Beranda / Young Adult / Bayang di Balik Kabut / BAB 7: Bayang yang mengikuti

Share

BAB 7: Bayang yang mengikuti

Penulis: khobir
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-03 14:12:24

Malam itu sunyi, tapi tidak damai.

Desa masih berbau asap dan darah. Banyak rumah hancur sebagian, dan tanah di luar pagar penuh bekas luka — bukan luka biasa, tapi *luka yang tidak akan sembuh* karena ditinggalkan oleh makhluk kegelapan.

Laras duduk di samping Alric yang masih terbaring. Tubuhnya mulai pulih, tapi napasnya belum stabil.

“Kau seharusnya tidak menahan sabit itu sendiri,” bisik Laras.

Alric membuka mata pelan. “Kalau bukan aku, siapa lagi? Aku sudah pernah kehilangan orang yang kucintai sekali. Aku tidak akan ulangi itu lagi.”

Laras menggenggam tangannya. “Aku juga tidak ingin kehilangan kamu.”

Di luar, Senara berdiri menatap langit dari atas menara kayu.

“Perang ini belum selesai,” gumamnya. “Mereka mundur bukan karena kalah… tapi karena puas. Sekarang mereka tahu seberapa kuat Laras.”

Dari balik pepohonan, bayangan kecil menyelinap, bergerak pelan. Seperti… *mengintai*.

Senara menoleh cepat. “Siapa di sana?”

Tak ada jawaban. Tapi udara terasa lebih dingin. Dan di atas salah satu rumah, sesosok *anak kecil berjubah* muncul—kulitnya pucat, matanya tak punya warna.

“Senara,” katanya. “Sudah lama.”

Senara menghela napas berat. “Kau.”

Laras keluar mendengar suara itu. Saat ia melihat anak itu, tubuhnya menegang.

“Siapa dia?”

“Bukan anak,” jawab Senara dingin. “Dia... satu dari *Tiga Pendahulu*. Wujud mereka menipu. Di balik tubuh kecil itu… ada jiwa yang hidup sejak dunia pertama kali retak.”

Anak itu tersenyum, dan matanya menyala merah samar. “Aku hanya ingin berbicara. Laras, kami... ingin menawarmu sesuatu.”

Laras memeluk dirinya sendiri, merasa gelisah. “Apa?”

“Kekuatan penuh. Kendali atas darah. Dan kebebasan dari rasa sakit. Syaratnya cuma satu…”

Dia melayang turun, berdiri di depan Laras, sangat dekat. Lalu berkata:

“Tinggalkan cinta.”

Udara di sekitarnya menjadi berat. Langkah Laras maju satu, lalu berhenti. Matanya menatap Alric, yang kini berusaha berdiri dengan tubuh gemetar.

“Aku tidak akan menghalangimu,” kata Alric pelan. “Kalau kamu memang harus memilih... maka pilih yang akan menyelamatkanmu.”

Laras menahan napas. Dunia seperti berhenti sejenak. Di satu sisi, kekuatan. Di sisi lain, cinta.

Ia menoleh pada anak itu. “Kalau aku tolak?”

Senyum si anak memudar. “Kalau kau tolak… maka darahmu akan jadi kutukan, bukan berkah. Dan kau akan menyaksikan kehancuran, dimulai dari orang yang paling kau cintai.”

Laras tak menjawab. Tapi dari tangannya, akar-akar merah mulai tumbuh lagi.

*“Aku tidak akan pilih di antara cinta atau kekuatan. Aku akan bawa dua-duanya — meski dunia menolakku.”*

Seketika, mata si anak menyala terang. Udara meledak, dan tubuh kecil itu menghilang seperti kabut tersapu angin. Tapi suaranya masih tertinggal…

*“Kalau begitu, bersiaplah... darahmu akan diuji. Mulai sekarang.”*

Langit bergemuruh. Dan dari jauh, *tiga bintang jatuh* melesat ke arah desa.

Senara bergumam pelan, hampir seperti doa, “Mereka sudah mengirim pemburu...”

Laras menatap sosok anak kecil itu tanpa berkedip. Hatinya berdebar, bukan karena takut — tapi karena tawaran itu terlalu berbahaya untuk diabaikan… dan terlalu menggoda untuk langsung ditolak.

“Tinggalkan cinta,” katanya lagi, lembut seperti bisikan iblis.

“Dan kau akan bebas. Tak akan ada lagi luka, air mata, atau kehilangan.”

Alric mencoba bangun, tapi tubuhnya masih lemah. “Laras... jangan dengarkan dia...”

Anak itu menoleh padanya dengan senyum tipis. “Ah, sang vampir pecinta. Begitu setia… begitu lemah.”

Senara mengangkat pisaunya. “Kau tak punya hak datang ke sini tanpa izin.”

“Tentu saja aku punya. Kami yang membentuk dunia ini dulu, Senara. Kami hanya mengambil kembali apa yang sudah seharusnya.”

Laras menatapnya tajam. “Kenapa kalian ingin aku tinggalkan Alric?”

“Karena cinta melemahkanmu. Tapi kalau kau lepaskan itu... kau bisa membuka segel terakhir dalam darahmu. Dan saat itu, tak ada makhluk — cahaya atau bayangan — yang bisa menyentuhmu.”

Ia mengulurkan tangan kecilnya ke Laras.

“Pilihanku sederhana. Tinggalkan dia. Atau bersiap kehilangan segalanya, termasuk dia.”

Langkah kaki berdentum di luar desa—pelan, beraturan, tapi terasa seperti palu yang menghantam jantung bumi. Tiga cahaya yang tadi terlihat seperti bintang jatuh kini berdiri tegak di batas hutan: *tiga siluet tinggi*, tubuh mereka dibalut jubah kelabu, dan wajahnya tertutup topeng bercahaya.

“*Pemburu Darah*,“ bisik Senara dengan wajah pucat. “Mereka bukan sekadar prajurit. Mereka ditugaskan hanya untuk satu hal… mengeksekusi.”

Laras berdiri menahan napas. Kepalanya penuh pertanyaan—mengapa langsung secepat ini? Bukankah dia baru saja menolak tawaran? Atau ini memang rencana mereka sejak awal?

Salah satu pemburu mengangkat tangannya. Dari bawah tanah, muncul *segumpal daging merah* yang berdenyut—seperti jantung—tapi tertanam di dalam bumi.

“Darahmu mulai mengubah dunia,” kata suara berat dari balik topeng. “Kami datang untuk menyeimbangkan ulang.”

Senara menarik Laras ke belakang. “Kita tidak bisa lawan mereka bertiga sekaligus. Ini bukan soal menang, tapi soal bertahan.”

Alric yang setengah berdiri di ujung pagar desa, berteriak lemah, “Bawa Laras ke gua di timur… tempat yang tersembunyi. Aku akan tahan mereka.”

Laras menoleh tajam. “Jangan bicara seperti itu lagi!”

Tapi Alric hanya tersenyum. “Aku bukan menyuruhmu meninggalkanku. Aku menyuruhmu bertahan… demi kita.”

Senara menarik Laras dan berlari ke sisi timur. Laras masih menoleh ke belakang, melihat Alric berdiri sendiri, tubuhnya tak stabil, tapi matanya penuh tekad.

Salah satu Pemburu maju ke arah Alric.

Lalu...

*Bum!*

Suara ledakan dari belakang. Tanah terangkat, dan kabut darah mulai muncul dari tubuh Alric. Meski luka, *ia melepaskan bentuk asli vampir darah kuno*—tubuhnya diselimuti aura merah hitam, dan matanya menyala emas.

“Ayo, pemburu…” katanya pelan. “Kejar aku dulu sebelum kalian menyentuh dia.”

Laras menahan air mata saat bayangan Alric perlahan menghilang ditelan kabut dan api.

Senara menariknya lebih cepat. Mereka menyelinap lewat celah hutan kecil, menuju gua tua yang terlupakan.

“Tempat ini suci,” kata Senara. “Darah gelap tak bisa menembusnya. Tapi ingat, ini hanya tempat bertahan. Bukan tempat tinggal.”

Laras duduk terengah-engah, jantungnya terasa nyeri.

Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu dari dalam tubuhnya.

Suatu *desakan*, seperti darahnya hidup... dan mulai berbicara padanya.

“Laras… kekuatanmu hanya bisa penuh jika kau hadapi mereka sendiri.”

Dan di sanalah ia sadar.

Perjalanan ini bukan soal bertahan. Tapi soal memilih kapan *harus menyerang balik.*

Gua di timur itu gelap, lembap, tapi terasa tenang. Dindingnya berlumut, namun ada aliran cahaya samar dari batu-batu yang menyala merah muda. Laras duduk bersila di tengah, napasnya berat, tubuhnya menggigil—bukan karena dingin, tapi karena *panggilan darahnya sendiri* mulai tumbuh liar.

Senara duduk tak jauh darinya, menjaga pintu masuk gua sambil menajamkan senjatanya. "Kau harus belajar mengendalikan kekuatanmu. Jika tidak, kau akan menghancurkan dirimu sendiri sebelum mereka sempat menyentuhmu."

Laras menatap tangannya—urat-uratnya menyala samar, berdenyut seperti jantung kedua. Ia bisa mendengar suara-suara samar... jeritan, bisikan, entah dari masa lalu atau dari darah makhluk-makhluk yang pernah ia kalahkan.

"Aku takut jadi monster," gumam Laras.

Senara menatapnya dingin. "Lalu jadilah monster yang punya kendali. Jangan jadi korban."

Tiba-tiba, tanah bergetar. Bukan dari luar—tapi dari *dalam gua*.

Laras berdiri, matanya menyala. "Apa itu?"

Dari dinding batu, muncul retakan, dan dari dalamnya… *bayangan* menjulur keluar, membentuk sosok tinggi berkerudung.

"Selamat datang di ruangmu sendiri, Laras," kata sosok itu.

"Siapa kau?" desis Laras.

Laras berdiri, aura di sekelilingnya stabil dan tenang. "Aku tak perlu pilih cinta atau kekuatan. Aku... akan ubah dunia agar menerima keduanya."

Ia melangkah keluar gua.

"Karena ini bukan tentang melarikan diri. Ini… tentang *melawan balik.*"

Dan dari kejauhan, suara seruan pertempuran kembali terdengar. Tapi kali ini, Laras tak lari.

Ia akan menjadi badai yang menelan mereka semua.

"Aku… bagian darimu. Darahmu. Ketakutanmu. Dan kekuatanmu."

Bayangan itu mendekat, dan sosoknya berubah menjadi… *Laras sendiri*. Tapi dengan mata hitam seluruhnya, dan senyum sinis.

"Kau ingin cinta. Tapi kau lahir dari darah. Dunia tak akan membiarkanmu punya keduanya."

Laras mencengkeram dadanya. Rasa sakit mulai menusuk, seperti ada duri di dalam aliran nadinya.

Sosok bayangan mendekat. "Izinkan aku ambil alih. Kita bisa bunuh mereka semua, Laras. Mereka yang menyakitimu. Mereka yang ingin merebut Alric."

Laras menggertakkan gigi. "Tidak. Aku... akan melindungi cinta, bukan mengorbankannya."

Bayangan itu berteriak. Gua bergetar. Senara mundur, tak bisa masuk ke dalam medan energi yang kini menyelimuti Laras.

Tubuh Laras mulai melayang. Darahnya berpijar merah terang, lalu berubah menjadi ungu tua. Suara dari dalam dirinya menggema—campuran ketakutan, kemarahan, dan cinta.

Laras berteriak.

Bukan karena takut. Tapi karena *ia akhirnya memilih.*

Bayangan itu terbelah dua, lalu hancur dalam cahaya merah menyala.

Saat tubuhnya turun kembali, Laras membuka mata—mata baru, bukan merah, bukan hitam, tapi *emas darah*.

Senara melangkah masuk, terkejut. "Apa yang terjadi?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 44 : Jejak Rahasia

    Hutan pagi kembali hening setelah pertarungan dengan bayangan besar. Namun bagi Ravien dan Laras, ketenangan itu terasa menyesakkan. Setiap langkah mereka penuh kewaspadaan, karena ancaman belum sepenuhnya hilang. Bayangan itu mungkin lenyap, tapi jejak mereka tetap tersisa. Ravien berjalan di depan, pedangnya tergenggam erat, matanya terus menyapu ke sekeliling. “Kita harus menemukan jalur rahasia yang bisa membawa kita ke tempat Bayu,” ucapnya, suara rendah tapi tegas. Laras mengikuti di belakang, menatap sekeliling dengan cemas. “Aku takut… kalau kita terlambat, Bayu mungkin sudah menghadapi mereka sendirian.” Ravien menoleh sekilas, matanya merah menyala, tapi ada kehangatan di sorotnya. “Itulah kenapa kita harus segera. Dan kau… kau harus tetap fokus. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.” Laras menggenggam tangan Ravien. “Aku di sini. Selalu bersamamu.” Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak yang sempit, dipenuhi akar-akar pohon yang menjulur dan daun-d

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 43 : Bayangan yang Kembali

    Hutan pagi tampak tenang, meski udara masih terasa tegang. Setelah pertempuran dengan pemimpin Kultus Malam, Ravien dan Laras berjalan menyusuri jalan setapak yang berliku, langkah mereka berhati-hati. Setiap pohon, setiap bayangan, bisa saja menyimpan ancaman tersembunyi. Ravien menggenggam pedangnya erat, matanya terus menyapu sekeliling. “Kita harus segera menemukan jalur menuju Bayu,” ujarnya pelan. “Aku tak ingin meninggalkannya sendirian lagi.” Laras menatapnya, wajahnya pucat tapi penuh tekad. “Aku ikut. Jangan coba menahan aku. Aku bisa bertarung.” Ravien tersenyum tipis, meski matanya masih menyimpan rasa cemas. “Aku tidak menahanmu. Tapi kita harus cermat. Musuh kita bukan hanya dari dunia nyata, tapi juga dari bayangan masa lalu kita.” Mereka melanjutkan perjalanan, tapi kabut tiba-tiba menebal. Udara menjadi dingin dan lengket, membuat langkah mereka berat. Dari balik kabut, muncul siluet samar—bayangan yang bergerak cepat, menatap mereka dengan mata merah berkilau

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 42 : Jejak Yang Terlupakan

    Embun pagi menutupi daun-daun di hutan, menciptakan kilauan kecil seperti ribuan permata. Namun keindahan itu terasa palsu bagi Ravien dan Laras. Setelah pertarungan dengan Ravel, hati mereka masih bergejolak, dan luka-luka lama belum benar-benar tertutup.Ravien berjalan di depan, pedangnya tergenggam erat, matanya terus mencari tanda-tanda bahaya. Laras mengikuti di belakang, langkahnya ringan namun waspada. Hatinya tak lepas dari rasa bersalah karena Bayu masih menghadapi kultus itu sendirian.“Ravien,” Laras memulai dengan suara lembut tapi tegas, “kita harus menemukan jalur balik ke dimensi itu. Bayu menunggu kita, dan kita tidak boleh membiarkannya sendirian.”Ravien menatapnya sekilas, lalu kembali ke jalan. “Aku tahu. Tapi setiap langkah ke sana… aku bisa merasa bayangan masa lalu semakin mendekat. Ravel belum selesai denganku. Dan aku… belum siap menghadapi semuanya lagi.”Laras menggenggam lengan Ravien. “Kita akan hadapi semuanya bersama. Jangan coba menanggung sendiri.”Ra

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 41 : Luka yang Belum Sembuh

    Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, meski matahari telah naik malu-malu dari balik kabut tipis yang menyelimuti hutan. Suara burung pun tak terdengar—seolah alam pun ikut diam, menyimpan rahasia yang tak ingin dibagikan.Laras duduk di tepi sungai kecil, membasuh luka di tangannya dengan air yang mengalir pelan. Matanya sembab, masih menyisakan sisa tangis semalam. Di belakangnya, Ravien diam berdiri, menjaga jarak namun tak pernah benar-benar menjauh.“Aku… masih bisa mendengar suara Bayu saat dia berteriak memanggil kita,” ujar Laras pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam gemericik air.Ravien menunduk. “Aku juga.”Mereka belum bicara sejak lolos dari dunia bayangan. Tubuh mereka selamat, tapi jiwa mereka masih tertinggal di sana—di tempat Bayu berdiri sendirian menghadapi kegelapan demi mereka.“Kita harus kembali,” Laras akhirnya berkata. “Kita nggak bisa ninggalin dia begitu aja.”Ravien mengangguk, walau dalam hatinya ia tahu itu bukan keputusan mudah. Dunia bayangan hanya t

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 40 : Jejak Dalam Kegelapan

    Kabut belum juga sirna saat pagi datang. Desa masih terdiam dalam ketakutan, dan tidak seorang pun berani keluar dari rumah mereka. Bayangan yang mulai menyebar dari hutan kini sudah mencapai tepi desa, membuat langit siang tampak seperti senja yang kelabu.Ravien duduk di teras rumah Bayu, tatapannya kosong, pikirannya terjebak pada Laras yang kini masih berada dalam dimensi ujian. Sudah semalaman penuh Laras tidak kembali, dan itu cukup untuk membuat gelisah merayapi hatinya.“Dia kuat,” ujar Bayu, datang dengan dua cangkir teh panas. “Kalau bukan Laras, mungkin kita semua sudah hancur dari awal.”Ravien menerima teh itu, tapi tak sempat menyeruputnya. “Aku tahu. Tapi tetap saja... dia di sana sendirian. Kalau ujian itu gagal, bukan hanya dia yang hilang.”Bayu menatap langit. “Aku mencoba melacak jejak energi si bayangan itu. Seolah-olah... dia bukan makhluk biasa. Dia terikat dengan Ravien, atau lebih tepatnya, dengan darah vampirmu yang belum sepenuhnya terikat pada dunia ini.”R

  • Bayang di Balik Kabut   BABA 39 : Bayangan di Balik Janji

    Malam telah berganti fajar, namun ketegangan yang mengendap sejak pertempuran semalam belum juga mereda. Di sebuah rumah kayu sederhana di pinggir hutan, Laras duduk bersandar di ambang jendela, menatap matahari yang malu-malu muncul di balik pepohonan.Suasana tenang itu seolah palsu, karena pikirannya masih dipenuhi pertanyaan: siapa pria berjubah gelap itu? Apa maksudnya dengan kekuatan yang tersembunyi dalam darah Ravien?Ravien duduk tak jauh darinya, menatap secangkir teh yang mulai mendingin. Luka di lengannya telah dibalut, tapi luka di dalam hatinya jauh lebih sulit sembuh.“Kau tidak tidur semalaman,” ucap Laras pelan tanpa menoleh.Ravien menarik napas panjang. “Aku bermimpi. Tapi bukan mimpi biasa. Aku melihat seorang wanita… wajahnya mirip denganmu. Tapi dia menangis, berdiri di tengah api. Lalu terdengar suara, ‘Janji belum ditepati. Bayangan akan menuntut.’”Laras perlahan menoleh, ekspresi wajahnya berubah tegang. “Apa maksudnya, Ravien? Janji apa?”Sebelum Ravien bisa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status