Compartir

Bara Dendam Sagara
Bara Dendam Sagara
Autor: lovelypurple

Bab 1

Autor: lovelypurple
last update Última actualización: 2025-09-09 16:02:27

“Guru Besar! Guru Besar!”

Teriakan seorang murid muda menggema di halaman padepokan, membuat semua orang yang sedang berkumpul langsung menoleh dan berlari mengikuti suara itu.

Orang-orang berhamburan, langkah kaki mereka berat dipenuhi kecemasan dan ketakutan. Suasana hening malam seketika berubah menjadi gaduh.

Saat mereka sampai di ruang Guru Besar, pandangan mereka tertuju pada sosok yang tergeletak di lantai kayu.

Tubuh Guru Besar bersimbah darah segar yang mengalir deras dari luka di dadanya. Para murid yang melihatnya terdiam, napas mereka tersengal-sengal, jantung berdegup kencang.

Tidak lama kemudian, para tetua perguruan datang, wajah mereka serius dan penuh kecemasan.

Mereka mendekat dan memperhatikan luka sang Guru dengan seksama.Namun, detik selanjutnya wajah mereka berubah ekpresi.

Mereka kaget setelah memperhatikan goresan luka yang ada di tubuh sang guru besar. Namun, detik selanjutnya wajah mereka berubah ekspresi. Mata para tetua melebar, napas mereka terhenti sejenak, dan raut wajah berubah menjadi serius hingga penuh kengerian.

Salah satu tetua tertua mengerutkan kening, lalu membungkuk lebih dekat untuk mengamati luka dalam di dada sang Guru.

“Ini... ini bukan luka biasa,” ucapnya dengan suara parau.

“Goresan ini... pola tebasan dari jurus Harimau Merah.”

Suasana menjadi hening, hanya suara desah murid-murid yang ketakutan yang terdengar.

Jurus Harimau Merah adalah jurus andalan yang hanya dikuasai oleh satu murid di perguruan ini yaitu Sagara Wicaksana.

Seketika, wajah-wajah murid pun teringat pada satu peristiwa—

Sebelum hal tragis itu terjadi, di halaman utama Padepokan Banyu Langit dipenuhi sorak-sorai. Hari itu adalah latih tanding tahunan, ajang penting untuk menentukan siapa murid terbaik.

Satu per satu murid maju ke gelanggang, menampilkan jurus terbaik mereka. Namun semua hening ketika nama Sagara Wicaksana dipanggil.

Dengan langkah tenang, Sagara memasuki arena. Begitu aba-aba dimulai, gerakannya melesat laksana kilat. Setiap pukulan, setiap sabetan, begitu cepat dan tepat hingga lawannya roboh tanpa sempat membalas.

Dalam sekejap, ia mengalahkan semua lawan yang maju. Para tetua mengangguk penuh kebanggaan, para murid menatap dengan kagum. Hari itu, tak ada lagi yang meragukan. Sagara Wicaksana adalah murid terbaik, calon pemimpin Padepokan Banyu Langit.

Namun kini, hanya berselang waktu singkat, nama yang dulu dielu-elukan itu justru dipandang penuh curiga dan rasa tak percaya.

Seorang tetua pun akhirnya bertanya dengan suara berat, “Sagara, apakah ini perbuatanmu?””

Sagara Wicaksana yang berdiri tak jauh dari situ, terkejut dan terpaku dengan tuduhan yang terlontar dari salah satu gurunya itu.

Sejenak hening menyelimuti ruangan. Semua mata tertuju pada Sagara yang berdiri terpaku, wajahnya menunjukkan luka dan keterkejutan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.

“Aku tidak melakukan ini,” suara Sagara bergetar namun penuh keyakinan. “Aku bersumpah, aku tidak pernah menyakiti Guru Besar. Aku tidak mungkin tega membunuh guru yang sangat aku hormati.”

Rangga Pradipta melangkah maju dengan langkah pasti, tatapannya tajam menusuk ke arah Sagara. “Kau mungkin bilang tidak, tapi bukti tak pernah bohong. Jurus Harimau Merah itu hanya kau yang kuasai. Siapa lagi kalau bukan kau?”

Sagara menggenggam tangan dengan erat, berusaha mengendalikan amarah yang mulai membara. “Kau tahu aku takkan pernah mengkhianati perguruan ini. Rangga, kau harus percaya padaku.”

Namun, pembelaan diri Sagara sia-sia. Para tetua tidak bisa begitu saja percaya dengan pembelaan pemuda itu. Terlebih lagi setelah mereka semua melihat dengan jelas di tubuh guru besar ada luka bekas tebasan dari jurus Harimau Merah.

Jenazah Guru Besar pun segera diangkat dari ruangnya, dikelilingi murid-murid yang masih tak percaya. Pelita-pelita dinyalakan, dan seluruh penghuni perguruan berkumpul di halaman utama untuk memberikan penghormatan terakhir.

Isak tangis pecah ketika tubuh sang Guru Besar dimasukan ke dalam peti mati, lalu dimakamkan di puncak bukit belakang padepokan, tempat peristirahatan para leluhur.

Sementara itu, Sagara Wicaksana digiring dengan tangan terikat. Ia tidak diperkenankan ikut, hanya bisa menyaksikan dari kejauhan dengan mata yang basah oleh amarah dan kesedihan.

Seusai pemakaman, para tetua berkumpul di balairung utama. Obor-obor menyala di dinding, menciptakan bayangan panjang yang bergetar di antara pilar kayu jati. Balairung perguruan sunyi ketika Saka dihadapkan ke tengah ruangan. Tangan dan kakinya terbelenggu rantai besi, wajahnya lebam namun matanya tetap menyala penuh perlawanan.

“Guru Besar tewas dengan luka goresan Jurus Harimau Merah,” ucap salah satu tetua dengan suara berat. “Kita semua tahu hanya kau yang menguasai jurus itu, Sagara. Lantas apa lagi yang bisa kau katakan untuk membela dirimu?”

Saka menggertakkan gigi. “Aku tidak membunuh Guru Besar! Aku memang menguasai Jurus Harimau Merah, tapi aku tak pernah sekalipun menghunuskannya pada beliau. Demi langit dan bumi, jurus itu diajarkan untuk melindungi, bukan untuk menusukkan pengkhianatan ke dada guru sendiri!”

“Cukup!” suara Rangga memotong kasar. Pemuda itu berdiri di samping para tetua, sorot matanya menusuk penuh kebencian.

Rangga bukan sekadar murid biasa. Ia adalah putra dari almarhum Raden Surya, salah satu pendiri padepokan sekaligus saudara seperguruan Guru Besar. Karena darah keturunan itu, setiap kata Rangga kerap dipandang sebagai suara kehormatan keluarga pendiri.

Tetua tertua, Ki Jayanegara, sempat mengangkat tangannya, menenangkan suasana. “Hendaknya kita jangan gegabah. Saka memang dituduh, tapi masih ada kemungkinan ia dijebak. Demi keadilan, sebaiknya kita beri dia waktu untuk membuktikan kebenarannya.”

Beberapa murid di belakang mulai berbisik. Wajah mereka ragu, sebagian marah, sebagian bingung.

Namun Rangga segera melangkah maju, suaranya lantang bagai petir.

“Tidak! Setiap penjahat selalu bersembunyi di balik alasan. Guru Besar telah mati! Apakah kita akan terlihat lemah di hadapan dunia, karena tidak mampu menghukum seorang pembunuh yang nyata-nyata ada di depan kita?”

Ia mengibaskan tangannya dramatis, menunjuk langsung ke arah Saka.

“Lihat dia! Bahkan di hadapan para tetua, tatapannya masih penuh durhaka. Jika sekarang kita membiarkannya hidup, besok perguruan ini akan ditertawakan sebagai sarang pengkhianat!”

Sorakan meledak dari para murid. “Benar! Hukum dia! Jangan beri ampun!”

Riuh rendah itu bergema, memenuhi balairung.

Tapi tak semua setuju. Seorang murid perempuan, Nala, berdiri dan bersuara lantang. “Kita belum tahu kebenarannya! Bagaimana kalau benar ia dijebak? Bukankah Guru Besar selalu mengajarkan jangan menghukum sebelum terbukti?”

Balairung semakin riuh. Suara terpecah menjadi dua suara. Ada yang bersorak setuju menghukum, ada yang menuntut penyelidikan lebih lanjut.

Ki Jayanegara kembali mengetukkan tongkatnya tiga kali. “Cukup! Kita tentukan dengan voting. Semua tetua dan murid akan mengangkat tangan. Pilihannya ada dua, menghukum atau beri kesempatan Sagara membela diri.”

Hening mencekam.

“Siapa yang memilih MENGHUKUM?” seru Ki Jayanegara.

Hampir separuh murid langsung mengangkat tangan tinggi-tinggi, sorak mereka membahana. Semua tetua kecuali dua orang ikut mengangkat tangan. Rangga menatap berkeliling dengan penuh kemenangan.

“Siapa yang memilih BERI KESEMPATAN?”

Sebagian murid lain yang jumlahnya jauh lebih sedikit, mengangkat tangan mereka dengan ragu, termasuk Nala. Dua orang tetua juga ikut menegakkan tangan. Suara mereka tenggelam di tengah lautan mayoritas.

Ki Jayanegara menutup mata sejenak, lalu mengumumkan dengan suara berat,

“Dengan suara terbanyak, diputuskan: Sagara Wicaksana, engkau akan dijatuhi hukuman. Esok fajar, kau dibuang ke Tebing Laut Selatan. Biarlah ombak dan karang menjadi saksi penghapus dosamu.”

Balairung bergemuruh, sorak kemenangan menggema. Namun di sudut ruangan, wajah-wajah murid yang minoritas tampak pucat, seolah firasat buruk tengah mengintai.

Ki Jayanegara mengetukkan tongkatnya sekali lagi. “Besok fajar, hukuman dijalankan. Sidang ditutup.”

Sagara terdiam, dadanya sesak oleh kenyataan pahit. Dalam hati ia meraung, “Aku difitnah. Tapi akan kupastikan suatu hari nanti kebenaran akan kutegakkan, sekalipun harus kubayar dengan darah.”

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Bara Dendam Sagara    Bab 32

    “Mati kau, pengkhianat!” jerit Danu, menerjang maju dengan pedang teracung. Serangannya membabi buta, didorong oleh teror.Sagara tidak menghindar. Ia tetap berdiri di tempatnya. Saat pedang Danu hanya berjarak satu jengkal dari dadanya, ia menggerakkan tangan kirinya. Ia tidak menangkis bilah pedang itu. Ia meraih pergelangan tangan Danu.Lagi-lagi, bukan dengan cengkeraman yang mematahkan tulang, melainkan dengan sentuhan yang seolah menyerap.“Ikat,” bisiknya sekali lagi.Danu merasakan hal yang sama seperti yang Bima rasakan. Energi dingin merambat dari pergelangan tangannya, melumpuhkan lengannya, lalu bahunya, hingga seluruh sisi tubuhnya terasa kaku seperti es. Pedangnya jatuh ke tanah dengan bunyi denting yang nyaring. Momentum serangannya telah dicuri, diserap, dan dinetralkan dalam sekejap mata.“Bagaimana… bagaimana mungkin?” racaunya, separuh tubuhnya kini lumpuh.Sagara menatap mata Danu yang dipenuhi teror. “Aku tidak ingin melukaimu.”“Jangan berbohong!” pekik Danu, men

  • Bara Dendam Sagara    Bab 31

    Dua pasang mata elang api yang terukir di pelindung dada mereka berkilat-kilat disiram cahaya api unggun. Mereka adalah anjing penjaga Rangga, tembok pertama antara Sagara dan kebebasannya, antara dirinya dan jalan menuju Larisa.Sagara menahan napas, menekan tubuhnya lebih dalam ke rumpun bambu yang dingin dan basah. Embun pagi menetes dari daun-daun di atasnya, terasa seperti tusukan es di tengkuknya, namun ia tidak bergeming. Dari celah sempit di antara batang-batang bambu yang kokoh, ia mempelajari setiap gerakan mereka. Yang satu, bertubuh lebih kurus dan tampak gelisah, terus-menerus melirik ke dalam kegelapan hutan. Yang lain, lebih kekar dan percaya diri, menyandarkan tombaknya ke sebatang pohon dan menghangatkan tangan di atas api.“Hentikan kegelisahanmu itu, Danu,” kata si penjaga kekar, suaranya serak dan penuh kejengkelan. “Kau membuatku ikut tegang.”Penjaga yang dipanggil Danu itu tersentak, bahunya menegang. “Aku tidak bisa, Bima. Tempat ini memberikan firasat buruk ke

  • Bara Dendam Sagara    Bab 30

    "Kau bukan lagi Sagara si Penguasa Jurus Harimau Merah. Kau adalah pewaris Cakra Laut Selatan," tutur Ki Jatmika menasehati Sagara.Dengan diberikannya liontin medali Cakra Selatan, hal itu berarti menandakan bahwa sudah saatnya bagi Sagara untuk berkelana dan menuntaskan urusannya yang belum tuntas."Sagara, kini aku izinkan kau untuk terjun ke dunia persilatan sesungguhnya. Namun, pembelajaranmu belum tuntas sepenuhnya," lontar Ki Jatmika."Liontin yang aku berikan padamu itu bukan sekadar liontin biasa. Ia memiliki roh. Roh yang membimbing pemiliknya untuk menguasai Jurus Cakra Laut Selatan secara sempurna," paparnya lebih lanjut."Roh... guru?"Ya, sekarang pegang liontin itu,” perintah Ki Jatmika."Baik, Ki. Sudah.""Dengarkan baik-baik. Sekarang kau usap permukaannya sebanyak tiga kali, lalu ucapkan mantranya."“Mantra apa, Guru?” tanya Sagara, jemarinya yang ragu melayang di atas permukaan dingin liontin perunggu itu.Ki Jatmika tidak menjawab langsung. Ia hanya tersenyum tipi

  • Bara Dendam Sagara    Bab 29

    ...air yang meresap ke dalam bumi yang haus.Keheningan kembali menyelimuti mereka. Ki Jatmika menatap Sagara dengan kebanggaan yang nyaris tak terlihat.“Kau berhasil,” bisik Ki Jatmika.Sagara membuka matanya, terkejut. Ia menarik pusarannya, membiarkan tangan Ki Jatmika bebas. Pemuda itu tidak merasa lelah, tidak merasa nyeri, hanya ketenangan yang luar biasa.“Aku… aku tidak tahu bagaimana,” aku Sagara, napasnya masih teratur, “aku hanya membiarkannya mengalir.”“Justru itu kuncinya,” balas Ki Jatmika, mundur selangkah. “Kau berhenti melawan diri sendiri. Kau berhenti melawan bayangan Rangga. Kau menerima arus itu sebagai bagian darimu.”Sagara mengangguk. Keseimbangan yang ia rasakan berbeda dari latihan fisik mana pun. Ini adalah keseimbangan jiwa.“Tapi ini baru permulaan, Nak,” lanjut Ki Jatmika, matanya kembali tajam. “Mengekang amarah itu mudah dalam kondisi santai. Sekarang, aku ingin kau menghadapi arus yang tidak bisa kau kendalikan. Aku ingin kau menggunakan semua yang k

  • Bara Dendam Sagara    Bab 28

    Sosok Ki Jatmika hilang dari pandangan. Sagara bahkan belum sempat berkedip ketika ia merasakan hawa panas di belakang tengkuknya. Instingnya berteriak bahaya.WUSH!Telapak tangan Ki Jatmika meluncur dari belakang, membidik titik vital di antara tulang belikat Sagara. Serangan itu cepat, presisi, dan penuh tenaga dalaman.Sagara menarik napas cepat. Kedua tangannya bergerak dalam gerakan melingkar ganda. Yang mana satu tangan menarik serangan Ki Jatmika ke samping, tangan lainnya membentuk pusaran untuk menetralisir energinya.WUSH!Telapak Ki Jatmika meleset beberapa senti dari dada Sagara. Energinya diserap oleh pusaran yang dibuat Sagara, lalu menghilang seperti ombak yang surut.Ki Jatmika tersenyum tipis. "Cukup bagus, Nak. Tapi itu belum cukup."Serangan berikutnya datang bertubi-tubi. Pukulan dari atas. Tendangan dari samping. Sapuan dari bawah.Ki Jatmika bergerak seperti badai menyerang tanpa jeda, tanpa ampun. Setiap gerakan penuh kekuatan, tapi juga penuh kontrol.Sagara m

  • Bara Dendam Sagara    Bab 27

    Ki Jatmika melangkahkan kakinya. Ia mendekat ke arah sang murid dan menepuk pundaknya."Kau harus ingat Sagara, kalau semua yang kau lihat dan rasakan mempunyai arus. Dan emosi adalah salah satu arus terkuat yang dipunyai oleh manusia."Pria itu berkata lebih lanjut. "Ini sama halnya seperti saat Rangga melontarkan tuduhan kepadamu. Pada sejatinya, ia tidak hanya sekedar mengucapkan kata-kata tajam. Akan tetapi ia juga melepaskan amarah, kesombongan, dan rasa takutnya atas kehilangan kekuasaan""Tapi pada intinya, semua itu tak lain adalah tentang momentum, Nak. Momentum yang bisa kamu pilih untuk kau rangkul atau kau biarkan menghancurkanmu."Sagara mengerutkan kening, mencoba mencerna semua perkataan gurunya.Secara filosofis ia mengerti, tetapi secara praktis ia belum terlalu paham."Tapi guru, Rangga adalah pendekar yang hebat. Kekuatan emosinya juga pasti sekuat badai.""Maka dari itu untuk mengalahkannya, kau harus menjadi alirannya. Jangan menjadi batu yang menghentikan badai,

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status