共有

BAB 8 : Api yang diam

作者: khobir
last update 最終更新日: 2025-10-03 18:17:34

Pagi menyelimuti hutan dengan kabut tipis. Tapi tidak ada damai di dalamnya—*hutan itu sunyi karena takut.*

Langkah Laras pelan tapi pasti. Di belakangnya, Senara mengikuti dengan mata penuh tanda tanya. Aura emas darah Laras belum mereda sepenuhnya. Ia seperti menyimpan *api dalam diam*—tidak membakar, tapi siap meledak kapan saja.

"Ke mana kita sekarang?" tanya Senara.

"Ke Alric," jawab Laras singkat.

Mereka melintasi jalur tanah yang telah berubah bentuk. Bekas pertempuran semalam masih terlihat. Pohon-pohon patah, tanah hangus, dan... *darah*. Banyak darah. Tapi tidak ada tubuh. Hanya kehancuran.

Laras berhenti di tengah lapangan kecil di tepi sungai. Di sana, berdiri sosok yang dikenalnya.

Alric.

Ia berdiri diam, punggung menghadap Laras, tubuhnya berlumur luka kering. Tapi ada yang aneh. Aura di sekelilingnya berbeda. Terlalu tenang. Terlalu... kosong.

"Alric!" Laras berlari mendekat.

Saat pria itu menoleh, Laras langsung terdiam.

Mata Alric tak lagi berwarna emas—melainkan *hitam sepenuhnya*.

“Laras… kamu datang terlambat,” bisiknya, suara yang seharusnya hangat, kini terdengar dingin seperti batu.

Senara menarik belatinya. “Dia… bukan lagi sepenuhnya Alric.”

“Kau masih ingat malam saat kau menolongku pertama kali?” tanyanya pelan.

Alric tidak menjawab.

“Waktu itu aku masih takut. Aku benci makhluk sepertimu. Tapi kau... kau duduk di bawah hujan bersamaku. Kau bahkan tidak bicara, hanya diam. Tapi itu lebih menenangkan daripada seribu janji.”

Mata Alric bergerak sedikit. Ada kilatan di sana—seperti konflik batin.

“Kau pikir aku butuh kau jadi kuat dengan cara ini?” lanjut Laras. “Yang kubutuhkan hanya kamu, Alric. Bukan monster yang mereka bentuk.”

Untuk sesaat, *udara di sekitar mereka hening*. Pemburu-pemburu itu saling menatap.

Alric menutup mata. Jemarinya mengepal. Lalu...

“Laras... keluar dari sini. Sekarang.” Suaranya gemetar, seperti sedang berjuang.

“Aku tidak akan pergi—”

“Pergi sebelum aku tidak bisa menahan mereka lagi!”

Dan saat itulah Laras melihatnya — *tetes air mata* jatuh dari mata Alric yang hitam. Satu tetes saja. Tapi itu cukup.

Alric masih ada di dalam sana.

Laras menatap mata Alric yang kini pekat, hitam tanpa ujung. Bukan hanya warna matanya yang berubah—*cara dia berdiri, cara dia bicara*, semuanya terasa asing. Seolah-olah Alric yang ia kenal… telah dikubur jauh di balik tubuh itu.

“Kenapa kau terima tawaran mereka…?” bisik Laras. Suaranya gemetar, tapi tidak karena takut. Ia menahan air mata.

Alric menatapnya lama, lalu menjawab, “Karena kau lebih berharga dariku.”

Laras melangkah maju, “Tapi aku tidak pernah meminta pengorbanan seperti itu!”

Alric menunduk, lalu berkata, “Kadang... pengorbanan terbaik adalah yang tak pernah diminta.”

Dua Pemburu Darah di belakang Alric maju satu langkah. Tapi satu isyarat tangan dari Alric membuat mereka berhenti.

“Aku belum ingin mereka menyentuhmu,” katanya pada Laras. “Tapi itu tidak berarti aku akan membiarkanmu pergi.”

Senara mendesis dari samping. “Kalau dia benar-benar sudah milik mereka, kita harus—”

“Tidak!” potong Laras tajam.

Ia melangkah di antara Senara dan Alric.

“Aku akan bicara padanya. Kalau dia masih punya setetes saja rasa itu… aku akan menemukannya.”

Senara menghela napas, tapi mundur.

Laras berdiri sangat dekat dengan Alric sekarang. Detak jantungnya berdentum keras, tapi ia tak peduli.

Laras menatap tetes air mata itu dengan mata membelalak. Dalam lautan kegelapan yang menyelimuti Alric, ada satu titik cahaya kecil yang belum padam. Dan itu… cukup untuk membuat hatinya bergetar.

"Aku tahu kamu masih di sana," bisik Laras. “Aku nggak akan pergi.”

Tapi tubuh Alric mulai bergetar. Aura hitam di sekitarnya bergolak liar, seperti badai yang mencoba melepaskan dirinya dari kendali. Pemburu Darah di belakangnya mengangkat tangan, siap menyerang.

Laras menggertakkan gigi. “Kau sentuh dia, kalian lenyap.”

Tangannya memanas, aura darah keemasannya muncul kembali—*lebih tajam, lebih terarah.*

Senara mendekat, berdiri di samping Laras. “Satu lawan dua? Kita bisa coba.”

Namun Alric tiba-tiba berteriak, menahan amukan dalam dirinya. Darah hitam mengalir dari telinganya. Ia jatuh berlutut, kedua tangannya menutupi kepala.

“Keluar... dari dalam pikiranku...!” teriaknya.

Laras berlari mendekat, meraih wajahnya. “Lawan mereka, Alric! Bukan cuma aku yang butuh kamu—kamu juga butuh dirimu sendiri!”

Aura hitam dan merah keemasan bertabrakan di udara, membentuk badai energi yang membuat tanah retak. Pemburu Darah mulai mundur sedikit, terganggu oleh benturan aura itu.

Salah satu dari mereka mendesis, “Jika dia kembali ke dirinya... kita kehilangan senjata terbesar.”

Yang satu lagi menjawab, “Kalau begitu… kita hancurkan mereka berdua.”

Mereka bergerak.

Senara melempar dua pisau sihir, menghentikan satu. Tapi yang lain melesat langsung ke arah Laras dan Alric—membentuk tombak bayangan panjang.

Laras tidak bergerak. Ia tetap memeluk Alric.

“Kalau kau pergi... aku ikut hancur. Dan aku tidak akan biarkan itu terjadi.”

*BRUAKK!*

Tombak itu berhenti… tertahan di udara oleh lapisan pelindung darah emas yang muncul tiba-tiba dari tubuh Laras dan membungkus mereka berdua seperti perisai.

Mata Alric terbuka. Perlahan, warna hitamnya memudar—tergantikan oleh *cahaya merah tua, seperti bara yang tersisa di api unggun.*

“Laras… kau…” bisiknya.

Laras tersenyum kecil. “Kau kembali.”

Tapi sebelum mereka bisa bernapas lega, *tanah di bawah mereka runtuh*, membuka lubang besar menuju lorong gelap yang entah ke mana.

Mereka berdua terjatuh ke dalamnya, bersama dengan pusaran cahaya dan bayangan.

Senara berlari ke tepi lubang, tapi sudah terlambat.

“Laras… Alric!” teriaknya.

Namun yang tersisa hanya keheningan.

Mereka berdua kini terjebak di ruang antara dunia. Sebuah tempat yang tidak punya cahaya, tidak punya waktu. Tapi menyimpan rahasia asal darah dan takdir mereka.

Kegelapan.

Tak ada langit. Tak ada tanah. Hanya ruang kosong, mengambang. Laras membuka matanya perlahan, tubuhnya melayang, seperti tidak punya bobot. Di sekelilingnya—hampa.

Tidak ada suara. Tidak ada waktu. Tapi ada *getaran*... seperti napas dunia yang tertahan.

“Alric?”

Suara Laras menggema, seakan berbisik ke dirinya sendiri. Tidak ada jawaban.

Lalu, dari kejauhan, muncul *cahaya merah tua*, perlahan mendekat. Cahaya itu membentuk *bayangan tubuh Alric*, tapi bukan yang Laras kenal. Ini versi masa lalu—lebih muda, lebih liar, lebih gelap.

“Kenapa kau tetap mengejarku?” tanya bayangan itu.

“Aku telah memilih kegelapan.”

Laras menatapnya tegas. “Karena kau tidak lahir untuk dikendalikan oleh siapa pun. Bahkan oleh darahmu sendiri.”

Bayangan itu menyeringai. “Lalu siapa kau, Laras? Kau pikir kau berbeda?”

Lalu muncullah *bayangan lain*—*Laras* versi gelap, yang pernah ia kalahkan dalam gua. Kini berdiri di samping bayangan Alric.

“Cinta tak bisa menyelamatkan kita,” katanya.

“Cinta hanya memperlambat kehancuran.”

Laras mengepalkan tangan. Aura darah keemasannya perlahan muncul kembali. Tapi kini berbeda—lebih stabil, lebih… berakar dari keyakinan.

“Cinta memang tidak menyelamatkan segalanya. Tapi cinta... memberiku alasan untuk tidak menyerah.”

Tiba-tiba, tanah terbentuk di bawahnya—lantai kaca yang memantulkan ribuan versi dirinya dan Alric, dari masa lalu, dari kemungkinan yang tak terjadi.

Salah satu bayangan Alric berbisik, “Kau pikir bisa menyelamatkanku dari dalam? Maka ikutlah jatuh bersamaku.”

Laras menutup mata. “Kalau memang harus jatuh... aku tidak akan jatuh sendirian.”

Ia melompat ke arah bayangan Alric, menyatu dengannya dalam cahaya menyilaukan.

*BRAKK!!*

Ledakan cahaya memenuhi ruang itu. Suara-suara berputar seperti badai. Lalu... sunyi.

Saat Laras membuka matanya, ia sudah terbaring di atas rerumputan.

Langit ada di atasnya. Langit biru.

Dan di sampingnya, Alric... dengan mata merah tua yang hangat. Bukan hitam. Bukan emas. Tapi *warna dirinya sendiri.*

“Kau berhasil,” katanya lemah.

Laras tersenyum. “Kita berhasil.”

Senara muncul tak lama kemudian, wajahnya kaget tapi lega.

“Kalian kembali dari Ruang Di Antara... tidak ada yang pernah bisa.”

Alric menatap Laras. “Mungkin karena tak ada yang masuk ke sana dengan cinta sebesar itu.”

Tapi jauh di tempat lain, di balik celah dimensi yang retak, *Tiga Pendahulu* berdiri dalam lingkaran sihir.

Salah satu dari mereka bergumam, “Mereka mulai menyatu… ini bisa jadi kekuatan yang mengacaukan keseimbangan.”

Yang satu lagi berkata, “Maka kita perlu langkah baru. Sesuatu yang lebih dari Pemburu.”

*Bayangan baru* muncul di tengah lingkaran. Sosok tinggi, bermata putih kosong.

“Bangunkan dia,” kata Pendahulu pertama. “Yang bisa membelah cinta dengan satu kata.”

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 44 : Jejak Rahasia

    Hutan pagi kembali hening setelah pertarungan dengan bayangan besar. Namun bagi Ravien dan Laras, ketenangan itu terasa menyesakkan. Setiap langkah mereka penuh kewaspadaan, karena ancaman belum sepenuhnya hilang. Bayangan itu mungkin lenyap, tapi jejak mereka tetap tersisa. Ravien berjalan di depan, pedangnya tergenggam erat, matanya terus menyapu ke sekeliling. “Kita harus menemukan jalur rahasia yang bisa membawa kita ke tempat Bayu,” ucapnya, suara rendah tapi tegas. Laras mengikuti di belakang, menatap sekeliling dengan cemas. “Aku takut… kalau kita terlambat, Bayu mungkin sudah menghadapi mereka sendirian.” Ravien menoleh sekilas, matanya merah menyala, tapi ada kehangatan di sorotnya. “Itulah kenapa kita harus segera. Dan kau… kau harus tetap fokus. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.” Laras menggenggam tangan Ravien. “Aku di sini. Selalu bersamamu.” Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak yang sempit, dipenuhi akar-akar pohon yang menjulur dan daun-d

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 43 : Bayangan yang Kembali

    Hutan pagi tampak tenang, meski udara masih terasa tegang. Setelah pertempuran dengan pemimpin Kultus Malam, Ravien dan Laras berjalan menyusuri jalan setapak yang berliku, langkah mereka berhati-hati. Setiap pohon, setiap bayangan, bisa saja menyimpan ancaman tersembunyi. Ravien menggenggam pedangnya erat, matanya terus menyapu sekeliling. “Kita harus segera menemukan jalur menuju Bayu,” ujarnya pelan. “Aku tak ingin meninggalkannya sendirian lagi.” Laras menatapnya, wajahnya pucat tapi penuh tekad. “Aku ikut. Jangan coba menahan aku. Aku bisa bertarung.” Ravien tersenyum tipis, meski matanya masih menyimpan rasa cemas. “Aku tidak menahanmu. Tapi kita harus cermat. Musuh kita bukan hanya dari dunia nyata, tapi juga dari bayangan masa lalu kita.” Mereka melanjutkan perjalanan, tapi kabut tiba-tiba menebal. Udara menjadi dingin dan lengket, membuat langkah mereka berat. Dari balik kabut, muncul siluet samar—bayangan yang bergerak cepat, menatap mereka dengan mata merah berkilau

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 42 : Jejak Yang Terlupakan

    Embun pagi menutupi daun-daun di hutan, menciptakan kilauan kecil seperti ribuan permata. Namun keindahan itu terasa palsu bagi Ravien dan Laras. Setelah pertarungan dengan Ravel, hati mereka masih bergejolak, dan luka-luka lama belum benar-benar tertutup.Ravien berjalan di depan, pedangnya tergenggam erat, matanya terus mencari tanda-tanda bahaya. Laras mengikuti di belakang, langkahnya ringan namun waspada. Hatinya tak lepas dari rasa bersalah karena Bayu masih menghadapi kultus itu sendirian.“Ravien,” Laras memulai dengan suara lembut tapi tegas, “kita harus menemukan jalur balik ke dimensi itu. Bayu menunggu kita, dan kita tidak boleh membiarkannya sendirian.”Ravien menatapnya sekilas, lalu kembali ke jalan. “Aku tahu. Tapi setiap langkah ke sana… aku bisa merasa bayangan masa lalu semakin mendekat. Ravel belum selesai denganku. Dan aku… belum siap menghadapi semuanya lagi.”Laras menggenggam lengan Ravien. “Kita akan hadapi semuanya bersama. Jangan coba menanggung sendiri.”Ra

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 41 : Luka yang Belum Sembuh

    Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, meski matahari telah naik malu-malu dari balik kabut tipis yang menyelimuti hutan. Suara burung pun tak terdengar—seolah alam pun ikut diam, menyimpan rahasia yang tak ingin dibagikan.Laras duduk di tepi sungai kecil, membasuh luka di tangannya dengan air yang mengalir pelan. Matanya sembab, masih menyisakan sisa tangis semalam. Di belakangnya, Ravien diam berdiri, menjaga jarak namun tak pernah benar-benar menjauh.“Aku… masih bisa mendengar suara Bayu saat dia berteriak memanggil kita,” ujar Laras pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam gemericik air.Ravien menunduk. “Aku juga.”Mereka belum bicara sejak lolos dari dunia bayangan. Tubuh mereka selamat, tapi jiwa mereka masih tertinggal di sana—di tempat Bayu berdiri sendirian menghadapi kegelapan demi mereka.“Kita harus kembali,” Laras akhirnya berkata. “Kita nggak bisa ninggalin dia begitu aja.”Ravien mengangguk, walau dalam hatinya ia tahu itu bukan keputusan mudah. Dunia bayangan hanya t

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 40 : Jejak Dalam Kegelapan

    Kabut belum juga sirna saat pagi datang. Desa masih terdiam dalam ketakutan, dan tidak seorang pun berani keluar dari rumah mereka. Bayangan yang mulai menyebar dari hutan kini sudah mencapai tepi desa, membuat langit siang tampak seperti senja yang kelabu.Ravien duduk di teras rumah Bayu, tatapannya kosong, pikirannya terjebak pada Laras yang kini masih berada dalam dimensi ujian. Sudah semalaman penuh Laras tidak kembali, dan itu cukup untuk membuat gelisah merayapi hatinya.“Dia kuat,” ujar Bayu, datang dengan dua cangkir teh panas. “Kalau bukan Laras, mungkin kita semua sudah hancur dari awal.”Ravien menerima teh itu, tapi tak sempat menyeruputnya. “Aku tahu. Tapi tetap saja... dia di sana sendirian. Kalau ujian itu gagal, bukan hanya dia yang hilang.”Bayu menatap langit. “Aku mencoba melacak jejak energi si bayangan itu. Seolah-olah... dia bukan makhluk biasa. Dia terikat dengan Ravien, atau lebih tepatnya, dengan darah vampirmu yang belum sepenuhnya terikat pada dunia ini.”R

  • Bayang di Balik Kabut   BABA 39 : Bayangan di Balik Janji

    Malam telah berganti fajar, namun ketegangan yang mengendap sejak pertempuran semalam belum juga mereda. Di sebuah rumah kayu sederhana di pinggir hutan, Laras duduk bersandar di ambang jendela, menatap matahari yang malu-malu muncul di balik pepohonan.Suasana tenang itu seolah palsu, karena pikirannya masih dipenuhi pertanyaan: siapa pria berjubah gelap itu? Apa maksudnya dengan kekuatan yang tersembunyi dalam darah Ravien?Ravien duduk tak jauh darinya, menatap secangkir teh yang mulai mendingin. Luka di lengannya telah dibalut, tapi luka di dalam hatinya jauh lebih sulit sembuh.“Kau tidak tidur semalaman,” ucap Laras pelan tanpa menoleh.Ravien menarik napas panjang. “Aku bermimpi. Tapi bukan mimpi biasa. Aku melihat seorang wanita… wajahnya mirip denganmu. Tapi dia menangis, berdiri di tengah api. Lalu terdengar suara, ‘Janji belum ditepati. Bayangan akan menuntut.’”Laras perlahan menoleh, ekspresi wajahnya berubah tegang. “Apa maksudnya, Ravien? Janji apa?”Sebelum Ravien bisa

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status