Di tempatnya, Seta menduga-duga apa yang bakal dilakukan begundal-begundal tersebut. Tatapan matanya terarah pada sang isteri yang terbaring lemah. Tiba-tiba saja satu pikiran buruk terlintas di kepalanya.
"Oh, tidak!" seru Seta tanpa sadar. Kepalanya digeleng-gelengkan sekeras-keras mungkin, berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk tersebut.
"Seta, aku harap kau senang dengan pertunjukan yang kami suguhkan ini," kata Ranajaya, membuat sang prajurit memusatkan perhatian ke depan.
Lagi-lagi Ranajaya beri isyarat kepala pada salah satu anak buahnya. Yang diberi isyarat tertawa-tawa senang sembari usap-usap bagian pangkal pahanya.
Gerakan tangan orang itu membuat Seta terkesiap. Bayangan-bayangan buruk tadi kembali muncul di kepalanya.
Benar saja. Lelaki tersebut mendekati batu besar di mana isteri Seta berada. Begitu berada di tepian batu, enak saja tangan lelaki itu mengusap-usap kemaluan si perempuan. Semua dilakukan sembari terus tertawa-tawa senang.
Kehormatannya disentuh secara kurang ajar begitu, isteri Seta menjerit. Sepasang pahanya dikatupkan erat-erat, sebisa mungkin berusaha menjaga bagian kewanitaannya.
Sayang, usaha itu sia-sia belaka. Dalam sekali sentak saja lelaki bercambang bauk berhasil menyibakkan sepasang kaki mulus itu.
"Jahanam!" Seta menggeram marah. Digerakkannya kedua tangannya sekuat tenaga, mencoba lepas dari ikatan. Sayang, usahanya tak membuahkan hasil.
Ketika anak buah Ranajaya mulai menggagahi isterinya, Seta langsung tundukkan pandangan. Tubuhnya seketika bergetar hebat menahan kemarahan yang memuncak.
Terlebih ketika sepasang telinganya mendengar suara sang isteri menjerit-jerit. Juga suara tawa terbahak-bahak para lelaki jahanam.
"Seta, kenapa kau tundukkan kepalamu? Lihatlah, isterimu sungguh menikmati permainan ini," terdengar suara Ranajaya, diikuti gelak tawa membahana.
Sekali lagi Seta gerakkan tangannya sekuat tenaga, coba memutus tali-temali yang mengikat sekujur tubuhnya. Namun semakin kuat ia mencoba, justru kulitnya yang menjadi perih luar biasa. Tekanan tali terasa sampai ke tulang.
Putus asa, Seta berteriak sekeras-kerasnya. Suara teriakan sang prajurit memenuhi seisi gua. Membuat telinganya tak lagi mendengar suara rintihan bercampur tangis isterinya, juga suara gelak tawa para lelaki jahanam itu.
Sementara di tempatnya, saat meronta-ronta di bawah tindihan si lelaki penjahat, isteri Seta secara tak sengaja memutus tali pengikat tangannya. Ikatan perempuan itu agaknya memang tidak terlalu kencang.
Isteri Seta lantas melihat sebuah parang tergeletak tak jauh dari kakinya. Tanpa pikir panjang diraihnya senjata tersebut, kemudian bangkit dan duduk.
Bersamaan dengan itu tangannya bergerak sangat cepat. Parang di tangan diayunkan ke arah selangkangan.
Crraasss!
"Aaaaaaa!"
Satu jeritan melolong terdengar keras. Diiringi pekik tertahan beberapa orang lain.
Di tempatnya, Seta yang merasa penasaran segera buka kedua kelopak matanya. Seketika itu pula sepasang matanya membeliak besar. Tak percaya pada apa yang telah dilakukan oleh isterinya.
Di batu besar yang menjadi pembaringan tempat isterinya disandera, Seta melihat lelaki yang tadi menggauli perempuan itu terjajar mundur dengan wajah ngeri. Kedua tangan lelaki tersebut memegangi bagian kemaluan.
"Perempuan keparat!" jerit lelaki tersebut dengan suara tertahan.
Berkali-kali tangan si lelaki meraba-raba ke pangkal paha, tapi benda yang ia cari tak ada. Yang terasa oleh telapaknya hanya hangat dan basah darah mengucur.
Isteri Seta terlihat menyeringai aneh. Pandangannya diarahkan sekilas pada sang suami, yang balas memandang dengan tatapan bingung. Kejap berikutnya parang di tangan perempuan itu kembali bergerak cepat.
"Tidak! Jangan!" pekik Seta yang langsung dapat menduga apa yang akan dilakukan isterinya.
Namun terlambat! Tak ada yang dapat mencegah. Parang tersebut menembus pertengahan dada isteri Seta. Terdengar suaranya mengeluh tertahan, lalu tubuh polos itu terbanting jatuh dengan keras. Darah membasahi seluruh permukaan batu besar.
Paras Seta menegang. Sepasang matanya melotot besar, menatap tak percaya pada pemandangan di hadapannya. Sekejap kemudian ia menjerit sekali lagi.
"Tidaaaaaaaaaak!"
)|(
Seta menunggu hingga matahari tergelincir dari ubun-ubun. Saat itu, kebanyakan abdi dalem akan sibuk di bangsal tengah—membersihkan ruangan utama setelah santap siang para pembesar. Waktu yang tepat untuk menyusup ke bangsal timur, tempat Wadu tinggal sebelum ia menghilang entah ke mana.Seta memilih jalan belakang, melalui lorong-lorong sempit yang biasa dilalui pengangkat air dan pemikul kayu. Langkahnya ringan, tubuhnya setengah bersembunyi di balik tiang dan tabir. Ia tahu betul, satu kesalahan kecil bisa membuatnya diadili karena menyusup ke ruang kediaman abdi dalem tanpa izin.Bangsal timur sunyi. Di luar, hanya ada satu penjaga yang duduk malas sambil mengunyah sirih. Seta menunggu sampai penjaga itu lengah, lalu menyelinap masuk lewat pintu samping.Ruangan itu gelap, lembap, dan penuh bau keringat. Tikar pandan digelar berderet, menunjukkan bahwa tempat itu dihuni beberapa orang sekaligus.Seta melangkah pelan, menyusuri sudut demi sudut h
Langkah Seta tak langsung menuju ke barak. Pagi itu, setelah meninggalkan kediaman permaisuri, ia berputar arah ke sisi belakang istana.Di sanalah dapur besar kerajaan berdiri, nyaris tak pernah sepi sejak fajar. Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, aroma rebusan daging dan beras merah bercampur dengan harum dedaunan segar yang baru dipotong.Seta menyusup di antara para pelayan yang sibuk, menyapa sekadarnya agar tak tampak mencurigakan. Pandangannya mencari satu nama—Ni Lastri, juru masak kepala yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana permaisuri.Tak lama, ia menemukan orang yang dicari-cari di balik anyaman tikar bambu, tengah membersihkan lembaran-lembaran daun pisang.“Ni Lastri…” Seta menyapa dengan suara rendah.Perempuan tua itu menoleh cepat, sedikit heran. “Oh, Raden Seta? Ada angin apa pagi-pagi kemari?”“Tidak usah panggil raden. Aku… aku hanya abdi bi
Cahaya pagi menyelusup pelan ke balik tirai sutra kamar permaisuri Panjalu. Suasana cerah yang sangat berlawanan dengan kabar muram yang akan disampaikan Seta pada pemilik tempat ini.Burung-burung belum lama berkicau di taman dalam ketika Seta melangkah masuk, menunduk hormat di hadapan Sasi Kirana yang telah duduk di bangku rendah, mengenakan kain selendang tipis warna biru senja. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya sembab. Entah karena lelah, atau ada sesuatu yang ia rasakan sejak semalam.“Ada apa pagi-pagi begini kau menghadapku, Seta?” bisiknya lirih. Seakan tahu gelagat, ia menyuruh pelayannya mundur menjauh sehingga kini dirinya dan Seta seakan tengah berbicara empat mata.Seta menunggu sampai pintu ditutup rapat. Barulah ia menjawab. “Lira… pelayan Gusti… tewas dibunuh.”Sasi Kirana tersentak. Nafasnya tercekat. “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris tanpa suara.“Tadi malam, h
Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng
Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des
Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter