LOGINSamar-samar, seperti sebuah bisikan dari alam mimpi yang memudar, kesadaran mulai merayapi Sagara. Udara dingin yang menusuk tulangnya kini digantikan oleh kehangatan samar, diiringi aroma herbal yang pekat dan asing.
Namun, yang paling terasa adalah rasa sakit. Rasa sakit di sekujur tubuhnya, seolah setiap tulangnya remuk, setiap ototnya terkoyak. Gelombang mual dan pusing menyerbu kepalanya yang terasa begitu berat. Ia mencoba membuka mata, namun kelopak matanya terasa bagai ditarik timah. Hanya cahaya jingga redup yang menembus celah, menari-nari di balik kelopak. Suara gemericik air terdengar pelan, disusul gesekan benda kayu. Lalu sebuah suara berat namun menenangkan, yang terasa akrab sekaligus asing, memecah keheningan. “Akhirnya kau menunjukkan tanda-tanda, Nak.” Sagara mengerang pelan, tenggorokannya kering dan perih. Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya, sensasi kesemutan menjalar, namun kekuatannya tak lebih dari sehelai benang rapuh. Ingatan-ingatan mulai menerobos masuk, bagaikan fragmen kaca pecah yang berhamburan dalam benaknya. Ingatannya kembali pada tuduhan Rangga yang beracun, tatapan murka para tetua, jeritan putus asa Larisa, dan hempasan dingin Laut Selatan yang menelannya bulat-bulat. Kematian. Ia seharusnya sudah mati. Sebuah tangan kasar namun hangat menyentuh dahinya. “Jangan memaksakan diri. Kau sudah di ambang maut.” Dengan sisa tenaga, Sagara memaksakan matanya terbuka. Pandangannya buram, namun perlahan sosok seorang pria tua mulai terbentuk di hadapannya. Rambut pria itu sebagian memutih, namun tubuhnya masih kekar, terpancar aura wibawa yang kuat dari sorot mata tajamnya. Sebuah mangkuk kayu berisi uap mengepul diletakkan di sampingnya. “Minumlah ini,” perintah pria tua itu, suaranya mengandung otoritas yang tak terbantahkan. Ia membantu Sagara untuk bangkit sedikit, menyandarkan punggungnya pada tumpukan kain. Cairan pahit dan hangat mengalir di tenggorokannya, langsung menyebar ke seluruh tubuh, membawa sensasi kelegaan sekaligus pening yang makin menjadi. Sagara terbatuk, mencoba berbicara. “Aku… di mana aku?” Pria tua itu tersenyum tipis. “Di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk keduniawian. Di tempat yang memberimu kesempatan kedua, jika kau memang menginginkannya.” “Kesempatan kedua?” Sagara memejamkan mata, membiarkan ingatannya yang menyakitkan menguasai dirinya. Pengkhianatan. Fitnah. “Untuk apa? Untuk menanggung rasa malu dan aib?” Suaranya serak, dipenuhi kepedihan. “Aku dihukum mati. Dibuang seperti sampah.” Ki Jatmika, pria tua itu, mengamati Sagara dengan cermat. “Maka dari itu jangan mati. Bangkitlah dan hadapi. Atau kau lebih memilih menjadi arwah penasaran yang gentayangan di dasar laut?” Pertanyaan itu menohok Sagara. Ia membuka matanya lebar-lebar, menatap Ki Jatmika dengan tatapan kosong. “Siapa kau?” tanyanya, suaranya lebih jelas sekarang. “Dan mengapa kau menyelamatkanku?” “Namaku Jatmika. Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat saat melihat ketidakadilan di Tebing Laut Selatan. Aku tidak suka itu. Dan kau, kau terlalu muda untuk mati dengan cara yang picik begitu.” Ki Jatmika menjeda, sorot matanya menembus jiwa Sagara. “Katakan padaku, apa yang kau ingat sebelum semuanya gelap?” Sagara menceritakan semuanya, dengan suara yang bergetar menahan amarah dan kepedihan. Tentang Guru Besar yang tewas, tentang tuduhan yang tak berdasar, tentang Rangga, sahabat yang ia anggap saudara, yang justru menusuknya dari belakang. Ia juga menceritakan tentang Larisa, tunangannya, yang satu-satunya masih percaya padanya. Setiap kata yang terucap adalah serpihan luka yang kembali terbuka. “Rangga, dia adalah sahabatku,” ucap Sagara getir. “Aku tak pernah menyangka dia bisa sekejam itu.” Ki Jatmika mengangguk perlahan. “Duri yang paling tajam sering kali tumbuh dari kebun yang paling indah, Nak. Dan pengkhianatan dari orang terdekat adalah racun paling mematikan bagi jiwa.” Ia menghela napas. “Kau menyebut jurus Harimau Merah. Jurus warisan yang hanya kau kuasai, kan?” Sagara mengiyakan dengan anggukan lemah. “Jika begitu, maka wajar kecurigaan itu datang,” ujar pria tua itu sambil kemudian berdiri. Ia melangkah menuju jendela kayu yang menampilkan pemandangan hutan lebat. “Tapi yang aneh, mengapa mereka begitu terburu-buru menghukummu? Mengapa mereka tak memberimu kesempatan membela diri?” tutur Ki Jatmika lagi. Sagara menggenggam tangannya erat, matanya menyala. “Rangga. Dia menghasut semua orang. Mengatakan aku pengkhianat. Mengatakan perguruan akan dicemooh jika tidak menghukumku.” “Menarik,” gumam Ki Jatmika, lebih kepada dirinya sendiri. “Seorang murid senior yang mampu mempengaruhi tetua dan seisi perguruan. Pasti ada sesuatu yang besar di balik ambisinya.” Ia berbalik, menatap Sagara. “Kau tidak hanya difitnah, Sagara. Kau hanya pion dalam sebuah permainan catur yang lebih besar.” Pernyataan Ki Jatmika seolah membuka tabir yang menyelubungi benak Sagara. Pion? Permainan catur? Ia merasa ada kepingan puzzle yang hilang, namun terlalu lemah untuk menyatukannya. “Aku… aku tidak mengerti,” Sagara mengakui. “Yang aku tahu, aku harus menuntut keadilan. Demi Guru Besar, demi namaku yang tercoreng, dan demi Larisa.” Ki Jatmika tersenyum tipis. “Keadilan atau dendam?” Sagara terdiam. Kata “dendam” terasa asing, kotor. Namun, kilatan amarah yang membakar hatinya sulit ia sangkal. Ia membayangkan wajah Rangga, sorot matanya yang penuh kemenangan di tebing sana. “Aku tidak tahu,” Sagara berbisik. “Yang aku tahu, aku tidak bisa membiarkan ini begitu saja.” “Bagus,” kata Ki Jatmika. “Itu adalah awal dari jalan panjang. Aku menyelamatkan hidupmu, memberimu kesempatan. Tapi sisanya, ada di tanganmu.” Pria tua itu melangkah mendekat, auranya terasa begitu kuat. “Dunia persilatan saat ini sudah terlalu kotor. Ambisi dan kekuasaan membutakan banyak orang. Kematian Guru Besarmu, bisa jadi bukan hanya sekadar dendam pribadi. Bisa jadi ini adalah bagian dari perebutan Kitab Naga Langit.” Sagara terkejut. “Kitab Naga Langit? Tapi, bukankah itu hanya legenda?” Kitab Naga Langit adalah sebuah mitos, sebuah kisah yang sering diceritakan para tetua di malam hari. Konon, di dalamnya tersimpan jurus-jurus kuno yang mampu membuat siapa pun penguasanya menjadi tak terkalahkan. Sebuah harta karun tak ternilai yang sudah lama hilang. “Legenda sering kali berakar dari kebenaran, Nak,” balas Ki Jatmika. “Dan kebenaran yang tersembunyi jauh lebih berbahaya. Jika Kitab Naga Langit benar-benar dicari, dan kebetulan perguruanmu adalah salah satu yang terkuat, maka pembunuhan Guru Besarmu adalah langkah awal untuk melemahkanmu.” Pikiran Sagara berputar cepat. Ia mulai melihat gambaran yang lebih besar dan mengerikan. Betapa naifnya dia selama ini. Pengkhianatan Rangga bukan hanya soal kedengkian pribadi, melainkan mungkin bagian dari rencana besar yang melibatkan seluruh dunia persilatan. “Jadi... maksudmu, Rangga… dia mungkin bekerja sama dengan orang lain?” Sagara bertanya, suaranya tercekat. Ki Jatmika hanya menatapnya dalam, tak menjawab secara langsung. “Pikirkan baik-baik, Sagara. Jika ini adalah intrik perebutan kekuasaan, maka musuhmu tidak hanya satu orang. Musuhmu bisa jadi adalah bayangan yang menari di kegelapan, jauh melampaui apa yang kau bayangkan. Dan untuk menghadapi bayangan itu, kau harus menjadi lebih kuat. Bukan hanya kuat dalam jurus, tapi juga dalam hati dan pikiran.” Sagara menunduk, mencerna setiap kata. Rasa sakit fisik masih mencengkeramnya, namun gejolak di hatinya jauh lebih hebat. Amarah, kepedihan, kebingungan, dan kini, ketakutan akan skala konspirasi yang ia hadapi. Tapi di balik itu semua, tekad yang membara mulai menyala. Tekad untuk tidak hanya bertahan hidup, tetapi untuk menemukan kebenaran. Ki Jatmika melihat perubahan di mata Sagara. “Untuk sementara, kau akan tinggal di sini. Pulihkan tubuhmu, kuatkan jiwamu. Aku akan mengajarimu apa yang perlu kau tahu. Tapi satu hal yang harus kau ingat Sagara, jalan ini akan berdarah. Jalan ini akan menguji setiap serat keberanianmu.” Sagara mengangkat kepala, menatap Ki Jatmika dengan sorot mata elang yang kembali tajam. “Aku tidak takut. Aku akan membayar semua ini dengan harga yang pantas.” “Baiklah,” Ki Jatmika mengangguk puas. “Mulai besok pagi, kita mulai. Akan kupastikan kau tidak akan pernah menyesal telah bertahan hidup.” Sementara itu, di sebuah taman yang sunyi di Pulau Selatan, Larisa masih duduk termenung di bawah pohon persik. Rambut panjangnya tergerai, menutupi wajahnya yang pucat. Ia terus memegangi sapu tangan sutra yang diberikan Sagara, seolah benda itu adalah satu-satunya ikatan yang tersisa. “Sagara,” bisiknya lagi, “Aku tidak akan menyerah. Aku akan mencarimu, aku akan menemukan bukti, bahkan jika itu harus mengorbankan nyawaku.” Tiba-tiba, ia mendengar bisikan samar dari balik pepohonan. Dua murid perguruan yang melintas tanpa menyadari keberadaan Larisa. “Kudengar para tetua akan membentuk pasukan khusus untuk memburu sisa-sisa pengikut Sagara,” bisik salah satu murid. “Ya, Rangga yang mengajukannya. Dia bilang Sagara mungkin saja tidak mati, dan jika dia kembali, kita harus siap.” Hati Larisa mencelos. Pasukan khusus? Memburu Sagara? Itu berarti Rangga tidak hanya memfitnah, tapi juga berencana memastikan Sagara tidak pernah kembali. Rasa ngeri bercampur amarah membakar hatinya. “Tentu saja dia tidak mati,” gumam Larisa. “Dan ketika dia kembali, Rangga akan merasakan pedang keadilan.” Ia bangkit, sapu tangan di tangannya diremas kuat. “Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mencari tahu lebih banyak.”Malam itu Sagara tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan ayunan bambu, suara retakannya, dan tatapan tenang gurunya. Kekuatan dan kelembutan. Yang dan Yin. Bagaimana bisa keduanya ada di saat yang bersamaan?Fajar hari kedua, Sagara mencoba pendekatan baru. Ia tidak akan menggunakan kekuatan sama sekali. Ia akan mencoba menjadi selembut mungkin, menjadi selentur air.WUSSSHH!Bambu itu kembali melesat. Kali ini, Sagara melepaskan aliran energi yang sangat halus, mencoba membungkus bambu itu dengan lembut.PLAK!Bambu itu sama sekali tidak melambat. Ujungnya menghantam telapak tangan Sagara dengan keras, membuatnya terhuyung mundur. Bambu itu terus berayun ke sisi lain, lalu kembali lagi, nyaris mengenai wajahnya.“Argh!” Sagara meringis, memegangi tangannya yang memerah.“Kemarin kau adalah badai yang menghancurkan,” komentar Ki Jatmika dari tempatnya berdiri. “Hari ini kau hanya embusan napas yang tak berarti. Keduanya sama-sama tidak bisa menahan sehelai daun pun.”“Saya mencoba menja
Matahari baru saja menumpahkan cahaya pertamanya di ufuk timur saat Sagara menemukan Ki Jatmika sudah berdiri di sebuah tanah lapang yang dikelilingi hutan bambu. Di tangannya, sang guru memegang sebatang bambu hijau yang panjang dan ramping. Simbol Gelombang Pasang Mengikat yang terukir di pohon semalam masih terasa segar dalam benak Sagara, sebuah teka-teki baru setelah ia berhasil menaklukkan tekanan air terjun. “Lupakan jarum. Lupakan palu godam,” ucap Ki Jatmika tanpa menoleh, suaranya menyatu dengan desau angin pagi yang menggoyang pucuk-pucuk bambu. “Pikiranmu masih terpaku pada cara menembus, menghancurkan, atau memaksa. Hari ini, kau akan belajar sesuatu yang sama sekali berbeda.” “Apa itu, Guru?” tanya Sagara, mendekat dengan langkah hati-hati. Tubuhnya masih sedikit nyeri setelah latihan di bawah air terjun, tapi semangatnya telah pulih. “Kau akan belajar mengikat,” jawab Ki Jatmika. Ia menancapkan ujung bawah bambu itu ke tanah dengan kuat. Ujung atasnya melambai-lamb
Puncak gelombang itu ternyata sebuah tombol tersembunyi, ucap Larisa, suaranya nyaris tak terdengar. Jemarinya yang gemetar menekan lekukan logam itu. Klik. Bagian batang kunci yang lurus terbelah menjadi dua secara memanjang, memperlihatkan sebuah rongga sempit di dalamnya. Dan di dalam rongga itu, tergulung sehelai kertas yang sangat tipis dan kecil, nyaris seperti benang, seolah dirancang untuk tak terlihat oleh mata biasa.Aryani mendekat, matanya membesar karena penasaran yang tak tertahankan. "Apa itu, Nona Larisa? Sesuatu lagi dari Sagara?"Larisa menarik gulungan kertas itu dengan ujung kukunya. Udara di gua terasa menegang, dipenuhi antisipasi. Ia membentangkan gulungan super tipis itu dengan sangat hati-hati, khawatir merobeknya. Tinta samar, hampir pudar dimakan usia, hanya menuliskan satu kata tunggal."Matahari Terbenam," bisiknya, jantungnya berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya seolah ingin keluar dari kurungannya. Matanya terbelalak, menatap kata itu seolah ia mem
Sementara itu di sebuah gua setelah kesadaran Larisa kembali dan Aryani menjelaskan siapa dirinya, kepercayaan Larisa pada wanita itu akhirnya tumbuh. Larisa menggenggam erat kunci perunggu berukiran gelombang laut yang ia temukan di dalam kalung giok yang diberikan Sagara. Rasa dingin logamnya seolah menyalurkan kekuatan dan harapan. Ia menatap benda kecil itu dengan saksama. Ukiran gelombang laut di kepalanya begitu detail dan rumit, seolah dibuat oleh tangan seorang seniman ulung.“Jadi, apa langkah kita sekarang?” tanya Larisa, suaranya kini lebih mantap, tidak lagi tercekik ketakutan seperti saat ia pertama kali sadar di gua ini. Jemarinya mengelus ukiran pada kunci itu, merasakan setiap lekuk halus yang membentuk pola misterius. “Di mana tempat yang bisa dibuka oleh kunci ini? Apa yang harus kita cari?”Aryani, yang duduk di seberangnya, menghangatkan tangannya di atas api unggun kecil yang mereka buat. Wajahnya yang biasanya penuh misteri kini terlihat sedikit muram. “Itulah ma
“Serangan tak terhindarkan?” ulang Sagara, napasnya masih tersengal. Kekecewaan membakar dadanya lebih panas dari tenaga dalam yang baru saja ia lepaskan. “Apa bedanya, Guru? Aku tidak mengerti.”“Sebuah palu godam itu tak tertahankan,” jawab Ki Jatmika, suaranya tenang seperti permukaan danau di pagi hari. “Ia bisa menghancurkan gerbang benteng. Tapi seorang penjaga yang waspada bisa melihatnya datang dari jauh dan menghindar. Seranganmu tadi adalah palu godam.”Ki Jatmika mengambil sehelai daun kering dari tanah. “Sekarang, bayangkan sebuah jarum,” lanjutnya sambil mengangkat daun itu. “Ia tidak bisa menghancurkan gerbang. Tapi jika dilemparkan oleh seorang ahli, ia bisa menembus celah terkecil di baju zirah penjaga itu. Ia tidak tertahankan, tapi ia tak terhindarkan. Itulah Arus Bawah.”Sagara menatap lubang dangkal di batu karang. Ia mengerti teorinya, tapi tubuhnya menolak. “Naluriku, setiap serat ototku berteriak untuk melepaskan kekuatan penuh. Bagaimana cara mengubah palu menj
Sagara mengerutkan kening. “Tusukan Arus Bawah? Itu jurus yang menembus pertahanan, tapi apa bedanya dengan serangan telapak tangan biasa?”Ki Jatmika melangkah mendekat, matanya berkilat di bawah sinar bulan yang meredup. “Serangan biasa bisa dihindari, Sagara. Ia mudah terlihat. Tusukan Arus Bawah bukanlah serangan frontal. Ia adalah bisikan di telinga, racun di dalam cangkir anggur. Ia bukan hanya tentang kekuatan yang tak tertahankan, melainkan kekuatan yang tak terduga.”Ia menjentikkan jarinya ke arah Sagara. Jentikan itu begitu cepat dan lembut, Sagara hampir tidak merasakannya. Tapi sesaat kemudian, sebuah sensasi terbakar muncul di titik energi tepat di atas jantungnya.Sagara terkejut, memegang dadanya. Serangan itu nyaris tak terdeteksi oleh Bisikan Samudra-nya, dan itu dilepaskan hanya dengan satu jentikan santai. Jika itu adalah serangan mematikan, ia pasti sudah mati.“Arus Bawah bekerja dengan meniru alam,” Ki Jatmika menjelaskan, menarik tangannya kembali. “Bayangkan s







