"I-itu…”
“Tentu saja kami tidak menolak, betulkan Anne?” Cara bicara ibunya terdengar seolah seperti isyarat agar Anne sependapat dengan Felicia. “Hmmm, ya…” Raffaelle tergelak melihat reaksi Anne yang sedikit kaku. “Baiklah, kalau begitu aku pergi sekarang.” *** Aroma harum masakan membuat Anne terbangun dan terpancing untuk langsung mengikuti asal aroma itu, dan mendapati ibunya sudah di sana menyibukkan diri dengan pekerjaan dapur. "Ibu, kenapa tidak membangunkanku dulu dan malah bekerja sendirian?" Felicia menyimpulkan senyum, lalu berjalan mendekati putrinya dan mengelus Anne. "Sudahlah, ini tidak berat kok, cuma mendidihkan air dan masak sup saja." Melihat ekpresi teduh ibunya, Anne merasa bersalah dan langsung mengambil alih melanjutkan pekerjaan ibunya, kemudian menyiapkan sarapan yang sudah matang di meja makan sebelum mempersiapkan diri pergi bekerja. Hampir dua puluh menit berlalu, Anne kembali muncul dengan pakaian yang sudah rapi dan melihat ibunya masih menyibukkan diri menyiram tanaman di depan rumah. “Pekerjaannya dilanjutkan nanti saja Bu, sekarang kita sarapan dulu.” Meski seorang tunanetra, Felicia sudah terbiasa dengan kondisinya hingga tidak sulit untuknya melakukan pekerjaan rumah sendirian dan bahkan mengetahui area rumah mereka dengan bantuan tongkat kayu. “Kau sudah ingin pergi bekerja?” ujar Felicia ketika memasuki ruang makan. Anne mengangguk. “Ya, kuharap hari ini bos tidak menyuruhku lembur.” Bunyi panggilan masuk mengalihkan fokus Anne yang sedang sarapan. "Nadine?" Anne menepuk jidatnya. "Astaga! Aku lupa dengan jadwal pertemuan kami kemarin.” Buru-buru Anne menjawab telepon. "Ya Nadine…." "Anne, kamu tidak apa? Kami cemas karena kamu tidak jadi datang." Di seberang telepon itu adalah teman dekat Anne yang sedang mengkhawatirkannya. “Aku tidak apa-apa, maaf kemarin tidak datang karena aku sibuk. Tapi kau tenang saja, jika tidak ada halangan sore ini pasti kita bisa hangout bareng." "Kuharap kau tepat janji karena ada sesuatu yang ingin aku katakan langsung padamu.” “Apa itu? Jangan buat aku penasaran bestie…” “Pokoknya kau harus datang, aku tunggu di kafetaria Darklight jam enam sore dan seseorang juga ingin bertemu denganmu." “Siapa?” “Nanti kamu juga akan tahu.” Panggilan diputus oleh Nadine. Melihat waktu di ponselnya yang semakin mepet, Anne langsung pamit pada ibunya untuk pergi bekerja. Ketika keluar dari pintu gerbang, seseorang melambaikan tangan dan menyapanya. “Pagi Anne…” “Kak Raffaelle?” Pria itu segera menghampirinya. “Kau mau berangkat kerja kan? Biar aku antar.” “Tidak usah kak, aku akan naik bus saja…” Raffaelle malah langsung menarik tangannya dan membawanya ke depan mobil sport berwarna silver miliknya. “Kebetulan aku butuh penumpang, jadi kau masuk saja.” Anne masih ragu ketika Raffaele membukakan pintu mobil untuknya. “Ongkosnya tidak mahal kan?” Raffaelle terkekeh, “Ongkos apanya, bukankah kita ini sudah seperti keluarga?” sebelah alisnya menaik. Anne tak bisa beralasan lagi dan memilih setuju dengan tawaran itu. “Kita berangkat sekarang.” Raffaelle menyusul masuk dan menyalakan mesin mobilnya lalu memacu kendaraan roda empat itu dengan cepat hingga tiba di depan gedung putih Founderflash grup. “Terima kak Raff, kuharap tuhan membalas kebaikanmu.” Saat Anne ingin turun, tiba-tiba Raffaele menahan tangannya. “Tunggu, pagi tadi aku belanja di minimarket dan membelikan ini untukmu.” Anne menatap bungkusan yang di berikan padanya. “Minuman coklat? Darimana kakak bisa tahu kalau aku suka ini?” Raffaelle tersenyum. “Minumlah ketika kau haus, tapi bagaimana jika sore ini ke tepi danau Dreamland? Kebetulan di sana ada acara festival…” Anne menggigit bibirnya. “Maaf kak, tapi aku punya rencana lain.” Raffaelle sedikit mengernyit. “Apa itu?” Dia tidak menunggu gadis itu menjawabnya. “Biarkan aku yang mengantarmu.” “Tidak perlu aku sudah terlalu banyak merepotkanmu, kak Raff.” tolak Anne merasa sungkan. “Tak apa, serahkan semuanya padaku.” Begitu Anne keluar dari mobil dan menutup pintunya, Raffaelle langsung memacu mobilnya pergi sambil bersiul kecil, membiarkan Anne menatapnya dengan bingung. “Sudahlah, kalau dia memang bersedia, kenapa aku harus menolak.” Pukul 16.00 sore. Anne keluar dari kantornya dan akan langsung memanggil taksi. Tapi sebuah mobil yang familiar berhenti di depannya. “Mau kabur sendirian? Bukannya aku sudah bilang akan mengantarmu?” Anne agak bingung dan merasa pria itu seperti supirnya. Namun dia harus mengejar waktu agar tak terlambat. Jadi dia masuk tanpa berpikir. “Ke kafe Darklight yang di depan taman Dreamland.” Raffaelle tersenyum penuh percaya diri dan mulai berkendara. Sepanjang perjalanan Anne memilih diam sambil mengotak-atik ponselnya. “Anne…” suara lembut Raffaele terdengar, gadis itu menoleh melihatnya. “Ya.” “Kamu sedang apa?” Masih fokus pada smartphone-nya, Anne tersenyum sedikit. “Tidak ada, hanya baca novel.” “Di ponselmu?” “Hmmm, ya. Novel daring.” Raffaelle masih memperhatikan reaksi Anne yang fokus menatap layar ponselnya. “Kurasa kita punya hobi yang sama, kamu baca genre apa?” Anne mendongakkan kepalanya. “Genre? Ah, ini tentang detektif. Sebenarnya melihat judulnya aku langsung penasaran.” “Boleh kulihat?” Tanpa persetujuan Raffaelle mendekatkan dirinya pada Anne agar ikut melihat layar pipih milik Anne hingga jarak mereka terlihat sangat dekat. Anne bahkan bisa merasakan detak jantung pria itu dengan kuat. “Kakak, maaf. Sepertinya ini tidak nyaman.” Gadis itu menggeser posisinya hingga menyandar ke pintu mobil. “Ah, maaf. Tadi itu aku hanya penasaran dengan cerita yang kamu baca.” Anne melebarkan bibirnya sedikit, kemudian melihat ke luar jendela dan palang nama kafe tujuannya. “Kak, di sebelah kiri ya kak.” Raffaelle menepikan mobilnya, kemudian Anne turun dan melihat tiga orang gadis berkumpul dalam satu meja, ketiganya terdiam ketika melihat Anne turun dari mobil yang sedikit asing. “Dia siapa Ann? Punya teman cowok ganteng, nggak dikenalin.” Seorang teman Anne langsung menyerobot ketika Anne baru tiba di meja mereka. Gadis itu menghela nafas kemudian duduk di bangku yang kosong di antara mereka. Melihat trio cantik itu menyipitkan mata seakan menginterogasinya, Anne melirik pemilik mobil yang mengantarnya tadi. “Dia…” “Jangan bertele-tele, segera jelaskan ini sekarang, bestie.” Anne terkekeh. “Kalian ini terlalu lebay, dia hanya tetangga sebelah rumah yang kebetulan kasih tumpangan gratis buat aku.” “Cie, cie jangan-jangan dia naksir sama kamu Ann?” Tiba-tiba seorang pria rekan mereka saat menjadi mahasiswa muncul disana, trio gadis cantik itu mengunci mulutnya rapat-rapat dan saling pandang. “Maaf, tadi ada sesuatu di jalan, jadi aku baru datang. Apa kalian sudah menunggu lama?” “T-tidak juga, ayo duduk. Orang yang ingin kamu temui sudah di sini. Tapi…” “Tapi apa?” Pria itu mengernyit menatap mereka satu persatu. Mereka saling menyenggol lengan, Anne dan pria itu dibuat melongo ulah mereka. “Sebenarnya…” Tiga teman Anne melihat ke arah mobil sport yang terparkir di luar kafe dan melihat pemilik mobil itu sedang menunduk ke bawah seolah sedang disibukkan oleh sesuatu. “Hei, maksud kalian apa?” ujar Anne yang masih tidak mengerti dengan sikap teman-temannya. “Ehmm.” Anne langsung terfokus ketika mendengar suara deheman pria yang baru datang tadi. “Anu itu, sebenarnya orang yang kami bilang ingin bertemu denganmu itu, dia.” “Kak Nicho?” Anne masih tak percaya pria itu mencarinya. “Emangnya ada apa?” Meski saat menempuh pendidikannya Anne sempat mengagumi Nicho dan bahkan menyukainya, tapi Anne tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Tapi, ketika bertemu dengannya hari ini rasanya biasa saja. Diamnya Nicho memancing kata-kata ejekan nakal dari tiga gadis teman dekat Anne. “Katakan sekarang, atau orang lain akan merebut hatinya.” Tarikan nafas yang berulang, menandakan kalau Nicho sedang menyetabilkan ekspresi gugupnya. Padahal, sejak semalam dia tidak tidur memikirkan hari ini, tapi begitu gadis yang dicarinya sudah ada di depan mata, kenapa dia begitu gugup? “Kak Nicho…” “Ah ya, tapi…” Seakan mengerti, tiga sekawan itu langsung beranjak dari sana meninggalkan mereka. Reaksi tiga temannya itu, membuat Anne mengernyit heran. “Ada apaan sih? Sampai segitunya…” Pria yang bernama lengkap Nicholas Bill itu memperbaiki posisi duduknya, dan menatap Anne lurus-lurus. “Anne, jadilah pacarku!” Pernyataan barusan membuat Anne membelalak. “Jadi kamu…” Dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya saat tatapan Nicho seakan menembus ke dalam bola matanya. “Aku serius, Anne. Bagaimana dengan jawabanmu?” Tiga sekawan gadis tadi rupanya masih disekitar sana dan mengintip mereka dari meja yang jaraknya sekitar tujuh langkah kaki dari tempat Anne dan Nicho. “Hei, bau apa ini?” Seruan salah seorang temannya membuat fokud Anne teralihkan hingga tak menjawab pertanyaan pria tadi. “Apa?” Anne menolehkan wajahnya ke belakang, matanya melebar saat kepulan asap muncul dari arah dapur kafe. “Ada kebakaran!”"Kak Nicho? Kenapa kamu bisa—” ucapannya terputus saat pria itu melemparkan sebuah syal rajut pada wanita yang pakaiannya compang-camping dan bahkan tanpa hijab yang menutupi kepalanya.“Diamlah, segera pakai itu. Kamu rela auratmu dilihat orang lain?” Anne tak menepis kata-kata pria itu dan melakukan apa yang di katakannya, hingga rambutnya kini tak terlihat lagi. “Makasih banyak, kalau bukan kamu aku nggak tahu gimana nasibku nanti.”“Ini hanya suruhan mama, jadi kamu jangan berpikir yang nggak-nggak. Lagian kamu nggak usah banyak omong deh, aku juga nggak bakalan tersanjung dengan kata-katamu.”“Aku berterima kasih serius, bukan untuk memuji atau menyanjung orang lain. Tapi, aku heran kenapa kamu bisa sampai kesini? Padahal tempatnya kan terpencil.” “Apa itu penting? Cukup diam saja di kursimu jangan banyak omong!”Menerima bentakan itu Anne mendengus.“Sombong sekali! Kamu kira aku bicara padamu karena punya maksud lain? Jelas nggak lah ya. Aku ini udah punya suami…” “Suami man
Pukul 06.00 pagi, silau matahari membuat Anne mengernyit dan membuka mata dengan paksa, namun ruangan yang ditempeli banyak poster atletik dan binaragawan membuatnya heran. “Aku,,, dimana?”Melihat kondisi tangan dan kakinya yang sedang terikat di atas tempat tidur, Anne terus meronta mencoba melepaskan ikatan itu, namun kagaduhan yang dia sebabkan membuat seseorang membuka pintu dan muncul dengan tawa seringai. ‘Raffaelle? Bukannya dia…’ Sayangnya, dia tak bisa m3mak1 atau bahkan memarahi pria itu karena saat ini mulutnya masih disumpal dengan selotip hitam tebal. Pria itu berjalan mendekat, membuat jantung Anne berdetak keras sekaligus panik bercampur trauma. Apalagi tanpa diduga dia menarik paksa penutup mulut Anne hingga meninggalkan rasa sakit.“Apa-apaan kamu?” Anne akhirnya bisa menegur pria itu dengan sesuka hati meski posisinya belum bisa bergeser dari sana. "Memangnya kamu bisa apa? Sendirian di kamar usang, apa kamu masih berani melawan? Suamimu bahkan juga nggak peduli
Uhukk! Uhukk! Kekagetan itu membuat Anne tak bisa menahan untuk langsung bertanya. “Bibi, bukannya tadi cuma–” Wanita itu terkekeh. “Anne, apa kamu merasa Mardian kurang tampan dan berjiwa dingin?"Melihat Anne menggeleng sungkan, Audiya kembali bicara. "Kalau aku masih muda pasti akan langsung memilih Mardian. Kamu mungkin nggak tahu kalau sebenarnya putraku itu sangat berkualitas untuk wanita sepertimu.”Anne meringis, lalu melihat sekilas pada pria yang sedang dipromosikan padanya dan mendengar Audiya menyambung kata-katanya. “Mardian punya dua adik laki-laki yang sedang bekerja di luar negeri, satu-satunya orang yang menemaniku di rumah hanya dia.”Merasa sedang dibicarakan, Mardian ikut bergabung dengan ibu dan Anne untuk menyela pembicaraan mereka. “Kalian membicarakanku? Pantas aja kuping ku panas.” Dia lalu melihat pada Anne dan mulai mengutarakan sesuatu. “Oh ya, aku lupa kasih tahu sesuatu. Setelah acara ini mungkin kita akan jarang bertemu, apalagi aktivitasku diluar cuku
“What? Kamu serius Ann?” Nadine memekik keras saking dirinya kaget.“Suaramu jangan terlalu keras, aku nggak mau mereka dengar dan malah banyak tanya.”Nadine langsung mengatup rapat bibirnya, lalu melihat telunjuk yang mengarah pada bocah kembar yang bermulut bijak itu, kemudian dia berbicara dengan suara pelan. “Lalu responmu apa?”“Mana mungkin aku mau…”“Kenapa kamu menolaknya?” “Hei, kamu masih waras kan? Aku nggak mau jadi perusak rumah tangga orang yang sudah punya anak dan istri. Lagian, soal pernikahan harus di dasari dengan perasaan kan? Sedangkan aku nggak punya rasa apapun lagi sama Nicho.” Nadine menarik nafas dalam-dalam, "Nyonya Kyra sebenarnya orang baik.”"Yah, tapi bukan berarti aku tolak permintaannya mentah-mentah. Aku kasih alasan yang masuk akal dan bilang kalau aku udah punya tunangan dan akan menikah dalam waktu dekat ini.” Ckckck… “Alasanmu luar biasa. Kamu ini single parents Ann, siapa yang percaya dengan kata-katamu barusan? Kamu kira bisa bebas begitu sa
Teka-teki lagi? di ruangan itu semua orang dibuat penasaran. Pasalnya, Kyra pasti akan mengajukan hal yang aneh-aneh setiap dia ulang tahun. Tapi Anne tampak tenang dan melanjutkan makannya tanpa berpikir hal lain. “Apaan sih ma? Jangan bikin kami penasaran dong!” desak Nicho yang tak ingin penasaran lebih lama lagi.Kyra melirik semua orang di meja makan secara bergantian, lalu mendehem ketika memulai bicara. “Nicho, kamu pasti tahu sekarang mama nggak muda kayak dulu lagi kan? Siapa tahu aja di umur 56 tahun ini mama tiba-tiba pergi untuk selamanya.”Sontak Damian memukul meja. “Apa yang sedang kamu katakan? Kita ini jelas seumur, jangan bikin orang ketakutan. Lagian kita juga nggak tahu kapan ajal kita.” Mendengar teguran suaminya Kyra tersenyum datar. “Memang benar, tapi bukankah di umur segini kita mesti banyak-banyak beramal kan?” Pandangannya beralih pada Anne yang masih terbengong di depan meja. “Anne, mama akan serahkan villa di kota Barat daya padamu.”“Apa?” Ternyata Jeny
“Tante…” Seorang anak kecil dengan pita-pita lucu di rambutnya, berlari menggapai Anne di ruangan makan. Itu membuat semua orang bingung, ‘Bagaimana Ketrin bisa kenal dengan wanita itu?’Tapi, berbeda dengan Nicho yang sudah tahu hal itu akan terjadi, dia hanya mengurut alis tanpa berkomentar. Sedangkan Kyra kini menatap cucunya menanyai. “Ketrin, kamu kenal dimana sama tante Anne?”Gadis itu tersenyum dengan polos. “Ini loh Grandma, dia tante yang aku ceritakan itu…” Kyra menutup mulutnya kaget. “Jadi… ya ya ya, Grandma mengerti sekarang, ternyata dunia ini memang sempit ya. Grandma nggak nyangka kalian baru kenal bisa langsung dekat.” Wanita paruh baya itu melirik Jenya yang kelihatan kesal di seberang mereka. Itu membuat Jenya semakin sebal dan berencana mengalihkan itu. “Ketrin, temani mama keluar sebentar buat ambil sesuatu di jok mobil…” Tapi gadis itu malah menggeleng. “Nanti saja ma, aku mau ajakin Tante Anne ke dalam dulu.” Tanpa disetujui, gadis itu menarik tangan Ann
Merasa dianggap remeh seorang anak kecil, Nicho berusaha meredam emosinya lalu berjongkok dan menatap bocah itu. “Hei kids, kamu anaknya Anne?”Bocah itu melipat tangannya dengan angkuh. "Untuk apa kamu tanya mommyku?"Nicho tak mungkin merespon kasar pada anak kecil, jika dia marah itu akan lebih dianggap remeh lagi oleh bocah itu. “Jadi dia mommy-mu? Kalau begitu bisa panggil dia sekarang?” Dua alis Nicho yang tebal itu sedikit terangkat.“Mommy sedang mandi, lagipula dia masih lelah setelah sibuk seharian."Nicho tersenyum dingin, dia melirik wanita dewasa yang sejak tadi hanya diam disamping bocah itu.“Joshua? Nadine? kenapa kalian berdiri di pintu?” Gawat! Nadine melebarkan matanya panik dan berencana menutup pintu dengan paksa, namun detik itu Anne malah keluar setelah mengambil hijabnya dan melihat mantan suaminya berdiri kaku di depan pintu. “Apa yang kamu lakukan disini?”“Anne...” di situasi itu, Nicho berusaha menahan diri untuk tetap stabil. “Maaf, kedatanganmu kemari t
“Jenya, kamu darimana saja? Kenapa baru datang?” Sapaan Nicho malah disambut dengan dengusan kasar dan bentakan dari istrinya.“Jangan banyak tanya, cepat bantu aku bawa semua barang-barang ini ke kamar!”“Tapi…” Nicho mengeraskan rahangnya berniat memarahi sang istri, jika bukan karena Ketrin yang sangat antusias melihat Jenya datang, mungkin situasinya akan berbeda. Sementara Nicho membiarkan putrinya menikmati momen ibu dan anak bersama Jenya, tapi saat melihat jok belakang mobil dan berencana menuruti sang istri untuk membantunya, mata Nicho membulat. “Jenya, barang sebanyak ini isinya apa saja? Isi kamar masih penuh dengan kotak-kotak belanjaanmu kemarin yang bahkan belum dibuka.”Jenya berbalik sambil berkacak pinggang. “Apa urusannya denganmu? Suka-suka aku mau beli apa, lagipula bukan hanya kamu yang cari uang.” Nicho tak berkomentar lagi, menurutnya Jenya terlalu boros kalau soal uang. Lemari dikamarnya sudah berisi sana sini. Lalu jika semua dus ukuran besar ini dibawa mas
"Ketrin, kemana kamu sebenarnya?” Tak terhitung lagi sudah berapa kali Nicho mengusap kasar wajahnya setelah berputar kesana kemari menyetir mobilnya.Saking tak fokusnya dengan hal lain, Nicho bahkan tak sadar bahwa mobilnya hampir saja menyerempet mobil SUV di didepannya. Jika dia tidak segera mengerem, masalah baru malah akan muncul. Hufft!Hampir saja dia putus asa sampai berniat menelpon polisi, namun saat menyalakan ponsel seseorang menelepon. “Ya ada apa?”Raut mukanya terlihat berharap, setelah mendengar si penelpon berbicara, “Oke, tetap di situ sampai aku datang.” Di zaman ini, ada banyak kasus penculikan anak, terlebih Carla, putri Nicho satu-satunya termasuk kategori anak yang menggemaskan, memikirkan itu cepat-cepat Nicho mengemudi tanpa berpikir.Rasa cemas itu membuat Nicho cepat sampai di depan sebuah mansion berpagar mewah, dan melihat dua asistennya sudah mendatangi rumah itu dan masuk dengan paksa hingga suara pekikan terdengar dari arah ruang tamu. Kegaduhan yang