Share

Padma

Nala mengusap keringat di keningnya. Matahari sudah beranjak ke ufuk barat, memberikan warna lembayung pada langit senja. Ayam-ayam peliharaannya kini sudah terkurung semua di kandang, dan halaman rumah sudah bebas dari daun-daun yang berguguran. Ia tersenyum sejenak, menatap bangga hasil kerja kerasnya membersihkan rumah.

Nala menghempaskan tubuhnya di kursi rotan yang tampak uzur, namun masih kokoh, tidak seperti yang terlihat. Ada beberapa hal yang disyukurinya di dunia ini, termasuk duduk santai di depan rumah, menikmati semilir angin yang menggerakkan dedaunan dengan perlahan. Ia sangat menikmati hidup di desa, jauh dari hingar bingar perkotaan. Walaupun fasilitas yang ada tidak selengkap rumahnya di kota, tapi bagi Nala itu tidak masalah.

Terkadang Nala merindukan kedua orang tuanya. Tidak mudah baginya berpisah dengan mereka, apalagi selama ini Nala tidak pernah hidup jauh dari orang tua. Lagipula Nala seorang cewek, yang notabene harus selalu diperhatikan dan dilindungi. Pasti ada kekhawatiran tersendiri bagi orang tua Nala.

Oleh karena itulah, kedua orang tuanya meminta Ashton untuk menemani Nala.

"Udah selesai bersih-bersihnya?" Ashton muncul dari dalam rumah sambil membawa sebungkus keripik kentang.

Nala memutar bola matanya. "Kamu kira aku kayak kamu? Bisa duduk santai walaupun rumah sudah kayak tempat pembuangan sampah?"

Ashton melengkungkan bibirnya. "Kan kamu yang punya rumah. Aku cuma nemenin doang."

Ia duduk di kursi rotan lain, diseberang Nala. Dibukanya bungkus keripik kentang dengan santai dan mulai memakannya tanpa menawari Nala.

"Gimana di sekolah?" Ashton bertanya. Nala menggertakkan giginya. Ia tahu Ashton berusaha baik kepadanya namun bagi Nala sepupunya itu terlalu berisik, mengganggu kesenangannya menikmati kesunyian.

"Baik," jawab Nala datar.

"Temanmu ada yang Kala nggak?" Tanya Ashton lagi.

Nala menghela napas berat.

Mereka mulai membuka pembicaraan yang lebih serius daripada berdebat mengenai siapa yang seharusnya membersihkan rumah. Alasan sebenarnya Nala harus pisah rumah dengan orang tuanya dan tinggal di sebuah rumah kuno di desa bersama Ashton. Rumah yang sering dikunjungi Nala ketika ia masih kecil. Rumah yang perlahan terlupakan ketika neneknya meninggal dunia.

Rumah ini.

Wasiat yang diberikan oleh neneknya sudah jelas, rumah ini diwariskan kepada Donny Ardana—ayah Nala. Namun ada catatan lain yang melengkapi surat wasiat itu. Nenek ingin agar Nala yang menempati rumahnya, tepat saat Nala berusia enam belas tahun. Nenek bilang bahwa banyak kenangan yang harus diingat dan rahasia yang harus diungkap, oleh Nala sendiri.

Sudah dua tahun Nenek meninggal dunia, tapi ayah Nala baru memberitahukan wasiat itu enam bulan yang lalu, setelah Nala lulus SMP. Awalnya Nala tidak siap menerima warisan ini, namun ada hal lain yang memaksa Nala agar segera pindah dan memenuhi wasiat Nenek.

Ini mengenai jati dirinya. Bahwa ia bukan manusia biasa, melainkan seorang Bareksa. Sebuah kaum yang memiliki kekuatan khusus, untuk melindungi daerah tempat mereka tinggal.

"Aku baru empat bulan sekolah disana," jawab Nala. "Aku belum mengenal semua orang. Sejauh yang aku amati, tidak ada seorang Kala pun disana."

Ashton tersenyum miring. "Bilang saja belum bisa mendeteksi Kala. Susah amat sih. Nih ya," ia mencondongkan badannya ke arah Nala. "Aku kasih tahu. Itu artinya latihanmu kurang. Kamu tuh, kalau aku ajak latihan selalu aja ada alasan. Tugas lah. Bersih-bersih rumah lah. Capek lah. Lihat kan jadinya? Empat bulan belum bisa apa-apa."

Nala menatap Ashton dengan geram. "Gampang kamu bilang gitu, kamu udah latihan dari kecil, Ash."

"Nenek yakin kamu punya kekuatan yang lebih daripada Bareksa lain, makanya Nenek mewariskan daerah ini ke kamu. Aku kan udah bilang, Nenek nggak cuma mewariskan rumah, tapi mewariskan daerah. Daerah ini sekarang menjadi tanggung jawabmu. Tapi kalau Nenek tahu kamu kayak gini, kayaknya Nenek juga bakalan pikir-pikir lagi deh."

Nala berdiri. "Aku nggak minta dilahirkan sebagai Bareksa! Kalau kamu merasa hebat, ya udah, ambil aja rumah ini! Kamu aja yang jadi Bareksa disini!"

Ashton berdiri secepat kilat. Dalam sepersekian detik, tangan kanannya yang tadi menggenggam keripik kentang beralih ke leher baju Nala. Tubuh Nala terdorong hingga terbentur tembok di belakangnya. Raut muka Ashton tenang, namun kilau matanya berbahaya.

"Hukum tertinggi Bareksa adalah melindungi. Mutlak. Nggak bisa digantikan, nggak bisa diwakilkan. Kamu udah tahu itu. Jadi, sekali lagi kamu ngomong gitu, aku yang bakal potong lidah kamu. Ngerti?"

Nala tidak mengira Ashton semarah itu. Ia menganggukkan kepala dengan gugup. Lebih baik menghindari perselisihan dengan orang seperti Ashton, apalagi Nala mengetahui dengan baik seperti apa kemampuan pemuda itu.

"Oke. Sekarang kamu siap-siap. Tengah malam nanti temui aku di sanggar belakang. Jangan telat ya!" Nada suara Ashton mendadak riang.

***

Tengah malam, alarm Nala berbunyi. Gadis itu membuka matanya dengan enggan, sebelum beranjak bangun dan menyeret kaki ke sumur belakang. Air pedesaan yang dingin mulai membasuh wajah Nala, mengenyahkan sisa kantuk di matanya.

Ia merentangkan kedua lengannya sejenak, merasakan udara bercampur kabut yang menelusup ke dalam paru-parunya. Damai sekali rasanya menikmati udara yang mengigit disertai suara jangkrik yang saling mengerik, meramaikan suasana malam. Disini gelap, sumber cahaya hanya berasal dari lampu bohlam di dapur, dan satu lagi berasal dari sanggar.

Sanggar itu sebenarnya hanyalah sepetak lantai batu tanpa atap dengan tiang kayu di keempat penjurunya. Tinggi lantai batu itu kira-kira setengah meter dari permukaan tanah, sehingga tampak seperti ring tinju. Sebuah lampu bohlam kecil dipasang pada salah satu tiang kayunya, memancarkan pijar yang cukup nyaman untuk dilihat di kegelapan malam.

Ashton belum berada disana.

Nala menempatkan dirinya di tengah-tengah sanggar, duduk bersila di lantai batu yang dingin. Ia mulai memejamkan mata. Diaturnya napasnya dengan lambat dan tenang, berusaha memusatkan seluruh pikirannya pada kekosongan. Perlahan dia membuka bibirnya dan berucap lirih. "Kakang kawah, adi ari-ari, getih, puser, ingkang ngelengkapi pancer."

(Kakak air ketuban, adik plasenta, darah, tali pusar yang melengkapi diri sendiri).

Kata-kata itu bukanlah sebuah mantera. Ashton memberitahunya bahwa sesungguhnya ketika manusia lahir ke dunia, ada empat hal yang menyertainya. Air ketuban, yang akan keluar lebih dulu dari tubuh sang ibu, oleh karena itu dianggap sebagai kakak. Plasenta keluar setelah tubuh si bayi, maka dianggap sebagai adik. Darah dan tali pusar juga menyertai ketika bayi tersebut lahir. Bersama, keempat unsur tersebut membentuk sebuah kehidupan yang baru, seorang manusia.

Cipta, rasa, karsa dan karya. Empat elemen dasar dalam ego manusia yang dimaknai oleh para Bareksa sebagai arti hakiki dari sedulur papat limo pancer. Cipta, sumber pikiran. Tempat kemampuan kognitif manusia terbentuk. Pusat dari keputusan sikap yang diambil, entah baik atau buruk. Cipta yang menggerakkan manusia untuk dapat bertahan hidup.

Rasa adalah emosi dan reaksi afektif ketika seorang manusia mengalami suatu peristiwa di dalam kehidupannya. Amarah ketika kita tersinggung. Benci ketika melihat orang lain mengambil milik kita. Sedih ketika orang yang kita cintai pergi dari kehidupan kita. Terkadang emosi bahkan tidak berdiri sendiri, melainkan bercampur dengan emosi lain, hingga berwujud reaksi yang unik dan berbeda antara individu satu dengan lainnya.

Karsa adalah kehendak atau niat. Seberapa mudah seseorang dapat melaksanakan apa yang ada di dalam pikirannya tergantung pada karsa. Karsa dapat dimunculkan oleh motivasi, dan motivasi bisa timbul dari rasa. Ketika kita sebenarnya sedang malas untuk keluar rumah, tetapi orang yang kita cintai membutuhkan kehadiran kita, maka karsa akan muncul dengan kuat, hingga menimbulkan karya.

Karya adalah hasil akhir dari gabungan cipta, rasa dan karsa. Karya adalah tindakan. Satu-satunya hal yang dapat dilihat oleh orang lain, sementara ketiga unsur lain hanya diri kita yang tahu...

... samar-samar Nala mendengar suara dering ponsel.

Nala membuka matanya. Suara dering itu semakin keras bersama dengan satu sosok yang datang mendekat, tampak sempoyongan. Nala mengernyitkan dahi, berusaha mengenalinya, sebelum menyadari bahwa sosok tersebut adalah Ashton.

"Ada yang telepon. Berisik sekali ponselmu! Lain kali di silent dong, ganggu orang tidur saja!" serunya sambil melemparkan ponsel itu ke arah Nala.

Nala dengan sigap menangkap ponselnya. Sebuah nama yang muncul di layar membuat Nala menggeser tombol jawab dengan cepat. "Pad? Ada apa?"

Suara isak kecil terdengar dari seberang. "La ... hiks ... bisa minta tolong? Aku takut. Aku ... hiks ... habis diserang orang asing."

"Diserang?" Nala memekik kaget. "Oke, sekarang kamu dimana?"

"Aku ... hiks ... di jalan kecil samping pasar ... hiks. Tolong jemput aku, bisa?"

"Oke, aku segera kesana," jawab Nala cepat. Ia tidak mematikan sambungan teleponnya untuk berjaga-jaga kalau Padma diserang lagi. "Ash, aku pinjam motormu ya?"

Ashton yang bersandar di salah satu tiang sanggar menggumam tidak jelas dengan mata tertutup. Tanpa memerdulikan Ashton, Nala segera berlari ke dalam rumah dan mengambil kunci motor sport milik Ashton. Tak berapa lama, gadis itu meluncur di jalanan tanah tanpa penerangan menuju ke pasar desa.

***

Nala melihat mobil Padma terparkir sembarangan di pinggir jalan. Dua orang bapak-bapak penarik becak tampak menenangkan gadis yang sedang terisak-isak itu. Nala segera turun dari motornya dan berlari menghampir Padma.

"Pad! Ya ampun ..."

Nala cukup terkejut melihat kondisi Padma. Gadis itu mengenakan kebaya berlengan panjang yang sobek di daerah dada dan sisi kiri tubuhnya. Ada beberapa bagian muka dan lehernya yang lebam. Begitu melihat Nala, gadis itu segera menghambur ke pelukan Nala.

"Bapak-bapak yang menolong teman saya?" tanya Nala dari balik bahu Padma.

Salah satu bapak-bapak tersebut menganggukkan kepala. "Iya mbak. Kasihan mbaknya sampai nangis kejer gitu."

"Gimana cerita lengkapnya, Pak?"

"Wah saya juga kurang tahu mbak. Mata saya sudah nggak awas. Tiba-tiba ada mobil berhenti terus dua orang keluar dari mobil. Yang satu langsung kabur, yang satu merangkak sambil minta tolong. Ya mbak ini yang minta tolong."

Nala mengerutkan keningnya. Aneh.

Bukankah Padma bilang ia diserang orang asing? Apakah orang asing itu menumpang di mobilnya?

"Ya sudah, Pak. Saya tenangkan teman saya dulu. Terima kasih sudah menolong ya," kata Nala. Dirangkulnya pinggang Padma dan perlahan dituntunnya kembali ke mobil.

"Jangan ... hiks ... masuk mobil lagi. Aku takut ... hiks," Padma berujar dalam isakannya.

"Tidak apa-apa. Ada aku. Aku periksa dulu di dalam mobil, lalu aku mau periksa sebentar sekitaran sini."

Nala membuka pintu mobil. Aroma wangi cherry blossom menyeruak ke dalam pernapasannya. Nala menemukan bercak darah di sekitar kursi kemudi. Tidak salah lagi, itu pasti darah milik Padma.

Nala melihat ke kursi belakang. Tidak ada tanda-tanda kehadiran orang. Bahkan sebuah keranjang berisi buah-buahan pun tampak utuh. Nala beralih memeriksa karpet mobil, mencari jejak sepatu yang mungkin tertinggal, atau petunjuk lain yang mengarah pada sosok yang menyerang Padma.

Tidak ada apapun...

... atau hanya karena Nala tidak berpengalaman sebagai penyidik kriminal?

"Bagaimana kalau mobilmu ditinggal disini saja? Nanti biar sepupuku yang ngurus ke kantor polisi. Sementara ini aku antar kamu pulang pakai motor, bagaimana?"

Padma menggelengkan kepala kecil. "Jangan La. Aku nggak mau Papa dan Mamaku khawatir," jawab Padma. Ia masih sedikit gemetaran, namun sudah berhenti menangis. Nala memberinya sekotak tisu yang diambil dari dalam mobil, dan Padma menggunakannya untuk menyeka ujung matanya yang basah.

"Kamu sudah agak tenang?" tanya Nala perlahan. "Mau cerita kok bisa kamu diserang orang asing?"

Padma menganggukkan kepala. "Aku pulang dari acara ulang tahun teman SDku. Sempat mampir sebentar di toko buah ujung jalan, kan masih buka tuh. Pas masuk mobil, tiba-tiba orang asing itu muncul dari belakangku. Terus ... terus dia nyerang aku."

"Orang yang nyerang kamu ... cewek atau cowok?"

"Aku nggak tahu La. Dia pakai penutup kepala kayak perampok-perampok gitu."

"Ada barang yang diambil?"

"Nggak tahu deh."

"Ya sudah ayo diperiksa sama-sama."

Untuk kedua kalinya, Nala membuka pintu mobil. Padma tampak enggan, namun ketika bertemu pandang dengan Nala, gadis itu menganggukkan kepala, menguatkan hati. Matanya mulai mencari-cari di dalam mobil. Diambilnya sebuah dompet kulit cokelat dan diperiksanya. Saat Padma menutup kembali dompetnya, Nala tahu bahwa tidak ada uang ataupun kartu yang hilang.

"Barang lain?" saran Nala.

"Nggak ada sih, La. Cuma dompet ini saja sama buah," ujar Dewi menunjuk keranjang buah.

Nala menatap keranjang buah itu lagi. Hatinya merasa tidak enak. Ada sesuatu yang tidak beres disini. Penyusup itu sepertinya tidak mengambil barang apapun. Lalu, apa motifnya tiba-tiba masuk ke dalam mobil Padma dan menyerangnya?

Apakah ia berhadapan dengan kasus kejahatan seksual?

"Sebelum kamu turun di kios buah, kamu yakin nggak ada orang di mobil kamu kan?"

Padma menggelengkan kepala. "Aku nggak memerhatikan, La. Aku kan takut sendirian, jadi aku ngebut dan fokus lihat jalan saja."

Nala menganggukkan kepala. Berarti ia harus pergi ke kios buah itu untuk mencari petunjuk. Tidak sekarang. Ia harus mengantarkan Padma pulang terlebih dahulu.

"Kamu yakin nggak mau lapor polisi? Ini kejahatan serius lho, kamu sampai luka-luka kayak gini" tanya Nala, menunjuk lebam di wajah Padma

Padma menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa La. Aku pengen pulang saja."

"Ya sudah. Kuat nyetir kah? Aku ikuti dari belakang," usul Nala.

"Iya La ... kamu nggak apa-apa kan nganter aku? Kalau nggak berani balik nanti nginap di rumahku saja nggak apa-apa."

"Itu gampang, Pad. Yang penting kamu aman dulu," jawab Nala.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status