Share

6

BAGIAN 6

              Aku benar-benar kabur dari rumah dengan membawa sebuah tas berisikan barang-barang milikku. Dengan berbekal uang gaji yang tinggal dua ratus ribu di ATM dan uang tunai senilai lima puluh ribu di dompet, kuangkat kaki dari rumah yang selama 15 tahun belakangan ini kami diami bersama. Hatiku perih. Tak pernah kubayangkan bahwa dalam episode kehidupan, bakal terjadi tragedi berdarah sebesar ini antara aku dan keluarga intiku. Menyesalkah aku meninggalkan Mama dan Iren? Tidak. Namun, tentu saja ada gejolak-gejolak yang mengombak di dalam dada. Ketahuilah, tak ada satu pun anak perempuan yang ingin membenci ibu dan adiknya sendiri, kalau bukan karena sebab yang sangat luar biasa.

              Motor kupacu dengan kecepatan sedang. Tak sulit bagiku untuk mengendara sembari membawa tas travel yang kuletakkan pada pijakan skuter. Sesekali derai air mata ini masih saja membasahi pipi. Padahal, sekuat tenaga sudah kutahan sebab kutahu menangisi kedua perempuan itu sebenarnya bukanlah hal yang tepat. Ya, kita berpikir realistis saja sekarang. Buat apa melelehkan air mata hanya untuk orang-orang yang ternyata cuma membutuhkan keringat serta cucuran materi milik kita? Walaupun keluarga sendiri, memangnya mau sampai kapan?

              Entah mengapa, otakku langsung teringat dengan Pak Candra. Lelaki 37 tahun yang telah memiliki dua anak tersebut adalah bosku. Menjabat sebagai general manager atau GM di PT Multi Cipta Material. Pak Candra adalah sosok yang humble kepada siapa pun di kantor. Aku juga tergolong cukup dekat dengan beliau di kantor. Tanpa sebuah maksud yang aneh-aneh tentu saja.

              “Mungkin Pak Candra bisa memberikan solusi untukku,” gumamku pada diri sendiri saat melewati perempatan lampu merah yang jika lurus terus akan membawaku ke arah rumah milik pak bos.

              Tanpa ragu lagi, kupacu motorku saat lampu sudah mulai hijau. Cukup kencang. Agar segera sampai ke tempat tujuan, begitu pikirku.

              Seingatku, Pak Candra yang terbilang memiliki karier super cemerlang di usianya yang masih sangat muda, memiliki usaha kost-kostan yang lokasinya sendiri tak begitu jauh dari rumah beliau. Gudang material tempat aku bekerja pun letaknya hanya sekitar 3 kilometer dari kediaman lelaki berjambang rapi dengan gaya perlente tersebut. Yap, siapa tahu masi ada slot kamar kosong di sana. Dan siapa tahu lagi, Pak Candra bisa memberikan harga spesial kepada salah satu karyawannya yang tengah dirundung kemalangan ini.

              Setelah mengendara kurang lebih sepuluh menit, maka tibalah aku di depan pagar rumah bercat putih dengan bangunan yang cukup megah. Keberadaannya persis di tepi jalan besar, yakni Jalan Mutiara. Kawasannya orang-orang berduit, begitu kami menggelari jalan ini.

              Pagar baja bercat hitam yang berdiri kokoh setinggi dua meter tersebut tampak terkunci. Dari ruji-rujinya, aku bisa melihat seorang satpam berpakaian serba hitam keluar dari pos penjagaan bercat putih yang berada hanya beberapa tapak dari pagar.

              Si satpam pun membukakan pagar untukku. Sementara aku buru-buru mematikan mesin dan menstandarkan skuter milikku. Sigap aku berdiri dengan kepala masih terbungkus helm warna hitam.

“Selamat pagi, Pak,” sapaku kepada satpam berwajah ramah dengan tinggi tubuh sekitar 170 sentimeter tersebut. Pria berambut cepak dengan kulit sawo itu pun mengangguk sambil menyenyumi aku.

              “Selamat pagi juga. Ada yang bisa saya bantu?”

              “Saya ingin bertemu dengan Pak Candra. Apakah beliau ada?” Jantungku agak berdegup kencang. Bagaimana tidak, selama lima tahun bekerja, ke rumah Pak Candra hanya kami lakukan saat hari raya Idulfitri saja. Selebihnya kami banyak berjumpa di kantor, tempat makan, atau tempat wisata kala acara gathering kantor dihelat. Seketika aku jadi agak menyesal mengapa harus menuju ke sini.

              “Oh, ada. Apakah sudah bikin janji sebelumnya?” Si satpam yang meskipun nada bicaranya lembut, tapi tetap saja membuatku agak keder.

              Hidungku yang bangir jadi kembang kempis. Aduh, bagaimana dong, ini?

              “B-belum. T-tapi … saya sangat perlu untuk berjumpa dengan beliau. Ada urusan kantor yang mendesak.” Aku terpaksa harus berbohong. Sudah telanjur, pikirku. Masa harus kembali? Ah, tapi … bagaimana kalau Pak Candra yang tingginya hampir 180 sentimeter dengan pembawaan ramah tapi serius itu tiba-tiba marah kepadaku? Lelaki klimis itu memang jarang marah. Namun … argh! Aku jadi pusing sekarang.

              “Baiklah. Tunggu di sini. Saya akan ke dalam dulu. Tadi pagi-pagi pak bos soalnya berpesan untuk tidak menerima tamu kecuali sudah bikin janji. Di dalam sedang ada acara keluarga dengan anak-anak soalnya.” Pak satpam yang kutaksir usianya hanya beberapa tahun di atasku tersebut memasang wajah tak enak. Apalagi diriku. Argh, rasanya ingin aku putar balik saja.

              “Kalau boleh saya tahu, ini dengan Ibu siapa?” tanya si satpam sebelum masuk kembali.

              “Sisi. Supervisor gudang di PT MCM.”

              “Baik. Tunggu sebentar, Bu. Maaf, pagarnya saya tutup kembali.”

              Aku harus menelan pil kecewa saat rasa percaya diriku yang terlalu berlebihan ini ternyata tak tepat sasaran. Aku menggigit bibir keras-keras sembari memperhatikan rumah mewah dengan halaman parkir yang berkanopi di sisi barat dan kolam ikan koi di sisi timur tersebut. Dasar tidak tahu diri, rutukku dalam hati. Pak Candra memang baik hati. Selalu mentraktir kalau aku mampir ke kantor besar untuk ikut meeting dan menyampaikan laporan kepadanya. Namun, bukankah tindakanku kali ini tampak begitu sangat konyol? Ah, kabur saja sekarang bagaimana? Mumpung Pak Candra belum keluar rumah.

              Belum sempat aku melangkah untuk naik kembali ke atas motor, sesosok pria berkaus putih polos dan celana pendek warna mocca muncul dari balik pintu besar, disusul oleh sang satpam. Wajah Pak Candra yang bersinar dengan tatanan rambut klimis tersebut membuatku makin kalang kabut. Aku sangat takut sekali saat ini. Bahkan jantungku jadi berdegup 10 kali lipat dari biasanya. Bagaimana kalau dia marah kepadaku?

              Langkah Pak Candra makin mendekat. Sang satpam kini mendahului beliau dalam rangka untuk membukakan pagar buat sang majikan. Aku yang begitu nervous, kini hanya dapat menunduk lemas tanpa sanggup untuk sekadar mengangkat wajah di hadapan pak bos.

              “Hei, Si? Kenapa wajahmu sembab begitu? Ayo, masuk.”

              Aku kaget luar biasa. Bahkan jantung ini seakan mau copot. Ternyata, dugaanku salah besar. Beliau yang kukira keluar rumah untuk menyemprot atau memarahi, nyatanya malah menyusul hanya untuk menyuruh masuk.

              Kuberanikan untuk mengangkat wajah. Bibir ini tiba-tiba bergetar. Mataku bahkan hendak berkaca-kaca. Namun, kutahan kuat. Aku tak mau mengemis belas kasihan apalagi kepada bos sendiri.

              “B-baik … Pak,” kataku dengan hati yang lega.

              “Im, tolong motornya Sisi masukin ke parkiran dalam,” perintah Pak Candra kepada sang satpam. Lelaki yang dipanggil Im tersebut langsung sigap menaiki motorku untuk dibawa ke dalam.

              Sementara aku melangkah beriringan dengan Pak Candra yang berjalan santai menuju pintu rumahnya. Aku langsung bingung. Mau memulai pembicaraan ini dari mana.

              “Kenapa tidak telepon, Si?” tanya Pak Candra sambil menoleh ke arahku dengan nada yang lembut.

              “M-maaf, Pak. Ada sesuatu yang mau saya bicarakan.”

              “Baiklah. Kita duduk dulu di dalam.”

              Kami berdua pun masuk ke ruang tamu mewah milik Pak Candra yang ternyata sedang ada kedua anak lelakinya yang memakai kostum superhero superman dan batman. Keduanya tengah asyik bermain pedang-pedangan sambil berlari mengitari ruangan, sementara istri dari Pak Candra yang mengenakan gaun selutut dengan lengan terbuka itu tiba-tiba datang dari arah belakang sambil tergopoh-gopoh menyusul anaknya.

              “Zafran, Zavier, mainnya di dalam saja! Jangan ke ruang tamu dulu. Papamu dibilangin hari ini spesial buat anak-anak, malah nerima tamu segala!” Wanita berambut panjang lurus sesiku dengan kulit seputih susu tersebut buru-buru menarik paksa kedua anaknya yang setahuku berusia 8 dan 7 tahun.

              Semakin tak enaklah aku dengan ucapan sang nyonya rumah. Kulirik sekilas Pak Candra, lelaki itu hanya bisa menggaruk kepalanya dan memasang wajah tak enak.

              “Ma, handle dulu anak-anak. Ini ada urusan kantor yang sangat penting.” Pak Candra berucap dengan nada yang sangat rendah, sementara aku cuma bisa berdiri mematung di samping lelaki super tinggi itu. Padahal, kami berdua baru saja sampai di depan ambang pintu. Eh, malah harus disambut dengan kata-kata yang sangat pedas dari Bu Vika, istri dari Pak Candra yang dengar-dengar usianya baru 27 tahun itu.

              Tanpa menyahut dan menoleh kepada kami, Bu Vika yang langsing singset di balik gaun ketat berwarna putih tulang seperti orang yang akan menghadiri pesta, langsung menarik lengan kedua anak lelakinya untuk menyingkir masuk.

              “Ayo duduk, Si,” ucap Pak Candra dengan suara yang sangat pelan kepadaku. Lelaki itu lalu berjalan ke tengah ruangan, menduduki sofa besar kulitnya yang berwarna cokelat tua.

              Kikuk sekali aku duduk di hadapan beliau. Rumah besar yang bercat serba putih dan dihiasi beberapa lukisan mahal bergambar pemandangan dan kuda besar, serta sebuah foto keluarga yang menghadap persis ke arah pintu utama, seperti kurang bersahabat menyambutku. Padahal, setiap tahunnya, saat lebaran tiba aku dan teman-teman kantor selalu disambut baik oleh Bu Vika maupaun Pak Candra. Ya, lagi-lagi ini karena aku datang di waktu yang tak tepat.

              “Pak, aku benar-benar minta maaf karena sudah mengganggu waktu liburnya.” Sembari meremas kedua tangan, aku menatap wajah Pak Candra sungkan. Kami hanya duduk berdua di sofa-sofa besar ini. Saling berhadapan dengan wajah yang sama-sama tampak tak nyaman.

              “Iya, tidak apa-apa. Istriku lagi sensi, harap dimaklumi,” kata Pak Candra dengan suara yang berbibsik sembari menempelkan lima jari yang dia rapatkan ke pipi kanannya. Mungkin agar Bu Vika tak dapat menguping pembicaraannya barusan.

              “Jadi, kamu ke sini ada perlu apa?” Pak Candra bertanya lagi. Kali ini dengan suara yang tak lagi pelan. Wajahnya sudah mulai agak santai, dengan gestur tubuh yang condong ke depan menghadap kepadaku.

              “S-saya … kabur dari rumah, Pak.”

              “Apa?!” Muka Pak Candra berubah drastis. Matanya membeliak dengan mulut yang menganga.

              “Kenapa, kenapa? Ada masalah apa?” Pak Candra terlihat antusias sekaligus agak histeris. Aku pun jadi merasa tak sungkan lagi untuk membeberkan masalah ini, sebab pak bos tampaknya sangat terbuka untuk menerima keluh kesahku.

              “Ada sedikit masalah dengan mama dan adikku, Pak. Jadi, rencananya saya mau mengekost di kostan milik Bapak. Ada yang kosong, Pak, kiranya?”

              Pak Candra terlihat diam sesaat. Lelaki itu seperti tengah memikirkan sesuatu.

              “Sebentar, biar kutelepon yang jaga.” Pak Candra yang memiliki tubuh berbulu lebat pada bagian tangan dan kakinya itu pun langsung merogoh saku celananya. Lelaki itu lalu sibuk mengetik di layar ponsel mahal keluaran terbaru, kemudian menempelkan benda bersampul silikon bening itu ke telinganya.

              “Bon, ada kamar kosong di kost?” Pak Candra tanpa salam dan basa basi, bertanya pada seseorang yang dipanggilnya Bon tersebut.

              “Apa? Tidak ada? Sudah full semua?”

              Dadaku langsung mencelos. Pupus sudah harapan. Artinya aku harus mencari tempat yang lain dengan bermodalkan uang Rp. 250.000,- yang tersisa. Adakah kostan yang mau dibayar per bulan dan uangnya dibayar setelah satu bulan tinggal? Atau, haruskah aku meminjam uang pada kawan kerja saja? Ah, tahu begitu, mengapa jauh-jauh aku ke sini sampai harus mengacaukan acara keluarga orang lain?

              “Okelah, Bon. Nanti kuhubungi lagi kalau begitu.” Pak Candra memasang wajah kecewa. Lelaki itu pun meletakkan ponselnya ke atas meja kaca yang berada di tengah-tengah kami, tepat di samping jambangan bunga rose merah tiruan yang begitu cantik dipandang.

              “Sayang sekali, Si. Kostnya sudah penuh semua. Padahal, niatku mau menyuruhmu tinggal di sana gratis sampai kapan pun yang kamu inginkan.” Wajah Pak Candra begitu penuh penyesalan. Lelaki berhidung mancung dengan sebuah lesung pipit di pipi kiri itu tampak benar-benar tak enak hati kepadaku.

              “Oh, baiklah, Pak. Tidak apa-apa. Biar aku cari tempat lain saja.”

              “No, no. Bagaimana kalau kamu tinggal di sini saja? Ada satu kamar kosong di belakang. Tunggu sampai kamar kost ada yang kosong. Gratis, tanpa biaya apa pun. Anggap ini adalah bonus dari kerja kerasmu selama ini di perusahaan.” Pak Candra mengulas sebuah senyuman manis. Memperlihatkan geliginya yang rapi dan putih berseri.

              Aku melongo. Lagi-lagi tak percaya dengan apa yang kudengarkan barusan. Tinggal di rumah bosku? Rumah sebesar dan semewah ini? Ah, mana mungkin?

              “Akan kusuruh Baim memasukkan tasmu tadi ke dalam. Deal, ya?” Pak Candra begitu bersemangat. Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya dan hendak beranjak menuju luar.

              Aku yang masih blank akibat ucapan mengejutkan Pak Candra, ingin sekali mencegah gerakan beliau. Namun, kaki ini begitu kaku dan mulut ini serasa terkunci rapat. Argh, Sisi! Lakukan sesuatu! Jangan diam saja seperti patung begitu!

Comments (2)
goodnovel comment avatar
mbok mi
semangat thor
goodnovel comment avatar
mbok mi
penulisan rapi,baca beberapa bab sudah menarik hati
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status