Bagian 17
PoV Lintang
Pagi-pagi sekali aku hari ini bangun. Tentu saja bukan buat ngegantiin si Fajar yang ususnya manja bin lemah itu. Kalau saja kemarin nggak sekalian ngecek pembukuan minimarket, memang rasanya ogah aku berlama-lama jagain mesin kasir. Bukan apa-apa. Hobi baruku ngurusi cupang sama lele di rumah jadi keganggu. Eh, tapi, gara-gara ke minimarket sih, aku jadi ketemu lagi sama Sisi.
Cewek itu ternyata berubah drastis dari waktu SMA dulu. Bisa-bisanya dia menjadi secantik sekarang. Body-nya sintal, kulitnya putih, belum lagi model rambut bob yang diwarnai cokelat almond itu sangat pas sekali di wajah bentuk hati miliknya. Aku yakin 100% bahwa saat kami berjumpa, si Sisi hanya pakai bedak dan lipstik tipis. Namun, kecantikannya itu seperti mampu menyihirku. Rasa sebal kepada anak-ana
BAGIAN 18PoV Lintang “Masuk, Tang,” ujar Sisi dengan nada yang sangat ramah. Perempuan yang terlihat masih mengenakan baju semalam tersebut begitu sangat cantIk pagi ini. Dia memang bidadari, pikirku. Bangun tidur saja kaya begitu. Apalagi kalau sudah mandi. Aku yang awalnya jiper sekaligus kurang pede gara-gara jumpa dengan cowok yang kuduga sebagai bos dari Sisi tersebut, akhrinya menyeret langkah untuk masuk. Sudahlah, Lintang. Pede aja lagi. Siapa tahu cowok perlente atletis itu bukan tipenya Sisi. Siapa tahu, dia naksirnya sama aku. Bagi yang mual dengan kepedean ini, silakan saja. “Pagi.” Sapaku kepada semua orang. Kusalami mamanya Sisi dengan penuh hormat. Saat melihat keadaan perempuan tua
BAGIAN 19PoV Candra “Tumben pulang jam segini. Biasanya juga nggak pulang!” Bukannya memberikan sambutan hangat, Vika malah mencaci maki kedatanganku yang dinilainya ‘tumben’ tersebut. Perempuan tak bersyukur. Sudah dipenuhi semua kemauannya, masih saja nyampurin urusanku! “Aku capek, Vik! Kamu bisa diam tidak?” hardikku kepada wanita yang mengenakan gaun malam hitam transparan tersebut. Sama sekali aku tidak tergiur. Sudah bosan! Istri banyak mauku itu langsung diam. Wajahnya kupandangi kesal. Dia balik berbaring kembali sambil memainkan ponselnya. Persetan dia mau ngapain dengan ponsel itu. Yang penting, aku maunya dia berhenti mencampuri urusanku!&n
BAGIAN 20PoV Candra Semalaman, praktis aku tak bisa melelapkan mata. Semuanya seperti mengimpit isi kepala. Apartemen studioku yang tak begitu luas tapi cukup nyaman, tumben-tumbenan terasa begitu membosankan kali ini. Bayangan akan kedua anak lelakiku, kisruh rumah tangga, dan para wanita yang pernah meniduri ranjang bersprei katun abu-abu ini, dengan cepat mengitari benak. Sumpah, tak biasanya aku seperti sekarang. Biasanya, aku lebih cuek dan dapat dengan mudahnya abai terhadap tekanan-tekanan besar dalam kehidupan. Namun, kali ini sungguh beda. Apa yang sebenarnya tengah kucari? Sisi. Tiba-tiba aku teringat akan perempuan itu lagi. Bertahun aku menjadi bosnya. Memang kunilai dia lain dan istimewa. Tidak ambil kesempat
BAGIAN 21 Aku terkejut bukan main saat tiba di kantor polisi. Pak Candra ternyata sudah ditunggu oleh dua orang lawyer alias kuasa hukum yang masing-masing mengenakan jas hitam rapi. Pak Frengky dan Pak Daud namanya. Sama-sama sudah dewasa kalau tak mau dibilang tua. Berusia sekitar 40 tahunan dengan tampak seram. Namun, saat kami berkenalan, Pak Frengky yang botak berkumis tebal dan Pak Daud yang berpotongan rapi tapi mengenakan kalung emas tebal tersebut nyatanya sangat ramah. “Tenang Mbak Sisi. Kami akan membantu Mbak untuk menyelesaikan kasus ini.” Pak Frengky menebar janjinya saat kami baru saja tiba di depan pintu bagian pengaduan ditreskrimum. Aku yang sebenarnya tercengang luar biasa, hanya bisa mengangguk saat itu.&nb
BAGIAN 22 “Jangan marah, Si. Aku hanya bercanda, lho,” kata Pak Candra lagi saat aku tak kunjung menjawab omongannya. “Hm, iya.” Aku juga bingung mau jawab apa. Ya, sudahlah. Mau bercanda atau tidak, yang pastinya aku sudah tak betah dan ingin segera sampai. “Kita mau makan dulu, nggak?” tanyanya kepadaku lagi. “Nggak usah, Pak. Aku mau lekas sampai saja. Biar si Lintang bisa ke tempat kerjanya.” “Aku temanin di rumah sakit kalau begitu.”&nb
BAGIAN 23 Usai makan es kacang merah dan kebab yang dibelikan oleh Lintang, cowok itu pamit undur diri. Katanya mau kasih pakan lele dulu di rumahnya. “Eh, kamu jangan lupa masuk kerja, Tang. Nanti dipecat sama bosmu, lho,” ujarku saat mengantarnya ke depan pintu ruangan. “Iya, Si. Makasih ya, udah ngingetin,” jawabnya sambil tersenyum lebar. “Tadi berapa belanjaan semua? Aku mau ganti. Buat kamu beli bensin,” kataku sambil merogoh beberapa lembar uang yang kupunya, yang dari tadi sudah kusiapkan dalam saku celana jin. &ldquo
BAGIAN 24 “Bu, saya izin bawa Sisi ke kantor polisi dulu.” Pak Candra yang baru datang lima menit lalu dan sempat berbincang ringan dengan Mama serta Lintang tersebut, meminta izin kepada Mama sambil mencium tangannya dengan takzim. Jangan bilang ini adalah salah satu strategi agar mamaku jadi luluh dan menyetujui aku dengannya? Tidak akan! Aku pokoknya tidak akan mau sama Pak Candra, titik. “Iya, Nak Candra. Tolong jaga Sisi, ya. Tolong juga, jangan buat Iren dihukum berat. Cukup kasih efek jera. Kalau bisa, saya minta tolong supaya dia pulang ke pangkuan saya.” Dadaku nyeri lagi kala mendengar ucapan Mama barusan. Masih saja ternyata. Tetap di pikirannya itu Iren dan Iren.
BAGIAN 25 “Sisi, sudah,” ujar Pak Candra sembari menarik pelan tanganku untuk menjauh dari tubuh Andika yang mukanya telah babak belur. Aku yang terengah-engah sebab sehabis meluapkan ledakan emosi, hanya bisa pasrah saat digiring mundur. Baiklah, kurasa sudah cukup. “Tenang, Mbak Sisi. Akan kita hukum seberat mungkin laki-laki kurang ajar itu,” tambah Pak Frengky yang kini tak lagi memakai jas kerennya, melainkan kaus berkerah warna merah yang menyala. Pak Candra dan Pak Frengky sama-sama membawaku untuk duduk tak jauh dari Pak Daud yang tengah asyik sendiri memainkan ponsel layar sentuhnya. Aku tak banyak melawan kali i