Situasi berubah kacau, siapapun di dalam kafe itu tampak sangat cemas saat melihat asap yang semakin banyak dan mulai menghitam.
“Kita harus segera keluar dari sini, mungkin sesuatu terbakar di dalam.” Namun mereka terlambat, api sudah berkobar dan melalap tempat itu dengan sangat cepat. Kaki Anne terasa kaku dan tak bisa beranjak dari tempatnya. Seluruh tubuhnya gemetaran, bayangan di masa kecilnya melintas, membuat rasa trauma muncul dalam dirinya. “Anne!!” Teriakan terdengar, tapi mulut Anne bahkan tak bisa menjawab panggilan tersebut dan dia juga tak dapat melihat orang yang memanggilnya akibat asap yang semakin menebal. Samar-samar dia melihat bayangan seseorang menerobos kepulan asap, tapi Anne tidak bisa melihat wajah pria yang berusaha membantunya keluar dari sana. “Kak Nicho, apa itu kamu?” Meski tangan Anne sudah di genggam erat oleh pria penyelamatnya, tiba-tiba lampu gantung yang ada di langit-langit kafe jatuh tepat di depan mereka dan menutupi jalan keluar mereka. “Ya tuhan, bagaimana cara kita keluar?” Di situasi panik itu, pria disampingnya terdengar membisikinya dengan lembut. “Jangan khawatir, aku pasti bisa membawamu keluar dari sini.” Nafas Anne sesak karena terlalu banyak menghirup asap, kepalanya pusing, bahkan matanya sayu hingga dia tidak sadarkan diri. *** “Kak Nicho…” Raffaelle mendongak saat Anne akhirnya sadar, namun sorot kekecewaan terlihat jelas di matanya saat gadis itu menyebut nama pria lain. Sedangkan tiga gadis teman-teman Anne yang tadinya mondar-mandir menunggu dengan gelisah, akhirnya bisa bernafas lega setelah Anne terbangun. “Anne, kamu baik-baik saja?” Bukannya menjawab, gadis itu melihat ke semua arah dengan bingung. “Kak Nicho dimana? Dia tidak apa-apa kan?” “Dia…” Anne melihat keraguan di mata mereka untuk berbicara. “Hei, kenapa diam. Kak Nicho kemana?” Raffaelle menghembus nafasnya dan berdiri setelah enam jam lebih duduk disamping ranjang Anne, pria itu bahkan tak mengatakan apapun saat ini seakan sedang ada masalah. “Kamu akan pergi begitu saja?” Tanya Nadine gadis bertubuh tinggi dan rambut coklat sebahu saat melihat Raffaele menuju pintu keluar. Pria itu memaksakan diri untuk tersenyum, lalu berbalik dan langsung pergi. Anne tak peduli, yang ada dipikirannya sekarang hanya Nicho pria yang dia anggap telah menyelamatkan hidupnya. “Bisa antar aku menemui Kak Nicho?” “Maaf Anne, tapi sekarang keadaannya sedang kritis, dia sedang menjalani perawatan.” Dengan tekadnya, Anne bangkit dari tempatnya berbaring dan mencabut infus di tangannya dengan paksa. “Anne, apa yang kamu lakukan?” Dalam keadaan tubuhnya yang belum stabil, Anne menerobos keluar dan berlari ke lorong rumah sakit. “Anne, kamu mau kemana?” Sayangnya gadis itu mengabaikan panggilan tiga temannya, meski dia berjalan terpincang-pincang. Nadine, Maureen dan Alesha merasa tak tega membiarkannya sendirian, jadi mereka memutuskan menyusul Anne. “Anne kamu terlalu nekat, ini berbahaya.” “Aku harus menemui kak Nicho, dia sudah susah payah menyelamatkanmu…” “Anne kamu ingin menemui Nicho kan, dia disebelah sini.” seru Maureen saat berhenti di depan sebuah ruangan. Namun, saat ingin membuka pintu ruang rawat nomor 34 itu, seorang wanita terlihat disana dan menatap mereka dengan tak ramah. “Siapa kalian?” Wanita itu terlihat sedikit lebih tua daripada mereka. Nadine si gadis cerewet langsung menjawab. “Kami semua teman satu universitas dengan kak Nicho, saat kecelakaan kemarin dia bersama kami.” “Oh, jadi kalian yang membuat Nicho seperti ini. Apapun yang terjadi padanya, kalian harus tanggung jawan.” Kata-kata wanita itu seperti sebuah ancaman. Anne bertanya-tanya, ‘Wanita itu sepertinya sangat dengan Nicho, apa mungkin dia adiknya atau sepupunya?’ Anne kembali memperhatikan wanita dengan kuku panjang dan rambut pirang kini tampak mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya untuk dia bakar. Asap dan aroma tembakau tercium begitu tajam hingga Anne menjadi terbatuk. “Maaf kakak, tempat ini bebas asap rokok, di dinding sana ada peringatannya.” Wanita itu beralih melihat arah di tunjuk Anne, ini kesempatan mereka untuk menerobos masuk ruang rawat Nicho yang kebetulan sedang diperiksa dokter. “Dokter, bagaimana keadaan Nicho?” “Masih belum sadar, kami akan mengecek keadaan pasien setiap jam-nya, kalian tenang saja.” Wanita yang merokok tadi ikut masuk menyusul ke dalam, setelah dokter tadi keluar dari sana. “Hei, berani sekali kamu masuk ke dalam, setelah menyebabkan Nicho seperti ini.” ujarnya dengan nada ketus. Mendengar itu Maureen tidak tinggal diam. “Ini bukan gara-gara kami, tapi kecelakaan.” “Benar, lagipula Nicho mencari Anne itu punya tujuan.” sambung Nadine. “Tujuan?” Wanita itu mengernyit. “Maksudnya apa?” “Yah, Nicho kan naksir sama Anne. Kayaknya mereka udah jadian.” Wanita tadi melihat mereka tak percaya. “Apa?” Anne membeku ditempatnya, dia memang belum menjawab isi hati Nicho yang sebenarnya. Tapi, mengingat pengorbanan pria itu barusan, Anne menetapkan pikirannya. “Kamu dan Nicho udah selesai bicara kan Ann?” Wajah Anne langsung berubah gugup, “Sebenarnya…” Ekpresi si wanita berambut pirang tadi sedikit kecewa, tampak ada sesuatu dipikirannya. Anne dan tiga temannya tak peduli lagi tentang meski wanita itu keluar dari ruangan itu. “Bukankah wanita itu sedikit aneh?” Tak ada tanggapan. Mereka saling menyenggol lengan ketika melihat Anne duduk di tepi ranjang Nicho sambil memegangi tangannya. “Kak Nicho, maaf telah membuatmu begini, kuharap kamu cepat sadar.” “Kamu sedang apa?” Ternyata di luar rumah sakit Raffaele masih berdiri mengintai dari balik jendela ruang yang berada tepat di ruang rawat Nicho. Pria itu menoleh sekilas, kemudian mengalihkan pandangannya kearah semula. Wanita berambut pirang tadi melihat arah pandang Raffaelle. “Jadi melihat mereka? Gadis mana yang kamu sukai?” Auranya terkesan dingin, tapi wanita itu masih berani mengajaknya bicara meski Raffaele tak menjawab. “Kenalkan, aku Sherin.” Raffaelle masih tak acuh membuat wanita yang mengaku Sherin itu menyimpan kembali tangannya. “Jika ada kesempatan, kenapa kamu tidak langsung merebut hatinya?” Raffaelle menarik nafas, ucapan Sherin barusan juga ada benarnya. Tapi gadis yang di taksirnya sedang memikirkan orang lain, dia bisa apa? Entah darimana datangnya keberanian itu Sherin menarik tangan Raffaele dan keluar beranjak dari sana. “Ikutlah, aku ada ide bagus.” Raffaelle baru kali ini diperlakukan seenaknya, ini membuatnya tersinggung dan merasa ingin marah. Namun, ketika akan melontarkan kalimat emosinya, Sherin berbisik di telinganya. “....” “Tunggu! Apa yang kamu maksud?” Raffaelle mengernyit tak mengerti. “Kurasa kamu akan setuju dengan ideku ini.” Sherin mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari sakunya, dan meletakkan itu di tangan Raffaele. Pria itu memandangi plastik selebar dua jari tangan yang isinya terdengar seperti serbuk. “Kamu pasti tidak asing dengan benda itu kan? Itu bisa jadi senjata ampuh agar kamu mendapatkan gadis yang kamu incar.” “Tidak, tidak. Kamu kira aku pria seperti apa?” Raffaelle mengembalikan itu pada Sherin. Namun wanita itu tersenyum miring sambil menaruhnya di saku kemeja Raffaele. “Kenapa mengembalikannya padaku? Suatu saat kamu pasti membutuhkan ini.” Sherin tersenyum miring, lalu pergi meninggalkan pria dingin itu. Wanita yang cantik dan penuh pesona, tapi Raffaele tak tertarik sedikit pun dengan parasnya. Hatinya sudah terlanjur melirik Anne, si gadis polos berhijab.“Jessi, apa yang kamu lakukan?”Joshua segera berlari menghampirinya.Tetapi saat berusaha meraih pisau itu dari Jessica, tiba-tiba gadis itu menjerit keras dan menjatuhkan pisaunya. “Argh!”Melihat Jessica berjongkok, Nadine bahkan Raffaele mendatanginya untuk menenangkan. Tetapi Jessica kian mengamuk. “Lepaskan aku! Kenapa kalian menghalangiku?” Nadine gelagapan melihat Jessica terus meronta."Tante, kenapa kamu bodoh sekali? mau-maunya diajak menikah sama psikopat itu!” PLAK!Jessica meringis memegangi pipinya setelah jarinya menunjuk tajam ke Raffaele. Tetapi itu membuatnya semakin kesetanan. "Dasar psikopat, psikopat bucin!"BUGH!Tidak terima dikatakan itu Raffaele bahkan meninjunya dan bersarang di bibir Jessica hingga darah segar mengalir di sudut bibirnya. Jessica terisak pelan, lalu pandangannya terlihat mengabur dan terjatuh ke lantai. Jessica pingsan!“Apa yang kamu lakukan padanya?”*"Gimana?"Nadine mendatangi dokter Ryan dan berharap mendapat kabar baik. “Enggak ter
Jessica baru saja mau pergi mencari Tante sekaligus ibu angkatnya, tetapi ternyata sosok yang ingin dia temui kini malah mendatanginya lebih dulu.Tidak seperti biasanya, Nadine yang sedari dulu selalu perhatian padanya, kali ini datang dengan dingin. Dia langsung menggenggam tangan Jessica. "Jessi, bisa bantu aku?”Jessica menatap Nadine penasaran, membiarkan ibu angkatnya itu membisiki sesuatu. Tetapi dia enggan mengatakan bahwa dia sama sekali tak pernah disentuh oleh Raffaele. Lagipula, anak itu juga tak perlu tahu urusan mereka.Memikirkan ini sikap Raffaele padanya, tiba-tiba Nadine membuka mulut."Kurasa ini akan berakhir."Jessica tertegun dan mengernyit, "Ada apa tan?""Aku lelah, aku mau cerai aja ...""Apa?” Nadine ingat dengan kendala Jessica saat ini. Jadi dia terpaksa mengulang perkataannya dengan suara keras.Sebelum Nadine selesai bicara, Raffaele muncul dan langsung menampar wajahnya dengan keras.Pria itu merasa citranya sebagai seorang suami telah sirna, dia menunj
Sebelum pergi, Nadine kembali menatap Raffaele dan akhirnya menanyakan hal yang tidak bisa dia pendam dalam hatinya, "Raff, kamu masih mencintai Anne?"Raffaelle merasa tingkah Nadine sangat aneh. Memangnya hanya karena menikahinya, wanita itu bisa langsung dipanggil Istri Raffaele?Akhirnya Raffaele menjawab dengan kesal, "Ini masih jam kantor, apa pekerjaanmu sudah selesai? Bukannya agensimu masih sibuk?”Pria lain biasanya akan melarang istrinya bekerja dan bahkan menyuruh mereka melepaskan pekerjaannya, tetapi Raffaele malah menyarankan dia terus sibuk. Nadine akhirnya kembali pulang, Sesampainya di rumah, Nadine melihat Jessica duduk merenung sendirian di ruang tamu. Ketika Nadine menghampirinya, ponsel di samping kasurnya tiba-tiba berdering.Dia mendapat telepon dari nomor tidak dikenal. Nadine mengangkatnya dan mendengar suara manis seorang wanita. "Halo? Nana?”Suara ini… Nadine merasa mengenalnya. Dia menjauh meninggalkan Jessica sendirian. Membiarkan gadis itu keheranan
"Kukira siapa datang malam-malam begini. Ada urusan apa, Nyonya Jenya?"Roy tercengang melihat penampilan Jenya saat ini. Dia merasa wanita itu sudah banyak berubah dan menjadi agak konservatif (kolot dan apa adanya)Entah kenapa, Roy tiba-tiba jadi ingin tahu apa yang terjadi padanya belakangan ini."Sebenarnya aku mau cerita sesuatu, tapi kamu mau dengar nggak?” sorot mata Jenya terlihat cemas dan merasa bersalah.Roy memicingkan matanya, seolah ingin menerawang Jenya. Namun, tatapan panas itu membuat telapak tangan Jenya berkeringat. Tetapi dia memaksakan diri untuk tetap tenang. "Nyonya Jenya, kamu mau cerita sambil berdiri di luar?"Jenya tiba-tiba melangkah maju, mendorong Roy masuk ke dalam menutup pintu dengan tangannya yang lain.Udara di dalam ruangan seketika terasa lebih tipis. Sebelum Jenya sempat bicara, Roy menganggapnya lain dan membungkam bibir merahnya dengan ciuman. “Hei, bukan ini yang aku maksud!” Jenya mengepalkan tinjunya, mendorong pria itu dengan kuat. Roy
Seharusnya malam ini Ryan pulang ke rumahnya, tetapi dia masih punya tanggung jawab menjaga gadis yang dia selamatkan sampai dijemput oleh pihak keluarganya. Saat Ryan memilih mengerjakan tugas laporannya di ruang teras, suara pecahan kaca mengejutkannya dan penghuni penthouse itu. “Siapa sih yang mecahin kaca?”Pria itu melihat seorang ART nya keluar dengan tergesa untuk membersihkan pecahan kaca yang berserakan di atas tanah samping teras. “Ada apa bi?”Sang ART mendongak. “Enggak tau pak, mungkin dari kamar atas. Saya langsung kesini pas dengar sesuatu yang jatuh.”Ryan menatap ke tingkat atas, “Disitu kamar yang dipakai Jessica kan?” Merasa ada sesuatu yang tidak beres, gegas Ryan berlari ke lantai atas dengan perasaan tidak tenang. Tatapannya langsung mengarah ke pintu kamar ketika tiba disana. Karena dikunci dari dalam, Ryan panik dan mulai mendobrak pintu kamar. “Jessi, apa yang kamu lakukan?” Pintu berhasil terbuka dan Ryan melihat tirai-tirai jendela yang bergerak terkena
"Jessi masih nggak bisa dihubungi?” Joshua menggeleng lemas ketika di tanyain Nadine. Pasalnya, mereka sudah mencari informasi terkait menghilangnya Jessica dan baru tiba di rumah. Nadine menghela nafas, lalu duduk di sofa mengeluhkan ini. Sementara Joshua mondar-mondir, sambil terus mencoba menelpon. “Teleponnya juga nggak aktif-aktif, biasanya dia langsung jawab kalau di telepon.”“Ya tuhan, semoga aja dia nggak apa-apa. Lagian, gadis seumuran itu seharusnya udah bisa jaga diri.” Meski Nadine mengatakan itu, tapi hatinya terus dilanda kecemasan. “Jessica bukan anak nakal, nggak mungkin keluyuran berhari-hari di tempat orang.” Joshua berbicara dengan suara kecil, "Bukan itu yang Tante cemaskan, tapi baru-baru ini ada rumor tentang kasus pembunuhan berantai yang membunuh gadis-gadis muda.”Pikiran Joshua semakin kusut, ia semakin kehabisan akal dan depresi. Namun dia tidak membiarkan hal itu terjadi. “Aku harus cari Jessica. Semoga kali ini dia bisa ditemukan.” Joshua bangkit dari