Share

5. Kerja rodi.

last update Last Updated: 2022-06-12 15:49:29

"Loh ... belum Mbak setrika? Gimana sih ... Mbak! Itu baju mau aku pakai sekarang?" omelnya. Namun aku tak peduli. Aku justru duduk santai di lantai, di samping Alia yang menghadap kipas angin.

Ah ... sejuk sekali. Aku memang sengaja tidak menyetrika pakaian itu. Awalnya aku berniat memisahkan baju mertuaku dan menyetrika baju mertuaku saja. Namun betapa terkejutnya diriku. Ternyata semua buntalan itu berisi baju-baju Rika, Mbak Intan dan Mas Norman.

Tentu saja aku menolak untuk menyetrika baju-baju mereka. Mereka pikir aku ini pembantu gratisan apa. Ogah!

"Mbak! Ditanya kok gak di jawab, sih! Kenapa bajunya belum disetrika? Cepat setrika sekarang, nanti aku kesini lagi untuk mengambilnya!" perintah Rika layaknya seorang nyonya.

Aku langsung berdiri dan mengambil buntalan itu dan meletakkan dihadapannya.

"Gak usah nunggu nanti. Sekarang kamu bawa pakaian ini pulang segera! Kamu dan Mbak Intan masih punya tangan untuk menyetrika baju kalian sendiri, kan?" ujarku marah.

"Loh ... itu kan tugas, Mbak! Kemaren kan ibu nyuruh Mbak untuk menyetrika semua pakaian itu," tukasnya tak terima.

"Siapa bilang itu tugasku. Aku tidak punya kewajiban apapun untuk menyetrika pakaian kalian! Memangnya berapa kalian menggaji aku untuk menyetrikakan baju-baju ini, hah!" sungutku. Aku tak mau lagi diinjak-injak dan disuruh-suruh oleh mereka layaknya seorang babu.

"Oh ... jadi sekarang, Mbak, sudah mulai itung-itungan dengan keluarga, ya!" sungut Rika dengan mata menyalang tak suka.

"Kalian yang tidak punya otak. Menyuruh orang seenaknya saja. Apa kalian pikir aku ini robot yang tidak punya rasa capek! Sekarang kamu bawa pakaian itu semua pulang. Jika ingin memakai baju rapi, maka setrika sendiri!" balasku dengan nada menantang. Sengaja memang. Biar dia tahu aku tak suka mereka perlakuan seperti ini.

"Jaga ucapanmu, Mbak! Kamu cuma menantu di keluarga ini. Jadi jangan macam-macam, atau ..."

"Atau apa?" potongku. Aku berujar semakin menantang dengan mata yang mendelik. Berani sekali bocah SMA sepertinya mengancamku.

"Atau ... atau ... nanti aku bilang sama Mas Yudha kalau Mbak Zalia sekarang sudah menjadi menantu kurang ajar!" kilahnya terbata. Rika tampak menelan ludah karena gugup. Ini pertama kalinya aku marah dihadapannya. Deru napasku yang memburu serta mataku yang menatapnya nanar, seakan siap untuk meneguk tubuh langsingnya itu bulat-bulat.

"Silahkan ... katakan saja pada abangmu yang pemalas itu! Bilang untuk menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Jangan makan tidur seperti mayat hidup!" makiku geram. Mata Rika terbelalak kaget. Tangannya terkepal.

"Jangan kurang ajar, Mbak! Walau bagaimanapun Mas Yudha juga suami, Mbak. Sudah lah ... aku malas ribut-ribut. Cepat Mbak kerjakan saja setrikaan itu! Aku mau pulang!" sungutnya tak terima.

Kuatur sejenak nafas yang memburu ini, aku lihat Rika mulai beranjak keluar rumah tanpa membawa pakaian mereka. Benar-benar keluarga Mas Yudha ini kompak menyiksaku lahir dan batin.

🍁🍁🍁

"Zalia! Kamu bilang apa sama Rika?!" teriak mertuaku. Aku yang sedang berbaring di depan kipas angin bersama putriku, kembali terkejut.

Belum ada setengah jam kepergian Rika dari rumah ini. Ibu sudah datang kerumah ini dengan wajah yang memerah. Matanya menatap tajam seolah menyala-nyala.

Cepat benar Rika, kalau urusan mengadu pada Ibunya.

"Apa sih, Bu? Baru datang sudah marah-marah, nanti darah tinggi Ibu naik," ujarku santai. Aku bangkit dari tidurku. Rasanya malas sekali untuk bangun, tapi kalau tidak bangun yang ada Ibu mertuaku tersayang itu, bisa-bisa semakin mencak-mencak seperti orang bermain silat.

Ya Tuhan ... Tidak bisakah aku hidup tenang sehari saja.

"Mana pakaian yang ibu suruh kamu setrika kemaren?" Ibu berkacak pinggang padaku. Seperti nyonya besar.

"Itu, masih teronggok cantik di tempatnya," jawabku sesukaku. Toh ... mereka juga kalau ngomong dan memerintah sesuka hati mereka saja.

"Kenapa belum kamu kerjakan? Benar kata Rika, kamu memang sengaja, ya!"

Benar perkiraanku, Rika mengadu pada ibu. Aku tersenyum kecut.

"Jika itu pakaian Ibu dan Bapak. Aku akan menyetrika, kan, anggap baktiku sebagai menantu. Tapi itu semua pakaian Rika, Mbak Intan dan Mas Norman. Aku tidak punya kewajiban untuk melakukan itu. Mereka berdua punya tangan untuk melakukannya sendiri! Apa lagi Mbak Intan, dia tidak kerja apa-apa di rumah. Suruh saja dia yang menyetrika baju-baju ini," jawabku. Mengutarakan semua uneg-uneg serta alasanku.

"Kamu ini ... sesama saudara saja perhitungan tenaga, bagaimana kalau uang!" sindir Ibu.

Aku mencebikkan bibir. "Tentu aku perhitungan dengan tenaga, karena hanya tenagaku yang diandalkan untuk mencari uang,"

"Apa maksudmu, Zalia? Kamu jangan menghina anak saya, ya!" sungut ibu tak terima.

"Aku tidak menghina, tapi memang itulah kenyataannya. Anak ibu itu tak pernah bekerja. Aku lah yang jadi tulang punggung di rumah ini. Bersuami tapi terasa janda!"

"Kamu ini dibilangin orang tua, ada saja jawabannya! Bukan anakku yang malas, tapi kamu sebagai seorang istri tidak membawa rezeki untuk suamimu. Makanya suamimu susah cari nafkah!"

Jleb.

Kata-kata ibu seperti pedang yang menghunus jantungku. Kuremas baju yang menutup dadaku dengan erat. Sesak ... rasanya sesak sekali. Area mataku pun mulai berembun.

Sudahlah, ibu mau pulang. Semakin sakit kepala ini meladeni kamu yang tiada habisnya," omel Ibu. Sambil beranjak dengan kasar.

Braakk.

Ibu menendang pintu yang berdiri rapi di dinding sebelum pergi. Untung saja tidak jebol. Maksudnya apa coba?

Bukan hanya kepalanya saja yang sakit, otakku juga mau meledak dengan darah yang mendidih. Kalau bukan mertua, mungkin sudah tak, hih!

Seharusnya di sini, aku lah yang harus marah, tenagaku yang mereka peras bagai kerja rodi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Batas kesabaran seorang istri!   153. Merajut kisah cinta halal (end)

    Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu

  • Batas kesabaran seorang istri!   152. Akhir dari penantian.

    “Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s

  • Batas kesabaran seorang istri!   151. Si tukang julid

    “Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde

  • Batas kesabaran seorang istri!   150. Tukang cari masalah.

    “Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis

  • Batas kesabaran seorang istri!   149. Rayuan Mas Hendra

    “Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa

  • Batas kesabaran seorang istri!   148. Kelicikan Hendra

    Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status