjahat yang mereka hadapi waktu itu. Kulit dan wajah mereka kehijauan, mata mereka memutih, tidak ada ekspresi di wajah mereka, tetapi kekuatannya luar biasa.Sementara itu, lengan Arin adalah hasil dari tarikan brutal si sopir truk tangki .... Jangan-jangan, para penjahat itu ....Arifin membelalakkan mata, lalu menatap tajam ke arah Felicia sambil membentaknya dengan penuh tekanan, "Kenapa bisa seperti ini? Sebenarnya, apa yang terjadi? Bu Felicia, apa yang sebenarnya terjadi waktu itu? Kamu bilang lengan anakku ditarik sampai lepas oleh penjahat? Penjahat seperti apa mereka?""Mereka memang terlihat a
Saat itu, meskipun Arifin meminta agar orang-orang tidak membahas lagi, kata-katanya barusan sungguh membuat Felicia kecewa.Kalau saja memungkinkan, Felicia benar-benar berharap bisa memutar kembali rekaman CCTV kejadian saat itu agar semua orang bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi, lalu akhirnya menutup mulut mereka yang terus menyalahkan. Sayangnya, ini adalah Magizta. Pengaruh yang dimiliki Felicia di sini terlalu terbatas.Saat itu, salah satu pria berseragam yang datang bersama Hendrik sempat melirik ke arah Felicia. Bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya dia hanya menggelengkan kepala dan memilih diam.Pria itu bernama Jovan. Dia adalah anggota kepolisian Magizta yang bertanggung jawab di bagian kontraterorisme. Dia sudah menonton rekaman CCTV kejadian saat insiden berlangsung dan sebenarnya sangat paham dengan apa yang terjadi saat itu.Namun, posisi Jovan membuatnya tidak bisa berpihak pada Felicia. Dalam situasi seperti ini, yang bisa dia lakukan han
Begitu Hendrik mengucapkan kalimat itu, semua orang langsung menoleh dan menatap ke arah Felicia.Arifin yang merupakan ayah Arin, sekaligus orang terkaya di Magizta, hanya melirik Felicia dengan tatapan dingin. Dia mendengus pelan, lalu diam saja dengan wajah tetap tanpa ekspresi. Tentu saja dia tahu, saat kejadian anaknya memang sedang bersama ketua cantik dari Safira Farma.Hanya saja karena merasa statusnya lebih tinggi, Arifin tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan orang-orang sebelumnya.Namun, setelah mendengar ucapan Hendrik barusan, reaksi orang-orang di sekitar justru mulai bermunculan. Banyak dari mereka adalah tokoh bisnis Magizta yang merasa punya hubungan baik dengan Keluarga Sadali. Maka, mereka pun mulai menyerang Felicia dengan kata-kata pedas."Jadi, lagi bareng dia ya?""Bu, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa bisa sampai begitu?""Kamu ada hubungan apa dengan kejadian ini?""Kenapa kamu bisa baik-baik saja? Bisa berdiri di sini tanpa luka sedikit pun?
Hendrik berkomentar, "Tapi Pak Ivan, tindakanmu ini ... rasanya terlalu ekstrem."Ivan tidak menjawab. Dia langsung bersikap seolah-olah tak tahu apa-apa, lalu menutup telepon Hendrik.Wajah Hendrik di seberang sana terlihat berubah-ubah, antara cemas dan marah. Dia memaki, "Sialan, Ivan ini sudah gila ya? Jangan sampai aku ikut terseret. Walau di belakangku ada Keluarga Tahir, Keluarga Sadali juga nggak bisa diusik sembarangan. Tapi kalau sudah kejadian begini, selama dikendalikan sedikit, mungkin kerja sama antara Felicia dan Arin bisa saja gagal total!"Saat mengucapkan itu, Hendrik menyeringai dingin.....Di rumah sakit, tepatnya luar ruang operasi.Di lorong rumah sakit, ayah dari Arin sekaligus pemimpin Grup Sadali dan orang terkaya di Magizta, Arifin Sadali, berjalan mondar-mandir. Wajahnya penuh kecemasan, amarah, dan kekhawatiran.Beberapa tokoh penting di dunia bisnis Magizta, termasuk kolega dan rekan bisnis Arifin, datang satu per satu karena mendengar kabar tersebut."Pak