Home / Rumah Tangga / Batas kesabaran seorang istri! / 4. Masih mencoba bersabar.

Share

4. Masih mencoba bersabar.

last update Last Updated: 2022-06-12 15:48:40

"Zalia! Kamu masak apa?" tanya Mas Yudha yang tiba-tiba nimbrung duduk di meja makan. Aku menatap Mas Yudha horor. Selain pemalas ternyata suamiku ini juga jorok.

"Mas Mandi dulu sana! Atau cuci muka, kek. Jorok banget kamu!" tegurku. Sambil mendengus Mas Yudha beranjak, mengambil handuk yang terlampir diatas pintu kamar dan berjalan ke kamar mandi.

Barulah setelah mandi dan mengenakan pakaian ia kembali bergabung dengan kami di meja makan.

Mulutnya berdecak melihat makanan yang kusajikan. Hanya ada tempe goreng sebagai proteinnya.

"Tak ada ikan, atau ayam apa, Zal?" tanyanya. Aku memutar bola mata jengah. Selalu saja pertanyaan itu yang aku dengar saat ia membuka tudung nasi. Andai ia bekerja dan berikanku nafkah seperti suami-suami di luaran sana. Jangankan ayam dan ikan, daging sapi pun aku beli untuknya.

Jika aku masak ayam atau ikan hari ini, besok kami akan makan apa? Tubuhku tak selamanya kuat menjadi buruh cuci seharian. Lagi pula kebanyakan ibu-ibu komplek sekarang pada beralih mesin cuci. Hanya beberapa orang saja yang masih setia memakai jasaku.

"Adanya itu, Mas. Mau makan syukur, nggak ya udah!" jawabku asal.

Mas Yudha berdecak. Mengambil piring yang sudah kusiapkan. Ia menyendok nasi, mengambil tempe dan sambal, serta sayur lodeh dengan banyak kuah. Mas Yudha memang suka makan yang berkuah dan tergenang.

"Kamu tidak pergi kerja, Mas?" Tanyaku hati-hati. Saat suapan terakhirnya habis. Mas Yudha menenggak air putih di gelasnya hingga tandas.

Ia menyenderkan punggung di kursi, tampaknya kekenyangan. Wajar saja, masih pagi tapi porsinya sudah seperti pekerja berat saja.

"Udah nyari kerja, tapi gak dapat," jawabnya.

"Loh bukannya kemaren suami Bik Jum ngajakin kamu kerja Mas? Suami Mbak Vera juga. Kok, kamu bilang gak ada kerjaan sih, Mas?" komentarku.

"Malaslah! Kerjaan yang mereka tawarkan, kerjaan berat semua. Mana gajinya kecil, gak sesuai," balas Mas Yudha.

"Lalu kerjaan yang sesuai menurutmu itu apa, Mas? Selagi itu halal apa salahnya, dari pada kamu makan tidur seperti pohon pisang!" sungutku. Aku heran, kok, ada manusia model Mas Yudha dan naasnya aku pula yang bersuamikan dirinya.

"Alah ... kamu tahu apa, Zalia! Lagi pula duit kiriman dari ibumu, kan, ada setiap bulan untuk tambahan uang dapurmu. Kamu juga dapat upahan," tukasnya.

Aku beristighfar di dalam hati. Mengusap dada ini yang terasa sesak karena tak habis pikir dengan jalan fikiran suamiku ini. Dimana lah tanggung jawabnya sebagai lelaki dan sebagai seorang bapak? Mas Yudha benar-benar keterlaluan!

"Sampai kapan kita akan ngandelin kiriman ibuku? Lagian kamu itu kepala rumah tangga, Mas. Seharusnya kamu yang mencari nafkah untuk keluarga ini, bukan menjadi beban istri," ucapku mengingatkan akan statusnya.

"Loh, kok, kamu ngomong gitu, Zalia? Tugas istri itu membantu suami. Jika suami lagi tak ada kerjaan, lagi pula kalau aku kerja. Uangnya juga kuberikan padamu!" Mas Yudha tampak tak terima dengan ucapanku. Ia berdiri tegak menatapku nyalang. Ada amarah di binar matanya.

"Jangan mentang-mentang kamu sudah pintar cari duit, kamu bisa menghina aku seperti ini, ya, Zalia. Lagi pula yang kamu hasilkan itu tak seberapa, jadi jangan merasa bisa mengatur aku. Aku mau kerja atau tidak itu urusanku! Enak banget kamu, aku yang kerja kamu yang ongkang-ongkang kaki di rumah!" lanjutnya lagi.

"Ya Allah, Mas ... sadar! Kamu ngerti Agama gak, sih? Kamu paham arti kata suami tidak, sih? Uang yang selama ini kamu kasih sama aku itu bisa di hitung pakai jari, itu pun tidak cukup untuk makan kita sehari. Aku benar-benar gak habis pikir dengan jalan pikiranmu?!" tariakku geram.

Mas Yudha memang punya keahlian dalam bidang multimedia dan elektronik. Kadang-kadang ia dapat panggilan untuk servis. Entah itu parabola, leptop atau televisi. Bahkan edit Vidio. Tapi ia hanya menunggu jika ada panggilan saja.

Itupun uangnya ia kantongi sendiri, jika aku tahu dan minta. Barulah ia menyodorkannya padaku. Jika dapat 200ribu, Ia hanya akan memberiku sekitar lima puluh ribu saja, bahkan tidak sampai dari itu.

Sore ini sebelum ashar, aku mengajak Alia berkeliling mengantarkan cucian loundry, dan pulangnya membawa kembali pakaian kotor yang akan dicuci esok hari. Udara tidak terlalu terik, hingga tak membuat kami begitu tersiksa dengan panasnya matahari.

Baru saja sampai di depan pintu gerbang rumah, aku sudah melihat Rika, adik bungsu Mas Yudha duduk di teras sambil bermain ponsel. Anak gadis satu ini, sama saja dengan abangnya. Sebelas dua belas malasnya.

"Dari mana aja sih, Mbak? Aku udah nungguin lama? Baju-bajuku sudah Mbak setrika semua, kan? Cepat buka pintunya, Mbak!" Belum lagi pantatku ini duduk, ia sudah menodongku dengan beberapa pertanyaan.

Aku turunkan Alia dari gendongan, kuraih kunci yang ada di saku celana lalu membuka pintu. Masih dengan mode diam. Aku lagi malas berdebat. Rasa capek ini membuatku rasanya ingin makan orang.

Setelah pintu terbuka, Rika menyerobot masuk tanpa permisi. Membuatku melongo memandangnya. Benar-benar tak ada sopan santunnya. Aku curiga, jangan-jangan mereka bersaudara saat lahir dulu tidak diazankan, mungkin? Makanya tingkahnya begitu menguji iman.

Aku dan Alia masuk ke dalam rumah, kuletakkan pakaian kotor yang kubawa kedalam keranjang yang ada di dekat kamar mandi. Setelah selesai aku berjalan mendekati meja makan. Menuangkan air ke dalam gelas dan meminumnya hingga tandas. Lalu meletakkan gelas itu kembali ke atas meja.

"Mbak, pakaian yang disuruh setrika oleh ibu mana?" tanyanya.

"Itu," Aku menunjuk buntelan kain yang teronggok tak berdosa di samping tivi. Mata Rika melebar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Batas kesabaran seorang istri!   153. Merajut kisah cinta halal (end)

    Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu

  • Batas kesabaran seorang istri!   152. Akhir dari penantian.

    “Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s

  • Batas kesabaran seorang istri!   151. Si tukang julid

    “Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde

  • Batas kesabaran seorang istri!   150. Tukang cari masalah.

    “Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis

  • Batas kesabaran seorang istri!   149. Rayuan Mas Hendra

    “Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa

  • Batas kesabaran seorang istri!   148. Kelicikan Hendra

    Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status