Masuk“Serangan tak terhindarkan?” ulang Sagara, napasnya masih tersengal. Kekecewaan membakar dadanya lebih panas dari tenaga dalam yang baru saja ia lepaskan. “Apa bedanya, Guru? Aku tidak mengerti.”“Sebuah palu godam itu tak tertahankan,” jawab Ki Jatmika, suaranya tenang seperti permukaan danau di pagi hari. “Ia bisa menghancurkan gerbang benteng. Tapi seorang penjaga yang waspada bisa melihatnya datang dari jauh dan menghindar. Seranganmu tadi adalah palu godam.”Ki Jatmika mengambil sehelai daun kering dari tanah. “Sekarang, bayangkan sebuah jarum,” lanjutnya sambil mengangkat daun itu. “Ia tidak bisa menghancurkan gerbang. Tapi jika dilemparkan oleh seorang ahli, ia bisa menembus celah terkecil di baju zirah penjaga itu. Ia tidak tertahankan, tapi ia tak terhindarkan. Itulah Arus Bawah.”Sagara menatap lubang dangkal di batu karang. Ia mengerti teorinya, tapi tubuhnya menolak. “Naluriku, setiap serat ototku berteriak untuk melepaskan kekuatan penuh. Bagaimana cara mengubah palu menj
Sagara mengerutkan kening. “Tusukan Arus Bawah? Itu jurus yang menembus pertahanan, tapi apa bedanya dengan serangan telapak tangan biasa?”Ki Jatmika melangkah mendekat, matanya berkilat di bawah sinar bulan yang meredup. “Serangan biasa bisa dihindari, Sagara. Ia mudah terlihat. Tusukan Arus Bawah bukanlah serangan frontal. Ia adalah bisikan di telinga, racun di dalam cangkir anggur. Ia bukan hanya tentang kekuatan yang tak tertahankan, melainkan kekuatan yang tak terduga.”Ia menjentikkan jarinya ke arah Sagara. Jentikan itu begitu cepat dan lembut, Sagara hampir tidak merasakannya. Tapi sesaat kemudian, sebuah sensasi terbakar muncul di titik energi tepat di atas jantungnya.Sagara terkejut, memegang dadanya. Serangan itu nyaris tak terdeteksi oleh Bisikan Samudra-nya, dan itu dilepaskan hanya dengan satu jentikan santai. Jika itu adalah serangan mematikan, ia pasti sudah mati.“Arus Bawah bekerja dengan meniru alam,” Ki Jatmika menjelaskan, menarik tangannya kembali. “Bayangkan s
Matanya yang biasa teduh kini berkilat penuh kemenangan dan kekejaman yang.....tak pernah ia lihat seumur hidupnya. Sesuatu yang begitu pekat dan murni dalam kebusukannya.Sagara terhuyung mundur seolah dadanya baru saja dihantam palu godam tak kasatmata. Liontin giok itu terlepas dari genggamannya yang gemetar, jatuh tanpa suara ke atas pasir lembut. Napasnya tersengal, dan dingin yang menusuk tulang menjalari seluruh tubuhnya, padahal angin malam di pantai ini terasa hangat. Gambaran itu, seringai Ki Adhi Pramana tampak terbakar di balik kelopak matanya, menolak untuk pergi.“Apa yang kau lihat, Nak?”Suara Ki Jatmika yang dalam dan tenang memecah keheningan, menarik Sagara kembali dari jurang kengerian. Sagara membuka matanya, menatap sang guru dengan pandangan kosong. Keringat dingin membasahi pelipisnya.“Aku... aku melihatnya, Guru.” Suaranya serak, nyaris berbisik. “Wajahnya, wajah pengkhianat itu.”Ki Jatmika tidak menunjukkan keterkejutan. Ia hanya mengangguk pelan, sorot mat
“Mustahil untuk diam di tengah badai, Guru! Mustahil untuk mencari setetes air tawar di tengah lautan asin!” bentak Sagara, matanya yang terpejam bergetar menahan gejolak. “Setiap kali aku mencoba fokus pada satu suara, seratus suara lain menyerbuku! Aku tidak bisa memisahkannya! Ini seperti mencoba menangkap angin dengan jaring!”Ki Jatmika tidak bergerak dari tempatnya berdiri, beberapa langkah di belakang Sagara. Suaranya terdengar tenang, tanpa terpengaruh oleh ledakan frustrasi muridnya. “Kau benar. Kau tidak akan pernah bisa menangkap angin dengan jaring. Itu sebabnya kau bodoh jika terus mencobanya.”“Lalu apa yang harus kulakukan?!” Sagara membuka matanya, menatap sang guru dengan putus asa. “Menyerah? Membiarkan semua suara ini menelanku hidup-hidup?”“Kau masih belum mengerti, Nak,” sahut Ki Jatmika sambil berjalan perlahan mendekati sebuah air terjun megah yang mengalir deras tak jauh dari pantai. Gemuruh airnya jauh lebih keras daripada debur ombak. “Masalahmu bukan pada t
Setelah berlatih tanpa henti hingga larut, Ki Jatmika akhirnya kembali ke rumahnya, meninggalkan Sagara sendirian dengan pikirannya. Nasihat sang guru terus terngiang. Menguasai diri. Gejolak di dalam hati. Sagara tahu persis apa maksudnya. Kekhawatiran akan nasib Larisa adalah badai yang tak pernah reda di dalam jiwanya. Ia duduk bersila di tepi pantai, tepat di batas antara pasir kering dan buih ombak yang datang dan pergi. Ia memejamkan mata, mencoba meniru ketenangan Ki Jatmika. Hembusan angin laut yang asin menyatu dengan setiap tarikan dan hembusan napasnya, membawa pikirannya ke dalam keheningan yang dalam. Suara debur ombak yang tadinya riuh, kini berubah menjadi irama yang menenangkan, seperti detak jantung samudra itu sendiri. Di tengah keheningan itu, sesuatu bergeser. Dunia di balik kelopak matanya yang gelap mulai membentuk gambaran. Tiba-tiba, mata batinnya terbuka. Bukan lagi visi samar yang dipenuhi ketakutan, melainkan sebuah penglihatan yang begitu jernih dan nyata.
“Dia dalam bahaya, Guru. Aku bisa merasakannya. Dia berada di sebuah tempat tersembunyi, mungkin di sebuah gua di balik air terjun. Tapi…” Sagara berhenti sejenak, matanya memancarkan ketidakpercayaan yang mendalam. “…tapi bukan Rangga yang bersamanya. Ada orang lain. Seseorang yang sangat kuat dan jauh lebih berbahaya.” Ki Jatmika terdiam, membiarkan Sagara menyelesaikan pikirannya. Ia tidak langsung melompat pada kesimpulan. “Kau harus berhati-hati, Sagara. Penglihatan dari mata batin bisa menipu. Ia sering kali merupakan cerminan dari ketakutan dan harapanmu sendiri, dibentuk menjadi bayangan yang terasa nyata.”“Tapi ini terasa begitu nyata, Guru!” desak Sagara, mencengkeram lengan Ki Jatmika.“Aku percaya padamu,” jawab Ki Jatmika dengan tenang. “Tapi aura yang kau rasakan itu, yang dingin dan tanpa emosi, maknanya tidak selalu tunggal. Aura seperti itu memang bisa jadi milik seorang pembunuh berdarah dingin. Tapi bisa juga, itu adalah aura seorang pendekar yang sudah membuang h







