Lana Priadi menatap layar ponselnya, matanya menyipit membaca pesan yang baru saja masuk. Di layar tertulis nama atasan yang sudah dikenalnya dengan baik, Inspektur Arief.
“Lana, segera ke universitas. Ada kasus aneh. Mahasiswa ditemukan tewas di dekat sebuah cermin antik. Tolong kau yang menangani kasus ini.” Dengan cepat, Lana menyimpan ponselnya ke dalam tas, mengenakan jaket kulitnya, dan melangkah keluar dari kantor kecilnya yang sesak dengan dokumen – dokumen berkas kasus. Setiap harinya, Lana terbiasa dengan rutinitas sebagai detektif muda di divisi Kriminalitas. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda kali ini, sebuah perasaan aneh yang mulai merayap dalam dirinya begitu dia membaca pesan dari atasanya tersebut. Kematian seorang mahasiswa, tergeletak dekat cermin antik, sesuatu tentang itu terasa sangat ganjal. Di dalam mobil, Lana menyalakan mesin dan mulai mengemudi. Selama perjalanan menuju Universitas Seni dan Sejarah, pikirannya melayang pada berkas yang telah diberikan oleh Inspektur Arief. Dimas Hartanto, seorang mahasiswa jurusan arkeologi, ditemukan tewas di ruang belakang gedung kampus. Cermin antik yang ditemukan di dekatnya, konon, adalah benda pertama yang menarik perhatian polisi di tempat kejadian perkara. Tapi, ada hal yang lebih mencurigakan dari sekadar benda antik itu. Cermin itu, yang terlihat sangat tua, seakan menyimpan sesuatu yang lebih dari pada sekadar sejarah, semacam ada aura yang tak terungkapkan. Universitas Seni dan Sejarah, tempat Dimas ditemukan tewas, terletak di pusat kota yang sibuk. Gedungnya adalah bangunan tua dengan desain berornamen klasik yang mengingatkan Lana pada era kolonial. Begitu dia tiba di lokasi, suasana sunyi menguasai kampus. Udara di sekitar gedung terasa agak berat, seolah menahan napas. Meskipun sudah banyak polisi yang datang dan pergi, Lana bisa merasakan ketegangan yang masih tersisa di udara. Seperti sesuatu yang tak terungkap, yang menunggu untuk ditemukan. Di dalam gedung yang tampaknya sudah tua dan penuh dengan kenangan, Lana disambut oleh seorang petugas keamanan dan beberapa anggota polisi yang sudah berada di tempat kejadian perkara. Mereka membawanya ke ruang belakang gedung, di mana jenazah Dimas ditemukan. Begitu memasuki ruangan, Lana disambut oleh suasana yang mencekam. Bau samar obat kimia dan karpet tua memenuhi udara. Di sudut ruangan yang suram, berdiri sebuah cermin besar dengan bingkai kayu yang tampaknya sudah berusia ratusan tahun. Cermin itu tidak hanya menarik perhatian karena ukurannya yang besar, tetapi juga karena kondisi bingkai kayunya yang tergores, seolah mencatatkan sesuatu yang tidak dapat dilupakan. Namun, yang paling mencolok adalah posisi mayat Dimas. Pria muda itu tergeletak begitu saja di samping cermin, wajahnya menghadap ke arah kaca dengan ekspresi yang sulit diartikan, seperti sebuah keterkejutan yang tak terkatakan. Di sekitar tubuhnya, hanya ada bekas goresan halus yang sulit dijelaskan. Tidak ada jejak darah yang berceceran, tidak ada kekerasan fisik yang jelas terlihat. Namun, ada ketegangan yang tergambar jelas di raut wajahnya. Seolah ia telah melihat sesuatu yang sangat mengerikan. Lana mendekati mayat itu dengan hati-hati, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dia memeriksa sekitar tubuh korban, matanya melirik ke arah cermin yang berdiri tegak di sana. Ada sesuatu yang aneh tentang cermin ini, sesuatu yang lebih dari pada sekedar benda mati. Dia dapat merasakannya. Aura misterius yang tak terlihat, namun bisa dirasakan oleh setiap indera. Seorang petugas medis yang berdiri di dekat tubuh Dimas berbicara. “Kita belum bisa menemukan tanda – tanda kekerasan fisik pada tubuhnya, Detektif,” jelasnya. “Namun, ada kemungkinan bahwa Dimas meninggal karena serangan jantung mendadak, meskipun otopsi lebih lanjut masih diperlukan.” Serangan jantung mendadak? Pikir Lana, tidak ada indikasi serangan jantung sebelumnya, dan Dimas masih sangat muda. Ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik kematiannya. Semua bukti seakan mengarah pada sesuatu yang lebih gelap dan tak terungkapkan. Lana mengamati cermin itu dengan hati-hati, matanya berkeliling, mencoba menemukan sesuatu yang bisa memberi petunjuk lebih lanjut. Ada sesuatu yang janggal di sana, goresan – goresan tipis terlihat di bingkai. Seperti ukiran yang tak di sengaja. Lana menyentuh bingkai kayu itu. Ada sesuatu yang aneh saat jarinya bersentuhan dengan permukaannya. Meskipun tampak tua, bingkai itu terasa halus, seperti baru di bersihkan. Dan kemudian, matanya menangkap sesuatu dibawah bingkai, di antara celah – celah ukiran, terlihat sebuah tulisan yang hampir tak terlihat. Dengan hati-hati, dia memeriksa lebih dekat, membaca tulisan itu dengan suara pelan. "Jangan melihat ke dalamnya, atau kau akan kehilangan dirimu." Lana menelan ludah. Kata-kata itu menyimpan peringatan yang jelas. Apa yang bisa membuat seseorang meninggalkan pesan seperti itu? Dan yang lebih mengganggu lagi, kenapa hanya ada goresan di bingkai, bukan di permukaan cermin? Dia berbalik dan memandang sekeliling. Sepertinya tidak ada petunjuk lainnya di tempat itu. Seolah-olah semua yang ada di ruangan ini berbicara dalam bisikan, hanya menunggu untuk ditemukan. Lana merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik kasus ini. Bukan hanya sebuah kematian biasa, tetapi sebuah teka-teki yang lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Dan cermin ini, benda antik yang tampaknya tak bersalah, mungkin adalah kunci untuk mengungkapnya.Dia menatap cermin itu sekali lagi, mencoba melihat lebih dalam. Namun, begitu matanya bertemu dengan kaca, ada perasaan yang merayap. Seperti ada bayangan yang mengawasinya, sesuatu yang tak tampak dengan mata biasa. Namun, dia hanya bisa merasakannya. Cermin ini bukan sekadar benda mati. Cermin ini tampaknya tahu lebih banyak tentang dunia yang tidak dapat ia lihat.
Lana keluar dari ruang itu, membiarkan petugas medis melanjutkan pekerjaannya. Ia tahu, lebih dari sekadar keinginan untuk menyelesaikan kasus, ia harus mencari tahu tentang asal-usul cermin ini. Dimana cermin ini berasal? Bagaimana bisa cermin ini terhubung dengan kematian Dimas Hartanto?
Mengabaikan sejenak gemuruh pikiran yang terus berputar di kepalanya. Udara kampus yang biasanya terasa segar kini terasa menekan, dan suasana yang sepi semakin mencekam. Dia melangkah cepat menuju mobil, memikirkan kembali semua yang telah dia lihat. Cermin itu entah kenapa memberikan perasaan yang sangat tak nyaman. Seperti ada sesuatu yang mengintai di balik permukaannya yang jernih, sebuah entitas yang lebih besar dari pada sekedar benda antik yang tak terpakai.
Di dalam mobil, Lana menyalakan mesin dan melaju ke arah kantor polisi. Namun, pikirannya tetap terperangkap pada cermin itu. Tidak hanya goresan yang mencurigakan, tapi juga perasaan yang ditinggalkan oleh Dimas. Wajahnya, meski terdistorsi oleh kematian, menunjukkan ekspresi ketakutan yang tak wajar untuk seseorang yang mungkin hanya sedang mengerjakan tugasnya di ruang kampus. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar kecelakaan biasa di sini. Sesuatu yang tampaknya terhubung dengan cermin itu.
Setibanya di kantor, Lana segera menuju ke ruang kerjanya. Dia duduk di kursi, membuka berkas – berkas yang ada di mejanya, dan mulai menyelidiki lebih lanjut tentang Dimas Hartanto. Dari laporan yang ia terima sebelumnya, Dimas adalah mahasiswa yang dikenal baik oleh rekan – rekannya. Ia cerdas dan sangat tertarik dengan arkeologi, terutama yang berkaitan dengan benda – benda kuno.
Di beberapa artikel yang ia baca, ada penyebutan tentang minat Dimas pada benda – benda yang memiliki sejarah gelap dan mistis, yang sering dibahas dalam buku – buku arkeologi langka. Apakah mungkin Dimas sudah mengetahui sesuatu yang berbahaya tentang cermin itu?
Lana mengerutkan keningnya. Ada potongan informasi yang hilang. Mengapa seorang mahasiswa muda yang tampaknya tidak terlibat dalam hal – hal berbahaya bisa mendekati cermin yang tampaknya memiliki hubungan dengan dunia yang tidak bisa ia pahami? Dan mengapa dia tampaknya tidak menyadari ancaman yang terletak di depan matanya? Ada sebuah kemungkinan yang mengusik Lana, mungkin Dimas terjebak dalam suatu keinginan untuk memahami lebih dalam sesuatu yang terlalu berbahaya untuk dipahami.
Malam mulai larut, namun Lana tidak bisa memaksakan dirinya untuk tidur. Matanya tidak bisa lepas dari berkas – berkas yang masih tersebar di atas meja. Beberapa laporan dari kolega lain menyebutkan bahwa cermin antik serupa pernah muncul dalam catatan sejarah. Cermin ini diduga dibuat pada abad ke-19, di tangan seorang pengrajin yang terkenal dengan kemampuannya dalam membuat benda – benda dengan kekuatan magis. Banyak yang mempercayai bahwa cermin ini, selain untuk melihat bayangan, juga dapat memperlihatkan sesuatu yang lebih, sesuatu yang tersembunyi dari mata manusia.
Dengan cepat, Lana mencatat beberapa hal penting. Cermin itu bukanlah benda biasa. Sesuatu di dalamnya menarik orang – orang yang berhubungan dengannya. Jika Dimas memang tertarik pada benda – benda seperti itu, kemungkinan dia telah mencari tahu lebih banyak, mencari tahu tentang mitos yang beredar di kalangan para arkeolog. Namun, apa yang tidak diketahui oleh Dimas, atau siapa pun yang mendekati cermin itu, adalah betapa besar risikonya untuk terperangkap dalam kekuatan yang tidak tampak oleh mata manusia.
Lana menarik napas dalam – dalam. Dia tahu, kali ini, dia tidak hanya sedang menyelidiki sebuah kematian. Dia sedang berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kasus kriminal biasa. Cermin ini bukan hanya sebuah objek, ia adalah kunci untuk membuka sesuatu yang telah lama terkunci dalam sejarah, dan sesuatu yang sangat berbahaya.
Lana menatap inti kekuatan itu, lalu menatap Raka. Keputusan ini akan mengubah segalanya.Dia harus memilih.Menghancurkan inti dan mengorbankan Raka?Atau membiarkan portal tetap terbuka dan mempertaruhkan dunia manusia?Tangannya gemetar. Waktu hampir habis.Lana menarik napas dalam-dalam.Dan kemudian, dia mengambil keputusan.Lana menutup matanya sejenak, lalu dengan penuh tekad, menghancurkan inti kekuatan cermin. Cahaya biru itu berkedip sesaat sebelum meledak, menciptakan gelombang energi yang menyapu seluruh dimensi roh dan dunia nyata.Teriakan Ratu Sekar Sari menggema di udara, tubuhnya memudar menjadi abu sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya. Dunia roh mulai runtuh, menghisap semua jiwa yang tersesat, termasuk bayangan-bayangan yang sebelumnya ingin melarikan diri ke dunia manusia.Di dunia nyata, cermin yang tersisa hancur menjadi serpihan kecil. Port
Sebelum Lana bisa membuat keputusan, suara keras bergema di sekitar mereka. Pintu ruang bawah tanah tempat mereka berdiri didobrak dengan paksa. Sekelompok orang berpakaian hitam dengan simbol aneh di dada mereka menyerbu masuk."Jauhkan diri dari cermin itu," suara berat seorang pria terdengar. Dia melangkah ke depan, matanya tajam dan penuh ambisi. "Kalian tidak mengerti betapa berharganya benda ini."Lana, Raka, dan Farah langsung bersiap. Mereka mengenali simbol itu—Organisasi Rahasia 'Bayang Jaya', kelompok yang dipercaya mempelajari dan mengeksploitasi benda-benda mistis untuk tujuan mereka sendiri.“Jadi ini benar,” gumam Farah, jantungnya berdebar kencang. “Kalian memang mengincar cermin ini selama ini.”Pria itu tersenyum dingin. “Tentu saja. Cermin ini bukan sekadar penjara bagi roh. Ini adalah pintu menuju kekuatan yang tak terbayangkan. Jika digunakan dengan benar, kita bisa
Raka terbangun dengan kepala berdenyut. Pandangannya masih kabur, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang dingin dan lembap di sekelilingnya. Dia mencoba bangkit, lalu melihat Farah terbaring di dekatnya, tidak sadarkan diri."Farah!" Raka mengguncang bahunya.Farah membuka mata dengan lemah, wajahnya pucat pasi. "Di mana kita...?" suaranya lirih, penuh ketakutan.Mereka berada di dalam sebuah gua gelap, dengan dinding batu yang lembap dan penuh ukiran aneh. Cahaya redup berpendar dari celah-celah batu, menciptakan bayangan yang bergerak sendiri di sekeliling mereka.Tiba-tiba, suara berat terdengar dari ujung gua."Kenapa kalian datang ke tempat ini?"Raka dan Farah membeku.Dari kegelapan, muncul sesosok bayangan besar dengan mata merah menyala. Bentuknya humanoid, tapi tidak memiliki wajah. Tangannya panjang dan bersisik, dengan kuku tajam yang menyerupai belati.
Sejak saat itu, roh Sekar Sari terperangkap di dalam cermin, dipenuhi dendam yang tak kunjung padam. Setiap orang yang melihat bayangannya dalam cermin itu menjadi sasaran kutukannya.Lana merasakan bulu kuduknya meremang. Apa yang mereka hadapi bukan sekadar fenomena supranatural biasa. Sekar Sari tidak hanya meminta bantuan. Dia menginginkan sesuatu."Dia ingin membalas dendam," bisik Lana pada dirinya sendiri.Tapi ada sesuatu yang janggal. Jika Sekar Sari adalah korban, mengapa dia justru membunuh orang-orang yang tidak bersalah? Apakah cermin itu mempermainkan jiwanya? Ataukah ada sesuatu yang lebih gelap yang masih tersembunyi?Di sisi lain, Raka dan Farah juga mulai menyusun teori mereka."Kalau cermin itu adalah alatnya, maka satu-satunya cara menghentikan kutukan ini adalah menghancurkannya," kata Raka saat mereka akhirnya bertemu kembali."Tapi kalau kita salah langkah, kita bisa membebaskan sesuatu yang lebih berb
Raka akhirnya bersuara, "Apa yang terjadi jika kita gagal?"Pak Wirya menatap mereka dalam-dalam sebelum menjawab, suaranya pelan namun penuh ketegangan."Maka dia akan menggantikan salah satu dari kalian."Keheningan mencekam menyelimuti ruangan setelah pernyataan terakhir Pak Wirya. Lana menatap cincin di tangannya dengan perasaan tak menentu. Ia sudah banyak menghadapi kasus misterius dalam kariernya, tetapi ini… ini di luar nalar manusia."Kalau begitu, kapan kita harus melakukan ritual itu?" Lana bertanya, mencoba tetap tenang.Pak Wirya menghela napas. "Sebelum bulan purnama berikutnya. Itu adalah waktu di mana batas antara dunia manusia dan dunia roh melemah. Jika kalian menunggu terlalu lama, cermin itu akan terbuka dengan sendirinya."Farah menggigit bibirnya. "Berarti kita harus bergerak cepat. Dimana kita harus melakukan ritual itu?"Pak Wirya menatap mereka dengan sorot mata penuh peringatan. "Di depan cermin itu. H
Malam terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.Lana mencoba tidur lagi, tetapi setiap kali ia menutup mata, bayangan cermin itu muncul di pikirannya. Suara bisikan Ratu Sekar Sari terngiang di telinganya."Kembalikan…"Ia menggigil. Sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa cincin yang ia bawa adalah kunci dari semuanya—tapi juga ancaman terbesar yang membuat nyawanya kini berada dalam bahaya.Di tempat lain, Farah menatap bekas cengkeraman di pergelangan tangannya. Ia mengusapnya dengan keras, berharap tanda itu hilang, tetapi tidak ada perubahan."Apa ini akan tetap ada? Apa aku sudah ditandai?" pikirnya.Sementara itu, Raka duduk di meja kerjanya, menyalakan dupa untuk menenangkan pikirannya. Namun, asap dupa yang berputar di udara justru membentuk sesuatu…Wajah seorang wanita.Wajah Ratu Sekar Sari.Raka tersentak mundur, jantungnya hampir melomp