Mag-log inKabar tentang Sagara yang akan dihukum mati karena membunuh Guru Besar menyebar cepat, bagaikan api membakar ilalang kering. Bisikan itu akhirnya sampai juga ke telinga Larisa, tunangan Sagara.
“Nona, Tuan Sagara… besok fajar ia akan dihukum dibuang ke Tebing Selatan,” bisik seorang pelayan tergopoh-gopoh. “Apa?!” Larisa terperanjat. Rangkaian bunga di tangannya terjatuh. “Itu tidak mungkin!” Ia pun berlari menembus lorong rumah keluarganya. Ayahnya, Ki Atmaja, mencoba menahan. “Larisa! Jangan ikut campur! Putusan sudah final!” Namun Larisa membalas dengan mata berkaca-kaca. “Tidak, Ayah! Aku tahu Sagara. Dia bukan pembunuh! Aku harus menemuinya malam ini!” Malam itu, Larisa berhasil menyelinap ke ruang tahanan batu. Obor redup berkelip di dinding. Di dalam, Sagara duduk bersandar dengan tubuh penuh luka. “Larisa,” suara pemuda itu serak, matanya terbelalak tak percaya. Larisa segera mendekat, jemarinya meraih tangan Sagara lewat sela jeruji. Air matanya jatuh tanpa henti. “Sagara! Katakan padaku, bukan kau pelakunya, kan?” Sagara menggenggam tangannya erat. “Demi langit, bukan aku! Ada sesuatu di balik semua ini. Rangga, dia yang menekan para tetua. Tapi hanya kau, hanya kau yang masih percaya padaku.” Air mata Larisa jatuh semakin deras. “Kalau dunia menuduhmu bersalah, aku akan tetap percaya. Aku akan berjuang, aku akan cari cara. Aku tidak akan biarkan kau mati begitu saja!” Sagara menatapnya dalam-dalam. Bibirnya bergetar, lalu tersenyum getir. “Kau tahu, aku bisa bertahan menghadapi pedang atau racun. Tapi kehilanganmu, Larisa, itulah kematian bagiku.” Langkah para penjaga terdengar dari ujung lorong. Obor mendekat. “Larisa! Kau harus pergi!” bisik Sagara cepat. “Tidak! Aku tidak akan tinggalkanmu sendirian!” Sagara mendekat ke jeruji, menempelkan dahinya pada besi dingin. “Kalau kau benar mencintaiku, pergilah. Simpan tekadmu. Hanya kau harapanku menemukan kebenaran.” Larisa terisak. Ia mengecup jemari Sagara sekilas, lalu dengan berat hati melangkah mundur. Saat para penjaga hampir tiba, ia berlari ke kegelapan lorong lain. Sagara kembali terduduk, rantai besi membelenggu tubuhnya. Namun kini ada api kecil yang menyala di hatinya, api harapan dari cinta Larisa. Waktu bergulir cepat. Fajar pun menyingsing. Langit timur menyala merah. Di atas tebing Laut Selatan, ratusan murid dan tetua telah berkumpul. Sagara digiring keluar dari tahanan. Rantai besi membelit tangan dan kakinya, tubuhnya lebam, namun sorot matanya tetap menyala. “Majuu!” bentak seorang penjaga, mendorongnya ke depan. Sorakan murid-murid membahana. “Hukum dia! Lempar dia ke laut!” Rangga berdiri tegak di hadapan kerumunan. Wajahnya tenang, tapi bibirnya menyungging senyum dingin. “Hari ini pengkhianat yang membunuh Guru Besar mendapat balasannya.” Sagara mendongak, menatapnya tajam. “Aku tidak bersalah! Kebenaran suatu hari akan terungkap, Rangga!” Tetua Jayanegara mengangkat tongkat. “Putusan sudah diambil. Demi kehormatan perguruan, Sagara Wicaksana, kau dibuang ke Laut Selatan!” Rantai besi di tubuh Sagara diikatkan pada batu besar. Dua murid mengangkat, mendorongnya ke tepi. “Tidakkk!” Larisa menerobos kerumunan, menjerit sekuat tenaga. Air matanya tumpah deras. “Jangan! Dia tidak bersalah!” Namun dua murid perempuan menahan tubuhnya. Larisa meronta putus asa. “Lepaskan aku! Sagaraaaa!!!” Sagara menoleh sekali lagi. Senyum getir terbit di wajahnya, tapi matanya penuh cinta. “Larisa,” suaranya serak, “Ingat janjimu. Maafkan aku, karena kita harus berpisah seperti ini.” “Laksanakan!” suara Ki Jayanegara menggema. Bruaaakk! Batu besar bersama tubuh Sagara terhempas ke jurang. Suara rantai bergemuruh, lalu lenyap ditelan ombak. “Tidakkkk!!!” jerit Larisa pecah menggetarkan udara. Riuh sorak murid bercampur deburan ombak. Sebagian puas, sebagian pucat ngeri. Di bawah sana, tubuh Sagara terbanting ke air. Hempasan ombak mengaduknya, rantai besi menjerat. Dadanya sesak, matanya berkunang. Napasnya hilang. Kesadarannya meredup. “Aku… tidak bisa… Larisa…” pikirnya kabur sebelum gelap menelannya. Tubuhnya tenggelam. Ombak menyeretnya jauh ke tengah laut. Namun, di balik karang yang sepi, sesosok pria tua tampak berdiri di atas batu, jubahnya lusuh tertiup angin laut. Mata tuanya menatap tajam pada tubuh Sagara yang hanyut. Dengan gerakan ringan bagai angin, ia melompat ke laut, tangannya terulur. Dalam sekejap ia meraih tubuh Sagara, menebas rantai dengan sabetan telapak yang berkilat. Besi terbelah. Pria itu menarik Sagara ke permukaan. “Anak ini, masih bernapas samar.” Ia menepuk dada Sagara, mengalirkan tenaga dalam. Air laut menyembur keluar dari mulut pemuda itu, namun matanya tetap terpejam. Pria itu menghela napas. “Kau hampir mati, Nak. Tapi mungkin takdir belum mengizinkanmu pergi.” Ia menatap jauh ke arah tebing, di mana suara sorak sorai masih bergema samar. “Mereka membuangmu, tapi aku akan menyelamatkanmu. Dunia masih akan membutuhkanmu.” Dengan sekali hentakan kaki, pria itu melompat kembali ke daratan karang, membawa tubuh Sagara yang tak sadarkan diri. Siluetnya lenyap ditelan kabut laut pagi. Satu hari kemudian… Disebuah rumah sederhana yang ada di sebuah gunung terpencil, seorang pria tu berumur 60 tahunan tampak sedang sibuk merancik ramuan. Pria paruh baya itu tak lain adalah Ki Jatmika, seorang pendekar legendaris yang sudah lama menghilang dari dunia persilatan setelah bertempur sengit dengan Ki Jagat Murka, pemimpin Perguruan Naga Arang. Pria tua itu merasa sudah lelah dengan berbagai konflik drama dengan para tetua perguruan silat. Maka dari itu, ia pun memilih mengasingkan diri dan hidup di pegunungan. Awalnya, Ki Jatmika tidak ingin ikut campur lagi dengan konflik perguruan silat. Namun, setelah tak sengaja menyelamatkan seorang pemuda yang dibuang ke tebing Selatan, pria tua itu berpikir untuk kembali turun tangan. Ia tak suka dengan ketidakadilan. Apalagi setelah melihat sendiri bagaimana kekejaman salah satu perguruan silat yang dengan tega membuang tubuh seseorang ke Tebing Selatan. Pria itu masih fokus meramu obat. Ini sudah hari ketiga ia merawat pemuda asing yang tak sengaja ia selamatkan. Setelah ramuan matang dan meniriskannya ke dalam mangkuk kayu, Ki Jatmika kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar. Di dalam kamar tersebut terbaring seorang pemuda yang tak lain adalah Sagara Wicaksana, yang berhasil diselamatkan oleh Ki Jatmika saat terhanyut di Tebing Selatan. Pagi itu pria tua itu kembali mengalirkan tenaga dalam ke tubuh Sagara, berharap pemuda itu segera sadar. Sementara itu di tempat lain, di taman cantik yang penuh dengan buah persik tampak seorang perempuan cantik tampak termenung di bawah pepohonan yang lebat. Ini adalah hari kedua ia termenung sendirian di tempat itu. Taman itu dulunya adalah tempat persembunyiannya dengan sang kekasih saat sedang lelah berlatih. Namun, kini ia hanya bisa datang sendirian ke taman itu. Ia tak akan bisa melihat lagi wajah tampan dan lembut kekasihnya. “Sagara, aku merindukanmu,” lirihnya bersamaan dengan bulir air mata yang jatuh ke pipinyaMalam itu Sagara tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan ayunan bambu, suara retakannya, dan tatapan tenang gurunya. Kekuatan dan kelembutan. Yang dan Yin. Bagaimana bisa keduanya ada di saat yang bersamaan?Fajar hari kedua, Sagara mencoba pendekatan baru. Ia tidak akan menggunakan kekuatan sama sekali. Ia akan mencoba menjadi selembut mungkin, menjadi selentur air.WUSSSHH!Bambu itu kembali melesat. Kali ini, Sagara melepaskan aliran energi yang sangat halus, mencoba membungkus bambu itu dengan lembut.PLAK!Bambu itu sama sekali tidak melambat. Ujungnya menghantam telapak tangan Sagara dengan keras, membuatnya terhuyung mundur. Bambu itu terus berayun ke sisi lain, lalu kembali lagi, nyaris mengenai wajahnya.“Argh!” Sagara meringis, memegangi tangannya yang memerah.“Kemarin kau adalah badai yang menghancurkan,” komentar Ki Jatmika dari tempatnya berdiri. “Hari ini kau hanya embusan napas yang tak berarti. Keduanya sama-sama tidak bisa menahan sehelai daun pun.”“Saya mencoba menja
Matahari baru saja menumpahkan cahaya pertamanya di ufuk timur saat Sagara menemukan Ki Jatmika sudah berdiri di sebuah tanah lapang yang dikelilingi hutan bambu. Di tangannya, sang guru memegang sebatang bambu hijau yang panjang dan ramping. Simbol Gelombang Pasang Mengikat yang terukir di pohon semalam masih terasa segar dalam benak Sagara, sebuah teka-teki baru setelah ia berhasil menaklukkan tekanan air terjun. “Lupakan jarum. Lupakan palu godam,” ucap Ki Jatmika tanpa menoleh, suaranya menyatu dengan desau angin pagi yang menggoyang pucuk-pucuk bambu. “Pikiranmu masih terpaku pada cara menembus, menghancurkan, atau memaksa. Hari ini, kau akan belajar sesuatu yang sama sekali berbeda.” “Apa itu, Guru?” tanya Sagara, mendekat dengan langkah hati-hati. Tubuhnya masih sedikit nyeri setelah latihan di bawah air terjun, tapi semangatnya telah pulih. “Kau akan belajar mengikat,” jawab Ki Jatmika. Ia menancapkan ujung bawah bambu itu ke tanah dengan kuat. Ujung atasnya melambai-lamb
Puncak gelombang itu ternyata sebuah tombol tersembunyi, ucap Larisa, suaranya nyaris tak terdengar. Jemarinya yang gemetar menekan lekukan logam itu. Klik. Bagian batang kunci yang lurus terbelah menjadi dua secara memanjang, memperlihatkan sebuah rongga sempit di dalamnya. Dan di dalam rongga itu, tergulung sehelai kertas yang sangat tipis dan kecil, nyaris seperti benang, seolah dirancang untuk tak terlihat oleh mata biasa.Aryani mendekat, matanya membesar karena penasaran yang tak tertahankan. "Apa itu, Nona Larisa? Sesuatu lagi dari Sagara?"Larisa menarik gulungan kertas itu dengan ujung kukunya. Udara di gua terasa menegang, dipenuhi antisipasi. Ia membentangkan gulungan super tipis itu dengan sangat hati-hati, khawatir merobeknya. Tinta samar, hampir pudar dimakan usia, hanya menuliskan satu kata tunggal."Matahari Terbenam," bisiknya, jantungnya berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya seolah ingin keluar dari kurungannya. Matanya terbelalak, menatap kata itu seolah ia mem
Sementara itu di sebuah gua setelah kesadaran Larisa kembali dan Aryani menjelaskan siapa dirinya, kepercayaan Larisa pada wanita itu akhirnya tumbuh. Larisa menggenggam erat kunci perunggu berukiran gelombang laut yang ia temukan di dalam kalung giok yang diberikan Sagara. Rasa dingin logamnya seolah menyalurkan kekuatan dan harapan. Ia menatap benda kecil itu dengan saksama. Ukiran gelombang laut di kepalanya begitu detail dan rumit, seolah dibuat oleh tangan seorang seniman ulung.“Jadi, apa langkah kita sekarang?” tanya Larisa, suaranya kini lebih mantap, tidak lagi tercekik ketakutan seperti saat ia pertama kali sadar di gua ini. Jemarinya mengelus ukiran pada kunci itu, merasakan setiap lekuk halus yang membentuk pola misterius. “Di mana tempat yang bisa dibuka oleh kunci ini? Apa yang harus kita cari?”Aryani, yang duduk di seberangnya, menghangatkan tangannya di atas api unggun kecil yang mereka buat. Wajahnya yang biasanya penuh misteri kini terlihat sedikit muram. “Itulah ma
“Serangan tak terhindarkan?” ulang Sagara, napasnya masih tersengal. Kekecewaan membakar dadanya lebih panas dari tenaga dalam yang baru saja ia lepaskan. “Apa bedanya, Guru? Aku tidak mengerti.”“Sebuah palu godam itu tak tertahankan,” jawab Ki Jatmika, suaranya tenang seperti permukaan danau di pagi hari. “Ia bisa menghancurkan gerbang benteng. Tapi seorang penjaga yang waspada bisa melihatnya datang dari jauh dan menghindar. Seranganmu tadi adalah palu godam.”Ki Jatmika mengambil sehelai daun kering dari tanah. “Sekarang, bayangkan sebuah jarum,” lanjutnya sambil mengangkat daun itu. “Ia tidak bisa menghancurkan gerbang. Tapi jika dilemparkan oleh seorang ahli, ia bisa menembus celah terkecil di baju zirah penjaga itu. Ia tidak tertahankan, tapi ia tak terhindarkan. Itulah Arus Bawah.”Sagara menatap lubang dangkal di batu karang. Ia mengerti teorinya, tapi tubuhnya menolak. “Naluriku, setiap serat ototku berteriak untuk melepaskan kekuatan penuh. Bagaimana cara mengubah palu menj
Sagara mengerutkan kening. “Tusukan Arus Bawah? Itu jurus yang menembus pertahanan, tapi apa bedanya dengan serangan telapak tangan biasa?”Ki Jatmika melangkah mendekat, matanya berkilat di bawah sinar bulan yang meredup. “Serangan biasa bisa dihindari, Sagara. Ia mudah terlihat. Tusukan Arus Bawah bukanlah serangan frontal. Ia adalah bisikan di telinga, racun di dalam cangkir anggur. Ia bukan hanya tentang kekuatan yang tak tertahankan, melainkan kekuatan yang tak terduga.”Ia menjentikkan jarinya ke arah Sagara. Jentikan itu begitu cepat dan lembut, Sagara hampir tidak merasakannya. Tapi sesaat kemudian, sebuah sensasi terbakar muncul di titik energi tepat di atas jantungnya.Sagara terkejut, memegang dadanya. Serangan itu nyaris tak terdeteksi oleh Bisikan Samudra-nya, dan itu dilepaskan hanya dengan satu jentikan santai. Jika itu adalah serangan mematikan, ia pasti sudah mati.“Arus Bawah bekerja dengan meniru alam,” Ki Jatmika menjelaskan, menarik tangannya kembali. “Bayangkan s







