Share

6. Rasain kamu, Mas!

last update Last Updated: 2022-06-12 15:50:09

Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat pintu di gedor kuat oleh Mas Yudha. Pria itu pulang larut malam. Entah dari mana? Tanpa menghidupkan lampu, aku mengintip sedikit dari jendela, tampak Mas Yudha berjalan sempoyongan.

Membuat hatiku geram. Bukannya kerja cari duit, pria ini justru keluyuran gak jelas. Sekali pulang malah dalam keadaan setengah teler.

Dadaku bergemuruh hebat, dengan sejuta rasa dongkol di hati.

"Zalia! Buka pintunya!" teriaknya lantang. Tangannya menggedor-gedor pintu begitu kuat.

Aku bingung, di buka bikin kesal. Tapi di biarkan bikin gaduh!

Ya Tuhan ... nasibku dapat suami kok gini amad, ya?

"Zalia! Buka!" Lagi-lagi Mas Yudha berteriak. Aku berlari ke kamar mandi membawa seember air hingga menuju pintu depan.

Betul tebakanku Mas Yudha kembali berteriak dan menggedor pintu dengan kencangnya. Pria ini selain tak tahu malu juga tak tahu diri.

Byurrrrr ...

Aku siram Mas Yudha dengan air seember yang aku bawa setelah aku membuka pintu. Wajahnya yang kuyu semakin kuyu saja saat aku siram. Ia tampak kaget, dengan rahang yang mengeras dan wajah yang memerah menatapku nanar.

"Apa kau sudah gila, Zalia?! Suami pulang bukannya di sambut baik malah di guyur air seperti ini!" sungutnya. Beberapa tetangga yang lewat memperhatikan kami dengan minat. Mungkin mereka pikir sebentar lagi akan ada drama live pertengkaran rumah tangga gratis dengan tema 'suami mabuk di guyur air seember oleh istri'.

"Kamu yang gak punya otak, Mas. Seharian keluyuran bukannya kerja, malah mabuk-mabukan gak jelas!" sungutku tak kalah lantang. Sudah cukup aku bersabar dengan tingkahnya selama ini. Ingin rasanya ku tentang lelaki yang ada di hadapanku ini.

"Gak usah ngatur-ngatur kamu. Terserah aku mau pulang jam berapa, mau kemana. Itu semua hakku. Kamu gak usah cerewet! Tugasmu itu cuma dirumah." tandasnya. Dengan tubuh basah dan sempoyongan Mas Yudha ingin masuk ke rumah. Dengan cepat aku menahan tubuhnya. Aku tahu betul kebiasaan Mas Yudha saat mabuk. Ia pasti akan muntah sembarangan di rumah, dan itu artinya akan ada kerja tambahan lagi untukku.

Aku mendorong tubuh sempoyongan itu hingga ia terjerembab jatuh ke bawah.

"Kamu gak boleh masuk ke dalam rumah jika masih dalam ke adaan mabuk, Mas! Malam ini kamu tidur di luar!"

Mata Mas Yudha menatapku menyalang, matanya merah menyala-nyala. Namun aku tak takut. Sudah cukup aku diam saja selama ini.

"Jangan kurang ajar sama suami kamu, Zalia! Ini juga rumahku! Berani sekali kamu melarang aku untuk masuk!" bentaknya.

"Tapi aku yang membayar kontrakannya setiap bulan. Jadi aku yang lebih berhak untuk memutuskan. Jika kamu mau tidur, sana, pulang saja kerumah ibumu! Biar ibumu yang mengurus semua muntahmu nanti!" balasku tak kalah lantangnya. Aku berlalu pergi menutup pintu dengan rapat.

Tak kuhiraukan suara lantang Mas Yudha yang masih terdengar di luar. Ia memaki dan mengumpat diriku dengan marah. Dasar lelaki pemalas yang hanya bisa menyusahkan.

Jika biasanya aku hanya akan menangis dan meratap dengan semua sikapnya padaku. Tapi kali ini tidak lagi. Aku tak mau lagi di perlakukan semena-mena olehnya. Tidak akan!

Rasain kamu, Mas!

🍁🍁🍁

Pagi yang cerah, seindah kicau burung di pagi hari. Setelah sholat subuh dan mengepak semua pakaian pelanggan yang sudah di setrika aku membuka pintu serta jendela agar udara pagi masuk ke dalam rumah.

Aku tak melihat batang hidung Mas Yudha di teras. Sepertinya semalam ia pulang kerumah Ibunya. Aku tak peduli. Toh, ada dan tak ada dia sama saja. Tak ada bedanya!

Aku mengambil dompet dan keluar rumah sebentar, berjalan ke arah kiri. Alia masih tidur, jadi kutinggal sebentar. Kelang lima rumah dari rumahku ada kedai kecil yang menjual aneka makanan sarapan pagi. Dari lontong, nasi uduk serta aneka gorengan. Aku ingin membeli sebungkus lontong plus telor untuk sarapan pagiku dan Alia. Sebelum aku mengajaknya pergi berkeliling mengantarkan pakaian yang sudah kucuci kemaren. Cepat diantar maka cepat aku mendapatkan uang untuk biaya hidup kami.

Tiga hari lagi, Ibu pemilik kontrakan rumah akan datang menagih uang sewa. Jika aku tak cepat kerja maka mau ku bayar pakai apa sewa rumah itu. Ngandelin Mas Yudha, cuma mimpi indah di siang bolong.

"Eh ... ada neng Zalia. Tumben Neng, mau pesan apa?" sapa Buk Siti penjual sarapan pagi itu ramah.

Aku tersenyum. "Zalia pesan lontong sayur pakai telor satu, buk. Bungkus, ya!" pintaku.

"Sebentar, ya, Neng. Ibu bungkusan dulu," ujar Bu Siti. Aku mengangguk. Mau duduk, tapi bangku panjang itu sudah penuh berjejel dengan para ibu-ibu yang mengantri membeli sarapan pagi. Bahkan ada yang juga makan di tempat.

"Zalia ... Mbak mau nanya, kamu jangan marah, ya!" ujar Mbak Ika tetangga yang tinggal di gang ujung, gang cempaka. Ia tampak ragu-ragu.

"Memangnya mau tanya apa, Mbak?" tanyaku.

"Gini Zal ..." Mbak Ika berdiri dari duduknya, ia menarik tubuhku untuk sedikit menjauh dari kerumunan para ibu-ibu yang salah satu diantaranya adalah ratu gosip. Siapa lagi kalau bukan Mbak Wulan istrinya Mas Irwan, seorang karyawan bank swasta.

"Ada apa sih, Mbak. Kenapa harus jauh-jauh begini?" tanyaku heran. Ia mengajakku hingga di bawah pohon rumah sebelah.

"Kemaren mbak lihat suami kamu, keluar dari rumah janda yang tinggal di ujung komplek sana. Mbak cuma mau ingatin kamu, Zal. Hati-hati! Itu janda selain gatal juga jualan! Mbak gak mau kamu di bodohi suamimu!" ujar Mbak Ika membuat mataku membulat sempurna.

"Serius Mbak? Mbak gak bohong, kan?" tanyaku memastikan.

"Ngapain Mbak bohong, bukan suamimu saja. Tapi Norman, kakak iparmu itu juga sering ke sana," jelas Mbak Ika.

"Mas Norman suaminya Mbak Intan?" tanyaku serasa tak percaya. Karena selama ini Mbak Intan seolah menyombongkan diri jika suaminya itu bucin padanya. Walau terkadang aku suka iri melihat kemewahan yang di pamerkan Mbak Intan. Mas Norman suaminya seorang mandor pabrik tekstil. Selain gajinya yang gede. Mas Norman juga tipe pria yang tak pelit sama istri.

"Memangnya siapa lagi, Zalia! Eh ... udah dulu, ya, Zal. Pesanan Mbak udah siap," Mbak Ika pergi ke tempat Bu Siti mengambil pesanannya. Ia berlalu pergi meninggalkanku yang berdiri kaku di sini.

Hatiku remuk dan geram. Sangat geram, sudah pengangguran tak berguna, ternyata suamiku juga main gila dengan janda. Bikin aku ingin memotong adik kecilnya itu dengan golok.

Awas saja kamu mas, kalau sampai ketahuan kamu juga main serong di belakangku! Tak ada maaf bagimu, Mas!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
aduh ,suami model ky gitu tinggalin aja.....ga guna dan mau enak nya aja ,ayo tinggalin cepet ....ntar ketularan spilis dri janda yg salome ,celup sana sini .
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Batas kesabaran seorang istri!   153. Merajut kisah cinta halal (end)

    Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu

  • Batas kesabaran seorang istri!   152. Akhir dari penantian.

    “Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s

  • Batas kesabaran seorang istri!   151. Si tukang julid

    “Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde

  • Batas kesabaran seorang istri!   150. Tukang cari masalah.

    “Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis

  • Batas kesabaran seorang istri!   149. Rayuan Mas Hendra

    “Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa

  • Batas kesabaran seorang istri!   148. Kelicikan Hendra

    Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status