Share

Bab 3

Penulis: lovelypurple
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-09 16:19:08

Samar-samar, seperti sebuah bisikan dari alam mimpi yang memudar, kesadaran mulai merayapi Sagara. Udara dingin yang menusuk tulangnya kini digantikan oleh kehangatan samar, diiringi aroma herbal yang pekat dan asing. 

Namun, yang paling terasa adalah rasa sakit. Rasa sakit di sekujur tubuhnya, seolah setiap tulangnya remuk, setiap ototnya terkoyak. Gelombang mual dan pusing menyerbu kepalanya yang terasa begitu berat. Ia mencoba membuka mata, namun kelopak matanya terasa bagai ditarik timah. Hanya cahaya jingga redup yang menembus celah, menari-nari di balik kelopak.

Suara gemericik air terdengar pelan, disusul gesekan benda kayu. Lalu sebuah suara berat namun menenangkan, yang terasa akrab sekaligus asing, memecah keheningan.

“Akhirnya kau menunjukkan tanda-tanda, Nak.”

Sagara mengerang pelan, tenggorokannya kering dan perih. Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya, sensasi kesemutan menjalar, namun kekuatannya tak lebih dari sehelai benang rapuh. Ingatan-ingatan mulai menerobos masuk, bagaikan fragmen kaca pecah yang berhamburan dalam benaknya. 

Ingatannya kembali pada tuduhan Rangga yang beracun, tatapan murka para tetua, jeritan putus asa Larisa, dan hempasan dingin Laut Selatan yang menelannya bulat-bulat. Kematian. Ia seharusnya sudah mati.

Sebuah tangan kasar namun hangat menyentuh dahinya.

“Jangan memaksakan diri. Kau sudah di ambang maut.”

Dengan sisa tenaga, Sagara memaksakan matanya terbuka. Pandangannya buram, namun perlahan sosok seorang pria tua mulai terbentuk di hadapannya. Rambut pria itu sebagian memutih, namun tubuhnya masih kekar, terpancar aura wibawa yang kuat dari sorot mata tajamnya. Sebuah mangkuk kayu berisi uap mengepul diletakkan di sampingnya.

“Minumlah ini,” perintah pria tua itu, suaranya mengandung otoritas yang tak terbantahkan. Ia membantu Sagara untuk bangkit sedikit, menyandarkan punggungnya pada tumpukan kain. 

Cairan pahit dan hangat mengalir di tenggorokannya, langsung menyebar ke seluruh tubuh, membawa sensasi kelegaan sekaligus pening yang makin menjadi.

Sagara terbatuk, mencoba berbicara. “Aku… di mana aku?”

Pria tua itu tersenyum tipis. “Di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk keduniawian. Di tempat yang memberimu kesempatan kedua, jika kau memang menginginkannya.”

“Kesempatan kedua?” Sagara memejamkan mata, membiarkan ingatannya yang menyakitkan menguasai dirinya. Pengkhianatan. Fitnah. 

“Untuk apa? Untuk menanggung rasa malu dan aib?” Suaranya serak, dipenuhi kepedihan. “Aku dihukum mati. Dibuang seperti sampah.”

Ki Jatmika, pria tua itu, mengamati Sagara dengan cermat. “Maka dari itu jangan mati. Bangkitlah dan hadapi. Atau kau lebih memilih menjadi arwah penasaran yang gentayangan di dasar laut?”

Pertanyaan itu menohok Sagara. Ia membuka matanya lebar-lebar, menatap Ki Jatmika dengan tatapan kosong.

“Siapa kau?” tanyanya, suaranya lebih jelas sekarang. “Dan mengapa kau menyelamatkanku?”

“Namaku Jatmika. Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat saat melihat ketidakadilan di Tebing Laut Selatan. Aku tidak suka itu. Dan kau, kau terlalu muda untuk mati dengan cara yang picik begitu.” 

Ki Jatmika menjeda, sorot matanya menembus jiwa Sagara. “Katakan padaku, apa yang kau ingat sebelum semuanya gelap?”

Sagara menceritakan semuanya, dengan suara yang bergetar menahan amarah dan kepedihan. Tentang Guru Besar yang tewas, tentang tuduhan yang tak berdasar, tentang Rangga, sahabat yang ia anggap saudara, yang justru menusuknya dari belakang. Ia juga menceritakan tentang Larisa, tunangannya, yang satu-satunya masih percaya padanya. Setiap kata yang terucap adalah serpihan luka yang kembali terbuka.

“Rangga, dia adalah sahabatku,” ucap Sagara getir. “Aku tak pernah menyangka dia bisa sekejam itu.”

Ki Jatmika mengangguk perlahan. “Duri yang paling tajam sering kali tumbuh dari kebun yang paling indah, Nak. Dan pengkhianatan dari orang terdekat adalah racun paling mematikan bagi jiwa.” 

Ia menghela napas. “Kau menyebut jurus Harimau Merah. Jurus warisan yang hanya kau kuasai, kan?”

Sagara mengiyakan dengan anggukan lemah.

“Jika begitu, maka wajar kecurigaan itu datang,” ujar pria tua itu sambil kemudian berdiri. Ia melangkah menuju jendela kayu yang menampilkan pemandangan hutan lebat. 

“Tapi yang aneh, mengapa mereka begitu terburu-buru menghukummu? Mengapa mereka tak memberimu kesempatan membela diri?” tutur Ki Jatmika lagi. 

Sagara menggenggam tangannya erat, matanya menyala. “Rangga. Dia menghasut semua orang. Mengatakan aku pengkhianat. Mengatakan perguruan akan dicemooh jika tidak menghukumku.”

“Menarik,” gumam Ki Jatmika, lebih kepada dirinya sendiri. “Seorang murid senior yang mampu mempengaruhi tetua dan seisi perguruan. Pasti ada sesuatu yang besar di balik ambisinya.” 

Ia berbalik, menatap Sagara. “Kau tidak hanya difitnah, Sagara. Kau hanya pion dalam sebuah permainan catur yang lebih besar.”

Pernyataan Ki Jatmika seolah membuka tabir yang menyelubungi benak Sagara. Pion? Permainan catur? Ia merasa ada kepingan puzzle yang hilang, namun terlalu lemah untuk menyatukannya.

“Aku… aku tidak mengerti,” Sagara mengakui. “Yang aku tahu, aku harus menuntut keadilan. Demi Guru Besar, demi namaku yang tercoreng, dan demi Larisa.”

Ki Jatmika tersenyum tipis. “Keadilan atau dendam?”

Sagara terdiam. Kata “dendam” terasa asing, kotor. Namun, kilatan amarah yang membakar hatinya sulit ia sangkal. Ia membayangkan wajah Rangga, sorot matanya yang penuh kemenangan di tebing sana.

“Aku tidak tahu,” Sagara berbisik. “Yang aku tahu, aku tidak bisa membiarkan ini begitu saja.”

“Bagus,” kata Ki Jatmika. “Itu adalah awal dari jalan panjang. Aku menyelamatkan hidupmu, memberimu kesempatan. Tapi sisanya, ada di tanganmu.” 

Pria tua itu melangkah mendekat, auranya terasa begitu kuat. “Dunia persilatan saat ini sudah terlalu kotor. Ambisi dan kekuasaan membutakan banyak orang. Kematian Guru Besarmu, bisa jadi bukan hanya sekadar dendam pribadi. Bisa jadi ini adalah bagian dari perebutan Kitab Naga Langit.”

Sagara terkejut. “Kitab Naga Langit? Tapi, bukankah itu hanya legenda?”

Kitab Naga Langit adalah sebuah mitos, sebuah kisah yang sering diceritakan para tetua di malam hari. Konon, di dalamnya tersimpan jurus-jurus kuno yang mampu membuat siapa pun penguasanya menjadi tak terkalahkan. Sebuah harta karun tak ternilai yang sudah lama hilang.

“Legenda sering kali berakar dari kebenaran, Nak,” balas Ki Jatmika. “Dan kebenaran yang tersembunyi jauh lebih berbahaya. Jika Kitab Naga Langit benar-benar dicari, dan kebetulan perguruanmu adalah salah satu yang terkuat, maka pembunuhan Guru Besarmu adalah langkah awal untuk melemahkanmu.”

Pikiran Sagara berputar cepat. Ia mulai melihat gambaran yang lebih besar dan mengerikan. Betapa naifnya dia selama ini. Pengkhianatan Rangga bukan hanya soal kedengkian pribadi, melainkan mungkin bagian dari rencana besar yang melibatkan seluruh dunia persilatan.

“Jadi... maksudmu, Rangga… dia mungkin bekerja sama dengan orang lain?” Sagara bertanya, suaranya tercekat.

Ki Jatmika hanya menatapnya dalam, tak menjawab secara langsung. “Pikirkan baik-baik, Sagara. Jika ini adalah intrik perebutan kekuasaan, maka musuhmu tidak hanya satu orang. Musuhmu bisa jadi adalah bayangan yang menari di kegelapan, jauh melampaui apa yang kau bayangkan. Dan untuk menghadapi bayangan itu, kau harus menjadi lebih kuat. Bukan hanya kuat dalam jurus, tapi juga dalam hati dan pikiran.”

Sagara menunduk, mencerna setiap kata. Rasa sakit fisik masih mencengkeramnya, namun gejolak di hatinya jauh lebih hebat. Amarah, kepedihan, kebingungan, dan kini, ketakutan akan skala konspirasi yang ia hadapi. Tapi di balik itu semua, tekad yang membara mulai menyala. Tekad untuk tidak hanya bertahan hidup, tetapi untuk menemukan kebenaran.

Ki Jatmika melihat perubahan di mata Sagara. “Untuk sementara, kau akan tinggal di sini. Pulihkan tubuhmu, kuatkan jiwamu. Aku akan mengajarimu apa yang perlu kau tahu. Tapi satu hal yang harus kau ingat Sagara, jalan ini akan berdarah. Jalan ini akan menguji setiap serat keberanianmu.”

Sagara mengangkat kepala, menatap Ki Jatmika dengan sorot mata elang yang kembali tajam. “Aku tidak takut. Aku akan membayar semua ini dengan harga yang pantas.”

“Baiklah,” Ki Jatmika mengangguk puas. 

“Mulai besok pagi, kita mulai. Akan kupastikan kau tidak akan pernah menyesal telah bertahan hidup.”

Sementara itu, di sebuah taman yang sunyi di Pulau Selatan, Larisa masih duduk termenung di bawah pohon persik. Rambut panjangnya tergerai, menutupi wajahnya yang pucat. Ia terus memegangi sapu tangan sutra yang diberikan Sagara, seolah benda itu adalah satu-satunya ikatan yang tersisa.

“Sagara,” bisiknya lagi, “Aku tidak akan menyerah. Aku akan mencarimu, aku akan menemukan bukti, bahkan jika itu harus mengorbankan nyawaku.”

Tiba-tiba, ia mendengar bisikan samar dari balik pepohonan. Dua murid perguruan yang melintas tanpa menyadari keberadaan Larisa.

“Kudengar para tetua akan membentuk pasukan khusus untuk memburu sisa-sisa pengikut Sagara,” bisik salah satu murid.

“Ya, Rangga yang mengajukannya. Dia bilang Sagara mungkin saja tidak mati, dan jika dia kembali, kita harus siap.”

Hati Larisa mencelos. Pasukan khusus? Memburu Sagara? Itu berarti Rangga tidak hanya memfitnah, tapi juga berencana memastikan Sagara tidak pernah kembali. Rasa ngeri bercampur amarah membakar hatinya.

“Tentu saja dia tidak mati,” gumam Larisa. “Dan ketika dia kembali, Rangga akan merasakan pedang keadilan.” 

Ia bangkit, sapu tangan di tangannya diremas kuat. “Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mencari tahu lebih banyak.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bara Dendam Sagara    Bab 5

    Bau amis laut memenuhi hidung Sagara. Tubuhnya terantai, semakin ia meronta, semakin ia ditelan ke dasar samudera. Namun yang paling berat bukanlah rantai besi, melainkan belenggu pengkhianatan.Di antara pusaran air, wajah Larisa muncul. Matanya bengkak, bibirnya bergetar, air mata bercampur dengan asin laut. Sagara berusaha meraih, namun tubuhnya lumpuh. Suara-suara pun terdengar, teriakan penuh cacian. “Pengkhianat!” “Pembunuh!” Semua menunjuk ke arahnya.Di antara kerumunan, Rangga berdiri tegak. Senyum tipis menghiasi wajahnya, dingin dan kejam. Ia mengangkat tangan, seolah memberi isyarat. Seketika, lautan menelan Sagara ke dalam kegelapan.Sagara tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin mengalir di tubuhnya. Ia terduduk di ranjang kayu, matanya merah dan kosong.“Mimpi buruk kembali mengganggu, Nak?” suara Ki Jatmika terdengar dari pintu. Pria tua itu berdiri diterpa cahaya rembulan.Sagara menunduk, tidak menjawab.Ki Jatmika melangkah masuk. Ia duduk di bangku kayu

  • Bara Dendam Sagara    Bab 4

    Setelah tiga hari lamanya pemulihan, pagi itu Sagara akhirnya akan memulai latihan pertamanya dengan Ki Jatmika. Pagi-pagi sekali pemuda itu bangun dan langsung mandi di sungai membersihkan tubuhnya dengan air segar. Setelah sarapan, Ki Jatmika pun mulai melatih Sagara untuk bisa mewarisi jurus Cakra Laut Selatan. “Sebelum aku mengajarimu dasar-dasar Jurus Cakra Laut Selatan, kau harus bisa memahami jurus ini dengan baik,” ucap Ki Jatmika membuka sesi latihan pagi itu.“Jurus Cakra Laut Selatan adalah kekuatan yang tiada henti. Ia berputar tanpa akhir seperti cakra, sekaligus dalam dan luas seperti lautan,” jelasnya.Pendekar legendaris itu menerangkan pada Sagara bahwa jurus dasar cakra laut selatan terdiri dari beberapa tahapan diantaranya langkah arus samudra, tapak gelombang, pukulan ombak bergulung, perisai buih laut dan tarikan pasang surut.“Cakra laut selatan bukan sekadar gerakan fisik, Nak. Jika kau ingin menguasainya harus bisa memadukan tenaga dalam, pernapasan, dan ir

  • Bara Dendam Sagara    Bab 3

    Samar-samar, seperti sebuah bisikan dari alam mimpi yang memudar, kesadaran mulai merayapi Sagara. Udara dingin yang menusuk tulangnya kini digantikan oleh kehangatan samar, diiringi aroma herbal yang pekat dan asing. Namun, yang paling terasa adalah rasa sakit. Rasa sakit di sekujur tubuhnya, seolah setiap tulangnya remuk, setiap ototnya terkoyak. Gelombang mual dan pusing menyerbu kepalanya yang terasa begitu berat. Ia mencoba membuka mata, namun kelopak matanya terasa bagai ditarik timah. Hanya cahaya jingga redup yang menembus celah, menari-nari di balik kelopak.Suara gemericik air terdengar pelan, disusul gesekan benda kayu. Lalu sebuah suara berat namun menenangkan, yang terasa akrab sekaligus asing, memecah keheningan.“Akhirnya kau menunjukkan tanda-tanda, Nak.”Sagara mengerang pelan, tenggorokannya kering dan perih. Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya, sensasi kesemutan menjalar, namun kekuatannya tak lebih dari sehelai benang rapuh. Ingatan-ingatan mulai menerobos masuk,

  • Bara Dendam Sagara    Bab 2

    Kabar tentang Sagara yang akan dihukum mati karena membunuh Guru Besar menyebar cepat, bagaikan api membakar ilalang kering. Bisikan itu akhirnya sampai juga ke telinga Larisa, tunangan Sagara.“Nona, Tuan Sagara… besok fajar ia akan dihukum dibuang ke Tebing Selatan,” bisik seorang pelayan tergopoh-gopoh.“Apa?!” Larisa terperanjat. Rangkaian bunga di tangannya terjatuh. “Itu tidak mungkin!”Ia pun berlari menembus lorong rumah keluarganya. Ayahnya, Ki Atmaja, mencoba menahan.“Larisa! Jangan ikut campur! Putusan sudah final!”Namun Larisa membalas dengan mata berkaca-kaca.“Tidak, Ayah! Aku tahu Sagara. Dia bukan pembunuh! Aku harus menemuinya malam ini!”Malam itu, Larisa berhasil menyelinap ke ruang tahanan batu. Obor redup berkelip di dinding. Di dalam, Sagara duduk bersandar dengan tubuh penuh luka.“Larisa,” suara pemuda itu serak, matanya terbelalak tak percaya.Larisa segera mendekat, jemarinya meraih tangan Sagara lewat sela jeruji. Air matanya jatuh tanpa henti.“Sagara! Ka

  • Bara Dendam Sagara    Bab 1

    “Guru Besar! Guru Besar!”Teriakan seorang murid muda menggema di halaman padepokan, membuat semua orang yang sedang berkumpul langsung menoleh dan berlari mengikuti suara itu.Orang-orang berhamburan, langkah kaki mereka berat dipenuhi kecemasan dan ketakutan. Suasana hening malam seketika berubah menjadi gaduh.Saat mereka sampai di ruang Guru Besar, pandangan mereka tertuju pada sosok yang tergeletak di lantai kayu.Tubuh Guru Besar bersimbah darah segar yang mengalir deras dari luka di dadanya. Para murid yang melihatnya terdiam, napas mereka tersengal-sengal, jantung berdegup kencang. Tidak lama kemudian, para tetua perguruan datang, wajah mereka serius dan penuh kecemasan.Mereka mendekat dan memperhatikan luka sang Guru dengan seksama.Namun, detik selanjutnya wajah mereka berubah ekpresi.Mereka kaget setelah memperhatikan goresan luka yang ada di tubuh sang guru besar. Namun, detik selanjutnya wajah mereka berubah ekspresi. Mata para tetua melebar, napas mereka terhenti sejen

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status