LOGINSetelah tiga hari lamanya pemulihan, pagi itu Sagara akhirnya akan memulai latihan pertamanya dengan Ki Jatmika.
Pagi-pagi sekali pemuda itu bangun dan langsung mandi di sungai membersihkan tubuhnya dengan air segar. Setelah sarapan, Ki Jatmika pun mulai melatih Sagara untuk bisa mewarisi jurus Cakra Laut Selatan. “Sebelum aku mengajarimu dasar-dasar Jurus Cakra Laut Selatan, kau harus bisa memahami jurus ini dengan baik,” ucap Ki Jatmika membuka sesi latihan pagi itu. “Jurus Cakra Laut Selatan adalah kekuatan yang tiada henti. Ia berputar tanpa akhir seperti cakra, sekaligus dalam dan luas seperti lautan,” jelasnya. Pendekar legendaris itu menerangkan pada Sagara bahwa jurus dasar cakra laut selatan terdiri dari beberapa tahapan diantaranya langkah arus samudra, tapak gelombang, pukulan ombak bergulung, perisai buih laut dan tarikan pasang surut. “Cakra laut selatan bukan sekadar gerakan fisik, Nak. Jika kau ingin menguasainya harus bisa memadukan tenaga dalam, pernapasan, dan irama tubuh. Tanpa tenaga dalam yang kuat, jurus hanya akan jadi gerakan kosong, tidak punya daya guncang,” papar pria tersebut pada muridnya.” Ki Jatmika menekankan bahwa jurus ini bukan untuk kesombongan atau membalas dendam sembarangan. “Siapa pun yang menguasainya harus siap menanggung beban lautan. Tenang di permukaan, tapi dalam di dalam,” tegas pria berumur 60 tahun tersebut Ki Jatmika menekankan bahwa inti dari semua jurus ini berawal dari pernapasan samudra. Tanpa napas yang benar, tenaga dalam tidak akan pernah mengalir sempurna. “Duduklah bersila, tenangkan hatimu. Dengarkan suaramu sendiri, dengarkan degup jantungmu, dan bayangkan ombak yang datang silih berganti,” ujar Ki Jatmika dengan nada pelan namun penuh wibawa. Sagara mengikuti perintah itu. Ia duduk di atas tanah berumput, memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Angin pagi yang lembut dan suara gemericik sungai di dekat situ menjadi latar alami. “Tarik napas panjang, dari hidungmu. Biarkan udara itu mengalir turun ke perut bawahmu—hara. Tahan di sana, rasakan seolah kau sedang menampung kekuatan laut di dalam tubuhmu,” Ki Jatmika menuntun perlahan. “Lalu alirkan perlahan ke seluruh tubuh, ke tangan, kaki, hingga ke ujung jari-jarimu.” Sagara menarik napas panjang sesuai arahan. Dadanya naik turun, lalu perutnya mengembang saat ia menahan udara di dalam. Pada awalnya, napasnya terasa tersengal, tidak seimbang. Ki Jatmika langsung menegur, “Jangan tergesa. Nafasmu harus tenang seperti laut di kala pagi. Kalau terlalu cepat, kau akan kehabisan tenaga sebelum waktunya.” Pemuda itu mencoba kembali, lebih pelan. Kali ini ia mampu menahan napas lebih lama, lalu perlahan mengalirkannya ke sekujur tubuh. Keringat tipis mulai muncul di keningnya, namun wajahnya tetap serius. “Bagus, Sagara. Itu awal yang baik. Lakukan berulang kali, hingga napasmu tak lagi terasa sebagai beban, melainkan bagian dari dirimu,” ujar Ki Jatmika sambil tersenyum tipis. “Ingat, sebelum kau belajar menggerakkan ombak, kau harus dulu menjadi lautan. Hari-hari berikutnya, latihan Sagara masih berfokus pada pernapasan samudra. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, ia sudah duduk bersila di tepi sungai, mengikuti arahan Ki Jatmika. “Jangan hanya menarik dan menahan napas,” ujar sang guru suatu pagi, suaranya dalam dan berwibawa. “Kau harus merasakan bagaimana udara itu berubah menjadi energi yang mengalir. Seperti arus laut, ia bergerak tanpa henti, menyusuri seluruh tubuhmu.” Sagara mengangguk, lalu menutup mata. Ia menarik napas perlahan, menahannya di perut bawah, kemudian mencoba mengalirkan ke setiap bagian tubuh. Pada awalnya, ia hanya merasa sesak. Namun semakin hari, semakin ia bisa merasakan hangat yang merambat dari dalam perutnya ke dada, ke lengan, hingga ke ujung jari. “Bagus…,” puji Ki Jatmika saat melihat perubahan pada muridnya. “Itu pertanda tenagamu mulai bergerak. Ingat, jangan lawan aliran itu. Biarkan ia berputar seperti pusaran ombak, tenang tapi kuat.” Keringat dingin membasahi tubuh Sagara, meski ia hanya duduk diam. Latihan itu ternyata jauh lebih melelahkan daripada berlatih jurus fisik. Namun ia tidak menyerah. Malam hari, bahkan setelah semua orang tertidur, ia sering kembali duduk sendiri untuk mengulang pernapasan samudra. Beberapa kali tubuhnya gemetar, bahkan sempat terasa sakit di dada. Ki Jatmika menegurnya, “Kalau kau memaksa diri, arus itu akan berbalik melawanmu. Ingat, laut tak pernah tergesa. Ia mengikis karang sedikit demi sedikit.” Hari demi hari, perlahan napas Sagara menjadi semakin teratur. Tubuhnya lebih ringan, pikirannya lebih jernih. Untuk pertama kalinya ia merasakan ketenangan seperti menyatu dengan alam. Saat membuka mata pada pagi keempat belas, ia melihat kabut tipis di atas sungai, dan entah kenapa ia merasa seolah-olah dirinya bagian dari kabut itu—menyatu dengan arus air dan angin pagi. Ki Jatmika tersenyum bangga, “Sekarang kau mulai memahami. Inilah dasar yang akan membuatmu siap melangkah ke jurus berikutnya.” Setelah dua pekan penuh berlatih pernapasan samudra, tibalah saatnya Sagara menjalani ujian pertamanya. Pagi itu, Ki Jatmika membawa muridnya ke tepi pantai, tempat ombak berdebur tanpa henti. “Pernapasan samudra bukan hanya untuk duduk diam,” ujar Ki Jatmika sambil menatap lautan luas. “Kini kau harus membuktikan apakah napasmu mampu bertahan dalam gerak dan tekanan.” Ia mengajak Sagara berdiri di bibir pantai, ombak sesekali menerpa hingga membasahi kaki. “Tarik napasmu seperti biasa, tahan di hara, lalu biarkan ia mengalir. Kali ini, aku akan mengujimu.” Tanpa aba-aba, Ki Jatmika mendorong dada Sagara dengan telapak tangan. Dorongan itu tampak ringan, namun menyimpan tenaga dalam yang kuat. Sagara hampir terhuyung ke belakang, tapi ia segera mengatur pernapasan sesuai latihan. Udara hangat yang ia simpan di perut bawah mengalir cepat, menahan tubuhnya tetap tegak meski ombak ikut menghantam dari belakang. “Bagus,” ujar Ki Jatmika. “Sekarang coba berjalan ke depan, melawan ombak. Gunakan napasmu untuk menjaga keseimbangan.” Sagara melangkah, namun setiap kali ombak menghantam, tubuhnya goyah. eberapa kali ia hampir terjatuh, bahkan sempat terhempas ke pasir. Tapi ia bangkit lagi, mengatur napas, menahan di hara, lalu mengalirkan ke kakinya. Perlahan, langkahnya menjadi lebih mantap, meski ombak terus menggempur. Ki Jatmika kemudian mengambil sebatang kayu, menancapkannya di pasir. “Pukul kayu ini dengan telapak tanganmu, tapi jangan hanya mengandalkan otot. Salurkan napas samudra yang kau latih.” Sagara menarik napas panjang, menahannya di hara, lalu menyalurkan ke tangannya. Saat telapaknya menghantam kayu, terdengar dentuman keras. Pasir di sekitarnya berhamburan, membuat kayu itu bergetar hebat. Namun tiba-tiba, arus tenaga dalam yang ia alirkan berubah liar. Dadanya terasa sesak, pusaran tenaga berbalik ke tubuhnya sendiri. “Ughhh…!” Sagara berteriak keras. Tubuhnya bergetar hebat, lalu dari telapak tangannya keluar semburan udara panas bercampur ombak kecil yang meledak ke segala arah Tubuh Sagara terpental ke belakang, menghantam pasir basah dengan keras. Ombak langsung menelan tubuhnya separuh, membuat napasnya tersengal. Rasa sakit menjalar dari dada hingga ke ujung jari, seolah-olah arus laut benar-benar menghantam balik dari dalam dirinya. Ki Jatmika segera melangkah cepat, menahan tubuh muridnya agar tidak hanyut oleh ombak. “Tenagamu bocor,” ucapnya dengan suara tenang, namun sorot matanya tajam. “Kau terburu-buru. Arus samudra yang seharusnya mengalir keluar malah kau kunci, hingga berbalik menyerang tubuhmu sendiri.” Sagara terbatuk hebat, ludah bercampur darah tipis keluar dari mulutnya. Meski wajahnya pucat, matanya tetap menyala dengan tekad. “Guru… aku hampir bisa merasakannya. Tenaga itu begitu kuat… tapi sulit sekali dikendalikan.” Ki Jatmika menghela napas panjang. Ia menatap muridnya yang tergeletak di pasir, tubuh muda yang masih rapuh namun hatinya menyala bagai bara. “Itulah ujian pertama. Jurus Cakra Laut Selatan bukan hanya tentang menguasai kekuatan, tapi menyelaraskan diri dengan irama alam. Kau ingin memaksa laut tunduk padamu, padahal yang harus kau lakukan adalah menyatu dengannya.” Dengan gerakan halus, Ki Jatmika menempelkan telapak tangan di punggung Sagara. Hawa hangat menjalar, menenangkan pusaran tenaga dalam yang masih kacau. Sagara mengerang pelan, namun rasa sakitnya perlahan mereda. “Dengarkan baik-baik, Nak,” ujar sang guru lirih, namun penuh wibawa. “Cakra Laut Selatan berputar tanpa henti, tapi ia tak pernah melawan dirinya sendiri. Kalau kau ingin menguasainya, kau harus jadi samudra: sabar, luas, dan tak terburu-buru.” Sagara menunduk, menahan perih di dadanya. Hembusan angin laut membuat rambutnya berkibar, sementara ombak terus berdebur seakan menguji keteguhannya. “Aku mengerti, Guru…” suaranya serak, namun mantap. “Aku akan belajar, sampai tubuh ini sanggup menanggung beban laut.” Ki Jatmika menatap muridnya dalam-dalam, lalu tersenyum tipis. “Bagus. Ingatlah, jalan ini tidak sebentar. Kau akan jatuh berkali-kali, tapi selama kau mampu bangkit, laut akan mengakui keberadaanmu.” Sagara mengangguk. Ia bangkit pelan dari pasir, meski tubuhnya masih lemah. Di matanya, tekad semakin menyala. Jurus itu—Jurus Cakra Laut Selatan—bukan lagi sekadar warisan ilmu, melainkan jalan hidup yang harus ia taklukkan. Ki Jatmika berbalik, berjalan kembali ke tebing sambil berkata, “Kita sudahi dulu hari ini. Besok, kau akan belajar bagaimana menyalurkan arus samudra tanpa melawan dirimu sendiri. Jika kau gagal lagi, laut tidak akan memberimu kesempatan kedua.” Sagara berdiri memandang laut yang bergelora. Ombak besar datang silih berganti, dan di dalam hatinya ia bersumpah: suatu hari nanti, ia akan bisa berjalan di atas ombak itu tanpa goyah.Malam itu Sagara tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan ayunan bambu, suara retakannya, dan tatapan tenang gurunya. Kekuatan dan kelembutan. Yang dan Yin. Bagaimana bisa keduanya ada di saat yang bersamaan?Fajar hari kedua, Sagara mencoba pendekatan baru. Ia tidak akan menggunakan kekuatan sama sekali. Ia akan mencoba menjadi selembut mungkin, menjadi selentur air.WUSSSHH!Bambu itu kembali melesat. Kali ini, Sagara melepaskan aliran energi yang sangat halus, mencoba membungkus bambu itu dengan lembut.PLAK!Bambu itu sama sekali tidak melambat. Ujungnya menghantam telapak tangan Sagara dengan keras, membuatnya terhuyung mundur. Bambu itu terus berayun ke sisi lain, lalu kembali lagi, nyaris mengenai wajahnya.“Argh!” Sagara meringis, memegangi tangannya yang memerah.“Kemarin kau adalah badai yang menghancurkan,” komentar Ki Jatmika dari tempatnya berdiri. “Hari ini kau hanya embusan napas yang tak berarti. Keduanya sama-sama tidak bisa menahan sehelai daun pun.”“Saya mencoba menja
Matahari baru saja menumpahkan cahaya pertamanya di ufuk timur saat Sagara menemukan Ki Jatmika sudah berdiri di sebuah tanah lapang yang dikelilingi hutan bambu. Di tangannya, sang guru memegang sebatang bambu hijau yang panjang dan ramping. Simbol Gelombang Pasang Mengikat yang terukir di pohon semalam masih terasa segar dalam benak Sagara, sebuah teka-teki baru setelah ia berhasil menaklukkan tekanan air terjun. “Lupakan jarum. Lupakan palu godam,” ucap Ki Jatmika tanpa menoleh, suaranya menyatu dengan desau angin pagi yang menggoyang pucuk-pucuk bambu. “Pikiranmu masih terpaku pada cara menembus, menghancurkan, atau memaksa. Hari ini, kau akan belajar sesuatu yang sama sekali berbeda.” “Apa itu, Guru?” tanya Sagara, mendekat dengan langkah hati-hati. Tubuhnya masih sedikit nyeri setelah latihan di bawah air terjun, tapi semangatnya telah pulih. “Kau akan belajar mengikat,” jawab Ki Jatmika. Ia menancapkan ujung bawah bambu itu ke tanah dengan kuat. Ujung atasnya melambai-lamb
Puncak gelombang itu ternyata sebuah tombol tersembunyi, ucap Larisa, suaranya nyaris tak terdengar. Jemarinya yang gemetar menekan lekukan logam itu. Klik. Bagian batang kunci yang lurus terbelah menjadi dua secara memanjang, memperlihatkan sebuah rongga sempit di dalamnya. Dan di dalam rongga itu, tergulung sehelai kertas yang sangat tipis dan kecil, nyaris seperti benang, seolah dirancang untuk tak terlihat oleh mata biasa.Aryani mendekat, matanya membesar karena penasaran yang tak tertahankan. "Apa itu, Nona Larisa? Sesuatu lagi dari Sagara?"Larisa menarik gulungan kertas itu dengan ujung kukunya. Udara di gua terasa menegang, dipenuhi antisipasi. Ia membentangkan gulungan super tipis itu dengan sangat hati-hati, khawatir merobeknya. Tinta samar, hampir pudar dimakan usia, hanya menuliskan satu kata tunggal."Matahari Terbenam," bisiknya, jantungnya berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya seolah ingin keluar dari kurungannya. Matanya terbelalak, menatap kata itu seolah ia mem
Sementara itu di sebuah gua setelah kesadaran Larisa kembali dan Aryani menjelaskan siapa dirinya, kepercayaan Larisa pada wanita itu akhirnya tumbuh. Larisa menggenggam erat kunci perunggu berukiran gelombang laut yang ia temukan di dalam kalung giok yang diberikan Sagara. Rasa dingin logamnya seolah menyalurkan kekuatan dan harapan. Ia menatap benda kecil itu dengan saksama. Ukiran gelombang laut di kepalanya begitu detail dan rumit, seolah dibuat oleh tangan seorang seniman ulung.“Jadi, apa langkah kita sekarang?” tanya Larisa, suaranya kini lebih mantap, tidak lagi tercekik ketakutan seperti saat ia pertama kali sadar di gua ini. Jemarinya mengelus ukiran pada kunci itu, merasakan setiap lekuk halus yang membentuk pola misterius. “Di mana tempat yang bisa dibuka oleh kunci ini? Apa yang harus kita cari?”Aryani, yang duduk di seberangnya, menghangatkan tangannya di atas api unggun kecil yang mereka buat. Wajahnya yang biasanya penuh misteri kini terlihat sedikit muram. “Itulah ma
“Serangan tak terhindarkan?” ulang Sagara, napasnya masih tersengal. Kekecewaan membakar dadanya lebih panas dari tenaga dalam yang baru saja ia lepaskan. “Apa bedanya, Guru? Aku tidak mengerti.”“Sebuah palu godam itu tak tertahankan,” jawab Ki Jatmika, suaranya tenang seperti permukaan danau di pagi hari. “Ia bisa menghancurkan gerbang benteng. Tapi seorang penjaga yang waspada bisa melihatnya datang dari jauh dan menghindar. Seranganmu tadi adalah palu godam.”Ki Jatmika mengambil sehelai daun kering dari tanah. “Sekarang, bayangkan sebuah jarum,” lanjutnya sambil mengangkat daun itu. “Ia tidak bisa menghancurkan gerbang. Tapi jika dilemparkan oleh seorang ahli, ia bisa menembus celah terkecil di baju zirah penjaga itu. Ia tidak tertahankan, tapi ia tak terhindarkan. Itulah Arus Bawah.”Sagara menatap lubang dangkal di batu karang. Ia mengerti teorinya, tapi tubuhnya menolak. “Naluriku, setiap serat ototku berteriak untuk melepaskan kekuatan penuh. Bagaimana cara mengubah palu menj
Sagara mengerutkan kening. “Tusukan Arus Bawah? Itu jurus yang menembus pertahanan, tapi apa bedanya dengan serangan telapak tangan biasa?”Ki Jatmika melangkah mendekat, matanya berkilat di bawah sinar bulan yang meredup. “Serangan biasa bisa dihindari, Sagara. Ia mudah terlihat. Tusukan Arus Bawah bukanlah serangan frontal. Ia adalah bisikan di telinga, racun di dalam cangkir anggur. Ia bukan hanya tentang kekuatan yang tak tertahankan, melainkan kekuatan yang tak terduga.”Ia menjentikkan jarinya ke arah Sagara. Jentikan itu begitu cepat dan lembut, Sagara hampir tidak merasakannya. Tapi sesaat kemudian, sebuah sensasi terbakar muncul di titik energi tepat di atas jantungnya.Sagara terkejut, memegang dadanya. Serangan itu nyaris tak terdeteksi oleh Bisikan Samudra-nya, dan itu dilepaskan hanya dengan satu jentikan santai. Jika itu adalah serangan mematikan, ia pasti sudah mati.“Arus Bawah bekerja dengan meniru alam,” Ki Jatmika menjelaskan, menarik tangannya kembali. “Bayangkan s







