Share

Bab 4

Author: lovelypurple
last update Last Updated: 2025-09-09 16:20:32

Setelah tiga hari lamanya pemulihan, pagi itu Sagara akhirnya akan memulai latihan pertamanya dengan Ki Jatmika. 

Pagi-pagi sekali pemuda itu bangun dan langsung mandi di sungai membersihkan tubuhnya dengan air segar. 

Setelah sarapan, Ki Jatmika pun mulai melatih Sagara untuk bisa mewarisi jurus  Cakra Laut Selatan. 

“Sebelum aku mengajarimu dasar-dasar Jurus Cakra Laut Selatan, kau harus bisa memahami jurus ini dengan baik,” ucap Ki Jatmika membuka sesi latihan pagi itu.

“Jurus Cakra Laut Selatan adalah kekuatan yang tiada henti. Ia berputar tanpa akhir seperti cakra, sekaligus dalam dan luas seperti lautan,” jelasnya.

Pendekar legendaris itu menerangkan pada Sagara bahwa jurus dasar cakra laut selatan terdiri dari beberapa tahapan diantaranya langkah arus samudra, tapak gelombang, pukulan ombak bergulung, perisai buih laut dan tarikan pasang surut.

“Cakra laut selatan bukan sekadar gerakan fisik, Nak. Jika kau ingin menguasainya harus bisa memadukan tenaga dalam, pernapasan, dan irama tubuh. Tanpa tenaga dalam yang kuat, jurus hanya akan jadi gerakan kosong, tidak punya daya guncang,” papar pria tersebut pada muridnya.”

Ki Jatmika menekankan bahwa jurus ini bukan untuk kesombongan atau membalas dendam sembarangan.

“Siapa pun yang menguasainya harus siap menanggung beban lautan. Tenang di permukaan, tapi dalam di dalam,” tegas pria berumur 60 tahun tersebut

Ki Jatmika menekankan bahwa inti dari semua jurus ini berawal dari pernapasan samudra. Tanpa napas yang benar, tenaga dalam tidak akan pernah mengalir sempurna.

“Duduklah bersila, tenangkan hatimu. Dengarkan suaramu sendiri, dengarkan degup jantungmu, dan bayangkan ombak yang datang silih berganti,” ujar Ki Jatmika dengan nada pelan namun penuh wibawa.

Sagara mengikuti perintah itu. Ia duduk di atas tanah berumput, memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Angin pagi yang lembut dan suara gemericik sungai di dekat situ menjadi latar alami.

“Tarik napas panjang, dari hidungmu. Biarkan udara itu mengalir turun ke perut bawahmu—hara. Tahan di sana, rasakan seolah kau sedang menampung kekuatan laut di dalam tubuhmu,” Ki Jatmika menuntun perlahan. “Lalu alirkan perlahan ke seluruh tubuh, ke tangan, kaki, hingga ke ujung jari-jarimu.”

Sagara menarik napas panjang sesuai arahan. Dadanya naik turun, lalu perutnya mengembang saat ia menahan udara di dalam. Pada awalnya, napasnya terasa tersengal, tidak seimbang. Ki Jatmika langsung menegur, “Jangan tergesa. Nafasmu harus tenang seperti laut di kala pagi. Kalau terlalu cepat, kau akan kehabisan tenaga sebelum waktunya.”

Pemuda itu mencoba kembali, lebih pelan. Kali ini ia mampu menahan napas lebih lama, lalu perlahan mengalirkannya ke sekujur tubuh. Keringat tipis mulai muncul di keningnya, namun wajahnya tetap serius.

“Bagus, Sagara. Itu awal yang baik. Lakukan berulang kali, hingga napasmu tak lagi terasa sebagai beban, melainkan bagian dari dirimu,” ujar Ki Jatmika sambil tersenyum tipis. “Ingat, sebelum kau belajar menggerakkan ombak, kau harus dulu menjadi lautan.

Hari-hari berikutnya, latihan Sagara masih berfokus pada pernapasan samudra. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, ia sudah duduk bersila di tepi sungai, mengikuti arahan Ki Jatmika.

“Jangan hanya menarik dan menahan napas,” ujar sang guru suatu pagi, suaranya dalam dan berwibawa. “Kau harus merasakan bagaimana udara itu berubah menjadi energi yang mengalir. Seperti arus laut, ia bergerak tanpa henti, menyusuri seluruh tubuhmu.”

Sagara mengangguk, lalu menutup mata. Ia menarik napas perlahan, menahannya di perut bawah, kemudian mencoba mengalirkan ke setiap bagian tubuh. Pada awalnya, ia hanya merasa sesak. Namun semakin hari, semakin ia bisa merasakan hangat yang merambat dari dalam perutnya ke dada, ke lengan, hingga ke ujung jari.

“Bagus…,” puji Ki Jatmika saat melihat perubahan pada muridnya. “Itu pertanda tenagamu mulai bergerak. Ingat, jangan lawan aliran itu. Biarkan ia berputar seperti pusaran ombak, tenang tapi kuat.”

Keringat dingin membasahi tubuh Sagara, meski ia hanya duduk diam. Latihan itu ternyata jauh lebih melelahkan daripada berlatih jurus fisik. Namun ia tidak menyerah. Malam hari, bahkan setelah semua orang tertidur, ia sering kembali duduk sendiri untuk mengulang pernapasan samudra.

Beberapa kali tubuhnya gemetar, bahkan sempat terasa sakit di dada. Ki Jatmika menegurnya, “Kalau kau memaksa diri, arus itu akan berbalik melawanmu. Ingat, laut tak pernah tergesa. Ia mengikis karang sedikit demi sedikit.”

Hari demi hari, perlahan napas Sagara menjadi semakin teratur. Tubuhnya lebih ringan, pikirannya lebih jernih. Untuk pertama kalinya ia merasakan ketenangan seperti menyatu dengan alam. Saat membuka mata pada pagi keempat belas, ia melihat kabut tipis di atas sungai, dan entah kenapa ia merasa seolah-olah dirinya bagian dari kabut itu—menyatu dengan arus air dan angin pagi.

Ki Jatmika tersenyum bangga, “Sekarang kau mulai memahami. Inilah dasar yang akan membuatmu siap melangkah ke jurus berikutnya.”

Setelah dua pekan penuh berlatih pernapasan samudra, tibalah saatnya Sagara menjalani ujian pertamanya. Pagi itu, Ki Jatmika membawa muridnya ke tepi pantai, tempat ombak berdebur tanpa henti.

“Pernapasan samudra bukan hanya untuk duduk diam,” ujar Ki Jatmika sambil menatap lautan luas. “Kini kau harus membuktikan apakah napasmu mampu bertahan dalam gerak dan tekanan.”

Ia mengajak Sagara berdiri di bibir pantai, ombak sesekali menerpa hingga membasahi kaki. “Tarik napasmu seperti biasa, tahan di hara, lalu biarkan ia mengalir. Kali ini, aku akan mengujimu.”

Tanpa aba-aba, Ki Jatmika mendorong dada Sagara dengan telapak tangan. Dorongan itu tampak ringan, namun menyimpan tenaga dalam yang kuat. Sagara hampir terhuyung ke belakang, tapi ia segera mengatur pernapasan sesuai latihan. Udara hangat yang ia simpan di perut bawah mengalir cepat, menahan tubuhnya tetap tegak meski ombak ikut menghantam dari belakang.

“Bagus,” ujar Ki Jatmika. “Sekarang coba berjalan ke depan, melawan ombak. Gunakan napasmu untuk menjaga keseimbangan.”

Sagara melangkah, namun setiap kali ombak menghantam, tubuhnya goyah. eberapa kali ia hampir terjatuh, bahkan sempat terhempas ke pasir. Tapi ia bangkit lagi, mengatur napas, menahan di hara, lalu mengalirkan ke kakinya. Perlahan, langkahnya menjadi lebih mantap, meski ombak terus menggempur.

Ki Jatmika kemudian mengambil sebatang kayu, menancapkannya di pasir. “Pukul kayu ini dengan telapak tanganmu, tapi jangan hanya mengandalkan otot. Salurkan napas samudra yang kau latih.”

Sagara menarik napas panjang, menahannya di hara, lalu menyalurkan ke tangannya. Saat telapaknya menghantam kayu, terdengar dentuman keras. Pasir di sekitarnya berhamburan, membuat kayu itu bergetar hebat.

Namun tiba-tiba, arus tenaga dalam yang ia alirkan berubah liar. Dadanya terasa sesak, pusaran tenaga berbalik ke tubuhnya sendiri.

“Ughhh…!” Sagara berteriak keras. Tubuhnya bergetar hebat, lalu dari telapak tangannya keluar semburan udara panas bercampur ombak kecil yang meledak ke segala arah

Tubuh Sagara terpental ke belakang, menghantam pasir basah dengan keras. Ombak langsung menelan tubuhnya separuh, membuat napasnya tersengal. Rasa sakit menjalar dari dada hingga ke ujung jari, seolah-olah arus laut benar-benar menghantam balik dari dalam dirinya.

Ki Jatmika segera melangkah cepat, menahan tubuh muridnya agar tidak hanyut oleh ombak. “Tenagamu bocor,” ucapnya dengan suara tenang, namun sorot matanya tajam. “Kau terburu-buru. Arus samudra yang seharusnya mengalir keluar malah kau kunci, hingga berbalik menyerang tubuhmu sendiri.”

Sagara terbatuk hebat, ludah bercampur darah tipis keluar dari mulutnya. Meski wajahnya pucat, matanya tetap menyala dengan tekad. “Guru… aku hampir bisa merasakannya. Tenaga itu begitu kuat… tapi sulit sekali dikendalikan.”

Ki Jatmika menghela napas panjang. Ia menatap muridnya yang tergeletak di pasir, tubuh muda yang masih rapuh namun hatinya menyala bagai bara. “Itulah ujian pertama. Jurus Cakra Laut Selatan bukan hanya tentang menguasai kekuatan, tapi menyelaraskan diri dengan irama alam. Kau ingin memaksa laut tunduk padamu, padahal yang harus kau lakukan adalah menyatu dengannya.”

Dengan gerakan halus, Ki Jatmika menempelkan telapak tangan di punggung Sagara. Hawa hangat menjalar, menenangkan pusaran tenaga dalam yang masih kacau. Sagara mengerang pelan, namun rasa sakitnya perlahan mereda.

“Dengarkan baik-baik, Nak,” ujar sang guru lirih, namun penuh wibawa. “Cakra Laut Selatan berputar tanpa henti, tapi ia tak pernah melawan dirinya sendiri. Kalau kau ingin menguasainya, kau harus jadi samudra: sabar, luas, dan tak terburu-buru.”

Sagara menunduk, menahan perih di dadanya. Hembusan angin laut membuat rambutnya berkibar, sementara ombak terus berdebur seakan menguji keteguhannya.

“Aku mengerti, Guru…” suaranya serak, namun mantap. “Aku akan belajar, sampai tubuh ini sanggup menanggung beban laut.”

Ki Jatmika menatap muridnya dalam-dalam, lalu tersenyum tipis. “Bagus. Ingatlah, jalan ini tidak sebentar. Kau akan jatuh berkali-kali, tapi selama kau mampu bangkit, laut akan mengakui keberadaanmu.”

Sagara mengangguk. Ia bangkit pelan dari pasir, meski tubuhnya masih lemah. Di matanya, tekad semakin menyala. Jurus itu—Jurus Cakra Laut Selatan—bukan lagi sekadar warisan ilmu, melainkan jalan hidup yang harus ia taklukkan.

Ki Jatmika berbalik, berjalan kembali ke tebing sambil berkata, “Kita sudahi dulu hari ini. Besok, kau akan belajar bagaimana menyalurkan arus samudra tanpa melawan dirimu sendiri. Jika kau gagal lagi, laut tidak akan memberimu kesempatan kedua.”

Sagara berdiri memandang laut yang bergelora. Ombak besar datang silih berganti, dan di dalam hatinya ia bersumpah: suatu hari nanti, ia akan bisa berjalan di atas ombak itu tanpa goyah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bara Dendam Sagara    Bab 5

    Bau amis laut memenuhi hidung Sagara. Tubuhnya terantai, semakin ia meronta, semakin ia ditelan ke dasar samudera. Namun yang paling berat bukanlah rantai besi, melainkan belenggu pengkhianatan.Di antara pusaran air, wajah Larisa muncul. Matanya bengkak, bibirnya bergetar, air mata bercampur dengan asin laut. Sagara berusaha meraih, namun tubuhnya lumpuh. Suara-suara pun terdengar, teriakan penuh cacian. “Pengkhianat!” “Pembunuh!” Semua menunjuk ke arahnya.Di antara kerumunan, Rangga berdiri tegak. Senyum tipis menghiasi wajahnya, dingin dan kejam. Ia mengangkat tangan, seolah memberi isyarat. Seketika, lautan menelan Sagara ke dalam kegelapan.Sagara tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin mengalir di tubuhnya. Ia terduduk di ranjang kayu, matanya merah dan kosong.“Mimpi buruk kembali mengganggu, Nak?” suara Ki Jatmika terdengar dari pintu. Pria tua itu berdiri diterpa cahaya rembulan.Sagara menunduk, tidak menjawab.Ki Jatmika melangkah masuk. Ia duduk di bangku kayu

  • Bara Dendam Sagara    Bab 4

    Setelah tiga hari lamanya pemulihan, pagi itu Sagara akhirnya akan memulai latihan pertamanya dengan Ki Jatmika. Pagi-pagi sekali pemuda itu bangun dan langsung mandi di sungai membersihkan tubuhnya dengan air segar. Setelah sarapan, Ki Jatmika pun mulai melatih Sagara untuk bisa mewarisi jurus Cakra Laut Selatan. “Sebelum aku mengajarimu dasar-dasar Jurus Cakra Laut Selatan, kau harus bisa memahami jurus ini dengan baik,” ucap Ki Jatmika membuka sesi latihan pagi itu.“Jurus Cakra Laut Selatan adalah kekuatan yang tiada henti. Ia berputar tanpa akhir seperti cakra, sekaligus dalam dan luas seperti lautan,” jelasnya.Pendekar legendaris itu menerangkan pada Sagara bahwa jurus dasar cakra laut selatan terdiri dari beberapa tahapan diantaranya langkah arus samudra, tapak gelombang, pukulan ombak bergulung, perisai buih laut dan tarikan pasang surut.“Cakra laut selatan bukan sekadar gerakan fisik, Nak. Jika kau ingin menguasainya harus bisa memadukan tenaga dalam, pernapasan, dan ir

  • Bara Dendam Sagara    Bab 3

    Samar-samar, seperti sebuah bisikan dari alam mimpi yang memudar, kesadaran mulai merayapi Sagara. Udara dingin yang menusuk tulangnya kini digantikan oleh kehangatan samar, diiringi aroma herbal yang pekat dan asing. Namun, yang paling terasa adalah rasa sakit. Rasa sakit di sekujur tubuhnya, seolah setiap tulangnya remuk, setiap ototnya terkoyak. Gelombang mual dan pusing menyerbu kepalanya yang terasa begitu berat. Ia mencoba membuka mata, namun kelopak matanya terasa bagai ditarik timah. Hanya cahaya jingga redup yang menembus celah, menari-nari di balik kelopak.Suara gemericik air terdengar pelan, disusul gesekan benda kayu. Lalu sebuah suara berat namun menenangkan, yang terasa akrab sekaligus asing, memecah keheningan.“Akhirnya kau menunjukkan tanda-tanda, Nak.”Sagara mengerang pelan, tenggorokannya kering dan perih. Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya, sensasi kesemutan menjalar, namun kekuatannya tak lebih dari sehelai benang rapuh. Ingatan-ingatan mulai menerobos masuk,

  • Bara Dendam Sagara    Bab 2

    Kabar tentang Sagara yang akan dihukum mati karena membunuh Guru Besar menyebar cepat, bagaikan api membakar ilalang kering. Bisikan itu akhirnya sampai juga ke telinga Larisa, tunangan Sagara.“Nona, Tuan Sagara… besok fajar ia akan dihukum dibuang ke Tebing Selatan,” bisik seorang pelayan tergopoh-gopoh.“Apa?!” Larisa terperanjat. Rangkaian bunga di tangannya terjatuh. “Itu tidak mungkin!”Ia pun berlari menembus lorong rumah keluarganya. Ayahnya, Ki Atmaja, mencoba menahan.“Larisa! Jangan ikut campur! Putusan sudah final!”Namun Larisa membalas dengan mata berkaca-kaca.“Tidak, Ayah! Aku tahu Sagara. Dia bukan pembunuh! Aku harus menemuinya malam ini!”Malam itu, Larisa berhasil menyelinap ke ruang tahanan batu. Obor redup berkelip di dinding. Di dalam, Sagara duduk bersandar dengan tubuh penuh luka.“Larisa,” suara pemuda itu serak, matanya terbelalak tak percaya.Larisa segera mendekat, jemarinya meraih tangan Sagara lewat sela jeruji. Air matanya jatuh tanpa henti.“Sagara! Ka

  • Bara Dendam Sagara    Bab 1

    “Guru Besar! Guru Besar!”Teriakan seorang murid muda menggema di halaman padepokan, membuat semua orang yang sedang berkumpul langsung menoleh dan berlari mengikuti suara itu.Orang-orang berhamburan, langkah kaki mereka berat dipenuhi kecemasan dan ketakutan. Suasana hening malam seketika berubah menjadi gaduh.Saat mereka sampai di ruang Guru Besar, pandangan mereka tertuju pada sosok yang tergeletak di lantai kayu.Tubuh Guru Besar bersimbah darah segar yang mengalir deras dari luka di dadanya. Para murid yang melihatnya terdiam, napas mereka tersengal-sengal, jantung berdegup kencang. Tidak lama kemudian, para tetua perguruan datang, wajah mereka serius dan penuh kecemasan.Mereka mendekat dan memperhatikan luka sang Guru dengan seksama.Namun, detik selanjutnya wajah mereka berubah ekpresi.Mereka kaget setelah memperhatikan goresan luka yang ada di tubuh sang guru besar. Namun, detik selanjutnya wajah mereka berubah ekspresi. Mata para tetua melebar, napas mereka terhenti sejen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status